Putra Dua Dunia

Epilog

.

Satu tahun sudah mereka bertugas dalam misi. Banyak yang telah mereka lalui. Namun tak banyak kendala yang menghampiri, meski udara siang dan malam seakan terhirup sama.

Nyota Uhura menatap keluar kaca, memandang pada titik-titik putih yang bertaburan dalam hitamnya semesta.

Sudah sekitar 5 bulan lalu si kecil Steven lahir. Saat usianya 3 hari—Spock masih belum pulih kala itu, Jim dan Nyota memutuskan untuk membawanya berkeliling Enterprise, mengenalkannya pada para kru yang menyambutnya dengan antusias. Beberapa kru bahkan menyiapkan hadiah seperti boneka hewan dan mainan bayi.

Ketika mereka sampai di anjungan, Sulu adalah yang pertama kali meminta untuk menggendong Steven. Rupanya kehadiran Steven membantunya mengatasi rasa rindu akan putrinya, Demora Sulu, yang setahun ini hanya dilihatnya melalui layar PADD. Semua kru yang melihat Steven nampaknya terpaku pada matanya. Dari sekitar 300 awak di Enterprise, Steven adalah satu-satunya yang heterochromia. Selain itu mereka juga membicarakan Steven yang persis seperti versi manusia dari Spock. Bayi kecil itu sangat suka bermain dengan para kru. Ia bahkan membiarkan para orang dewasa itu mengelilinginya dan bergiliran menggendongnya. Lain dengan bayi kebanyakan, Steven senang bertemu dengan banyak wajah yang berbeda. Dia hanya sesekali menangis.

Nyota amat gemas dengan bocah setengah Vulcan itu. Selama Spock masih dalam masa pemulihan, selama itu juga Nyota dengan senang hati mengurus Steven sepanjang hari. Berlama-lama bersama Steven menjadi hal favoritnya yang baru.

Wanita itu beralih dari titik-titik putih warp dan menoleh ke sampingnya. Di situ Spock berdiri tiga meter darinya, tengah mengayun-ayun Steven di gendongannya, berusaha membuat si bayi tenang dan tidur. Beberapa saat Nyota memandangi Spock, hingga tatapan mereka bertemu. Spock tersenyum hangat, melangkah mendekati wanita pujaannya yang balas tersenyum.

"Sepertinya Sven belum mau tidur, tapi untunglah dia tidak menangis." Ucap Spock merujuk pada putra kecilnya. Seperti saat dikerubuti kru Enterprise, Steven adalah bayi yang cukup tenang, termasuk ketika Spock meninggalkannya sesaat untuk ke toilet. Malah pernah sekali Spock meninggalkan Steven di boksnya—yang tidak sedang tidur—untuk mandi. Spock menceritakan itu pada Nyota dan Jim, alhasil Vulcan itu disemprot kedua temannya. Dia masih ingat omelan Nyota yang menyuruhnya untuk meminta siapapun untuk mengawasi Steven selagi dia mengerjakan hal yang membuatnya tidak dapat mengawasi putranya.

"Sven?" Tanya Nyota, menyadari panggilan baru Spock pada Steven.

"Ya, sepertinya aku akan lebih sering memanggilnya Sven. Entah bagaimana aku menyukai panggilan itu. Rasanya seperti mengucapkan Soven namun dengan cara yang berbeda."

Nyota mengangguk-angguk. "Omong-omong, kau sudah mengatakan pada Dewan New Vulcan kalau kau akan mendaftarkan nama 'Steven' untuk database Federasi?"

"Sudah. Dewan New Vulcan mengizinkanku menggunakan nama Terran untuk Sven. Toh dia setengah manusia setengah Vulcan. Di New Vulcan dia adalah S'chn T'gai Soven. Di luar itu, dia adalah Steven Sarek Spock." Spock menjelaskan.

Barangkali karena kejadian hancurnya Vulcan sekitar dua tahun lalu, kini Dewan New Vulcan lebih terbuka pada ras lain. Sebagian besar dari mereka tidak lagi memandang ras-ras yang mengungkapkan emosi sebagai sebuah kekurangan. Mereka sadar bahwa bukan hal itulah yang perlu mereka khawatirkan. Kelangsungan hidup ras Vulcan di alam semesta, mencegah Vulcan dari kepunahan dan membangun peradaban baru, adalah yang paling utama.

Spock menatap Nyota lekat-lekat. Mereka saling pandang.

Nyota angkat bicara, "Ada apa, Spock?" Mata indahnya seakan ikut bertanya adakah hal yang mengganjal pada benak komandan itu.

Lengang sebelum Spock menyahut, sembari beralih menatap keluar kaca. "Aku sudah memutuskan untuk membesarkan Sven sebagai manusia, Nyota. Aku akan tetap tinggal di bumi setelah misi ini berakhir dan selama misi ini berjalan, Sven akan berada bersamaku di Enterprise. Dia akan tumbuh di lingkungan di mana mengungkapkan emosi adalah hal yang amat lumrah, sangat normal. Aku tidak ingin dia mengalami yang aku rasakan sewaktu kecil, aku ingin dia... bebas."

Nyota diam sesaat sebelum menyahut, dia melirik ke arah Steven yang sekarang sudah terlelap dipelukan ayahnya. "Jadi kau merasa tidak bebas dengan lebih mengedepankan logika?"

"Untuk saat ini? Tidak sama sekali. Ketika aku kecil? Sangat. Tumbuh sebagai Vulcan... ketika kecil aku cukup kesulitan mengesampingkan emosi. Selama beberapa tahun menetap di bumi untuk Starfleet, aku belajar bahwa manusia sangatlah ekspresif, terutama ketika masih anak-anak. Aku ingin Sven hidup seperti itu."

Nyota mengiyakan, "Jika itu keputusanmu, maka aku yakin itu yang terbaik untuk Steven. Aku tahu kau ingin yang terbaik untuknya, karena akupun begitu."

Spock mengangguk kecil, lalu terdiam. Masih ada yang ingin ia bicarakan, namun ragu apakah sekarang adalah waktu yang tepat.

"Kau belum selesai, 'kan? Lanjutkan saja, aku akan mendengarkan." Senyum Nyota teduh, seakan isi pikiran Spock tadi terdengar jelas olehnya.

Kini mata cokelat pria berponi itu beralih dan menatap Nyota dalam. "Nyota," ucapnya pelan. "Kurasa aku butuh bantuanmu untuk membesarkan Steven sebagai manusia. Aku menginginkanmu untuk berada di kehidupan Steven. Ada di kehidupanku. Nyota… maukah kau menemaniku, tinggal bersamaku, hidup bersamaku di bumi, sebagai sebuah keluarga?"

Bahu Nyota melemas mendengarnya, entah bagaimana bahunya terasa sangat rileks meski ia merasa terkejut. Apa yang dikatakan Spock berada di luar ekspektasinya.

Bertahun-tahun mengenal Spock di akademi, hingga memiliki hubungan sampai saat ini. Pria setengah Vulcan yang ketika sisi manusianya mengambil alih, mengesampingkan logika dan mencurahkan emosi hanya kepadanya. Tidak henti-hentinya membuatnya takjub.

Dengan senyum terbaiknya, Nyota mengangguk. Menerima dengan sepenuh hati permintaan penuh arti itu.

.

.

.

Seorang bocah 4 tahun menarik-narik kaus biru ayahnya dengan antusias. Senyuman lebar menggemaskan terukir manis di bibir tipisnya. Matanya berbinar, menatap sang ayah yang sedang berkutat pada layar di depannya. "Papa, berapa hari lagi sebelum kita sampai ke bumi?"

Spock, sang ayah, tersenyum tipis begitu mendengar suara putranya. Ia menoleh dan menjawab, "Dua hari lagi, Sven." Pria berponi itu mengelus lembut kepala Steven.

"Aku tidak sabar lagi, Papa. Sven ingin bertemu dengan Sa'mekh'al dan Pops. Apakah Papa bisa?"

"Papa akan usahakan. Sekarang bermainlah, Papa harus fokus pada pekerjaan Papa." Spock tersenyum lebih lebar dan mengecup pipi Steven yang sudah mengulur padanya.

"I love you, Papa!" Seru bocah berambut hitam itu sebelum berlari riang meninggalkan anjungan.

"I love you too." Bisik Spock nyaris tak terdengar. Melebihi apapun, tambahnya dalam hati.

Bukan hal yang baru bagi kru Enterprise melihat Steven berlalu-lalang baik di dalam anjungan maupun di lorong kapal. Mereka pun sama sekali tidak terusik jika bocah setengah Vulcan itu menghampiri mereka dan bertanya ini-itu terkait apa yang sedang mereka lakukan. Mereka merasa Steven bertanya dengan cara yang tidak menyebalkan, lain dengan bocah-bocah terlewat ingin tahu yang cerewet. Keingintahuan Steven yang menggemaskan membuat para kru dengan senang hati meladeninya.

Steven paling suka menghampiri Sulu. Dia akan duduk di pangkuan pria itu, entah sekedar diam dan menonton atau bertanya apa yang sedang dilakukannya. Dari apa yang Sulu perhatikan, nampaknya Steven menaruh ketertarikan pada pekerjaannya sebagai helmsman. Jauh lebih tertarik dan penasaran dibandingkan dengan bagian lainnya di anjungan. Sulu kadang membiarkan Steven yang menyentuh layar kendali, dengan arahannya tentu saja. Steven tidak berani sembarangan menyentuh layar apapun di anjungan, karena selain berpotensi mengacaukan seisi kapal, hal itu juga tidak sopan. Spock mendidik anaknya dengan baik rupanya.

"Mr. Spock." Jim menghampiri Perwira Utamanya beberapa detik sepeninggal Steven.

"Kapten," Sahut Spock.

"Tak terasa sudah lima tahun kita disini, eh?"

Spock menggangguk kecil, "Ya, Kapten."

"Rasanya baru minggu kemarin kau melahirkan dan memberi nama Steven pada bayimu." Jim menepuk-nepuk bahu Spock yang tatapannya berubah teduh ketika mengingat memori itu. Masa kehamilannya memang tak mudah, namun hingga saat ini terus memberinya kenangan yang manis.

"Aku juga begitu, Kapten." Ia sadar betapa cepat waktu berlalu. Melihat putranya tumbuh bersama kasih sayang para kru Enterprise, yang menjadikan mereka seperti keluarganya sendiri. Menapik mundur memori akan kehilangan ibu beserta planet kelahirannya.

"Kau akan tetap berada di bumi, kan? Kau akan tetap bersama Enterprise?" Tanya Jim lirih. Menatap Spock agar sang Vulcan mengerti maksudnya.

Jim sebetulnya sudah tahu Spock akan menjawab apa. Ia dan sahabat Vulcan-nya sudah pernah membicarakan ini beberapa tahun lalu. Namun setiap mengingatnya, Jim selalu cemas sahabatnya akan berubah pikiran. Spock punya anak setengah Vulcan setengah manusia, yang artinya dia bisa saja memutuskan untuk tinggal di New Vulcan. Meninggalkan bumi dan Starfleet. Meninggalkan jabatan Perwira Utama dan Enterprise. Meninggalkan pekerjaan dan teman-temannya. Meninggalkan Nyota Uhura. Meninggalkan Jim.

Jim tak pernah siap jika sang sahabat akan berakhir meninggalkannya.

"Tentu, Jim. Kau tahu… Sven, dia lebih manusia dibanding aku. Logis jika bumi tempat yang lebih tepat untuknya ketimbang New Vulcan." Jawab Spock. "Dan tentu aku terus bersama Enterprise. Kita keluarga, bukan?"

Kekhawatiran yang selama ini terasa berat—untuk kesekian kalinya—menguap begitu saja dari benak Jim. Sang kapten menghela napas kecil. "Ya Spock, tentu kita keluarga." dia tersenyum pada Perwira Utamanya.

.

.

.

Jim Kirk memandangi langit biru cerah sekali lagi. Ia merasakan angin mengelus lembut pipi dan rambut pirangnya. Dia tersenyum, seakan hari juga ikut senang bahwa hari ini adalah hari kelulusan keponakannya.

"Uncle Jim!"

Suara gaduh orang-orang disekitarnya seakan lenyap ketika ia mendengar panggilan sang keponakan. Dia berbalik, tersenyum lebar. Memeluk singkat sosok yang bukan lagi seorang bocah kecil, namun sudah tumbuh menjadi pemuda 18 tahun yang bahkan nyaris melebihi tinggi badannya. "Little Spockie! Aku tak percaya ini hari kelulusanmu!" Jim menepuk-nepuk pundaknya. Mata biru yang cemerlang itu tak repot-repot menyembunyikan kilat bangganya.

Steven geleng-geleng kepala ketika mendengar panggilan pamannya. Jim pernah mengatakan kepadanya jika ia sudah memanggilnya begitu sejak pertama kali melihatnya dan tidak sedikitpun punya niat untuk memanggilnya dengan panggilan lain—selain namanya tentunya. "Uncle Jim, Pikey lebih cocok dipanggil seperti itu dibanding aku. Dengan telinga lancipnya dia jauh lebih mirip dengan Papa." Steven merujuk pada si bungsu di keluarga S'chn T'gai Spock.

"Aku tahu, tapi Pikey itu Little Spockie nomor dua. Kau Little Spockie yang kesatu. Lagipula warna kulitmu persis seperti Spock. Pikey sedikit lebih gelap karena mengambil gen Uhura." Pria pirang itu nyengir, tangannya terangkat dengan dua jari yang mengisyaratkan "sedikit" dan cukup membuat Steven memutar bola matanya.

Keluarga kecil Spock yang dulunya hanya berisikan Spock dan Steven selama di Enterprise, kini sudah berkembang menjadi keluarga dengan lima anggota. Beberapa bulan setelah kembali ke bumi, Spock kala itu secara resmi melamar Nyota Uhura untuk menjadi istrinya. Keduanya menikah ketika Spock mendekati masa pon-farr dan satu tahun setelahnya lahirlah putri mereka, Amanda Spock, yang kini sudah memasuki tahun keduanya di sekolah menengah. Tak hanya parasnya, Amanda juga tumbuh menjadi gadis pemberani seperti wanita yang melahirkannya—meski gadis itu mewarisi kulit pucat sang ayah. Tujuh tahun setelah Amanda, lahirlah putra bungsu mereka, Pyklar James Spock. Orang-orang menyapa si bungsu bertelinga lancip itu dengan Pike—sementara orang terdekat memanggilnya Pikey. Namanya merupakan penghormatan untuk dua kapten Enterprise, Jim Kirk dan mendiang Christopher Pike. Spock lah yang mengusulkan nama Pike dan ketika hendak mendaftarkan nama putra bungsu mereka, Uhura memutuskan memberi sedikit sentuhan untuk nama depan dan menambahkan nama Jim untuk nama tengahnya. Uhura mengatakan putra bungsunya itu mirip dengan kakeknya ketika masih kecil, namun dengan alis manusia dan kulit sedikit eksotis. Berbeda dengan dua kakaknya, Pike terlahir dengan darah hijau berbasis tembaga seperti Vulcan pada umumnya. Meski begitu, jantungnya terletak di dada sebelah kiri seperti manusia—begitupun Amanda. Kalau kata Leonard, bisa dibilang Pike punya anatomi Vulcan-manusia yang berkebalikan dengan Steven, di mana kakak sulungnya memiliki darah merah dengan jantung di samping lambung. Uniknya, Pike hanya seperempat Vulcan sementara Steven lah yang setengah Vulcan. Tapi Pike terlihat lebih seperti Vulcan ketimbang kakaknya.

"Hey, Sven. Kau ingin lanjutkan ke mana setelah ini?" Tanya Jim.

"Akademi Starfleet tentu saja." Steven menjawab yakin.

"Tidak berubah, huh? Yakin kau tidak akan menyesal? Tidak lihat pamanmu yang satu ini jadi seperti apa?"

Steven mengernyit mendengar pamannya, "Jadi kapten starship maksudnya?"

Jim selalu menjadi sosok pahlawan bagi Steven sejak ia kecil. Rekornya sebagai penyandang gelar kapten termuda di armada hingga saat ini belum dapat dipecahkan komandan manapun. Dedikasi dan semangatnya untuk meraba peradaban yang belum terjamah di luar sana. Dan lagi, Jim adalah kapten kapal di mana Steven dilahirkan. Selama empat tahun pertama hidupnya, Steven adalah satu dari 300 awak yang dipimpinnya. Menjadi seperti Jim agaknya sudah menjadi tujuan Steven sejak ia duduk di bangku sekolah.

Jim terkekeh, "Kenapa harus Starfleet? Kau tidak bosan melihat lencana seperti kaki besar sebelah itu sedari kecil? Tidak berniat mendirikan organisasi dengan lambang yang lebih simetris?"

Steven mengernyit lagi, kali ini diiringi ringisan. Emang ada-ada saja pamannya yang satu ini. Ia tidak tahu baiknya harus dijawab atau tidak pertanyaan itu.

Sebelum ia selesai memutuskan, Amanda berseru ke arah mereka. "Sven, Uncle Jim, ayo ke mari!" Sesi foto bersama rupanya. Si adik memukul kecil lengan kakaknya, membisikkan "Ke mana saja kau?" lantaran bintang pada sesi foto hari ini menghilang dari radar.

Siang yang cerah itu, Steven Sarek Spock disibukkan dengan keluarga dan orang-orang terdekatnya yang saling bertukar untuk mengabadikan momen kelulusannya.


A/N: Setelah seabad akhirnya update juga epilog ini! Iya, ternyata memang selama itu saya buntu nulisnya. Epilog ini rencananya ada 2 part, tapi saya ga bisa janji kapan part 2 bakal di-update, so let's see. Part 2 bakal sedikit lebih dalam lagi nyeritain kedekatan Steven sama adik2 dan orang2 terdekatnya.

Akhir kata, kolom review selalu terbuka, dan kalau berkenan bisa lihat2 fanfic saya yang lain di profile saya hehe. Terima kasih! :