"Ew, Leona-san memperhatikan Rook-san lagi."

Kepala hyena kecil di sampingnya dicengkeram erat tanpa ada tanda-tanda akan dilepaskan. "Mau jadi bahan percobaanku untuk kelas kimia berikutnya? Temanya: mengekstraksi otak hyena dengan campuran bahan alkimia."

"KEJAM! LEPASKAN!" Ruggie memaksa tangan Leona untuk membebaskan kepalanya. Merasa sedikit terancam, hyena muda itu mundur dan menjaga jarak beberapa langkah dari kepala asramanya. "Tapi aku serius! Beberapa hari lalu aku melihatmu sedang memperhatikan Rook-san, dan sekarang pun iya."

Leona melihat Ruggie yang ketakutan sebentar, lalu kembali ke lapangan di bawah. Rook masih ada di sana, mengobrol dengan si belut kembar Octavinelle. "Aku hanya penasaran," katanya memberi alasan. "Dia selalu menempeliku sejak kelas satu. Di saat aku pikir dia tertarik denganku, dia malah pindah ke Pomefiore tak lama kemudian. Lalu sekarang, dia jadi wakil ketuanya."

"… Leona-san."

"Hm?"

"Kau yakin yang kau suka itu Vil-san?"

Leona kembali melihat Ruggie. Satu alisnya menukik tajam. "Apa maksudmu? Dan kenapa pula kau bisa tahu soal perasaan pribadiku?"

"Aku hanya menebak—ternyata benar." Ruggie menyimpan info menarik itu dalam-dalam, berharap suatu saat bisa berguna. "Oke, anggap saja kata-kataku yang tadi hanya bercanda. Agaknya menakutkan kalau kau ternyata suka Rook-san dan bukan Vil-san."

"…" Menggelikan, kira-kira itu yang terlintas dalam kepala sang pangeran kedua. Ia tidak bisa membayangkan dirinya dan Rook punya hubungan khusus. Perasaannya terhadap gadis pemburu itu pun sebatas "kenalan," atau mungkin rival, seperti yang gadis itu pernah ucapkan padanya setahun lalu.

Leona tertawa sebagai wujud rasa gelinya. "Candaanmu jelek, Ruggie. Kau ingin aku benar-benar berakhir punya hubungan dengannya? Jangan ucapkan itu lagi di depanku."

"Huh … terserah. Selama kau tidak masalah rahasiamu ketahuan olehku."

"Kubiarkan yang satu itu karena sudah terlanjur." Leona melanjutkan perjalanannya kembali ke asrama. Matanya kembali melirik ke bawah, tapi sosok yang dicari sudah tidak ada.

.

.

.

"Love Knot"

Chapter 17

.

.

.

Apa dia menangis?

Leona mengulurkan tangan, bermaksud menyapu air yang berkumpul di ujung mata si gadis pemburu. Namun, tepat saat tangannya menyentuh kulit halus itu, air yang semula sedikit mendadak banjir. Rook mulai sesenggukkan, senyumnya otomatis hilang.

"H-hei, kau tidak apa-apa?" Seketika Leona menyesali pertanyaannya karena itu justru menambah besar tangisan Rook. Gadis itu kian tak terkontrol, berhambur ke dada Leona, menangis seperti anak kecil. "… Rook? Hei …?"

Rook sampai tidak sanggup menjawab. Kepalanya berusaha memberi perintah kepada kedua matanya untuk berhenti mengeluarkan air. Namun mereka tidak mau dengar. Berulang kali mulutnya mencoba mengucapkan sesuatu, malah memperburuk keadaan dengan memperbesar suara sesenggukannya.

Ia terlalu senang. Rook Hunt terlalu senang karena perjuangannya seperti membuahkan hasil. Setiap umpan yang dilempar, yang sempat ia kira gagal, ternyata hanya membutuhkan kesabarannya sedikit lebih banyak.

Mangsanya berhasil masuk dalam perangkap.

Masih tidak paham dengan apa yang terjadi, Leona memilih untuk mengelus punggung Rook, berharap bisa menenangkannya. Rasa kantuk yang tadi sempat datang mendadak hilang. Mata dan kesadarannya terbuka lebar, hanya misi menghentikan tangisan Rook lah yang memenuhi benak.

Kalau dipikir-pikir, ini yang pertama ia melihat Rook menangis keras. Gadis dalam dekapannya ini seakan meluapkan segala emosi yang sudah dipendam lama. Leona ingin tahu emosi apa yang dirasakannya, tapi ia tahu kalau ini bukan saat yang tepat. Rook masih perlu waktu untuk menenangkan diri. Cukup lama ia menangis seperti itu, sampai suara ketukan di pintu mengejutkan Leona.

Pesanan mereka. Leona mengambil satu bantal dan mencoba menggantikan dadanya dengan bantal itu. Secara mengejutkan Rook menerimanya, memeluknya dengan erat, melanjutkan tangisannya yang masih belum mereda—tapi sudah tidak sekencang tadi.

Melihat ada kesempatan, Leona langsung turun dari ranjang dan berjalan ke pintu. "Uh … bisa Anda tinggalkan saja di depan pintu?" Ia tidak ingin orang lain tahu kalau Rook sedang menangis. "Saya … masih harus ke kamar mandi."

"Ah, baik, Tuan." Beruntung pelayan yang mengantar tidak bertanya terlalu banyak. Tak berselang lama, suara langkahnya terdengar menjauh.

Setelah memastikan mereka kembali sendiri, Leona segera membuka pintu dan menarik cepat kereta makan mereka masuk ke dalam. "Haaah, ternyata ada supnya." Panik, Leona memeriksa mangkuk beling dengan tutupnya yang serasi. "Syukurlah tidak tumpah."

"Apa … apa makanannya sudah datang?" Mendengar suara serak itu, Leona bergegas kembali ke ranjang dan mendapati Rook yang masih menenggelamkan wajahnya ke bantal.

"Ya, sudah." Leona naik dan duduk di tengah-tengah. Ia menarik Rook, membawanya untuk duduk di antara kedua kakinya. Gadis pemburu itu sempat menolak, tapi Leona langsung berbisik, "Sssh. Kita begini dulu kalau kau butuh waktu lebih. Supnya tidak akan dingin secepat itu."

"…" Rook melepaskan pelukannya pada bantal yang sudah basah tak karuan, menggantinya dengan dada Leona yang bajunya juga sudah basah. Ia langsung menahan kepalanya, kembali menjauh dari dada Leona. "… M-maaf."

"Tsk, jangan dipikirkan." Leona menarik kepala Rook, memaksanya untuk bersandar di dadanya. Ia mengistirahatkan dagunya di bahu si pemburu. Tangannya kembali mengelus punggung yang masih sedikit bergetar akibat menangis.

"Aku … aku terlalu bahagia."

Matanya yang sempat terpejam, terbuka lagi. "Kenapa? Soal hadiah dariku?"

Rook mengangguk lemah. Dengan suara yang masih serak, ia mencoba bicara lagi, "Ini … cat kuku ini mungkin tidak seberapa. Bagimu … ini mungkin hanya hal sepele. Tapi, kau tahu, Leona-kun? Cat kuku … terutama yang warna perak ini … sangat berarti buatku."

Ternyata sungguhan spesial. Leona memeluk tubuh itu sepenuhnya. Hidungnya yang mampet berusaha sekuat tenaga untuk menghirup aroma kesukaannya. Namun, tentu saja, itu tidak akan berhasil.

Leona menggigit bibirnya sebentar sebelum bertanya, "… Kalau boleh tahu, kenapa bisa sespesial itu?"

"…" Rook menjauhkan diri, tapi tidak sampai melepaskan lengan Leona yang melingkar di pinggangnya. Matanya yang sembab membuat Leona tidak tahan dan menghapus sisa-sisa air mata yang masih ada. "Mm … karena ini spesial."

"Dan aku tanya spesialnya itu kenapa," balas Leona cepat. Ibu jarinya masih sibuk membersihkan sekitar mata Rook. "… Rahasia, kah? Kau tidak mau mengatakannya?"

Bukannya tidak mau, tapi perasaanku akan langsung ketahuan kalau aku mengatakannya. Rook kembali menunduk, memperhatikan botol cat kuku di tangannya. Setelah berpikir beberapa saat, ia bicara lagi, "Mungkin … belum saatnya."

"Sebegitunya?"

"Karena ini memang bukan masalah kecil." Kepalanya kembali menengadah. Senyum yang tadi sempat dipaksakan, sekarang sudah terukir dengan keinginan sendiri. "Kau mau menunggunya, kan, Leona-kun?"

"…" Leona mendekatkan diri, membiarkan dahi mereka saling bersentuhan. "Sampai kapan?"

Menjaga mati-matian agar jantungnya tidak sampai meledak, Rook menjawab, "U-uh … aku tidak bisa janji …."

"Harus pasti, atau aku memaksa sekarang."

"M-mana bisa begitu! Aku punya hak untuk merahasiakannya dan tidak, kan!" Dari tatapannya, Rook tahu kalau Leona tidak ingin dengar. Singa yang sisa jarak dengannya tidak sampai satu jengkal ini masih menuntut kepastian. Rook akhirnya menyerah. "Baiklah … sampai kau ulang tahun kalau begitu."

"Lama banget." Rupanya masih tidak mau menerima. "Dipercepat. Aku tidak suka menunggu lama-lama."

Rook menggembungkan pipi. "A-anggap saja balasan hadiahmu. … W-walau aku tidak yakin apakah kau akan senang atau tidak saat aku mengatakannya. Tapi … setidaknya aku ingin membalasnya dengan setara."

"Apa maksudnya itu …." Leona membuang nafas. Tepat saat itu, hidungnya kembali gatal. "Terserah. Sekarang … sepertinya aku butuh—haaah … haah—"

"Sebentar! Tahan dulu! Biarkan aku menjauh dulu!" Rook langsung menarik mundur tubuhnya, turun dari kasur sesaat sebelum Leona bersin dengan besar.

.

.

.

"Nggak enak. Supnya dingin."

"Tadi yang bilang 'supnya tidak akan dingin secepat itu' siapa, ya?"

"… Mirip sekali menirukannya, dan itu membuatku sebal."

Dari samping meja kerja di kamar hotel, Leona, memegang mangkuk sup dingin di tangan, memperhatikan Rook yang sibuk membersihkan kukunya dengan cairan pembersih cat kuku. Berhubung ia sudah mulai sering menggunakan cat kuku, di pouch makeup travel-nya pun, ia tak lupa menyiapkan satu botol cairan pembersih cadangan. Sekarang ia bersyukur telah memikirkan itu sejak pertama bertekad membeli cat kuku beraneka warna.

"Menyusahkan sekali. Kalau aku, mungkin sudah kulempar benda aneh berbau tajam itu." Leona menghabiskan supnya dalam satu kali teguk.

Rook tertawa kecil menanggapinya. "Namanya resiko. Aku sudah memutuskan untuk pakai cat kuku, jadi aku harus bisa sabar membersihkannya." Selesai, botolnya ditutup dan dikembalikan ke dalam pouch. Rook kemudian meraih botol cat kuku perak pemberian Leona. "Hmm … catnya dalam kondisi bagus. Kukira karena Leona-kun tidak paham dengan hal-hal semacam ini, catnya akan dalam kondisi kering."

"Apa-apaan itu? Kau sempat meragukanku?" Rook tertawa lagi, kali ini lebih keras. "… Tidak paham sekalipun, aku berusaha mencari yang kadaluarsanya masih lama. Aku juga sudah minta rekomendasi penjualnya, jadi tidak mungkin aku berikan yang jelek."

"Ada benarnya. Setiap baju dan sepatu yang kau berikan, semuanya dalam kondisi bagus."

"Heh. Baru sekarang kau sadar."

Rook memberi Leona isyarat untuk minum obatnya, sementara ia lanjut dengan urusan kuku. Cairan berwarna perak perlahan dipoles di atas kuku-kukunya dengan kuas yang menjadi satu dengan tutup botolnya. "Sayangnya aku baru bisa mewarnai polos seperti ini. Aku belum belajar nail art."

"Apa lagi itu …."

"Seperti namanya: seni menghias kuku." Sebagian jari kirinya yang sudah diwarnai diangkat. Rook menggerak-gerakkannya sejenak, lalu lanjut mewarnai. "Kau bisa menambah motif atau bahkan pernak-pernik apa pun sesukamu. Kukumu akan semakin cantik dengan nail art. Aku selalu ingin mencobanya, tapi masih belum ada niat."

"Hmmm …." Leona mengembalikan tempat obat ke atas kereta makan yang ditarik ke sampingnya. "Aku rasa itu akan semakin merepotkan. Lebih baik yang polos saja."

"Begitu?"

"Kau akan kesulitan berkegiatan kalau terlalu banyak hiasan menempel di kukumu."

Rook mengangkat tangan kirinya lagi. Kelima jarinya sudah berwarna perak berkilau. "Yang kau katakan ada benarnya. Tapi aku rasa, kalau sesekali, terutama saat liburan dan hanya ingin di rumah seharian, itu tidak apa-apa."

"Ya, kalau begitu mungkin tidak masalah." Leona menegak habis air di dalam gelas. Tidak hanya hidung, tenggorokannya sekarang ikut merasa tidak enak. Kepalanya sedikit demi sedikit bertambah berat.

Rook yang menyadari itu segera menghentikan kegiatannya. Kuku di tangan kanannya masih bersih, belum sempat tersentuh cat sedikit pun. Leona langsung mendecakkan lidah. "Selesaikan dulu apa yang sudah kau mulai. Jangan setengah-setengah."

"Kesehatanmu lebih penting dari kukuku." Rook memaksa untuk membantu Leona berdiri dan berpindah ke kasur. Gadis itu kembali ke meja kerja dan merapikan peralatannya. Ia lalu kembali ke kasur, duduk di sisi Leona yang terbaring lemah. Bibirnya mengukir senyum kecil. "Acara besok kita batalkan saja. Tiketnya nanti aku urus supaya bisa di-refund."

Leona hendak bangun lagi, tapi langsung dihentikan Rook. "Kenapa? Kau ingin menonton lagi, kan?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Tidak apa. Kapan-kapan kalau ada kesempatan lagi. Sekarang yang paling penting adalah kesehatanmu. Kau butuh istirahat." Leona tampak tidak setuju. Rook kembali bicara, "Aku tidak akan bisa menikmati pertunjukannya kalau sambil memikirkanmu yang terbaring di ranjang seperti ini. Lagipula, yang kita tonton hari ini sudah cukup. Setidaknya aku tahu jalan ceritanya."

Mendengar itu, akhirnya Leona menyerah. "… Ya sudah, suka-suka kau."

Rook tersenyum tipis. "Aku akan memperpanjang check-out-nya supaya bisa siang atau sore. Kau bisa istirahat sedikit lebih lama, Leona-kun. Tidak perlu khawatir."

"…" Leona menggenggam tangan kanan Rook, membawanya ke depan mukanya. "… Selesaikan warna yang kanan."

"Masih membahas kuku?" Rook membuang nafas lelah. "Besok saja, ya?"

"Aku ingin saat bangun tidur, kesepuluh kuku tanganmu sudah berwarna perak."

Rook membuang muka, rasanya panas. "Lagi-lagi aku menyerah …. Oui, aku akan menyelesaikannya setelah kau tidur."

"Janji?"

"Janji."

"Oke, aku tidur sekarang." Leona sudah memejamkan mata, tapi tiba-tiba ia membukanya lagi. "… Masih ada yang perlu kukatakan."

"Apa lagi?" Rook hanya bisa memberi tatapan heran.

Leona diam. Ia tampak berpikir sebentar, lalu bicara, "… Selamat ulang tahun."

Rook memiringkan kepalanya. "Tadi pagi kau sudah mengucapkannya, kan?"

"Iya … tapi itu kurang bagus."

"Huh?"

Leona terbatuk. Bukan karena flunya, tapi lebih ke "formalitas" sebelum bicara lagi, "Mumpung sekarang kita hanya berdua … jadi aku kepikiran kalau ucapan ulang tahunnya lebih pantas untuk diucapkan sekarang."

"…" Hening sesaat, kemudian Rook tertawa. "Leona-kun. Kalau aku sampai jatuh cinta padamu, jangan salahkan aku, ya?"

Seketika wajah Leona memanas. Kepalanya dimiringkan, menolak berhadapan dengan Rook. "Hah! Jelas itu salahmu karena bawa perasaan." Rook hanya lanjut tertawa. "… Sudahlah. Aku benar akan tidur sekarang."

"Um."

Singa itu kembali memejamkan mata. Tiga detik kemudian, Leona sudah masuk ke alam mimpi. Benar-benar seperti legendanya yang mengatakan "Leona Kingscholar bisa tidur dalam tiga detik." Rook tersenyum geli mengingat legenda yang entah dibuat siapa itu.

Gadis itu menarik selimut sampai menyentuh ujung dagu sang pangeran. Ia menepuk-nepuk perut pria itu pelan, bak ibu yang menenangkan anaknya yang sedang tidur. "Mimpi indah, cintaku. Terima kasih untuk hari ini." Bisikannya hanya bisa didengar diri sendiri. Namun, dalam hati, Rook sedikit berharap bisikan itu sampai ke telinga Leona yang sama sekali tidak menunjukkan pergerakan sejak ia menutup mata.

.

.

.

"Kau yakin yang kau suka itu Vil-san?"

Leona mengulang pertanyaan Ruggie siang tadi. Kepalanya berputar, memikirkan maksud dari perkataan itu. Pertama-tama yang perlu dipermasalahkan mungkin dari mana Ruggie tahu kalau Leona suka Vil. Akan tetapi, pertanyaan yang mengandung keraguan itu justru lebih menarik perhatiannya.

Memang kenapa kalau melihat perempuan lain di saat hatinya sudah memilih seseorang? Apa ada yang salah hanya karena ia sering melihat Rook Hunt? Lagipula itu bukan keinginannya. Tiba-tiba saja matanya sudah menemukan keberadaan gadis pemburu itu, mengikuti pergerakannya, hingga kemudian menghilang dari jarak pandang.

Hanya itu.

Leona tidak bermaksud melihat Rook Hunt. Tidak pernah. Satu kali pun.

"… Aku hanya suka Vil," Leona meyakinkan dirinya sendiri. "Si aneh itu sangat jauh kalau dibanding dengan Vil Schoenheit. Tidak ada yang menarik. Yang dilakukannya hanya mengekori orang lain, mengganggu mereka dan mengamati mereka dengan sesuka hati tanpa izin."

Rook Hunt adalah gadis aneh yang mengerikan. Kalau sampai ia menyukai gadis seperti itu, tandanya Leona Kingscholar sudah gila.

Ya. Mana mungkin ia akan suka dengan gadis semacam itu, kan? Dunia perlu kiamat 100 kali dulu kalau mau lihat Leona mengungkapkan perasaan pada Rook.

Itu tidak akan pernah terjadi. Hari menakutkan itu tidak akan pernah datang.

Leona mendengus geli. "Lupakan, lupakan. Lebih baik aku tidur. Besok … aku akan meminta saran hadiah untuk ulang tahun Vil." Ia pun tertidur tiga detik kemudian.

.

.

.

Next: Chapter 18

.

.

.

(A/N: Chapter ini di-up spesial di tanggal 2 Desember, 2022, tepat di hari ulang tahun Rook Hunt. Terima kasih sudah lahir ke dunia, pemburu cinta kita tersayang. Selamat berbahagia karena duo card-mu sama Leona Kingscholar juga, ya. Kebetulan sekali. Semoga kamu bisa menikmati satu hari ini dengan penuh senyum tanpa adanya satu tetes pun air mata kesedihan yang mengalir. Terus dan teruslah bahagia. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kita juga.

Terakhir, sedikit pesan pribadi dariku mungkin …. Terima kasih karena selalu memberi pengalaman yang menyenangkan, Ruu-chan. Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri. Tiga ulang tahunku sejak mengenalmu adalah yang paling berharga karena kita selalu merayakannya bersama. Semoga tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, kita masih punya kesempatan untuk saling mengucapkan. Sekali lagi, terima kasih sudah lahir ke dunia ini. Selamat ulang tahun.

Oh, kalau pembacaku ada yang hari ini juga, selamat ulang tahun untukmu!)