Halilintar melepas pegangan pada tangan kedua adiknya ketika tiba di kedai Kakeknya. Kedai yang menyajikan berbagai minuman berbahan cokelat itu terlihat sudah tutup dan terdapat dua adiknya yang lain sedang duduk santai di konter kedai tersebut.
"Apa sih Hali? Kenapa kamu menarik kami seperti itu? Kalau mau pulang bersama kan tinggal bilang," Taufan protes sambil mengusap pergelangan tangannya yang mulai memerah. Genggaman si Sulung tidak terlalu erat namun Halilintar tidak kunjung melepas pegangannya itu sejak pergi dari kios susu kambing. Belum lagi mereka berjalan dengan ditarik oleh BoBoiBoy Pertama itu.
Kedatangan ketiga kakaknya membuat Blaze dan Ice yang hampir mati karena bosan menunggu menghampiri mereka. Suasana mencekam di antara ketiga kakak mereka terlihat dengan jelas.
"Ada apa—"
"Aku bilang diam kan, Gempa?"
Kalimat Blaze terpotong oleh pertanyaan introgasi milik Halilintar.
Hah sekarang masalah apa yang muncul?
"Tapi ini bukan masalah milik Kak Halilintar saja!"
"Aku penyebabnya."
"Dari awal bukan Kak Halilintar penyebabnya. Kakak sebenarnya tahu itu!"
Perdebatan si Sulung dan si Tengah terlihat akan berlangsung lama. Blaze dan Ice juga tidak berani untuk menginterupsi dua kakak yang memiliki sifat keras kepala, melebihi keras kepala milik Blaze. Bahkan teman masa kecil mereka tidak bisa menghentikan perdebatan antara Halilintar dan Gempa yang jarang terjadi.
Satu-satunya orang yang dapat menghentikan kedua BoBoiBoy itu hanyalah Tok Aba.
Tidak, itu dua orang.
Sebagai orang yang mempunyai peran untuk mengamati situasi dan mengubah suasana jika diperlukan, Taufan menjadi salah dari dua orang yang dapat melerai perdebatan Halilintar dan Gempa. Itu jika menurutnya argumen mereka berdua sudah kelewat batas.
Taufan menempati dirinya di antara kedua saudaranya Halilintar dan Gempa, menghalangi tatapan yang terlihat saling melempar pisau tersebut.
"Hentikan kalian berdua, kalian membuat kedua adik kita kebingungan dengan keributan yang kalian buat."
Argumen BoBoiBoy Pertama dan BoBoiBoy Ketiga terpaksa berhenti karena Taufan yang tiba-tiba memenuhi pandangan mereka. Halilintar dan Gempa kemudian mengalihkan pandangan pada kedua adik bungsu mereka. Terlihat wajah Blaze dan Ice yang kebingungan dengan masalah yang tiba-tiba muncul.
Gempa menghela napas untuk meredakan amarahnya dan Halilintar mendecakan lidah. Taufan lalu menepuk kedua tangan untuk menarik perhatian para saudaranya.
"Nah, mari tenangkan diri dulu oke? Kita semua lelah karena kegiatan hari ini jadi mudah marah. Dinginkan kepala kita lalu baru berbicara secara damai, khususnya kalian berdua," Taufan menatap Halilintar dan Gempa secara bergantian.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan."
"Kak Halilintar!"
Telapak tangan Taufan menepuk dahinya, "Aduh..."
"Mau Ice Chocolate?"
Ice dengan tenangnya menawarkan minuman dingin yang telah siap di konter kedai bersama Blaze yang menikmati es coklat tanpa memedulikan situasi.
"Karena kita sudah tahu semua apa yang sebenarnya terjadi di malam itu , tidak perlu berlagak seolah kalian harus menyelesaikan sendiri. Terselesaikannya masalah di sekolah menjadi bukti kita bisa menyelesaikan bersama-sama, bukan begitu Kak Halilintar?"
The Truth © LiTFa
BoBoiBoy © Monsta
Language : Bahasa Indonesia
Rating : T+
Genre : Family, Mystery
Warning(s) : AU, Typo(s), No Power, No Alien, No Robot, No Pairing, drama about family and friendship, alur maju mundur, press back if you don t like this story. You know DLDR right?
Tidak ada yang membuka pembicaraan. Keheningan itu sudah berlangsung lebih dari lima belas menit. Gelas mereka pun telah kandas isinya.
Karena tidak ada yang membuka suara, Taufan yang maju setelah menghela napas.
"Masalah ini tidak akan selesai kalau kalian diam saja. Kunci masalah ini kan ada di kalian berdua."
Mata Gempa melirik ke Halilintar yang sibuk dengan pikirannya. Tidak ada tanda-tanda kakaknya itu akan membuka mulut tentang masalah yang 10 tahun belum terselesaikan.
"Hali? Kamu serius tidak mau menjelaskan apapun pada kami? Gempa sudah menceritakan bahwa bukan kamu yang membunuh Ayah dan Ibu. Cerita itu menjadi bukti yang meyakinkan kami selama kamu diam saja tentang masalah ini," Taufan kembali berbicara. Paksaan tidak akan dengan mudah mengubah jalan pikiran Halilintar.
BoBoiBoy Kedua itu akhirnya kembali menghela napas, mata sapphirenya mengerling ke Gempa. "Kalau begitu Gempa, karena Kakak Sulung kita mulutnya ditutup dengan lem super maka langsung ceritakan apa saja yang kita dapat sejauh ini? Blaze dan Ice juga menunggu kita dari tadi kan?"
"E-eh? Eum.. Ok. Dua orang itu aku tidak bisa memastikan namun cara bicara mereka mirip dengan pelaku 10 tahun lalu khususnya cara bicara orang yang tinggi itu. Aku ingat sekali dia selalu memanggil 'Bos' pada orang satunya lagi."
Taufan diam memikirkan ucapan Gempa, raut wajahnya mengatakan dengan jelas bahwa ada yang kurang dari hasil "penyelidikan" mereka. Ice yang melihatnya sekiranya mengerti apa yang dipikirkan oleh kakak kedua tersebut.
"Buktinya kurang kuat," kata Ice mewakilkan isi pikiran Taufan.
Blaze mendengkus, "Tentu saja, tidak sedikit orang yang mengatakan memanggil atasan mereka dengan sebutan itu."
Gempa mengiyakan ucapan saudara-saudaranya. Satu-satunya bukti kuat selain pisau yang telah dibawa oleh kepolisian adalah warna rambut dan mata.
"Jelas sekali mereka memakai kontak lensa tapi kita tidak bisa sembarangan menuduh mereka hanya karena itu," kata Taufan yang memiliki pikiran sama dengan Gempa.
Ice menghela napas pelan, "Harus ada bukti yang lain."
Keheningan kemudian mendiami empat BoBoiBoy tersebut, melupakan sepenuhnya bahwa si Sulung masih berada di sana mengamati mereka.
"Karena itu kalian diam saja."
Mulut milik Halilintar yang selama ini tertutup rapat itu akhirnya terbuka, mengatakan kalimat yang tidak diharapkan oleh para saudaranya. Tangan Blaze memukul meja keras hampir membuat cangkir di meja terjatuh.
Blaze menghampiri Halilintar dengan mata penuh kemarahan. Tangannya terkepal erat menahan tinju yang akan melayang jika terus mengikuti emosinya. BoBoiBoy keempat itu berhenti tepat di hadapan si Sulung. Mereka berdua bertatapan dengan emosi yang berbeda dalam diri masing-masing.
"Kau..."
Geraman Blaze menahan nada tinggi menjadi tanda bahwa kemarahannya telah memuncak. Halilintar hanya diam menunggu kalimat apa saja yang akan keluar dari mulut adiknya itu.
"Aku dari tadi mencoba untuk tidak memaksamu membuka mulut brankasmu itu tapi ucapanmu yang terus kau lontarkan seolah tidak menghargai kami yang berusaha membantumu menyelesaikan masalah sialan ini."
"Siapa yang meminta bantuan?"
"Sialan... Kau!"
"Uwoaah!"
"Blaze!"
Kejadian itu terjadi begitu cepat. Ice dengan cekatan menahan tubuh Blaze bersama Gempa yang menahan adik pertamanya itu sedangkan Taufan menempatkan dirinya di antara Blaze dan Halilintar.
"Tenangkan dirimu Blaze. Kita berkumpul bukan untuk bertengkar, kamu tahu?" kata Gempa berusaha menenangkan emosi adiknya.
"Hali, rilekskan tanganmu itu. Aku tahu itu merupakan bagian reflekmu tapi kamu serius akan memukul adik kita?"
Halilintar kemudian sadar bahwa tangannya telah terkepal erat hingga tercetak bekas kuku di telapak tangannya. Dia melakukan itu bukan untuk menyerang balik melainkan menyiapkan dirinya menjadi samsak tinju Blaze.
"Argh! Aku gak tahu buat apa mulutmu itu terpasang? Kalau saja kau cerita tentang masalah ini dari awal hal seperti ini tidak akan terjadi. Kau pikir kami ada untuk apa hah?"
Blaze mengalihkan emosinya pada teriakan karena tubuh yang ditahan oleh kedua saudaranya. Dia mengeluarkan frustasinya yang tertahan itu dengan tatapan langsung menuju mata sang Kakak.
"Apa segitunya kami tidak bisa diandalkan hah?"
Blaze terus mengeluarkan pikiran yang terus berputar di kepalanya selagi tubuhnya terus ditahan oleh Gempa dan Ice sedangkan Halilintar menerima kalimat yang terus keluar di mulut adiknya tersebut. Taufan yang secara tidak langsung menjadi tameng Halilintar merasa dirinya ikut terkena rasa frustasi Blaze.
"Hali sialan, aku tahu kamu membiarkan dia mengeluarkan unek-uneknya tapi sampai kapan aku jadi perisaimu ini hah?" Taufan membatin menahan tangis.
"B-Blaze tenang ya... Tenang..."
Gempa berusaha menenangkan adiknya itu yang terus memberontak untuk melepaskan diri. Tenaga yang keluar dari Blaze bertambah seiring nada suaranya meningkat. Gempa bisa melihat Ice mulai kewalahan dengan tenaga Blaze yang memang tidak sebanding dari awal.
"Argh! Sialan! Kenapa kalian dari tadi menahanku terus? Biarkan aku memukul kepala orang itu sampai pikirannya sadar. Sampai kapan dia mau berpikir kalau dia sendirian? Lepaskan aku!"
Emosi Blaze kini beralih pada dua saudaranya yang dari tadi menahan tubuhnya. Setiap kali dia mengeluarkan tenaga lebih, kedua saudaranya itu khususnya Gempa akan lebih keras menahan dirinya. Mengeluarkan suaranya keras-keras menjadi upaya terakhir untuk menunjukkan rasa frustasinya pada Halilintar yang terhalang oleh tubuh Taufan.
"Karena itu kami menahanmu. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah Kak Blaze," suara tenang milik Ice tidak membuat emosi Blaze mereda. Pikirannya saat ini dipenuhi urgensi untuk menghajar kakak sulungnya itu.
"Apa yang dikatakan Ice itu benar, Blaze. Hali pasti punya alasan kenapa dia tidak membicarakan masalah ini pada kita," Taufan akhirnya ikut menenangkan Blaze. Dirinya kasihan melihat dua adiknya itu menahan sekuat tenaga amukan milik Blaze.
"Memangnya Kak Taufan tahan terus dipihak tidak tahu apa-apa? Aku muak berada di situasi di mana aku tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah!"
Ya makanya aku menununggu kakak kita satu itu. Mana mungkin kita bisa mengubah keputusannya yang tidak bisa diganggu gugat.
Taufan hanya bisa membatin kalimat tersebut. Dia tidak mau menambah masalah bagi Gempa dan Ice yang kesusahan menahan Blaze.
Mata sapphire Taufan menatap mata merah gelap Halilintar, melayangkan kode minta tolong yang tentu saja diabaikan.
Beberapa detik kemudian penuh dengan sunyi. Napas Blaze naik turun karena amarah yang masih belum terlepas sepenuhnya. Halilintar kemudian mengamati adiknya satu per satu.
"Sudah?"
"Apa—!"
Lelah di tubuh Taufan hampir memuncak ketika amarah Blaze kembali terbakar.
Berbakat sekali kamu buat orang marah, Hali.
Tanpa memedulikan situasi yang tidak kunjung mereda, Halilintar bangkit dari duduknya. Empat adiknya terdiam menunggu kalimat apa lagi yang akan dikeluarkan kakaknya itu.
"Cukup kalian urus masalah yang ada di sekolah itu dan jangan terlibat apapun pada kasus 10 tahun lalu."
Gempa yang tidak terima dengan ucapan Halilintar melepaskan tangannya yang menahan Blaze. Kasus 10 tahun lalu itu merupakan masalah mereka, lebih tepatnya Halilintar dan Gempa bukan milik si Sulung saja.
"Tunggu Kak—!"
"Kasusnya sudah selesai."
Protesan Gempa terpotong dengan kalimat Halilintar. Empat BoBoiBoy itu terkejut, setahu mereka kasus itu masih belum selesai. Jika apa yang dikatakan oleh Halilintar benar maka dua orang yang mereka duga sebagai pelaku bukanlah pedagang susu kambing tersebut.
Melihat keempat adiknya tidak lagi berdebat ataupun berdiskusi, Halilintar berjalan sambil mengeluarkan handphonenya. Dia langsung menekan tombol panggil setelah membuka kontak nomor.
Kasus yang terus mengganggu kehidupan dia dan keluarganya akan selesai malam ini.
Awan menurunkan titik-titik air yang semakin lama semakin deras membuat orang yang beraktivitas pada malam itu panik mencari tempat berteduh.
Ketukan pintu terdengar di suatu kos kecil yang tidak bersih maupun kotor. Dua orang petugas polisi menunggu di depan pintu kamar kos tersebut yang tidak lama kemudian terbuka.
Pria bertubuh pendek dengan mata merah dan berambut coklat keluar dari kamar tersebut. Dirinya berusaha untuk tidak terkejut ketika melihat kedua polisi di depan kamar kosnya.
"Ada apa ya?"
Dia tidak bermaksud untuk tidak sopan tetapi memang cara bicaranya yang kasar sedari dulu.
"Apa benar ini tempat saudara Adu Du dan Probe?"
Suara polisi terdengar tegas kontras dengan petir yang secara konstan menurunkan cahaya panasnya.
"Itu benar. Ada urusan apa ya Pak?"
Kembali Adu Du mengajukan pertanyaannya. Entah kenapa firasat buruk perlahan memenuhi hatinya.
Salah satu polisi itu mengeluarkan sebuah surat berisi perintah penangkapan. Adu Du kemudian dapat menebak alasan kedua polisi tersebut datang ke kosnya.
"Kami mendapat laporan bahwa ada kemungkinan Anda berdua menjadi tersangka kasus pembunuhan 10 tahun lalu. Karena it—"
"Ok. Aku tahu, jadi kami harus ikut kalian kan?"
Sedikit terganggu dengan kalimat yang dipotong, kedua polisi itu menganggukkan kepala. Mereka memperkirakan adanya penolakan dari dua atau salah satu tersangka tapi hal itu tidak terjadi.
"Kalau begitu bisa tunggu sebentar? Aku harus mematikan kompor dan membangunkan rekanku dulu. Apa bisa?"
Kedua polisi itu saling bertatapan. Selain mereka berdua, ada rekan mereka yang lain berjaga di sekitar kos bila ada kemungkinan dua tersangka ini melarikan diri.
"Baiklah. Kami akan memberikan waktu lima menit dan akan langsung menerobos masuk jika lebih dari itu."
Adu Du tersenyum, "Terima kasih."
Sayangnya sepintar apapun predator menyiapkan berbagai strategi, mangsa memiliki banyak cara untuk meloloskan diri.
Kedua polisi itu kehilangan tersangka pelaku kasus pembunuhan 10 tahun lalu dan entah bagaimana Halilintar kini berhadapan dengan mereka yang mengacungkan pistol padanya.
[To Be Continued]
