"Sepertinya kau sudah tidak pakai sarung tangan lagi."
Rook mengangkat tangannya dan tersadar. "… Ah, iya. Semenjak menikah, kurasa."
"Itu menunjukkan kalau Rook sudah nyaman di tempatku." Leona, masih berusaha menjadi "penengah" antara Rook dan Malleus, memberi respons. Sejak keluar dari restoran, Leona akan selalu berdiri di tengah-tengah keduanya.
Mendengar itu, Malleus sedikit menyipitkan mata. "Hmm … aku pikir karena Rook sedang senang pakai pewarna kuku."
"…"
Rook membulatkan mata. "… Eh?"
"Kau sedang pakai, kan?" Malleus menunjuk tangan Rook. "Coklat, hm. Serasi dengan outfit-mu hari ini."
Rook mengelus punggung tangannya sendiri. "A-ahaha … ya, benar juga, sih. Aku belakangan ini tertarik dengan cat kuku. Rasanya pasti sia-sia kalau aku warnai kukuku, tapi aku pakai sarung tangan."
"Benar. Untungnya kau tidak pakai."
Rook melirik Leona yang berdiri di antara mereka. Singa muda itu tidak terlihat akan memberi komentar apa pun. Padahal Rook sempat berharap Leona akan memperhatikan cat kukunya juga.
Sama seperti yang perak dulu, pikir Rook. Bibirnya membentuk senyum sedih.
.
.
.
"Love Knot"
Chapter 16
.
.
.
Leona menyerahkan barang bawaan mereka yang sebagian besar berisi oleh-oleh ke tiga pengawal yang senantiasa menemani. Mereka sudah berpisah dengan Malleus sejak satu jam yang lalu dan sedang berada di tengah kota untuk berkeliling mencari oleh-oleh. Sudah terbeli beberapa, baru lah mereka istirahat di sebuah kedai kopi kecil.
Matanya melihat ke luar jendela. Salju pertama musim dingin benar turun di hari itu. "Kalian langsung pulang ke istana," perintah Leona tiba-tiba, mengejutkan tiga pengawal. Bahkan Rook yang pikirannya masih melayang ke berbagai arah sejak tadi jadi ikut terkejut.
Kini matanya teralih ke dua tangan Rook yang memegang gelas es kopi yang dipesannya. "Laporkan pada Aniki kalau aku ingin menginap satu malam di sini. Saljunya sudah turun, sayang kalau dilewatkan," jelasnya kemudian, memberi alasan.
Tiga pengawal itu tampak ragu di awal. Namun setelah melihat Rook yang juga memberi izin, mereka bertiga berpamitan. Ketiganya langsung berjalan keluar kedai dan menghilang dalam keramaian tak lama kemudian.
"Kupikir kau tetap akan masuk kerja besok." Akhirnya Rook membuka pembicaraan.
Leona tampak membuang nafas yang tanpa sadar sudah ia tahan sejak tadi. "Yah … karena memang benar saljunya turun, kan? Di Sunset Savanna tidak ada salju, jadi mumpung sudah di sini, sekalian saja."
"Padahal kau tidak suka dingin." Rook meminum es kopinya lagi. "Kopimu saja yang panas. Lihat, punyaku es."
Kerutan di dahi suaminya muncul, memancing Rook untuk hampir tertawa. "Jangan mentang-mentang ini harimu, jadi kau bisa bertingkah seenaknya, Rook. Besok, setelah ganti hari, lihat saja pembalasanku."
Rook hanya tersenyum. Ia melihat ke luar jendela, dan benar, salju mulai turun dengan perlahan. "Musim dingin tahun ini datang lebih cepat sepertinya."
"Mau datang cepat atau lambat, tidak memberi pengaruh pada kita." Setelah ditiup beberapa kali, Leona menyeruput kopinya lagi.
"Hm, karena kita warga padang savanna." Rook ikut meminum kopinya lagi sampai habis. "Omong-omong, aku tidak bawa pakaian lebih. Memangnya tidak apa kalau kita menginap?"
"Cuma satu malam. Kalau kita pakai pakaian hari ini lagi untuk besok, tidak akan jadi masalah."
"Iya juga, sih." Rook mengecek isi tas tangan di pangkuannya. "Untung saja aku bawa pouch makeup yang khusus untuk travel."
"Mantan anak Pomefiore sekali."
"Jadi? Kita akan ke hotel mana?"
Leona mengecek ponselnya. "Aku sudah buat reservasi tadi. Kita bisa langsung ke sana setelah ini."
"Eh? Dari kapan?"
"Tepat setelah Malleus meninggalkan kita." Mata Leona masih berfokus pada layar ponsel yang memperlihatkan bukti pembayaran pemesanan kamar hotel. "Acara kita hari ini jadi kacau gara-gara dia, makanya aku langsung kepikiran untuk menikmatinya sekali lagi. Bahkan kalau kau ingin menonton musikalnya lagi, aku bisa pesankan tiketnya sekarang untuk besok."
Rook memandang tidak percaya. "Tapi … harusnya sudah habis, kan?"
"Tidak juga." Leona menunjukkan layar ponselnya yang sekarang memperlihatkan laman pembelian tiket musikal. "Masih ada beberapa. Kalau kau mau, bisa aku pesankan sekarang."
Rook menggigit bibir. Kalau ditanya mau atau tidak, tentu saja mau. Misal hari ini berjalan lancar sekalipun, ia tidak pernah keberatan untuk menonton berkali-kali sampai dialognya hafal di luar kepala. Hanya saja … ia merasa tidak enak. Leona sama sekali bukan orang yang senang dengan pertunjukan panggung. Kalau ia bilang "iya" dan menerima tawarannya, berarti ia mengajak Leona untuk menonton sesuatu yang tidak ia sukai dua kali.
"Jangan pikirkan aku suka atau tidak dengan pertunjukannya."
"E-eh?" Bagaimana dia bisa membaca pikiranku?!
Leona menghabiskan kopinya sebelum kembali bicara, "Yang jadi pusat perhatiannya sekarang adalah kau, bukan aku. Selama itu masih hal-hal yang bisa kuberikan, maka akan kuberikan. Aku tahu kau suka musikalnya, tapi karena ada Malleus, kau jadi kurang menikmatinya. Itu juga tidak memuaskanku, asal kau tahu."
"…" Rook meremat gelas kopinya. "… Yakin tidak apa-apa?"
"Jangan buat aku berubah pikiran."
"Mau!" Rook menganggukkan kepalanya cepat. "Aku mau! Pesankan tiketnya lagi, Leona-kun!"
Leona tersenyum puas. "Begitu, dong. Nah, karena kopi kita sudah habis dan sekarang sudah semakin sore, kita langsung ke hotel supaya bisa istirahat."
"Oke!" Rook ikut berdiri melihat Leona berdiri. Leona kembali menggandeng tangan Rook, membawanya keluar kedai dan berjalan perlahan menuju hotel di tengah salju yang masih terus turun.
.
.
.
"HAATCIIIH!"
"Oh lala, bersin yang besar." Rook membantu Leona mengelap hidungnya yang tiada henti mengeluarkan cairan lengket. "Aaah, ini salahku tidak membawakan syalmu. Biasanya aku selalu siap sedia, tapi aku lupa karena terlalu excited pagi ini."
"Kau … selalu membawa syalku setiap kita keluar?" Leona menatap istrinya tidak percaya.
Rook mengangguk polos. "Karena kita belum masuk musim semi dan panas, aku harus siapkan sesuatu yang bisa membuatmu hangat. Kau sering tidak memedulikan barang bawaanmu sendiri, jadi aku yang harus memperhatikannya."
"…" Rook ada benarnya. Sikapnya ini selalu terjadi bahkan sejak mereka bulan madu. Selama di NRC pun kehidupannya seakan ditopang oleh Ruggie. Leona menggelengkan kepalanya cepat. "Haaah. Ternyata aku cukup menyusahkan."
"Eh? Tiba-tiba pengakuan dosa … apa badanmu terasa semakin tidak enak, Leona-kun?"
"Hei, kenapa kedengarannya seperti aku akan segera mati—haah … haaah … HAATCIIIH!"
Rook kembali mengelap hidung sang pangeran dengan tisu. "Aku coba ke bawah dulu mencari obat, ya? Apa ada yang mau kau makan juga, Leona-kun? Sudah masuk jam makan malam, mungkin kita bisa pesan sesuatu yang hangat dengan layanan kamar."
"Aah … obatnya sekalian pakai layanan kamar saja kalau begitu."
"Kau benar juga." Segera Rook meraih telepon di kamar mereka dan menghubungi resepsionis. Suaranya tenang … mendatangkan rasa kantuk pada Leona tiba-tiba.
Tidak, aku tidak bisa tidur sekarang. Leona mencengkeram pinggiran kasur kuat-kuat. Kedua matanya dipaksa untuk terbuka lebar. Hari ini belum berakhir dan ia masih ada satu hal lagi yang ingin diberikan pada Rook. Pandangannya jatuh ke bungkusan kecil yang sejak mereka berangkat ke City of Flowers sudah ada di saku celananya. Tadi sempat jatuh saat Rook membantu Leona yang tiba-tiba pusing ke kasur, dan gadis itu menaruhnya di atas nakas. Leona ingat wajah penasarannya, tapi Rook memilih untuk menjaga privasinya dan menaruhnya begitu saja tanpa menanyakan apa pun.
Saat Leona hendak mengambil bungkusan itu, Rook menahan tangannya dan membantunya untuk merebahkan diri. Rupanya ia sudah selesai menelepon. "Lebih baik kau tiduran dulu. Nanti kalau makanan dan obatnya sudah datang, aku bangunkan lagi."
"…" Belum sampai sepuluh detik setelah Rook mengatakan itu, Leona langsung bangun lagi. "Jangan … aku tidak boleh tidur dulu."
"Tapi kau butuh istirahat, Leona-kun."
"Ambil … ambilkan bungkusan itu." Leona menunjuk bungkusan yang sejak tadi menjadi fokusnya. Warna plastiknya yang keemasan sedikit berkilau di bawah cahaya lampu.
"…" Rook mengambil bungkusan yang dimaksud. Bentuknya kecil, mengingatkannya dengan tempat cincin kawinnya di kamar. "… Aku tidak ingat kau bawa ini dari saat kita berangkat tadi. Atau mungkin kau baru membelinya saat kita mencari oleh-oleh tadi? Tapi aku juga tidak tahu kapan dan di mana kau membelinya. Ternyata kau bisa juga sembunyi dariku."
Leona memasang tampang heran. "Yang pemburu di sini tidak hanya kau, tolong ingat itu." Hidungnya gatal dan ia kembali bersin. Setelah membersihkan hidungnya lagi, Leona berkata, "… Itu hadiah dariku."
"… Eh?" Mata Rook membulat. Leona seperti sempat melihat ada kilatan cahaya antusias di sana.
"Dari beberapa hari lalu … aku memikirkan hadiah apa yang cocok buatmu," aku Leona. "Aku tahu kau bukan orang yang pemilih, dan apa pun yang kukasih, kau pasti akan menerimanya. Tapi itu tetap membuatku bingung karena ternyata … aku kurang tahu apa yang kau suka."
Rook terlihat meremat bungkusan di tangannya pelan. Matanya dipenuhi pandangan yang tidak bisa Leona jabarkan. "… Tapi akhirnya aku memilih itu. Kemarin aku sempatkan ke kota untuk membelinya. Kau bisa buka sekarang."
Rook memperhatikan bungkusannya. Cukup lama ia diam, lalu membukanya perlahan. Kertas mengilap yang seperti kertas kado itu dibungkus asal, menunjukkan kalau ini benar-benar dari Leona. Rook sempat ingin tertawa karena merasa itu lucu, tapi saat ia melihat apa benda yang ada di dalamnya, tawanya seperti tersangkut di tenggorokan.
"Cat kuku …."
"Warna perak." Leona menyentuh salah satu jari Rook dengan kukunya yang dicat coklat. "Aku ingat kau memakainya saat pesta kelulusan … dan juga saat pernikahan kita."
"…!"
Dia … mengingatnya?
"Saat kau memakainya untuk yang kedua kali itu, aku pikir kau mungkin memang suka cat kuku, terutama yang warna perak. Tapi makin ke sini, ternyata kau mengganti-ganti warnanya." Leona bersin sekali lagi, kali ini tidak terlalu besar. Kelihatannya suhu tubuhnya mulai naik. "Saat pesta pertunangan Vil, kau pakai warna hijau. Saat kita keluar beberapa kali, pernah pakai warna biru, merah, bahkan hitam. Lalu hari ini kau pakai coklat. Aku tidak pernah melihatmu pakai yang perak lagi, jadi aku pikir … mungkin karena habis, makanya kau tidak pernah pakai lagi. Itulah kenapa aku pilih yang warna perak."
"…" Rook merasakan hatinya seperti dipeluk oleh sesuatu dengan teramat erat. Ia memikirkan seandainya Leona tahu alasan sebenarnya ia berhenti memakai yang warna perak ….
Alasan Rook berhenti memakai warna perak … adalah karena ia tidak mau teringat dengan ekspektasinya yang menyakitkan saat hari pernikahan itu. Leona memujinya saat pesta kelulusan. Mengatakan kalau ia terlihat cocok pakai warna itu. Sebagai seseorang yang sudah menyimpan perasaan padanya sedari lama, tentu pujian itu menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk diterima. Rook sangat senang, seketika menganggap warna perak sebagai warna yang memiliki arti spesial. Namun ketika pernikahan mereka tiba, ketika ia memakainya sekali lagi, mengharapkan pujian yang sama, Leona justru tidak menghiraukannya.
Rook sudah sempat terserang pikiran-pikiran negatif. Leona sejak awal memang tidak punya perasaan padanya. Wajar kalau ia tidak memperhatikan setiap detail yang melekat pada dirinya. Meski begitu, ia masih mau mencoba untuk menarik perhatian Leona. Ia coba untuk pakai warna lain, menyesuaikan dengan outfit-nya setiap kali mereka punya acara bersama. Sayang hasilnya tetap nihil. Leona tetap tidak melontarkan pujian apa pun terhadap warna kukunya.
Rook hampir menyerah. Ia pikir Leona memang tidak akan memperhatikan hal-hal seperti itu. Namun ternyata … sang pangeran justru mengingat semuanya.
Leona memperhatikan Rook yang diam lama. Hidungnya masih sering gatal, tapi ia berusaha mati-matian supaya tidak bersin setiap saat demi menjaga momen tenang mereka.
Apa dia tidak suka? Sepasang telinganya jatuh memikirkan itu. Ia tidak bisa membaca apa-apa kalau Rook terus menundukkan kepalanya seperti itu. Sepertinya dia memang tidak suka … huh, lagipula memang tidak ada yang spesial, sih.
Ingatan tentang Malleus yang memuji kuku Rook tadi siang kembali. Dirinya yang sudah siapkan hadiah berupa cat kuku, lalu tiba-tiba Malleus mengungkit perihal itu …. Leona merasa seperti Malleus sudah mengambil satu langkah lebih maju darinya. Terlebih, kalau dipikir lagi, cat kuku memang tidak sespesial itu. Apalagi Rook yang biasanya pakai sarung tangan dan sekarang tidak, semua orang yang mengenalnya pasti akan langsung sadar. Jadi ini bukan hal yang hanya Leona sendiri yang tahu. Malleus Draconia saja tahu, jadi apanya yang spesial?
"…" Tunggu. Memangnya kenapa ia bisa berpikir kalau ini spesial? Apa Leona pikir … perubahan Rook yang melepas sarung tangan dan menggantinya dengan mewarnai kuku adalah karena mereka menikah? Ditambah … kenapa bisa ia pikir kalau warna perak adalah warna kesukaan Rook? Padahal itu haknya mau pakai warna apa. Leona juga baru lihat Rook pakai warna perak dua kali, di saat ada kemungkinan gadis itu sering memakainya jauh dari sebelum mereka saling mengenal.
Ah, dan yang terpenting, untuk apa ia memikirkan semua ini? Kalau Rook tidak suka, apa efeknya bagi Leona? Memikirkan ini seperti mereka pasangan sungguhan saja.
"Terima kasih …."
"Um, tidak apa kalau kau tidak suk—eh, apa?"
Rook, dengan ujung matanya yang basah, memberi senyum lebar. "Terima kasih …. Aku senang kau ingat aku suka warna perak, Leona-kun. Terima kasih."
"…"
Dia menangis ….
.
.
.
Next: Chapter 17
