disclaimer: Ini hanya fiksi penggemar. Serial One Piece sepenuhnya milik Eiichiro Oda. Judul diambil dari lagu You've Been A Long Time Coming karya Marvin Gaye.
note1: salahkan mbah Tanaka Mayumi (VA Luffy) dan komentarnya soal Vivi yang sukses membuka mataku soal potensi duo ini. Btw, menulis sudut pandangnya Luffy itu SUSAH BANGET. Semoga karakterisasinya (dan karakterisasi Vivi!) masih berterima dengan pembaca sekalian. Selamat membaca!
.
.
.
i.
"—dan urusan seperti apa yang membawa sang Raja Bajak Laut ke perairan kami?"
Sekuat apapun kau berusaha mengeraskan ekspresi, bibirmu yang pembangkang tetap tersenyum ketika kau terpaksa menyebut gelarnya; sekilas kembali diterpa euforia atas penobatannya sebagai raja kelima samudra sewarsa yang lalu. Namun lengahmu hanya berlangsung sesaat. Begitu teringat khalayak pelabuhan Tamarisk di sekeliling kalian, mulutmu kembali menutup rapat. Menyembunyikan banggamu.
Di seberang dek, beberapa meter dari tempatmu berdiri, adalah sang raja ketujuh samudra yang dimaksud—kini malah menyeringai lebar setelah melihat retak di topeng formalmu. Ah, sandiwara Tidak Pernah Berurusan dengan Perompakan-mu dianggapnya lucu ternyata.
Untuk sesaat kau bertanya-tanya bagaimana ia masih bisa menemukan humor di tengah situasi seperti ini—dengan ratusan mata ketakutan rakyatmu yang terpatri pada punggung kalian dan barisan kapal angkatan laut yang bertempat melingkari Thousand Sunny, menunggu isyarat pertama untuk menyerang—namun hei, kau segera tersadar. Tak ada gunanya menyayangkan terbuangnya skenario damai ketika sedang berurusan dengan grup Topi Jerami. Kekacauan adalah bagian dari keseharian mereka. Rengkuhlah realitas ini.
Dan jika ada ironi yang kurang menyenangkan di dalam situasi kalian saat ini—bagaimana kau kini bisa bebas menaiki kapal mereka namun tetap saja tak bisa menyebut diri sebagai seorang nakama—kau memutuskan untuk tak memusingkannya pula.
Bagaimanapun juga, dia akhirnya di sini. Itu saja sudah lebih dari cukup.
Lamunanmu terpecah ketika dia mendadak melangkah maju, meninggalkan anggota krunya dan berhenti beberapa langkah di depanmu, menyejajarkan wajah kalian. Ada binar penuh semangat di netra hitam Luffy, pertanda yang mengkhawatirkan bagi siapapun yang pernah mengenalnya, tapi kau memutuskan untuk mengikuti alur yang telah ia pasang. Lagipula, mempercayai Luffy tidak pernah merugikanmu.
Kau mengangkat dagu dengan tenang—mengabaikan jerit ngeri kerumunan pelabuhan yang berpikir pemimpin mereka kini dalam bahaya—dan bertemu tatap dengannya.
"Tuan Monkey D. Luffy?" tanyamu sopan. Ada kedut geli di sudut mulutnya begitu kau menyebut nama lengkapnya, dan—oh, baiklah, mungkin seluruh sandiwara kaku ini memang sedikit lucu. "Tolong jawab pertanyaan saya, setidaknya untuk mengobati kekhawatiran orang-orang baik di kota ini. Urusan apa yang membuat Anda datang jauh-jauh ke sini?"
"Aku ke sini karena urusan yang sangat penting," ucapnya lantang, dan kau segera mempersiapkan diri untuk jawaban-jawaban khas Luffy: makan hidangan padang pasir, disuruh menagih piutang seratus juta Belli milik Nami, menyetok kembali persediaan daging yang semalam kuhabiskan sendiri—
"—bertemu temanku."
Sorak mengiyakan sontak terdengar dari anggota kru di belakang Luffy. Kau melempar tatap ke balik bahu sang kapten, terkejut. Yang menyapamu adalah wajah-wajah tak asing yang kini sedang berseri-seri memandangmu. Lihat, meski sudah lama sekali tak berjumpa, gelagat akrab itu masih sama: kedip jail Nami dan acungan jempol Usopp, mata berkelap-kelip Chopper dan seringai lebar Sanji. Air muka para anggota yang bergabung setelahmu juga ikut berdelan ramah; sepenuhnya mendukung ucapan kapten mereka.
Ingatan lama seketika menyergapmu, membuatmu sadar apa yang sedang Luffy berusaha katakan.
("—Jika suatu hari nanti kita berjumpa lagi, apakah kalian akan tetap menerimaku sebagai seorang teman?")
Tak ada lagi deklarasi sunyi di balik pergelangan tangan berbalut tanda silang. Luffy kini telah kembali, datang membawakan hadiah terbaik yang bisa ia berikan di depan ribuan mata yang tak boleh tahu rahasia kalian. Sebuah konfirmasi yang membuat matamu tiba-tiba terasa lembab.
Menggigit bibir menahan perasaan yang meluap-luap, kau lalu memiringkan kepala sejenak, berpura-pura mempertimbangkan.
"Ah, tentu akan lain urusannya apabila maksud kedatangan kalian adalah merompak, tapi melihat Anda ternyata ke sini untuk perkara pribadi—" kau melangkah mundur dan melayangkan satu tangan ke arah pelabuhan Tamarisk yang menjulang di luar kapal, lagi-lagi mengabaikan seruan rakyatmu yang segera memprotes mustahil para cecunguk laut ini hanya datang untuk seorang teman. "Yah, kalau begitu—siapa saya untuk menghalangi Anda?"
Riuh tak terima penduduk setempat dan gelagap tercengang komando angkatan laut sama sekali tak kau pusingkan, sebab ada suara lain di atasnya yang jauh lebih menyenangkan: gelak tawa Luffy yang luar biasa puas karena permintaannya untuk menurunkan jangkar baru saja kau kabulkan.
Tanpa bisa lagi ditahan, mulutmu kembali mengembang membentuk senyuman. Kali ini utuh dan berseri-seri.
"Selamat datang di Alabasta."
.
.
.
ii.
Kudapan kesukaan Vivi adalah sejenis kue pastry yang hanya dibuat oleh penjaja makanan tradisional di pinggiran Alubarna—semacam manisan yang apabila ketahuan ia makan akan mengganjarnya teguran keras dari pihak istana, terutama Terracotta. Rupanya sendiri cukup sederhana: berukuran sekepal tinju, berlapis potongan kacang asin dan kurma, serta diguyur oleh campuran madu dan sirup delima yang saking pekatnya—dan ini yang kadang membuat Terracotta menggila—akan membuat jemarimu segera mengeras dan menyatu oleh gula.
Terlalu banyak manis untuk diet seorang putri raja, begitu kata orang-orang padanya. Mungkin faktor larangan itu juga yang membuatnya semakin gemar—semacam penambah kepuasan yang hanya datang setelah mengambil sesuatu yang orang lain bilang terlarang.
Semua ini Vivi ceritakan kepadamu lewat bisikan yang entah bagaimana tetap terdengar di tengah bising pasar ibukota, tudung yang ia kenakan untuk melebur dengan kerumunan sekitar gagal menyembunyikan binar di mata coklatnya setelah ia selesai berbagi rahasia.
Kau manggut-manggut serius, menggantungkan perhatianmu pada setiap ucapannya. Kelompok kalian telah membubarkan diri beberapa saat lalu, teralihkan oleh preferensi jajanan dan keperluan masing-masing—bahkan Carue pun ikut meninggalkan puannya, sukses dibujuk Usopp dan Franky untuk menemani mereka melihat-lihat perkakas buatan lokal—sehingga adalah tanggung jawabmu seorang untuk menjadi pendengar yang baik bagi kisahnya. Meskipun begitu, senyuman yang memancar dari wajah Vivi begitu melihat bibi penjual yang ia ceritakan juga membuatmu percaya bahwa kaulah yang paling beruntung di antara krumu hari ini. Traktiran dari sang tuan rumah pastilah yang terbaik.
"Kau tidak bisa pesan daging tambahan di dalamnya?" cebikmu kecewa, menjulurkan kepalamu dari balik pundak Vivi untuk menonton bagaimana pesanan kalian kini sedang dibungkus.
Si bibi penjual melotot tak percaya ke arahmu, dan Vivi tertawa, "Tidak, kita tidak bisa mencampur daging ke dalamnya. Ini jenis hidangan yang kau makan setelah kau selesai memakan daging, Luf—"
Vivi buru-buru mengatup mulut sebelum ia sempat menyelesaikan namamu, meski tak ada seorang pun di sekitar kalian yang tampak peduli dengan kalimatnya yang tiba-tiba terputus. Kau menyeringai dari balik janggut palsumu yang lebat, dan sebagai gantinya Vivi melempar pandangan memperingatkan ke arahmu, garis mulutnya menandakan sesentuh malu setelah hampir membongkar penyamaran kalian.
"—J, jadi coba saja ini sebagai kudapan kecil. Rasanya enak kok, sungguh."
"Ini pesananmu, Nona—?" bibi penjaja manisan itu terdiam melongo di tengah pemberiannya, kedua alisnya melompat tinggi setelah ia berputar menghadap Vivi yang berdiri paling dekat dengan stannya. Mematung begitu melihat wajah Vivi di balik tudungnya.
Kau dengan sigap membungkuk lantang, "Terima kasih atas makanannya, 'Bi!" dan segera menyambar pergelangan tangan Vivi sekaligus bingkisan kalian. Buru-buru kabur dari pandangan sebelum si penjual sadar siapa dara yang baru saja memberinya lima ratus Belli ekstra.
Vivi dengan cepat menyamai langkahmu, berlari beriringan di sampingmu sambil sesekali menyetir kalian berdua melewati lika-liku distrik pasar yang akan memusingkanmu kalau saja kau tidak memiliki haki observasi. Dalam beberapa menit kalian pun sampai di tempat aman: sebuah gang kosong yang nyaris tersembunyi dari keramaian jalanan utama.
Letupan adrenalin akibat sesi lari barusan cukup menyegarkanmu, membuatmu kembali bersemangat dan ceria meski matahari Alubarna di atas kepala kalian telah mencapai titik terik—dan meski traktiran yang kau nanti-natikan ternyata merupakan hidangan tak berdaging. Kau menoleh ke Vivi yang sedang tersengal-sengal bersandar ke dinding berbatu di belakang kalian, dan akhirnya mengeluarkan tawa yang sedari tadi kau tahan.
"Wow, Vivi," kekehmu sembari mencabut jenggot palsumu, "Kau semakin payah dalam hal ini."
"Kemampuan menyamarku masih sama seperti dulu, kok," tukas Vivi sembari membuka tudung jubahnya, wajahnya tertekuk tak terima mendengar tawa meledekmu. Terpaksa menyamai kecepatanmu telah mengubah pipinya yang biasa pucat menjadi kemerahan, membuat kulitnya yang terbiasa dengan panas kampung halaman kini bertabur keringat. Kau memandangnya selagi ia menggelung ulang ikat kudanya—juga berantakan akibat berlari denganmu—dan sebuah senyuman perlahan merambati bibirmu, puas telah berhasil menariknya keluar dari postur aristokrasinya.
"Kebetulan saja Bina-san mengenal wajahku dengan baik—aku sudah bolak-balik mengunjungi stannya sejak aku delapan tahun."
"Kalau begitu kenapa tidak beritahu dia saja? Toh kalian ternyata berteman."
"Karena saat ini aku seharusnya sedang berada di istana, menggelar diskusi perjanjian wilayah denganmu, seperti yang sudah kita umumkan kemarin!"
"Oh, iya juga." Malas mengingat urusan remeh seperti itu, kau lalu berjongkok di samping kaki Vivi, mengintip ke dalam bungkusan yang telah kalian beli. "Jadi ini cara makannya bagaimana?"
Menghembuskan nafas, Vivi pun ikut berjongkok di sisimu, menghentikan tanganmu yang sudah mendahuluinya dalam mencomot sepotong.
"Hei!"
"Jangan asal ambil. Aku kan sudah cerita padamu, harus hati-hati memakannya," keluh Vivi. Ia kemudian menuntun tanganmu membagi kue tersebut menjadi dua, mengajarimu cara merobek lapisan pastry tanpa menjatuhkan setetes pun sirup yang melapisi permukaannya. Kau membiarkannya membimbingmu tanpa banyak bicara, setengah karena rasa penasaran dan setengah karena—
Karena tangan Vivi tidak semulus kelihatannya.
Ada tonjol kapalan tipis yang mengitari buku-buku jarinya; bekas luka-luka goresan kecil di sepanjang permukaan telapaknya. Bahkan tanpa ingatan tentang senjata pilihannya pun kau langsung paham bahwa ini adalah hasil latihan fisik. Keras dan rutin.
Sisi petarungmu seketika bangun. Mengapresiasi. Ambisi Vivi yang ingin menjadi lebih kuat sepeninggal Crocodile masih terus berjalan, ternyata.
Tanpa banyak pikir, kau pun mendekatkan tanganmu yang sedang di bawah tuntunannya. Penasaran sejauh mana jejak-jejak bertarung itu melingkari kulit tangannya—sesuatu yang, kau tahu, tidak seharusnya ada di putri raja dengan tutur halus seperti dirinya. Harusnya hanya berada di tangan-tangan seperti milikmu. Tangan yang kesehariannya menurunkan layar dan menaikkan jangkar, yang seringkali harus dihempas kasarnya lautan, yang kadang harus siap menanggung luka resiko petualangan.
Tangan bajak laut.
Sesuatu di dalam dadamu tiba-tiba bangkit. Mencaruk ingin. Mirip dengan sensasi yang perutmu rasakan setiap kali kau tersadar di dekatmu ada santapan. Memohon-mohon untuk diisi. Dan kau tidak lapar, tapi—
"Nah," ucap Vivi senang, mengangkat potongan kue yang kini terbagi rapi, menarik sentuhannya dari tanganmu. Sukses membuyarkan lamunanmu. "Sekarang baru bisa kita makan."
Matamu mengerling ke wajahnya. "Kalau begini sih aku juga bisa."
"Jangan congkak," Vivi menyenggol pundakmu main-main, "Ini manisan terlengket se-Alubarna, tahu. Butuh bertahun-tahun untuk menguasai kemampuan ini!"
"Aku tidak mengerti kau, Vivi," kau menyipitkan mata ke arah kudapan di antara ibu jari dan telunjukmu, ke sirup madu dan delimanya yang perlahan mengeras melumuri jari-jarimu. "Apa serunya bolak balik dari istana membeli ini cuma untuk latihan merobeknya dengan rapi? Ujung-ujungnya kan masuk ke dalam mulut juga."
"Manisan terlarang, Luffy-san." Vivi mengingatkan. Ada kilat berbahaya di matanya, mulai tak terima rekreasi masa kecilnya dipertanyakan. "Sekarang diam dan makan traktiranku."
Kau spontan memasukkannya ke dalam mulut.
Empuk, pekat dan lengket. Letupan rasa yang luar biasa manis segera menutupi lidahmu, diikuti setitik gurih begitu kau mulai mengunyah; memecah butiran kacang dan kurma kering dengan gerahammu. Kau bukan pemakan yang sabar—dalam beberapa detik manisan itu pun habis kau telan. Lumayan, tapi tidak selezat yang Vivi gambarkan. Dan akan lebih baik lagi bila ada daging di tengahnya—
Dan tentu saja, karena dia adalah Vivi, pikiranmu segera terbaca. Berhenti di tengah kunyahannya, si dara menoleh ke arahmu dengan ringis malu, "Ah… ternyata tidak terlalu enak untukmu, ya?"
"Eh, tidak terlalu," kau mengedikkan bahu sambil mengisap habis sirup kental yang masih menempel di jari-jarimu, memutuskan terus terang. "Tidak sehebat ceritamu." Sebuah ide melintas di kepalamu dan kau pun menambahkan, seketika bersemangat, "Hei, ayo kita berikan beberapa ke Chopper. Dia kan suka yang manis-manis seperti ini. Dan Sanji mungkin mau mencobanya juga!"
Wajah Vivi melunak begitu mendengarmu yang tidak ingin menyia-nyiakan manisan kesayangannya. "Tentu. Dan, ah, mungkin setelah dia mencobanya, kita bisa meminta Sanji-san membuatkan versinya sendiri—dengan daging di dalamnya?"
Kau mencengkram lengannya dan menariknya berdiri, kegirangan.
"Vivi," lengkingmu, "Kau JENIUS!"
Dihadapkan dengan antusiasmemu terhadap daging, Vivi pun tertawa, balas meremas tanganmu yang kini dengan semangat mengguncang-guncang pundaknya.
Dan kau tidak lapar, pikirmu selagi menatap kelopak matanya yang kini menutup karena tawa, mustahil lapar karena yang di hadapanmu sekarang bukan makanan, hanya Vivi, tapi—
(—hanya Vivi, teman lamamu. Vivi, yang segera meninggalkan istananya begitu kau berkunjung. Vivi, yang ternyata juga memahami kesenangan dalam hal-hal yang tabu seperti manisan di lidahmu. Vivi, yang bertangan bajak laut—)
Dan kau tidak lapar, ulangmu bingung. Tapi.
.
.
.
iii.
Memasuki tujuh hari Topi Jerami membuang sauh di Alabasta, kau mendapati dirimu dihadapkan dengan sesuatu yang... agak menggelisahkan.
Bukan, ini bukan soal tajuk utama Koran Ekonomi Dunia yang terbit pagi ini ("ALABASTA DITAKLUKKAN! KELUARGA NEFERTARI TUNDUK MENYERAHKAN TERITORI KE BAWAH PERLINDUNGAN RAJA BAJAK LAUT"), meski kau akui dirimu lumayan terusik oleh reportase News Coo yang lagi-lagi mendramatisasi keadaan. Bukan pula soal sebagian rakyat yang meminta audiensi untuk memprotes kesepakatan kalian, meski jujur ada rasa bersalah yang memberati dadamu ketika kau terpaksa tak ikut menemani ayahmu menemui mereka. Dan ini jelas-jelas bukan soal tumpukan surat resmi yang dalam semalam telah memenuhi meja kerjamu, meski tetap ada pening yang menusuk pelipismu begitu kau melihatnya.
Bukan, hal yang mengganggumu ini sedikit lebih… personal.
Kau menggigit bibir bawahmu, mengerutkan dahi sembari membaca ulang kertas di tanganmu untuk keempat kalinya. Sukar berkonsentrasi.
Suhu Alubarna hari ini telah mencapai titik tertinggi musim ini, mendorong semua penghuni istana—beserta para "tamu kerajaan" yang sedang singgah di bawah kubahnya—untuk berdiam di dalam ruangan, berteduh dari udara luar yang panas menyengat. Seharusnya situasi ini menguntungkan dirimu, memberimu kesempatan rehat dari menjamu kawan-kawan bajak lautmu dan melanjutkan pekerjaan yang mendadak menumpuk. Tapi sendirian di ruang kerja pribadimu, alur kerjamu justru tersendat. Dijegal pikiran yang terus berkecamuk gelisah.
Matamu sedang berusaha menyimak ulang paragraf terakhir surat Raja Dalton ("—sehingga di samping pertanyaan-pertanyaan yang saya harap dapat Anda jawab dalam balasan Anda nanti, ketahuilah bahwa surat ini ditulis oleh tangan seorang rekan. Kerajaan Sakura akan tetap mendukung penuh posisi negeri Alabasta yang kini berelasi dengan bajak laut. Hubungan diplomasi dan kerja sama akan terus berjalan seperti biasa dari pihak kami. Dan apabila tidak terlalu merepotkan, tabib istana kami memiliki pesan yang ingin diteruskan kepada putranya—") ketika terdengar bunyi debam pelan dari balik pintu di seberang ruangan. Disusul derit pintu yang kemudian mengayun terbuka.
"Vivi!" seru tenor nyaring yang telah kembali akrab di telingamu, "Di situ kau rupanya."
Ah. Sumber kegelisahanmu telah tiba.
Mempersiapkan diri, kau perlahan memutar tubuh ke asal suara—
Dan langsung berdiri dari kursimu, tergagap begitu melihat sosoknya. "L, Luffy-san? Kau habis apa?"
"Shishishishi," kekehnya, menyugar rambut hitamnya yang basah ke belakang. Topi jeraminya menggelantung di belakang leher, juga sebasah tubuh pemiliknya yang kini berdiri meneteskan air ke karpet. Benakmu segera membayangkan sosoknya yang kuyup berlari-lari melintasi lorong istana sembari meninggalkan jejak genangan air di belakangnya, dan kau mau tak mau tersenyum geli. "Aku, Usopp, Brook dan Chopper sedang perang air di taman atap! Ayo ikut!"
"Ah," kau melirik senapan plastik bertabung ganda di tangannya, yang satu berisi air dan satu lagi berisi cairan asing yang kau curigai adalah zat mudah terbakar (tentunya untuk jaga-jaga apabila pemegangnya terseret situasi yang memerlukan amunisi sungguhan—seperti semprotan api misalnya. Serahkan kepada Franky untuk membuat mainan instan yang juga berfungsi sebagai senjata betulan). "Entahlah, Luffy-san, sepertinya tidak adil kalau tiga lawan dua."
"Justru kami butuh lima orang," seringainya jail, "Kita akan menyergap Zoro!"
Sebuah dengus tawa lolos darimu sebelum bisa kau tahan, tergelitik membayangkan sang pendekar pedang terkuat di dunia yang tiba-tiba dikejutkan semprotan lima senapan air di tengah tidurnya.
Tapi kau kemudian menggeleng, "Maaf, tapi aku harus menyelesaikan ini dulu sebelum bisa melakukan apa-apa dengan kalian." Tanganmu melambai ke arah meja kerja di sampingmu.
Luffy mengangkat satu alis, berderap mendekat untuk melihat apa yang sedang kau kerjakan. Segera sadar bahwa kebanyakan surat-suratmu terbuat dari kertas rapuh dan Luffy kini dalam kondisi basah meneteskan air, kau buru-buru maju menghalanginya, satu telapak tangan diangkat ke depan wajahnya, "S, sebentar, Luffy-san!"
Tidak ada persediaan handuk di ruang pribadimu, sehingga kau terpaksa berimprovisasi dengan sapu tangan yang tersimpan di dalam kantung gaunmu. Kau mengulurkannya ke Luffy yang menatapmu dengan matanya yang lebar, "Ini, tolong keringkan wajah dan tanganmu dulu."
Luffy seketika mengernyitkan hidung. Malas.
"Berkas-berkasku bisa rusak kalau sampai terciprat air," jelasmu sabar.
Ia malah menggeleng melawan, "Nanti juga basah lagi—"
"Uwah, jangan goyang-goyang kepalamu seperti itu!"
"—aku kan belum selesai main." Mengacuhkan protesmu yang baru saja terciprat, ia lalu melongok melewati bahumu, menatap penasaran ke tumpukan surat di meja kerjamu. "Dan memangnya seharian ini kau sedang apa, sih? Hmpfh—!"
Salahkan suhu panas dan setumpuk kegelisahan yang membebani pikiranmu sebagai penyebab menipisnya urat kesabaranmu hari ini. Mencengkram kedua pundaknya yang basah, kau memutar paksa tubuhnya yang kini lebih tinggi darimu ke sudut ruangan, mengarahkannya ke sofa kecil yang berada beberapa meter dari meja kerjamu. Menyelamatkan sisa pekerjaanmu dari jangkauan teror air si pria karet.
"Aku sedang membalas surat dari negara-negara rekan Alabasta," jawabmu sembari mendorong tubuhnya, mengeraskan suara agar tetap terdengar di tengah keluh protes Luffy. "Banyak bangsawan yang tiba-tiba memutuskan hubungan dengan kami begitu tahu Alabasta kini berafiliasi dengan sang raja bajak laut—dan ada juga yang bertindak sebaliknya," kau lalu mendudukkannya di atas bantalan sofa yang empuk, melembutkan perlakuanmu karena Luffy telah berhenti melawan. "Akibat pengumuman kemarin, Alabasta mendapatkan sekumpulan musuh dan sekutu baru dalam semalam. Ayah masih sibuk meredam keluhan rakyat yang tidak suka berada di bawah perlindunganmu, jadi tugaskulah untuk mengawasi mana kawan serta lawan kami, membaca pesan-pesan mereka. Pesan-pesan yang tidak akan bisa dibaca kalau sampai terciprat air darimu."
Puas karena Luffy akhirnya mendengarkan, kau lalu menunduk menatapnya yang kini diam terduduk. "Sekarang mengerti kan, kenapa aku memintamu menjauh?"
"Vivi," ucap Luffy, sebuah kerutan dalam menggurat dahinya selagi ia mendongak menatapmu. Jenis ekspresi yang kau pahami sebagai tanda bahwa Luffy sedang mencoba berpikir serius. "Apakah kau sedang dalam masalah?"
Ada tawaran aku bisa menghajar mereka semua untukmu yang tidak Luffy katakan.
"Ya, tapi ini bukan sesuatu yang tidak bisa kami atasi," kau tersenyum simpul ke arahnya. "Terima kasih, Luffy-san, tapi aku baik-baik saja."
"Oke," secepat kabut di bawah panas matahari pagi, ekspresi muram itu pun lenyap. Luffy lalu mengambil sapu tangan di genggamanmu dan menekannya ke sisi wajahnya yang basah, tersenyum miring, "Aku baik-baik saja kalau kau baik-baik saja."
Gelisah, gelisah, gelisah. Menyuruh jantung bodohmu untuk memelankan debarnya, kau memaksakan diri membalas senyum Luffy.
"Kalau begitu, kau masih bisa ikut mengerjai Zoro, kan?"
Senyummu langsung jatuh.
"Bukannya sudah kubilang aku masih ada kerj—ah," kau segera memutar otak, tahu akan panjang urusannya bila kau hanya menolak tanpa solusi. "Bagaimana kalau mengajak Sanji-san saja? Aku yakin dia tidak akan keberatan membantu begitu tahu rencana kalian."
"Sanji sibuk mengurus minuman Nami dan Robin," tukas Luffy, memajukan bibir. "Lagipula kau tetap harus ikut, Vivi. Semua orang sudah berkumpul di atap kecuali kau."
"Semua orang?" ulangmu terkejut. Kau melempar pandang ke arah jam dinding di seberang ruangan, akhirnya tersadar kau telah mengurung diri di dalam ruang kerjamu dari pagi hingga sore. Ah.
Tahu kapan harus mengalah, kau pun akhirnya mendesah, "Baiklah—"
"YUHUUU!" Luffy bangkit dan meninju udara dengan seringai penuh kemenangan, lagi-lagi menghujani karpet ruang kerjamu dengan percikan kecil.
"—satu surat lagi dan aku akan bergabung dengan kalian di taman atap."
"Aku tunggu," sahut Luffy, kembali mendudukkan dirinya di atas sofamu dengan seringai kecil. "Jangan lama-lama, Vivi."
Kau mengerjapkan mata, diam-diam terkejut melihat resolusi sang kapten yang ternyata sungguh-sungguh ingin menyeretmu keluar dari ruang kerja. Mungkin ketidakhadiranmu sepanjang hari ini telah mengusik teman-temanmu.
Kau pun kembali ke meja tulismu, memutuskan untuk menyusun respon untuk kerajaan Sakura yang—kau membalikkan surat ke halaman pertama, mengecek tanggal—merupakan pihak tercepat dalam mengirimkan dukungan. Teringat sesuatu, kau lalu menoleh ke seberang ruangan.
"Ah, ada salam dari Dalton-san, untukmu," ucapmu kepada Luffy. "Dan dilihat dari pertanyaan-pertanyaannya tentang teknis perjanjian kita… sepertinya beliau juga tertarik untuk mengibarkan benderamu di negerinya."
Luffy tertawa keras. "Tentu saja! Tanpa dimintapun rumah Chopper akan selalu berada di bawah perlindunganku."
"Akan kusampaikan." kau tersenyum, menaruh ujung pena di atas sepucuk permukaan kertas baru. "Dengan ini, Dalton-san tinggal menunggu kedatanganmu."
Selama beberapa saat, hanya ada suara goresan pena yang mengisi ruangan. Sebuah ketenangan yang kau khawatirkan hanya akan berlangsung sesaat, terutama karena ada perasaan diawasi yang menggelitik kulitmu. Keras kepala, kau pun menulis tanpa terburu-buru, memaksakan mata untuk tetap tertambat di atas pekerjaanmu hingga kau menyelesaikannya. Barulah setelah membubuhkan tanda tangan kau mengizinkan diri mengangkat kepala, melirik ke arah Luffy.
Jantungmu seketika melonjak.
Kau sudah tahu sejak lama bahwa Luffy adalah pribadi dengan intensitas seorang raja. Nakama atau bukan, sulit bertemu mata dengan Luffy ketika ia sudah memasang wajah itu, kilat serius yang mengingatkan penerimanya bahwa, di balik tawa dan kekonyolannya, Monkey D. Luffy adalah pria yang berbahaya; jenis bahaya yang mampu menaklukkan dunia dan tatanan-tatanan yang menopangnya.
Namun caranya memposisikan pandang dari seberang ruangan, dengan satu tinju menopang pipi dan rambut hitam yang masih berkilau basah membayangi netra gelapnya, menatap tepat ke wajahmu, adalah jenis bahaya yang sama sekali baru; macam yang kau yakin timbul tanpa sadar, yang dia sendiri belum tentu paham.
Ini dia akar kegelisahanmu selama sepekan ini. Semenjak kunjungan singkat kalian ke distrik pasar Alubarna, ada sesuatu yang berbeda dengan gelagat Luffy. Meski ia masih bersikap seperti biasa dengan orang-orang istana dan krunya, kadang kau mendapati dirinya memandangimu dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan: intens namun bingung, seolah-olah dia telah menemukan sesuatu tentang dirimu yang kini menarik perhatiannya; berusaha memahaminya.
"Luffy-san," selagi menekan segel kerajaan di atas surat yang telah selesai kau tulis, kau pun memberanikan diri bertanya. Luffy bukanlah jenis yang berbasa-basi—mungkin mendengar jawabannya akan menghilangkan gelisahmu. "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tanganmu."
"Tanganku?"
"Tanganmu mirip tangan bajak laut."
Kau otomatis melihat ke bawah, membalikkan kedua telapak tanganmu dan mengamatinya dengan bingung sebelum makna perkataan Luffy akhirnya mencapaimu. Kau mengucap jengah, "Ah."
Tentu saja ia menyadari bekas-bekas luka hasil latihanmu, relik usahamu untuk menjadi pelindung Alabasta yang lebih baik sepeninggalan Luffy dan krunya—sekaligus target kritik para delegasi kerajaan luar yang berkunjung ke Alabasta dengan tujuan menjodohkanmu dengan penguasa mereka.
"Tidak cocok, bukan?" kau melebarkan jari-jarimu sambil tertawa kecil, "Aku terus-terusan diomeli Igaram dan Teracotta karena ini—tidak pantas dengan citra putri Alabasta, begitu kata mereka. Tapi mau bagaimana lagi, untuk melindungi negeriku, diplomasi saja tidak lagi cukup. Aku belajar itu darimu."
Luffy memandang senyumanmu dengan kedua alis terangkat, seolah tertegun mendengar jawabanmu. Tiba-tiba merasa malu karena merasa telah berbagi terlalu banyak, kau lalu menunduk dan berpura-pura mengatur tumpukan surat yang telah kau selesaikan. Sebelum kau bisa mengoreksi perkataanmu, sebuah tangan—kini sudah kering, untunglah—tiba-tiba muncul di depanmu, merenggut tanganmu dari pekerjaannya.
"Sudah selesai, kan?" tanya Luffy. "Ayo keluar dari sini."
Dan, yah—dihadapkan dengan mata hitamnya yang masih nampak seolah-olah ingin menelanmu—apa lagi yang bisa kau lakukan selain mengikutinya?
Kalian berdua keluar dari ruang kerja pribadimu tanpa banyak bicara, berjalan melintasi lorong istana yang berujung dengan tangga yang mengarah ke taman atap. Beberapa langkah di depanmu namun masih memegang tanganmu, Luffy menatap ke depan dengan dahi berkerut, nampaknya sedang memikirkan sesuatu di luar perang air yang akan kalian lakukan nanti. Kau memutuskan untuk ikut diam, sabar menunggunya mengatakan isi pikirannya.
Sebuah sensasi ditarik membuatmu melirik ke bawah, dan seketika pipimu menghangat. Tanpa kau sadari sejak kapan, jari jemari Luffy telah bertautan dengan milikmu. Erat.
"—cocok, kok."
"Maaf?"
"Kau cocok dengan tangan bajak laut."
"T, terima kasih," gagapmu, merasakan sesentuh ragu bahwa percakapan kalian masih tentang kondisi tanganmu yang kasar dan tidak kebangsawanan. Tampak puas dengan jawabanmu, Luffy lalu menyeringai lebar dan mempercepat langkah. Dengan enteng mengayunkan tangan kalian yang bergandengan.
Dan dengan jantung yang berdentum-dentum, mengikuti langkahnya, kau pun akhirnya memutuskan untuk pasrah—karena sampai kapan kau bisa berpura-pura kebal terhadap Luffy yang seperti ini? Kau bukanlah jenis orang yang bisa berbohong pada diri sendiri. Tergantung bagaimana Luffy kelak tersadar soal ketertarikannya padamu, Alabasta bisa saja terancam diduakan olehmu.
Dan bagian terburuknya adalah: kau tidak lagi keberatan dengan skenario itu. Kau kini paham hatimu cukup serakah untuk menampung keduanya: tanah airmu serta pria yang pernah menyelamatkannya untukmu.
Mungkin Luffy tidak sepenuhnya benar, pikirmu selagi kau melirik pria di sampingmu, membiarkan sebuah keegoisan kecil untuk menguasaimu sesaat—mengeratkan tautan jari jemarimu dengannya.
Mungkin yang bersifat bajak laut bukan hanya tanganmu.
.
.
.
v.
"Luffy-san," ucapnya, "Apakah kau sudah memutuskan tujuan kalian selanjutnya?"
Harum tubuh Vivi, tipis dan menyenangkan, menyerbak mengisi jarak pendek di antara kalian, membuatmu menarik napas dalam-dalam sampai hampir bisa mengecapnya dari belakang tenggorokan: campuran aroma tanah pasca hujan, semacam bunga yang tidak kau ketahui namanya, dan sesuatu yang manis, mirip buah mahal yang pernah kau curi diam-diam bersama Ace dan Sabo, dulu sekali.
Ingatan itu menggiring pandanganmu ke mulutnya—kini tertekuk tipis selagi pemiliknya terhanyut memikirkan krumu yang akan bongkar sauh fajar nanti—dan dalam sekejap timbul keyakinan bahwa bibirnya akan terasa sama persis, semanis buah curian. Ini, kau yakin seyakin-yakinnya. Sekuat insting.
Kau menjilat bibirmu sendiri yang mendadak terasa kering, sekali lagi menghirup sebanyak mungkin wangi tubuhnya meski sudah terbukti gagal memuaskan dahaga yang menguasaimu. Lihat, di bawah temaram bulan ikal birunya menjelma menjadi samudra baru, satu-satunya di dunia yang belum kau arungi. Lihat, sedekat ini netra sendunya jelas-jelas menunjukkan keengganan melihatmu pergi.
Tanpa memutus pandangan, tanganmu bergerak ke puncak kepala. Melepas topi jeramimu dan dengan hati-hati memegangnya di depan dada karena kau kini tahu jawabannya—mengerti rasa lapar-yang-bukan-lapar ini sebenarnya apa.
Vivi memandang topimu dengan bingung, tapi tidak mengapa. Kalau itu dia, pasti sebentar lagi akan mengerti—bahwa bahkan lelaki sepertimu harus menanggalkan mahkota untuk saat-saat seperti ini. Kau mencondongkan tubuh mendekat.
"Luffy-san?"
Ia menelan ludah, dan untuk sesaat kemungkinan bahwa Vivi juga sedang merasakan dahaga yang sama denganmu membuatmu tersenyum puas.
"Tanya aku lagi."
Ada rona tipis yang bermekaran di kedua pipinya, perlahan mulai menebak apa yang sedang kau coba lakukan. Sendu dalam netranya seketika menguap, digantikan sorot mata lembut yang membuat jantungmu memompa hebat. Jenis gear yang kau sendiri pun belum tahu ada hingga sekarang.
"Luffy-san," bisiknya pelan. Paham. "Apakah kau sudah memutuskan tujuanmu selanjutnya?"
Ada gelenyar familier yang hanya datang di setiap awal petualangan baru, kini menyebar hangat ke seluruh tubuhmu. Kau mengangguk sungguh-sungguh, menatap lautan di dalam surainya, berkata—
"Ya."
.
.
.
note2: aaaa jujur aku eksperimen banget dengan format yang seperti ini, semoga masih enak (dan jelas) dibaca.
Sebenarnya masih banyak sekali aspek hubungan Luffy dan Vivi yang menurutku menarik untuk dijadikan bahan tulisan (yang saling mengajarkan satu sama lain soal kepemimpinan, yang ada riwayat adu pendapat di tengah gurun sampai baku hantam, yang pertemuan pertamanya bahkan untuk standar grup Topi Jerami terhitung ajaib: tidak sengaja bertabrakan di dalam perut paus raksasa, dst dst), tapi berhubung niat awal cuma mau menulis cerita yang ringan, ujung-ujungnya aku belok ke rute tergampang: ship fic kilat. Hehe.
Akhir kata, terima kasih sudah membaca fic ini! Komentar dan saran sangat diterima :-)
