Sakura melamun sembari memeluk kedua lututnya. Matanya menatap kosong pada tembok kamar. Ino merasa miris dengan keadaan sahabatnya. Lima belas menit yang lalu Sakura menelponnya sembari tertawa dan meracau tidak jelas. Tetapi ketika ia sampai di kamar apartment gadis itu justru terus melamun.

Ino menepuk pelan bahu sahabatnya.

"Sakura?"

Tidak ada sahutan.

"Kau kenapa?"

Masih tidak ada sahutan.

Geram sudah seorang Yamanaka Ino menghadapi makhluk merah muda di hadapannya. Dengan gemas Ino menarik beberapa helai rambut Sakura. Membuat sang empunya menjengit kaget.

"Sakit, sialan!" Sakura melepas dengan kasar genggaman tangan Ino di rambutnya.

Ino mengerucutkan bibirnya, "Suruh siapa aku bertanya kau justru diam saja. Melamun tidak jelas."

Sakura memutar kedua bola matanya bosan. Dia bangkit untuk mengambil air minum yang ada di nakas meja samping tempat tidur. Diminumnya air yang ada digelas itu sedikit kemudian memberikan gelas itu pada Ino.

Ino mengangkat sebelah alisnya bertanya. Tidak mengerti akan tindakan Sakura ini.

Sakura pun mendudukan dirinya di lantai, "Siram aku dengan air itu."

"Demi Tuhan, kau ini kenapa?" Ino menggeram.

"Ino bunuh saja aku ... aku sudah tidak punya alasan untuk hidup lagi ..."

Plak!

Suara dua benda yang beradu terdengar kencang. Disusul dengan suara jeritan salah satu di antara mereka.

"Pelanggaran! Kartu merah! Ini namanya kekerasan dalam rumah sahabat sendiri!"

"Sakit, 'kan?" tanya Ino, dia meniup kedua telapak tangannya sendiri. Seperti dalam adegan-adegan film action, di mana si pemain meniup pistolnya yang mengepul setelah menembakan peluru panas.

Sakura terlihat seperti akan menjitak kepala Ino, namun dengan sigap tangannya ditangkap. Dia menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Ino.

Sakura mengusap kedua pipinya, "Tentu saja sakit, bodoh."

Ino menjetikkan jarinya, seakan-akan Sakura baru saja menjawab sebuah quiz berhadiah.

"Nah, kalau begitu ..." Ino terdiam sejenak, "CEPATLAH WARAS, MERAH MUDA!"

Sakura segera melindungi telinganya dari polusi udara yang dibuat Ino. Dia mendelik, "Jangan berteriak, Pirang!"

"Makanya, cepat beritahu aku ada apa?" rengek Ino.

Sakura mendesis jijik sebelum akhirnya menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Jari telunjuknya bergerak abstrak di atas karpet kamarnya.

"Aku baru saja mempermalukan diriku sendiri," akunya.

"Maksudmu?"

"Kau tahu? Aku bocor dihadapan Uchiha Sasuke dan Akasuna Sasori. Lucu, bukan?" Sakura tertawa miris mengingat kejadian di supermarket tadi.

Ino menatap horor Sakura, "Kau sedang bercanda, 'kan?"

"Tidak ..."

Perempuat berambut pirang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak menyangka jika sahabat merah mudanya, bisa tertimpa keberuntungan sekaligus kemalangan secara bersamaan.

"Aku turut berduka cita."

"Inooo!"

o0o

"Bukankah perempuan tadi sangat menggemaskan?"

Sasori terkekeh sendiri memikirkan kejadian tadi, sementara orang yang diajak bicara hanya memutar bola mata bosan. Sasuke menatap datar pada jalanan malam kota Tokyo. Gemerlap mewah kota ini membuat jalan terang. Meskipun masyarakat yang lain lebih memilih berjalan kaki. Tetapi Sasuke lebih memilih jalan aman, yaitu memakai mobil. Ia tidak ingin tiba-tiba ada penggemar yang menerjangnya.

"Hmm, apa dia pelaku tragedi jus strawberry tadi siang? Kau bilang yang menyiramkan jus itu adalah perempuan berambut merah muda," tanya Sasori tanpa menatap Sasuke. Kepalanya menyandar pada kaca, pandangannya terfokus pada hal-hal di luar mobil.

"Ya."

Sasori menjentikan jarinya, "Sudah kuduga!" ia terkekeh, "Pantas saja tatapannya padamu sarat akan rasa benci.

"Tapi tenang saja, rasa benci itu akan berubah sebentar lagi," lanjutnya.

Sasuke tetap diam. Tidak merespon sama sekali perkataan Sasori. Ia lebih memilih menyetir dengan fokus daripada mendengar celotehan Sasori di sampingnya. Membiarkan jangkrik merah itu berderik sepuasnya.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Saat di supermarket, tanpa sengaja matanya melihat noda merah dari celana biru muda yang dipakai perempuan gila itu. Konyol sekali. Ia jadi tersenyum tipis bila mengingatnya.

Sasori yang duduk di samping Sasuke terheran-heran melihat sahabatnya senyum-senyum sendiri. Ia merasakan bulu romanya meremang. Jarang sekali laki-laki dingin di pinggirnya ini tersenyum. Tapi sekalinya ia melakukan itu, Sasuke justru tersenyum tanpa alasan yang jelas.

'Hii, sayang sekali, tampan-tampan tapi tidak waras,' batin Sasori.

Beberapa menit di jalan, akhirnya mereka sampai di basecamp ketiga para pria penjerat wanita. Yaitu rumah Sai.

Sasuke dan Sasori membawa botol-botol anggur itu masuk ke dalam. Sai menyuruh ketiga sahabatnya untuk berkumpul di rumahnya. Karena si pelukis edan itu membutuhkan inspirasi untuk bahan lukisannya. Dengan minum-minum.

Sasori masuk ke dalam kamar sekaligus ruang kerja milik Sai, "Kami kembali."

Di dalam sudah ada Naruto dan si pemilik rumah. Keduanya sedang bermain playstation. Bermain game sepak bola, Pro Evolution Soccer.

"Ayo ... ayo! Sedikit lagi ... YES! Sudah 3-0, itu artinya aku menang," Sai tersenyum remeh pada Naruto.

"Maka sesuai perjanjian," Sai mengulurkan tangannya, "Berikan kunci Mustang-mu."

Naruto mengacak-acak rambut kuningnya, "Argh, sial!" ia merogoh kunci mobil yang ada di sakunya, kemudian melemparnya pada Sai.

"Nice."

Asal kalian tahu saja, Naruto memang ahli mencetak gol saat di lapangan. Tapi, keahliannya itu tidak berpengaruh ketika ia bermain sepak bola di dalam game. Dirinya ahli dalam praktek, tapi tidak dengan teori.

Sai mengabaikan Naruto yang sedang merajuk, ia lebih memilih pergi menghampiri Sasori dan Sasuke yang sedang merapikan belanjaannya.

Ia mengambil sebuah gelas dan dua botol anggur untuk dirinya sendiri. Julukan pelukis edan tidak sekonyong-konyong diberikan padanya. Selain karena kelakuannya yang memang tidak terlalu benar, kebiasaannya melukis dalam keadaan mabuk itu, menjadi salah satu alasan julukan itu tercipta.

Sai pernah berkata bahwa ide—yang ia sebut sebagai anugerah Tuhan itu selalu datang disaat ia mabuk. Dan, perkataannya itu juga bukan hanya bualan semata. Sai memang selalu menghasilkan mahakarya ketika dirinya mabuk.

"Mau pesan pizza juga?" tanya Naruto yang sudah duduk di atas sofa. Tangannya memegang ponsel.

"Boleh."

"Tidak, aku sedang diet," balas Sasori.

Sementara Sasuke diam saja tidak menjawab. Baginya permainan di ponsel lebih menarik daripada cunguk-cunguk berlabel sahabat itu.

"Baiklah, kalau begitu dua box saja."

"Oke," balas Sai.

Sasori berdiri, menghampiri playstation yang sedang menganggur.

"Sasuke, ayo bermain denganku!" ajaknya.

Sasuke mengeluarkan ponselnya dari aplikasi yang dimainkannya. Ia menatap Sasori disertai seringaian, "Boleh saja."

Sasori ikut menyeringai, "Bagaimana kalau kita bertaruh?"

Sasuke menatap remeh Sasori, tatapannya seolah menyiratkan bahwa dirinyalah yang akan menang.

"Siapa takut."

Sasori terkekeh, "Yang kalah harus melayani yang menang selama satu bulan. Bagaimana, setuju?"

"Setuju."

Sasuke menyetujui hal itu tanpa pikir panjang. Dia hanya tidak tahu apabila perkataannya itu bisa menjadi titik balik dalam kehidupan datarnya.

tbc.