Aroma roti manis yang masuk ke dalam indera penciumanku membuatku merasakan nostalgia yang sedikit menggelitik. Kutarik napasku perlahan dan kuhirup aroma itu dalam-dalam.

Ternyata memang aroma yang sama.

Tanpa ragu lagi kulangkahkan kakiku sambil mendorong kereta bayiku memasuki toko roti tempat kencan pertamaku dengan Nanami-san.

Sebenarnya bukan tempat yang sama juga karena lokasinya berbeda. Toko yang pertama telah hancur dan ditutup karena ada serangan dari jurei. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya oleh Nanami-san, mereka akhirnya benar-benar kembali membuka toko roti dengan lokasi yang kali ini sangat strategis, yaitu di pertengahan kota Kyoto.

Walau hari ini adalah hari kerja tapi pengunjung toko cukup ramai dan kebanyakan dari mereka adalah pelanggan wanita dan para gadis muda. Kulihat waktu pada jam tangan yang ada di pergelangan tanganku, "Ah sudah masuk jam makan siang, pantas saja," gumamku pelan.

Format toko roti ini masih sama seperti toko generasi pertama mereka yaitu toko roti dan kafe dengan gaya interior antik dan beberapa dekorasi serta iluminasi lampu khas hari natal.

Setelah mengucapkan terima kasih dan menundukkan tubuhnya pada pembeli yang selesai melakukan pembayaran. Akari-san yang perutnya sudah tidak membesar itu menyadari kehadiranku. Sambil menunjukkan senyuman lebar ia berjalan keluar dari dalam etalase toko dan menyambutku.

"Senangnya! Akhirnya Yume-san bisa datang kemari!"

"Maafkan aku ya tidak bisa datang pada hari pembukaan toko. Itu… Hari libur Jujutsushi susah sekali didapatkan…" ucapku sambil menghela napas dan sedikit memelankan suaraku pada kalimat terakhir. Akari-san tertawa renyah mendengar keluhanku.

"Tenang saja aku paham kok! Aku kan juga mantan Jujutsushi," jawabnya sambil setengah berbisik mengikutiku.

"Kyahaha~"

Terdengar tawa renyah yang sangat manis dari dalam kereta bayi yang kudorong. Akari-san kemudian mendekati kereta bayiku dan menundukkan kepalanya untuk melihat ke dalamnya.

"Waaah~ Bayi laki-laki yang sangat manis sekali~" ucap Akari-san saat melihat bayi yang sedang tertawa riang di dalam kereta bayiku.

"Padahal sepanjang perjalanan tadi dia tertidur sangat lelap lho. Sepertinya ia terbangun karena mencium aroma manis roti."

"Hahaha pencinta roti sama seperti ayahnya ya, manis sekali~"

"Un, merepotkan sekali. Padahal sebenarnya aku itu tim nasi," ujarku sambil setengah berbisik mendekati wajah Akari-san.

"Walau aku istri pemilik toko roti, tapi sebenarnya aku juga tim nasi lho. Orang Jepang itu memang pasti akan memilih nasi ya~"

Kami berdua kemudian saling tertawa. Karena ada pengunjung lain yang datang aku akhirnya memilih tempat duduk terlebih dahulu sehingga Akari-san bisa melayani pengunjung tokonya. Dari tempat duduk yang kupilih, aku dapat melihat pintu masuk dan etalase toko. Canele yang ada di etalase telah masuk ke dalam batas pandangku, apapun yang terjadi, pilihan pertamaku pasti jatuh pada canele!

"Huwang~ Huwang~"

Tiba-tiba saja bayiku mulai menangis. Aku pun mengangkatnya dari dalam keranjang bayi dan mulai menggendong sambil mengayun-ayunkan tubuhnya. Kurasa karena ia mencium aroma manis roti ia pasti menjadi lapar. Tapi saat ini aku sedang tidak membawa botol susunya sehingga aku hanya bisa mengayun-ayunkan tubuhnya sambil berharap agar tangisannya tidak bertambah kencang.

Tidak lama setelahnya, suara lonceng yang berada di atas pintu masuk berbunyi. Seorang pria tinggi berambut pirang dengan tubuh yang sangat tegap dan kokoh terlihat masuk ke dalam toko.

Detik itu juga aku langsung bisa mendengar bisikan-bisikan heboh dan kagum dari para pengunjung toko yang kebanyakan adalah wanita. Mata mereka semua secara serempak memandang penuh pesona ke arah pria tampan yang sedang berdiri di depan pintu masuk itu. Sementara itu di balik kacamata bulat bertangkai tipisnya, pria itu menyapukan pandangannya ke keseluruhan isi toko. Melihat hal itu entah mengapa aku langsung menundukkan kepalaku.

Tapi karena tubuhnya yang besar dan tinggi, walau bagaimanapun juga aku berusaha agar tak terlihat ia pasti akan dapat mellihatku juga. Saat ia melihatku, tanpa berkata sepatah kata pun ia segera berjalan menghampiri mejaku.

"Maaf lama menunggu Yume. Tempat parkir mobilnya ternyata cukup jauh. Yuuji… Sudah terbangun?"

"Na, Nanami-san… Un, sepertinya ia terbangun karena mencium aroma roti…" jawabku terbata-bata karena merasakan aura kebencian dari para pengunjung wanita di sekitarku. Aku bisa mendengar dengan cukup jelas beberapa bisikan mereka.

'Eh? Sudah menikah? Sayang sekali…'

'Itu istrinya? Mungkin cuma pengasuh bayinya saja kali…'

'Tampan sekali seperti aktor luar negeri ya… Kalau istrinya… Un, orang Jepang banget.'

Maaf ya kalau wajahku terlihat seperti pengasuh bayi dan biasa saja seperti orang Jepang pada umumnya …

Sambil mengambil Yuuji dari pelukanku dan menggendongnya, Nanami-san tersenyum lembut dan mencium keningku, "Yume, berapa kali harus kubilang padamu, panggil aku dengan nama kecilku. Sekarang kau juga Nanami bukan?"

Mengesampingkan rasa terkejutku karena dicium di tempat umum secara tiba-tiba, sudah jelas Nanami-san pasti juga mendengar perkataan para wanita yang mengataiku itu. Ia melakukannya untukku. Dan tindakan Nanami-san itu sepertinya berhasil.

'Eh?! Bohong?!'

'Benar-benar istrinya?'

'Huwa~ Tidak bisa dipercaya~'

Maaf. Mungkin kalian memang tidak percaya, bahkan aku pun terkadang masih tidak bisa mempercayainya. Tapi aku memang sungguh-sungguh telah menikah dengan Nanami-san.

"Ba, baik, Ke, Ke, Kento-san..."

Walau sudah setahun kami menikah, tetap saja memanggil nama kecil Nanami-san menguras cukup banyak energiku, apalagi di tempat umum seperti ini. Berbeda dengan ekspresi wajah rumitku, Nanami-san memperlihatkan ekspresi wajah puas sambil menunjukkan sedikit senyumnya. Pria dengan feromon alami yang sungguh mengerikan.

Ya… Sudah satu tahun berlalu sejak peristiwa mengerikan di malam natal itu.

Tubuh Geto-san dan Yuuji tidak pernah ditemukan dari tempat itu. Namun menurut Niisan sudah pasti mereka berdua tidak akan selamat.

Kuceritakan kata-kata terakhir Yuuji tentang objek kutukan tingkat tinggi pada Niisan. Niisan membenarkan bahwa memang ada objek kutukan tingkat tinggi berupa 20 jari milik Sukuna, raja kutukan yang dulunya hidup pada jaman Heian. Saat ini jari-jari itu masih tersebar ke seluruh Jepang dan tersegel dengan kuat. Kousen pun hanya menyimpan beberapa jari. Dan berdasarkan keterangan Niisan, jari-jari itu mustahil untuk dimusnahkan, bahkan dengan kekuatannya yang seorang Jujutsushi terkuat saat ini. Untuk saat ini tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah Yuuji agar tidak menelan jari itu di masa depan. Tapi Niisan telah bersumpah padaku untuk mencegahnya jika saat itu tiba nanti. Aku pun memegang janjinya dan percaya padanya.

Setelah kejadian itu aku dirawat cukup lama di rumah sakit. Selain karena kaki kiriku, aku juga mengalami sedikit trauma mental sehingga harus beberapa kali menjalani terapi kejiwaan. Kehilangan Yuuji tepat di depan mataku saat itu bagaikan sebuah mimpi buruk. Selama beberapa minggu aku bahkan tidak bisa berbicara dan hanya bisa terus menangis.

Nanami-san terus menemani dan merawatku setiap hari di rumah sakit tanpa kenal lelah. Niisan juga walau hanya sebentar ia hampir setiap hari datang mengunjungiku. Walau setiap kalinya harus didahului dengan pertengkaran mulut dengan Nanami-san.

Sekitar sebulan setelahnya, luka di kakiku serta kondisi kejiwaanku pun perlahan membaik. Tapi anehnya tubuhku tetap terasa lemas, bahkan aku sering merasakan mual dan pening yang tidak tertahankan. Namun setelah diperiksa ternyata itu bukan karena trauma atau luka yang kualami melainkan karena bayi yang sedang ada di dalam kandunganku.

Sesaat setelah dokter memberitahu bahwa aku sedang mengandung, perasaan hangat langsung menyelimuti tubuhku. Rasanya seperti melihat Yuuji sedang berada berdiri di depan pintu rumahku sambil berkata, "Kaachan Tadaima[1]!" Tidak hanya diriku. Nanami-san juga merasakan hal yang sama denganku. Aku masih ingat dengan jelas wajah Nanami-san yang untuk pertama kalinya kulihat menangis itu. Kedua kalinya adalah saat aku melahirkan. Walau dengan luka-luka di sekujur tubuhnya karena baru saja selesai menjalankan misi, Nanami-san menggendong bayi yang baru beberapa menit keluar dari tubuhku itu sambil menangis dengan ekspresi yang sangat lembut.

Tentu saja kami langsung menamai bayi laki-laki yang lahir itu dengan nama Yuuji. Apalagi bayi itu memang berwajah mirip sekali dengan Yuuji. Mata besar bulatnya yang mirip denganku. Bibir kecil dan garis wajahnya yang tegas mirip sekali dengan Nanami-san.

Satu bulan setelah aku melahirkan Yuuji, karena sebelumnya kami hanya mendaftarkan pernikahan kami, Nanami-san mengatakan bahwa ia ingin sekali mengabulkan permintaan Yuuji, yaitu melihatku mengenakan gaun pengantin. Oleh karena itu, kami pun melangsungkan upacara pernikahan dengan hanya mengundang orang-orang terdekat dari Kousen. Setelah itu aku memasang figura yang menurutku paling indah untuk foto pernikahanku dan Nanami-san. Aku akan menjaga foto ini dengan baik agar Yuuji saat besar nanti dapat melihatnya.

"Waaaah~ Kaachan masih muda sekali! Manis! Kereeeenn!"

Aku kembali teringat pada Yuuji saat pertama kali kami bertemu. Aku sangat terkejut karena tiba-tiba saja ada seorang anak laki-laki berseragam gakuran mencubit-cubit pipiku dan mengatakan bahwa aku manis. Saat itu hanya Yuuji saja yang selalu mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang manis. Namun sekarang telah bertambah dua orang. Nanami-san dan pria nyentrik mesum bernama Gojou Satoru yang ternyata adalah kakakku.

Setelah aku melahirkan Yuuji, Niisan jadi semakin sering bolos kerja dan lebih sering mengunjungi rumah kami untuk melihat dan bermain dengan Yuuji. Entah sudah berapa kali Ijichi-san datang ke rumahku sambil menangis-nangis. Memohon bantuanku agar aku dapat membujuk Niisan untuk pergi menjalani misi dan bekerja dengan benar. Setelah kuancam jika ia tidak bekerja maka aku tidak mengizinkannya bertemu dengan Yuuji barulah ia mau pergi bekerja. Dan setiap kali datang, Niisan pasti akan membeli banyak pakaian dan mainan untuk Yuuji. Nanami-san pun menjadi lebih sering merasa kesal karena lebih sering melihat wajah Niisan.

"Keajaiban sekali ya~ Siapa yang mengira anak gorila ternyata bisa seimut ini~ Ne~ Yuuji-kun~"

"Gojou-san kau akan benar-benar kuhajar."

"Kyahaha~"

"Wah Yuuji-kun setuju dengan pendapatku?! Ne~ Papa memang gorila pemarah ya~"

Jika sudah seperti itu, setelahnya aku pasti harus dengan sekuat tenaga menahan Nanami-san agar ia tidak menebas Niisan dengan Tookaku Juhounya.

"Silakan dinikmati."

Lamunanku kemudian dipecahkan oleh suara Akari-san yang membawakan roti canele dan cascoot ke atas meja kami.

"Eh? Tapi kami kan belum memesan…"

"Walau begitu pesanan kalian pasti dua ini kan? Untuk mengingat kencan pertama kalian, fufu~"

"I, itu!"

Sementara aku merasa gugup, Nanami-san menjawab dengan tenang sambil sedikit membungkukkan tubuhnya pada Akari-san, "Terima kasih banyak selalu Nitta-san."

"Tidak, tidak… Nanami-san juga sudah banyak membantuku. Kalau ada yang diinginkan lagi jangan ragu untuk memanggilku ya!"

Setelah Akari-san pergi meninggalkan meja kami, aku pun mulai memotong bagian kecil canele dan memasukkannya ke dalam mulutku. Rasa meleleh cokelat yang manis dan lembut membuatku merasa bernostalgia.

"Ennnak sekali~" ucapku sambil menyentuh kedua pipiku.

Nanami-san kemudian tertawa kecil, "Wajahmu sama sekali tidak berubah. Kau masih memakannya dengan reaksi yang sama seperti dulu."

"Eh benarkah?"

"Ya benar. Manis sekali."

Sama seperti dulu, sampai sekarang pun aku masih sedikit merasa gugup jika sedang dipuji oleh Nanami-san. Aku bisa merasakan kedua pipi yang sedang kusentuh berubah menjadi sedikit hangat.

"Nanami-san selalu saja mengatakan hal yang curang seperti itu…"

Sambil meletakkan Yuuji kembali di keranjang bayi, Nanami-san membalas dengan suara datarnya, "Aku hanya mengatakan hal yang sesungguhnya."

"Mungkin Nanami-san sudah tidak ingat, dulu aku juga sempat kaget dan gugup lho saat kupikir awalnya Nanami-san bertanya padaku apakah aku ingin membuka toko roti atau tidak, tapi malah bertanya apakah aku ingin menikah atau tidak…"

"Oh, itu sengaja kok."

"Eh?! Sengaja?!"

"Iya. Karena aku ingin melihat reaksi gugupmu."

"Eh?! Ja, Jangan bilang yang sebelumnya juga sengaja? Waktu Nanami-san menyentuh tanganku saat menyerahkan laporan padaku?"

"Oh itu. Iya itu juga sengaja."

"Tidak bisa dipercaya! Padahal karena itu aku jadi sangat kebingungan! Ah, kalau diingat lagi malunya~" seruku sambil menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Sementara itu Nanami-san justru berwajah puas sambil tersenyum dan mengigit roti cascootnya.

"Kyahaha~"

Seperti sadar akan aura bahagia yang sedang dipancarkan oleh kedua orang tuanya, dari dalam kereta bayi Yuuji ikut tertawa dengan sangat riang.

"Sepertinya Yuuji juga ikut senang dan mendukungku," ujar Nanami-san sambil memandang Yuuji dengan sangat lembut. Hanya dari tatapan itu saja sudah cukup untuk aku mengetahui seberapa besar cinta Nanami-san pada anak kami.

"Uu~ Yuu-chan ternyata kau lebih memihak Touchan ya? Padahal dulu kau bilang lebih sayang pada Kaachan karena sepertinya Touchan orang yang sangat tegas kan?" ucapku sambil mengangkat Yuuji dari dalam kereta bayi dan menggendongnya di atas lenganku. Saat kusentuh hidungnya yang mancung seperti Nanami-san dengan ujung jari telunjukku, jari-jari mungilnya bergerak-gerak seperti ingin menggapai sesuatu.

"Eh? Memangnya Yuuji pernah berkata seperti itu?"

Sambil terkekeh aku menjawab, "Pernah. Sebenarnya ia memintaku untuk merahasiakannya dari Kento-san karena takut kau akan marah sih."

"Tapi kau mengatakannya."

"Tidak apa kan. Lagipula Touchan tidak akan mungkin benar-benar memarahi Yuu-chan yang semanis ini kan~"

"Benar sekali."

Kami berdua kembali tertawa bersama. Hingga saat ini pun, Yuuji akan tetap dan selalu menjadi cahaya matahariku dan Nanami-san.

Sambil mendekatkan wajah kecilnya pada wajahku, aku berkata dengan suara yang lembut, "Yuu-chan… Terima kasih karena telah lahir sebagai anak kami ke dunia ini... Terima kasih karena telah melindungi Kento-san dan aku waktu itu… Mulai saat ini… Kami berdualah yang akan melindungimu…"

FIN


[1] Ucapan dalam Bahasa Jepang artinya Aku pulang.