: : :
Sebetulnya cintaku tidak ditolak. Secara teknis? Ya. Semua orang tau Hinata jatuh hati kepada Sasuke yang berdampak pada mental anak cowok sekolah.
Semua dilanda kegalauan masal.
Hitungannya aku belum juga mengutarakan perasaan padanya. Sama halnya yang lain, aku sebatas mengaggumi Hinata dari jauh.
Aku bahkan merutuki momen lawak malam itu. Sampai sekarang aku belum berani menegur Hinata, kebalikannya malah dia yang menghampiriku.
Entahlah, gadis Hyuuga itu tampak terlalu normal setelah apa yang terjadi padanya.
Sebuah berita hangat muncul di tengah-tengah anak sekolah.
Hinata ditolak Sasuke.
Itu menyebabkan kegeraman para siswa yang memuja sulung Hyuuga.
Gosip yang berhembus banyak dari mereka mau melabrak Sasuke. Sayangnya kabar burung itu duluan tercium oleh para guru. Sebelum para 'Pejuang Hinata' mengesekusi target, mereka keburu dikuliahi tentang tata krama dan potensi Sasuke Uchiha.
Penolakan Sasuke ternyata menimbulkan simpati anak cewek kepada Hinata. Mungkin gadis itu jadi tolak ukur kriteria pacar atau bagaimana cara menaklukan si prince charming sekolah.
Dan bagaimana soal diriku? Apakah aku senang karena ada kesempatan yang masih terbuka lebar?
Jawabannya tidak.
Tentu saja. Se penglihatanku Hinata dan Sasuke saling ada rasa. Bahkan aku kira setelah Hinata menembak Sasuke, mereka berdua langsung mengisi bursa pasangan SMA Konoha.
Asumsi ku terpatahkan. Jadi, sikap Sasuke yang selalu memperhatikan Hinata bisa dikatakan sebagai apa ya?
Ya, apapun itu Sasuke dan serikat patah hati adalah berita lokal yang receh. Jadi tak berefek apa pun padanya.
Popularitasnya pun tidak luntur. Ketika hari kelulusan Sasuke banyak cewek random yang memberi hadiah.
Atas nama pertemanan pula aku, Ino dan Sai memberikan ucapan selamat padanya. Yah, bagaimana pun perselisihan yang terjadi, kita pernah 'tumbuh' bersama di Desa Konoha.
Masih tergiang kenangan menyebalkan Ino yang main inisiatif untuk merampas beberapa makanan di minimarket ku. Semua dengan dalih untuk perpisahan Sasuke.
Kami menggelar piknik kecil-kecilan di pondok depan minimarket.
Bintang kita keliatan sulit untuk membuka sebotol Ramune. Ino dan Sai cekikikan menyaksikan kedunguan si bungsu itu.
"Sasuke, kalau kau menikah kelak istrimu akan memecat dirinya sendiri," Sasuke dengan lugunya mendengar ocehan ku.
"Faktanya banyak gadis yang ingin merawat Sasuke, salah satunya Hinata," mataku menyipit ke arah Ino setelah membuka Ramune buat Sasuke.
Apa-apaan Ino? Kenapa harus menyebut Hinata?
"Eh, itu Hinata-chan bukan?"
"A-ah iya. Tapi kenapa dia begitu?"
Aku mengikuti ekor mata Ino. Secara kebetulan memperlihatkan seorang gadis di ujung sana, jalannya tertatih. Walaupun samar, aku bisa menebak Hinata akan melewati kami.
"Ah, Hinata kau habis dari mana?" tanya Ino dengan mata tertuju ke lengan Hinata yang digips.
Hinata yang menjadi pusat perhatian kami, menjawab berbagai pertanyaan mengenai keadaannya dengan meringis diselingi senyuman kecut. Kurang hati-hati saat latihan, katanya.
Manik matanya kemilauan tapi pancarannya kesakitan dan penuh kecanggungan. Seolah ingin cepat angkat kaki dari hadapan kami atau orang yang ada di sebelahku?
Mungkin karena sesama cewek, Ino tanggap kalau Hinata enggan berlama-lama memutuskan mengantarkannya ke rumah sehabis memelototi kami. Aku, Sai dan Sasuke disumpahi keselek Yakisoba. Kami dicap tidak peka.
Selepas Ino pergi bersama gadis itu hatiku ikut tercubit. Seharusnya aku kan yang di samping Hinata, seharusnya aku yang pasang badan dan membantunya? Mengapa aku cupu banget?
Atau jangan-jangan karena...
Sedari tadi mata hitam Sasuke dipasang mengawasi Hinata yang menjauh. Seratus persen dia pasti merasakan hal yang sama denganku.
Gelagatnya tetap kalem walau sudah kegep olehku. Atau hanya aku yang di sini merasa tak adil dan ngedumel sepanjang waktu.
Dia terduga menyukai dan menolak Hinata memberikan cara pandang yang berbeda kepada gadis itu. Kenapa aku tahu? Aku laki-laki, bro.
Cuman dia seorang hipokrit yang mesti kusangsikan sikapnya kalau menyangkut Hinata. Sasuke dan perasaannya yang misterius bakal masuk top 10 unsolved case.
"... Aku juga pernah cedera, tapi tak berlangsung lama. Tak usah khawatir dia akan sembuh secepatnya," lanjut Sasuke entah ditujukkan ke siapa.
Namun, apakah aku boleh menduga jika Sasuke menyembunyikan sesuatu tentang Hinata? Aku tidak tahu. Sasuke terlalu dangkal untuk ditebak.
: : :
Waktu berlangsung dengat cepat, rasanya tidak sempat untuk mengingat hal penting di kelas 3. Tau-tau kami dihadapi dengan persiapan ujian masuk universitas.
Sebentar lagi aku harus berpamitan pada pengalaman masa muda yang tidak seberapa. Beda dengan remaja lainnya, aku hanya membunuh waktu bersama awan yang berarak di atas kepalaku.
Sebagai contoh, Ino dan Sai merupakan sebuah kedengkian kecil yang perlahan mengubahku. Mereka berdua rupanya berpacaran diam-diam saat naik kelas 3. Alasannya untuk menjaga pertemanan.
Tanpa sepengetahuanku dua sejoli itu menjalin cinta dan aku sekadar 'nyamuk' di antara mereka berdua.
Aku tidak butuh dikasihani. Kenyataannya aku hanyalah cowok mengenaskan yang terjebak cinta tak terbalaskan.
Persahabatanku ikut merenggang. Semua diperparah karena aku bertengkar hebat dengan Ino, pasca dia mencoba mengenalkanku ke beberapa kouhai yang 'katanya' naksir denganku.
Kejadian yang 'menamparku' itu berlangsung saat pulang sekolah.
Ino terlihat jengkel dengan ketidakacuhanku. Meski begitu Sai selaku kekasihnya tak berkontribusi apapun.
Ino meledakkan kerisauannya di area persawahan. Suara kawanan gagak berlomba dengan lantangnya cewek itu.
"Aku tau apa yang terbaik buatmu! Menyelamatkanmu dari kegundahan mungkin salah satu yang aku bisa"
Kepalan tanganku mengeras. Ino datang dengan perkataannya yang tidak masuk akal.
"Percayalah kau akan dapat cewek yang seribu kali lebih baik darinya. Jadi, tolong move on-nya dipercepat," pungkas Ino sembari melajukan sepedanya.
"Kau benar Ino"
Cukup sudah. Dasar si paling tahu!
Ino turun dari sepedanya dan berjalan ke arahku.
"Kau benar tentang semuanya. Aku memang payah dan aku tidak akan menampiknya," ucapku balas menatapnya.
Sai yang menangkap sebuah kode 'perpecahan' mencoba mendekati pacarnya. Ino menepis tangan Sai dan sebagai gantinya dia menarik kerah seragamku.
"Tak kusangka Shikamaru yang kukenal jadi lembek seperti ini. Kau tidak lebih dari banci yang mengemis cinta tau enggak!"
"Ino!," seru Sai.
Aku beneran jengah dengan kelakuan cewek ini. Dia berlagak sok pahlawan seolah semua dalam kendalinya.
Dan apa-apaan dengan kencan buta yang ditawarkannya. Sama sekali tidak efektif, justru itu sangat menyusahkanku.
Apa dia tidak peka dengan sikapnya yang seenak jidat itu!?
"Makilah aku sepuasmu seolah kau tau segalanya tentangku"
PLAK!
"I-ino-chan, kau sudah keterla..."
"Diam! Jangan ikut campur..."
Ada bau anyir tercium. Bibirku terasa nyeri. Pipiku mati rasa.
"Aku memang tidak tahu apapun tentangmu dan perasaanmu pada Hinata. Bukan sebuah kebanggaan bagiku untuk membantu orang yang belum pernah pacaran sepertimu. Tapi sebagai teman akan kupastikan kau akan tersenyum lagi. Sedangkan untuk sekarang..."
Ino mengusap kasar air matanya sebelum melenggang pergi.
"...jangan bicara padaku!"
: : :
H-2 bulan dan aku masih langganan dipanggil oleh wali kelas. Beliau menanyakan hal yang sama mengenai kelanjutan studiku.
Dari kami bertiga tinggal aku yang tak punya ide akan jadi apa setelah lulus nanti. Secara ranking, aku adalah peringkat bertahan. Nomor satu di kelas. Anehnya, aku merasa itu tidak berarti.
Ino; karena faktor ekonomi, dia mengurungkan niat untuk kuliah akting. Padahal ia terobsesi untuk jadi artis, paling tidak muncul di tv sekali seumur hidup.
Sementara Sai; cucu semata wayang Danzo-sama, terkekang dan terpaksa untuk mengambil jurusan bisnis. Padahal dia sangat berjiwa seni, bakatnya hanya jadi harta terpendam saja.
Oh, iya Sasuke. Kudengar selain kuliah, dia sedang berlatih untuk kejuaran nasional, dan tengah menandatangani kontrak dengan salah satu klub bisbol tersohor.
Jadi sisa aku saja ya. Otak jeniusku memang tidak bisa dipakai untuk memikirkan yang tak pasti layaknya masa depan.
Setidaknya aku masih membantu untuk menjalankan minimarket.
"A-ah! Hinata?"
Lho, aku enggak liat Hinata masuk ke minimarket, tapi dia sudah di depan dengan beberapa snack dan err... Pembalut.
"Shikamaru-kun, terlalu serius menghitung permen tadi. J-jadi aku tidak mau ganggu"
"A-aku s-sudah selesai kok," ya, sialan. Aku tertular gagapnya.
Anjrit.
Sekian lama tidak sedekat ini dengannya, kecantikan Hinata makin menjadi saja. Bulu matanya menggantung cantik, pipinya merona bak kesemek ranum, bibirnya berkilau dan terlihat kenyal.
Aku...
"Eto... Shikamaru-kun? "
Usaha bagus Hinata, kau menolong dari pikiran najis ku.
"Apa kamu sudah memutuskan akan kuliah dimana?"
"Rencananya aku mau meneruskan usaha keluarga. Namun, Pak Tua itu bersi keras menyuruhku kuliah"
Korelasinya dimana, goblok? Kenapa jadi sesi curhat begini!?
"Soudesuka... "
"Bagaimana denganmu? "
"Soal itu... Aku masih bingung. Tou-san menyerahkan keputusannya padaku dan itu makin..."
Terakhir kapan ya aku bisa sesantai ini berinteraksi dengan Hinata.
"Tenang saja, tak perlu buru-buru. Aku yakin kau bisa mengatasinya," balas ku memberinya motivasi.
Itulah penutup kisah asmaraku yang sedatar jalan tol. Baik aku dan Hinata memiliki ending yang agak membingungkan pada perasaan kami.
Khusus untuk diriku, barangkali Hinata terlalu mustahil untuk digapai. Aku yakin perlahan perasaan ini tidak sia-sia dan akan berujung pada waktu juga orang yang tepat.
Semoga saja.
: : :
Apa-apaan ini!? Bahkan untuk sibuk di dunia perkuliahan dan pergaulan di Tokyo, tidak ada yang bisa menghapus jejak kasmaranku padanya. Si Bidadari sekolah yang mendapat kancing anak cowok paling banyak.
Hinata Hyuuga yang menjelma jadi anak kuliahan perkotaan yang hits dan menawan. Dari ujung kepala hingga kaki terlihat kalau ialah mahasiswi idaman semua angkatan.
Berbanding terbalik dengan kami. Aku, Ino dan Sai adalah orang desa tulen bagaimana pun gaya kota memoles kami.
Dalam reuni kecil yang diadakan di halaman rumah Ino, kami pun bertukar cerita seputar kehidupan baru yang dijalani.
Bukannya mau sombong ya, tapi akhirnya aku bisa membayar mulut Ino yang mengutukku menjomblo sampai mati. Sepanjang masa kuliahku, kurang lebih aku sudah berkencan dengan 3 cewek yang meski dirata-rata tidak akan pernah menyamai keindahan Hinata Hyuuga barang bayangannya saja.
Tapi memang nasib jelek terus mengarah padaku. Sejumawanya diriku tidak lengkap kalau Ino tidak tahu soal kandasnya hubunganku seminggu yang lalu.
Karena pertengkaran kami sudah usai; di antara aku dan Ino. Dia pun beralih jadi penasihat asmaraku dan menawarkan diri jadi mak comblang.
Entahlah, apakah bisa disebut kesempatan dalam kesempitan Ino terus mencuci otakku dengan jurus jitu memenangkan hati Hinata. Bahkan dia berani jamin kalau akan berhasil.
Masalahnya, apa Hinata memiliki perasaan padaku juga?
Ya, bagaimana dia tidak gregetan. Aku yang sudah naksir Hinata mulai zaman sekolah sampai sekarang belum juga ada kemajuan. Hanya diam gigit jari, melihat banyak cowok yang silih berganti mencoba mengambil hati Hinata.
Tapi Hinata itu katanya belum pernah pacaran. Astaga, aku melupakan bagian terpenting di sekolahku. Itulah mengapa banyak anak cowok yang makin penasaran padanya.
Apa saat ini dia juga belum berhubungan dengan seorang laki-laki sekali pun? Atau memang orientasi seksualnya agak melenceng?
Sementara ada pendukung di pihak ku, apakah sudah saatnya aku memulai dan menuntaskan apa yang tertunda di sekolah dulu?
Bekal ku lumayan banyak dalam percintaan. Untuk seluk beluk mendekati cewek aku bukan jagonya, tapi aku yang tertangguh dari semua cowok.
"Hinata, kalungmu cantik banget! Beli dimana?"
"Ah, ini aku tidak membelinya. Itu..."
"E-eh, Sasuke? Beneran? Kapan...?"
Ino terlihat kelepasan dan melirik ku sesal.
Ya, ya aku mengerti. Sebulan lalu adalah hari jadi Hinata yang ke 20 dan aku hanya bisa berikan gantungan HP yang tak bernilai.
Kenapa jadi dongkol begini? Niatnya sih aku mau membantu Hinata untuk merapikan peralatan makan tapi keburu kesal.
"Shikamaru, jangan begitu. Manfaatkan momennya dengan baik. Sebetulnya aku juga salah sih sudah menanyakan soal kalungnya. Coba hibur saja Hinata, kau tau kan dia kenapa?, " Ino membujuk ku dengan alasan yang masih bisa kuterima.
Ah, tentang itu ya...? Apa benar tidak apa-apa nih? Bukannya sama saja curi start?
"Shika-kun, kebanyakan mikir jadi telat mulu deh. Ayo, kita bantu Hinata"
Sai bukan seorang yang dapat diandalkan. Tapi terkadang ceplas-ceplosnya membangkitkan adrenalin ku.
: : :
Sebuah kejadian di penghujung musim gugur menguji sampai dimana batas kesungguhan ku.
Mulanya para orang tua pergi ke onsen terdekat. Ayah Sasuke yang tajir memboyong orang tua kami untuk merilekskan tubuh. Sai juga ikut dalam rombongannya. Tentu dia tidak bisa meninggalkan kakeknya yang renta dan serba repot.
Sisanya cuman aku dan Ino yang sedang menuju rumah Hinata. Katanya dia demam parah, adiknya Hanabi juga terserang alergi dan tidak boleh berada di luar ruangan. Ayahnya sepertinya ikut arus ajakan Fugaku.
Bukan tanpa alasan tentunya bapaknya Sasuke merayakan segala sesuatu kalau bukan untuk pamer.
"Eh! Kenapa Hanabi di luar?"
Ino dan aku melesat menuju gadis kecil itu. Nafasnya tersengal-sengal dan panik.
"Anee-san, tidak ada di rumah! Aku sudah mencarinya keliling tapi aku tidak m-menemukannya!"
Astaga, mau bertingkah apa lagi Hinata. Karena terlanjur kalut aku tidak mengindahkan seruan Ino dan berlari mencari Hinata.
Awas saja kalau sampai ketemu, biar ku ceramahi hingga tobat.
Ah, padahal keadaannya begitu buruk kenapa sampai kepikiran untuk menambah kesengsaraan lagi?
"Oi Hinata! Apa yang kau lakukan di situ!?"
Bunyi kecipak air menyertainya di dalam sungai. Hinata basah kuyup di sana dan nampak naas. Wajahnya banjir air mata menyorot ke irisku yang menerka apa yang tengah dilakukannya.
Tanpa pikir panjang aku menceburkan diri, dan menggiring nya ke tepian sungai. Walaupun dangkal dan arusnya tak deras tapi 10 derajat tetaplah 10 derajat!
"Bagaimana caranya kau berakhir di sini!? Adikmu sampai pontang-panting mencarimu!"
"M-maaf" telingaku masih tajam untuk menangkap cicitannya.
Setelah apa yang kuketahui selama ini bagaimana bisa aku masih membantu Hinata. Aku mengganti perannya dalam pencarian benda laknat itu.
"Ah, kalungnya ketemu! Hin..."
Berusaha menggapai tubuhnya yang menggigil kaku. Kepalanya yang lembab ku tarik ke dadaku. Jemari pucat nya mulai mencari kehangatan di balik pelukanku. Hinata setengah sadar rupanya.
"Astaga! Hei, bangunlah. Kalungmu sudah kudapatkan. Sekarang, ayo pulang!, " ucapku setenang mungkin ketika aku sendiri tahu betapa bahayanya nyawa seseorang sekarang.
Aku membopongnya di punggungku. Kami tak ubahnya kucing yang kecebur got. Basah, lusuh dan mengenaskan.
Nafasnya berubah gencar semakin aku melaju cepat. Berulang kali kupanggil namanya agar tetap terjaga sementara dadaku terasa terbakar, pandanganku mulai berkunang.
Memang sial betul hari ini.
"A-aku tidak berhasil. M-meskipun kalungnya dibuang, tapi sesaknya masih ada..."
Sumber kesialanku nyata dalam wujud kalung dengan mutiara violet di saku celanaku. Gara-gara benda sekecil itu, aku harus rela menanggalkan masa bodohku. Gara-gara kalung menyebalkan ini, aku makin tidak ada apa-apa nya. Aku kalah dengan sesuatu pemberian Sasuke.
Aku mengenyahkan resiko sakit demi harapan yang sudah kugantung bertahun lamanya.
Jika bukan rentetan drama itu, aku akan bersedia mengawal Hinata sampai ke pelaminan. Sampai memastikan kalau dirinya sudah menemukan kebahagiaan.
Cikal bakalnya berawal dari pertandingan baseball tahun lalu. Aku, Sai dan Ino mendapati kalau Sasuke sudah memiliki gandengan yaitu anak pelatihnya. Kami pikir itu cuman settingan agar rating Sasuke masih tinggi dibanding atlet baseball lainnya.
Yah, tahu-tahunya keluarga Uchiha menyambut hubungan muda-mudi itu dengan serius. Kabar berhembus pula kalau Sasuke dan Sakura Haruno resmi bertunangan. Aku tidak habis pikir jika Hinata begitu terpukul.
Sekilas info dari Ino; Hinata dan Sasuke tidak terlibat hubungan istimewa selama ini. Jadi Hinata sebuah cinta bertepuk sebelah tangan paling menyedihkan abad ini.
Totalitas nya bahkan menyaingi diriku. Kesetiannya pada satu hati membuat siapapun beruntung dicintai Hinata. Cowok itu kelak akan sujud pada Tuhan yang Maha Esa.
Tapi, apa mungkin cuman sebatas teman? Mengapa kalungnya berarti banget? Apa karena Sasuke yang memberikannya? Atau ada simbol lainnya?
Otakku penuh konspirasi hati. Sampai tak sadar sudah di depan rumah Hinata. Adiknya menyambut dengan kelegaan, aku tak mampu menjelaskan detail apa yang menimpa kami. Kalau boleh jujur itu hanya amukan gadis yang patah hati dan kekanakan.
"Aku ambilkan handuk! Shikamaru-nii, tunggu sebentar!"
Badanku sudah terhuyung-huyung di ambang pintu kamarnya. Hinata kamu memang sesuatu banget. Aku sampai melupakan keselamatan diriku sendiri.
Ah, sebaiknya aku pergi. Aku tak mau Hanabi menerima satu pasien lagi.
"Shikamaru-kun, tunggu! A-ano..."
Semua yang terjadi terputar otomatis di kepalaku. Ada titik kemarahan yang masih bisa kutahan. Apa-apaan?
Hinata menyesal membuang kalungnya dan aku dengan begonya menolongnya.
Aku mulai gila karenanya.
"A-ano..."
"Jika aku jadi kau, aku tak akan bicara apapun, Hinata"
Hanya ada kesunyian di antara kami. Sebelum aku melanjutkan perkataanku, untuk sekali saja aku mau melihat dia yang benar-benar memerhatikan ku.
"... Jangan tanya kenapa. Aku tak akan melakukannya sampai tahap ini, jika bukan..."
Mencintaimu
"...lupakan saja," aku mengelak tangannya yang tadi mengalungi lenganku.
Pengecut adalah nama tengahku sekarang. Aku melampiaskan kegundahan tak berarti padanya. Tak pernah menjelaskan perasaanku sesungguhnya.
Aku tidak bisa meraba apa yang dirasakannya saat bersamaku. Apa jantungnya berdebar kencang? Atau sama nyamannya dengan lainnya? Hinata bukan buku bergambar yang selama ini kubayangkan. Perasaannya berlapis-lapis dan tak mudah diurai begitu saja.
Dan kalung ini, mungkin lebih berjiwa dibandingkan si pemberi nya.
"K-kembalikan saja"
Suara Hinata bagai angin riuh di telingaku, mengalahkan dinginnya musim gugur ini.
Aku rasa hatinya tengah terluka dan seharusnya aku tidak pantas menorehkan nya lagi.
"Maaf atas perkataanku tadi, Hinata..."
: : :
False Memories
- Bersambung -
: : :
