Sakura menaruh sembarang tas yang dibawanya ke atas meja rias. Dia menjatuhkan diri di kursi, mengambil kapas, lalu membubuhkan cleansing water pada benda berwarna putih tersebut.

Tangannya mulai bergerak untuk mengusap makeup tipis yang dirinya pakai. Menatap pantulan wajahnya sendiri dari balik cermin. "Mulai besok, aku bukan pengangguran lagi ..." gumamnya.

Well, bisa dibilang begitu. Selama satu bulan ke depan, status pengangguran yang selama ini melekat padanya akan menghilang. Tidak akan ada lagi Ino yang mengejeknya seorang pengangguran. Atau, tidak akan ada lagi Haruno Sakura yang rela memakan ramen selama berhari-hari demi menghemat pengeluaran.

Setidaknya hanya untuk satu bulan.

Kemudian setelah tugasnya selesai, status sebagai pengangguran sejati akan kembali menempel pada dirinya.

Selesai membersihkan noda yang menempel di wajah, Sakura berjalan ke arah ranjang. Dia merebahkan diri di atas benda persegi panjang itu, tanpa mengganti pakaiannya.

Kepala Sakura sedikit pusing setelah bertemu dengan Sasori tadi. Dia tidak tahu harus melakukan apa esok hari nanti. Pria merah itu bilang jika dirinya hanya harus melayani permintaan sahabatnya saja.

Sasori juga berkata bahwa sahabatnya itu seseorang yang baik hati. Tapi, ekspresi Sasori ketika mengatakan hal tersebut terlihat sangat mencurigakan. Membuat Sakura khawatir saja.

Angin sepoi-sepoi menerpa tubuh perempuan merah muda itu, masuk melalui jendela yang terbuka lebar-lebar. Membuat rasa kantuk perlahan-lahan menyerang, dan menariknya ke dunia mimpi.

Drrtt!

Getaran pada ponsel membuat Sakura tersentak—terbangun secara tiba-tiba. Memberikan efek seolah-olah dirinya baru terjatuh dari ketinggian.

Sakura mengusap bibirnya yang terkena air liur, tangannya bergerak untuk mengambil ponsel di dekat bantal tempatnya tertidur. Dia mengernyit, ada apa dengan Ino sampai-sampai menghubunginya sebanyak ini?

21 missed call

Entah kenapa, hawa dingin menyerang tengkuk Sakura, membuat bulu kuduknya berdiri.

Telpon yang tadi sempat mati, kini kembali menampilkan nama Ino. Mungkin Sakura yang terlalu berlebihan, tetapi getaran pada ponselnya itu seakan terasa berbeda. Namun, dia tetap saja mengangkatnya.

"SAKURA!!!"Uh-oh.

Sakura meringis. Dirinya sedang dalam bahaya.

o00o

Sekarang, Sakura sedang berada di dalam taxi, dalam perjalanan menuju tempat yang dia tuju, yaitu tempat dirinya akan bekerja nanti.

Bermodalkan alamat yang diberikan oleh Sasori, Sakura akhirnya sampai di depan sebuah gedung apartment mewah. Dia meringis dalam hati, well, circle pertemanan dokter muda itu memang tidak perlu diragukan lagi.

Sasori bilang, kamar apartment sahabatnya itu ada di lantai teratas. Tapi, masalahnya, untuk mengakses lantai tersebut diperlukan kartu ijin khusus. Untungnya, Sakura diberikan nomor telpon dari sahabat yang dirahasiakan namanya oleh Sasori.

Dan lagi-lagi, masalah menghampiri Sakura karena ada dua nomor yang Sasori beri. Dia bingung harus menghubungi yang mana terlebih dahulu.

Akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk menelpon salah satu nomor, nada panggilan menghubungi pun terdengar. Hingga sebuah suara pria menyahut dari seberang sana.

"Halo?"

Sakura menjilat bibirnya sebelum berbicara, "H-halo, saya Haruno Sakura yang akan bekerja dengan Anda selama satu bulan."

"Ah, baiklah, kau sudah sampai?"

"Ya."

"Bagus, kau hanya perlu pergi ke lantai paling atas gedung ini. Aku akan menunggu di luar kamar."

"Maaf, tapi aku tidak diberi ijin untuk memasuki lantai tersebut."

Suara tawa canggung terdengar dari ponsel yang bertengger di kuping Sakura, "Ya ampun, maafkan aku. Aku lupa jika ingin ke sini harus memakai kartu. Baiklah kalau begitu, aku akan menjemputmu di lobi."

Sakura mengangguk meskipun tahu bahwa orang tersebut tidak dapat melihatnya, "Baik, akan kutunggu."

Tut!

Dan sambungan telpon pun mati.

Sakura melangkahkan kakinya ke sofa di lobi gedung apartment mewah ini. Mata emerald-nya bergerak liar mengamati interior yang ada di sini. Mulai dari chandelier megah yang menggantung dengan indahnya. Ada juga guci-guci yang terlihat mahal dan antik. Vas bunga menakjubkan yang mungkin harganya lebih mahal dari harga sewa apartment Sakura. Membuat diri sendiri merinding membayangkan apabila dirinya secara tidak sengaja, memecahkan barang-barang mahal itu. Mungkin Sakura harus menjual satu ginjal dan hatinya untuk bisa mengganti benda tersebut.

"Nona Sakura?"

Sebuah suara mengalihkan Sakura dari kegiatan menjelajahnya. Netra hijaunya menangkap sosok pria berambut perak yang sedang tersenyum ke arahnya.

Sakura mengedipkan matanya beberapa kali sebelum memasang senyum manisnya. "Ah, ya, betul. Anda sahabatnya dokter Sasori?"

Pria itu terlihat menggaruk kepalanya, "Mmm ... bisa dibilang begitu?" Ia mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman dengan Sakura.

"Saya Hatake Kakashi."

"Haruno Sakura."

Jabatan tangan mereka terlepas. "Mari, aku antar ke atas," ujar Kakashi. Ia menggerakkan kepalanya, menyuruh Sakura agar berjalan mengikuti dirinya.

Mereka berdua berjalan bersama menuju lantai paling atas gedung ini, menggunakan lift khusus. Dengan semua hal khusus yang berada di sini, menjelaskan pada Sakura bahwa jika kau punya uang, kau akan diperlakukan berbeda.

Selama di perjalanan, tidak ada yang berbicara di antara keduanya. Sakura dan Kakashi sama-sama membisu.

Sakura dengan pemikiran-pemikiran di dalam dunianya sendiri, dan Kakashi yang lebih memilih diam karena ... tidak tahu harus membahas apa.

Such a awkward person.

Begitu pintu lift terbuka, mereka telah sampai di lantai teratas. Dua orang penjaga terlihat berjaga di dekat pintu lift. Kakashi memperlihatkan kartu khusus sehingga para penjaga tersebut mengizinkannya masuk.

"Dia bersamaku," ujar Kakashi, diperuntukkan pada Sakura yang berdiri di belakangnya.

Kedua penjaga berbadan besar itu menatap Sakura sekilas, lalu mengangguk. Mempersilahkan keduanya untuk berjalan keluar lift.

Setiap langkah demi langkah menyusuri lorong tersebut, membuat keringat dingin berkumpul di telapak tangan Sakura. Padahal sebelumnya dia tidak merasa setegang ini.

Mereka berjalan menuju kamar yang berada di paling ujung kanan lorong. Meskipun berada di pojok, kamar tersebut justru mendapatkan view paling keren di sini; sebuah jendela besar yang memperlihatkan keindahan kota Tokyo bersama gedung-gedung pencakar langitnya.

"Jadi ... aku bukan bekerja padamu?" tanya Sakura, memecahkan keheningan di antara keduanya setelah sekian lama.

Kakashi yang sedang memasukkan keycard menoleh sebentar pada Sakura, "Ya. Kita akan menjadi partner kerja nanti. Melayani orang yang sama."

"Apa dia orang yang baik?"

"Tentu, hanya saja terkadang perilakunya seperti macan yang sedang menstruasi," pintu pun terbuka. Mereka berdua masuk ke dalam kamar apartment mewah yang harga sewanya bisa mencapai beratus-ratus juta atau mungkin lebih dalam sebulan.

Otak Sakura masih memproses perkataan Kakashi tadi. Macan yang sedang menstruasi? Apa sahabat Sasori itu bisa menggigit?

Kakashi menuntun Sakura menuju ruang tamu, dan menyuruhnya duduk disalah satu sofa. Ia berkata akan memanggil sahabat Sasori, karena orang tersebut masih tidur.

Sakura mengangguk mengiakan, kemudian pria yang suka memakai masker hitam itu masuk ke sebuah kamar. Sebelum memasuki kamar, Kakashi terlihat membawa segelas air, yang Sakura tidak tahu akan digunakan untuk apa air tersebut.

Perempuan itu mengernyit saat mendengar suara seperti benda terjatuh, dan teriakan seorang pria. Tapi ada yang aneh, Sakura merasa familiar dengan suara teriakannya.

"ARGH! BERHENTI SIRAM AKU KAKASHI!"

"CEPAT BANGUN KAU SASUKE! ADA TAMU YANG MENUNGGU!"

Tunggu.

Pendengaran Sakura tidak sedang rusakkan?

Siapa yang Kakashi panggil tadi? Sasuke?

tbc.