Fic ini dibuat berdasarkan tantangan dari kak Forget me not. Semoga suka. Kalau nggak suka di skip aja :D
Illa-Illa
.
Naruto by Masashi Khisimoto
Pairing : Kiba/Ino
.
.
Demi nama cinta
Telah kupersembahkan hatiku hanya untukmu
Telah kujaga kejujuran dalam setiap nafasku
.
Element~Cinta Tak Bersyarat
Love is an untamed force. When we try to control it, it destroys us. When we try to imprison it, it enslaves us. When we try to understand it, it leaves us feeling lost and confused.
.
~Paulo Coelho
Tokyo, 2022
.
Harus ku akui bahwa Ino Yamanaka adalah wanita paling cantik yang pernah ku temui. Dia memiliki rambut pirang panjang yang indah, bibir mungil dengan senyum yang membuat kecanduan, manik biru muda yang mampu menyedotmu ke dunianya, kulit putih bersih bak poselen, dan aura positif yang akan membuatmu tenang ketika bersamanya. Bagiku, Ino adalah definisi kesempurnaan yang belum tergantikan sampai hari ini.
Mana bisa aku mengalihkan tatapan dari sosoknya yang begitu cantik hari ini. Gaun putihnya yang mewah memeluk erat lekuk tubuhnya yang begitu mengagumkan, sementara bagian pinggangnya mengembang ke bawah, dia seperti putri raja. Atau mungkin lebih tepat disebut bidadari.
Rasanya seperti mau pingsan ketika mata biru cantik itu mengerjap ke arahku. Tumpahan bahagia, haru, dan campuran perasaan lain yang tak mampu ku definisikan membaur dalam kubangan biru jernih tersebut. Aku pun merasa demikian, tak mampu menahan gejolak bahagia dalam dada. Rasanya aku baru bertemu gadis ini kemarin, tapi betapa cepatnya waktu berlalu dan membawa kami ke gedung ini. Gedung tempat upacara sakral ini dilangsungkan.
Osaka, 2011
.
Aku pertama kali bertemu Ino saat hujan gerimis tengah mengguyur sebagian Osaka sore itu. Di halte, ketika menunggu bis datang. Ia mengenakan sweater kuning agak kebesaran dengan rok berwarna abu-abu, berpelisir hingga lutut, dan dalam sekali lihat saja aku terpesona. Penampilannya tidak terlalu menyita perhatian, namun rambut pirang panjangnya, yang saat itu digerai dan sedikit terkena percikan air hujan membuatku tak bosan menatapnya. Salahkan hujan, atau salahkan keadaan yang membuat kami terjebak disana hanya berdua dan mengawali segala kisah yang dalam firasat ku tak akan berakhir secepat berakhirnya musim semi. Barangkali aku mulai jatuh cinta saat itu, atau aku cuma kagum. Sulit juga didefinisikan, karena kadang kau tidak benar-benar tahu sejak kapan tepatnya kau jatuh cinta ketika segala momen terus berjalan dan kita tak terlalu memperhatikan.
Meskipun aku cukup blak-blakan, aku bukan cowok yang langsung minta nomor telfon saat pertama kali bertemu. Bahkan kami juga tak melibatkan diri dalam percakapan apapun.
Kali kedua bertemu terasa lebih lekat di memori ketimbang kesan pertama bertemu. Dia diperkenalkan Guru Iruka--wali kelas 10 B-- pagi kemudian. Penampilannya luar biasa menyilaukan, dengan rambut yang tergerai dan jepitan kecil yang terselip di bagian kanan, Ino tampak begitu manis. Dan aku menduga, seluruh bocah laki-laki di kelas pasti terpesona padanya.
Suaranya ketika memperkenalkan diri terkesan agak malu-malu, namun juga diiringi antusiasme yang tinggi. Dia anak kota, pindahan dari Tokyo. Dan tak memberi penjelasan lebih panjang lagi soal alasannya pindah. Jadi kami sekelas menduga, barangkali ayahnya dipindah tugaskan ke Osaka, yang membuatnya mau tak mau juga harus pindah sekolah.
Kedatangan Ino ke kelas ini membawa suasana yang berbeda. Dan mungkin bukan cuma aku yang merasa demikian. Dia membuatku lebih bersemangat berangkat sekolah, meski hanya untuk melihat dia tersenyum atau sekedar mengangkat tangan dan menjadi sukarelawan untuk menghapuskan papan tulis. Hanya saja, aku belum menemukan momen yang tepat untuk berusaha lebih dekat dengannya.
Aku mungkin harus bersyukur berkali-kali karena berinisiatif mengambil buku paket biologi di loker sebelum pulang sore itu. Mengabaikan lelahnya kakiku sehabis latihan sepak bola, aku melangkah memasuki ruang loker dan dikejutkan oleh teriakan familiar dari dalam. Aku agak berlari menghampiri suara itu, dan dikejutkan oleh Ino yang terduduk di pojokan sembari memeluk lututnya.
"Ada apa?" Tanyaku, berlutut di dekatnya. Tak ada jawaban, bahunya agak bergetar, dan ketika matanya yang sembap mengarah ke lokernya, banyak sekali kecoak keluar dari sana. Sialan, ada yang mengerjainya.
Aku mendecak, mendadak luapan rasa kesal menguar dalam dadaku. Meski bukan aku yang dikerjai, tapi rasanya lebih menyakitkan saat melihat Ino ketakutan disana dan seseorang yang menjadi dalang entah dimana sekarang. Aku bergegas keluar, dan meminta semprotan pembasmi serangga pada seorang tukang kebun yang masih berada di sekolah.
"Aku minta maaf, kau jadi merepotkan diri seperti ini." Ino membungkuk berkali-kali saat aku usai membersihkan puluhan bangkai kecoak yang tadi bergelimpangan di lantai. "Terima kasih banyak Inuzuka, Terima kasih."
Aku mengangguk, agak bingung juga harus bereaksi bagaimana. "Apa ada yang begitu membencimu di kelas?" Gadis itu hanya diam, tampak tengah berpikir. Aku tidak pernah memperhatikan ada yang begitu membenci Ino di sekitar kami, gelagat semua siswa dan siswi di kelas begitu normal. Jadi, mungkin usai ini aku juga harus sedikit waspada. Hal semacam ini bisa saja terulang lagi.
Ino menggeleng. "Semua orang memperlakukan ku dengan baik selama ini."
Dasar anak kota, mungkin dia selama ini menilai setiap orang sepolos pikirannya.
"Nggak semua orang baik di depan bakal tetap baik di belakang, Yamanaka. Aku tidak mau kau berpikir macam-macam, tapi lebih berhati-hati lagi ya." Aku tak tega melihatnya pulang sendirian, jadi ku temani. Ku temani naik bis hingga terminal dekat rumahnya, meski setelahnya aku harus mencari bis lain yang membawaku ke arah sebaliknya. Tapi sejujurnya, meskipun rasanya luar biasa lelah dan kesal aku diam-diam merasa lega. Seolah ribuan kupu-kupu tengah beterbangan di perutku.
Kali ini aku melihat sendiri ketika Conan menumpahkan sebotol susu ke kepala Ino. Di lorong sepi dekat tempat pembuangan sampah akhir. Tadinya aku mau menuju sayap kanan gedung sekolah, tempat latihan sepakbola. Dan jalan pintas tercepat adalah lewat lorong itu.
Aku diam sejenak mengamati, dan mereka belum menyadari kehadiranku. Ku coba mendengarkan masalah apa yang mendasari pertengkaran itu.
"Kalau sampai aku melihat kau berusaha mendekati Sasuke lagi, ku habisi kau." Aku tidak heran dengan serangkaian kalimat ancamannya. Sudah bukan rahasia lagi jika Conan naksir Sasuke--si kapten tim voli yang terkenal seantero sekolah.
Ino menyibak poni rambutnya yang basah, dan tak seperti dugaanku, iris matanya tampak tak gentar dengan ancaman Karin. "Aku nggak mendekati Sasuke, dia sendiri yang memberikan minuman itu padaku. Lagi pula apa artinya sekotak susu? Ku pikir itu bukan sesuatu yang spesial."
"Dasar jalang, berani kau ya padaku?" Tangannya menarik kerah seragam Ino, membuat cewek itu tersentak.
Tak mau berlama-lama menonton adegan itu, aku berjalan mendekat, dan pura-pura kaget dengan kehadiran mereka. "Apa yang kalian lakukan?"
Conan melepaskan cengkeramannya, mendengus. "Lain kali aku tidak akan melepaskanmu." Bisiknya pada Ino, namun cukup keras untuk ku dengar. Cewek itu cuma melihat sekilas ke arahku, sebelum berlalu pergi.
Ino mendengus lega, dan bisa ku lihat dengan jelas kubangan air pada biru jernih matanya.
"Kau nggak apa-apa?"
"Yeah," Jemari lentiknya mengusap wajah, dan tampak kesal dengan seragam dan sebagian rambutnya yang basah. "Aku bakal kena marah usai ini."
Aku diam sejenak, sedikit ingin tertawa dalam hati. Pasalnya kukira dia benar-benar berani menghadapi Conan, nyatanya sekarang justru ingin menangis. "Ku rasa bakal cepat kering kok." Aku diam sejenak. "Ada sekotak tisu di bangku ku, ambil dan keringkan rambut dan bajumu. Paling tidak, itu cara teraman agar bajumu nggak basah untuk sementara waktu."
Entah kenapa, dia justru diam menatapku.
"Aku mau ke gedung olahraga sebentar, mau ikut?" Aku tertawa ketika kening Ino justru mengerut heran.
"Nggak, aku langsung ke kelas saja."
Aku mengangguk, dan bergegas pergi.
"Inuzuka."
"Ya?"
"Terima kasih."
Aku tidak tahu untuk apa? Untuk bantuan mengusir Conan atau untuk tisu yang ku tawarkan padanya, tapi aku memilih mengangguk dan segera lari dari sana. Tapi pikiranku seharian itu teralihkan total pada Ino. Aku benar-benar mengkhawatirkannya.
Kenapa aku bisa jadi akrab dengan Ino? Ini bukan kebetulan, melainkan sesuatu yang direncakan. Terlalu banyak cowok yang merecokinya, mungkin dengan dalih naksir. Banyak juga cewek yang melabrak Ino karena cowok mereka lebih tertarik dengan Ino. Jadi, Ino berusaha mendekatiku setelah tahu aku jomblo. Dia baru mengakui ini lama setelah kami jadi lebih dekat, dan mengambil sedikit resiko menjadi sasaran kebencian dari beberapa siswi yang mengaku sebagai penggemar ku. What, penggemar? Aku juga baru tahu jika punya penggemar.
Setelah sering berangkat dan pulang bareng, Ino bercerita padaku jika dia hanya tinggal dengan neneknya. Ibu dan ayahnya bekerja di Tokyo, dan karena jarang pulang ke rumah sebab sama-sama sibuk, mereka menitipkan Ino pada sang nenek.
"Aku sering di rumah sendiri, dan karena orang tuaku merasa itu bakal nggak aman buat aku, mereka akhirnya memindahkan ku kesini. Padahal aku kan bukan anak kecil lagi." Katanya waktu itu.
Nyaman rasanya berada di dekatnya, seperti ada perasaan damai yang tak bisa ku jelaskan tiap kali melihat senyum dan binar matanya. Suara tawanya adalah hal yang kerap ku cari tiap kali duniaku rasanya tak baik-baik saja.
Meski belum bisa disebut pacaran, hubungan kami nyaris tak berjarak. Dan karenanya tak pantas juga cuma disebut pertemanan.
Aku pernah beberapa kali mampir ke rumahnya, dan bertemu neneknya yang super ramah. Wanita itu masih cukup muda untuk disebut seorang nenek. Dan meskipun Ino berkali-kali meyakinkanku jika neneknya berumur enam puluh tahun, aku memberikan opini sendiri jika wanita itu mungkin masih berumur awal lima puluhan.
Aku pernah makan di rumahnya dan Ino juga pernah makan di rumahku. Hana--adikku--begitu menyukai Ino dan berkata bahwa ia ingin memiliki kakak seperti gadis itu.
"Apa kau harus menikah dengan Kiba biar jadi kakakku?" Dan Ino hanya menanggapinya dengan tawa.
Dia juga pernah menelfon ku tengah malam hanya karena kucing persianya tak bisa turun dari pohon. Dia minta tolong padaku karena semua tetangganya sudah tidur, tak berani minta tolong siapapun. Demi Tuhan, jarak rumahku dan rumahnya sekitar sepuluh kilometer, jadi aku mengayuh sepeda menuju rumahnya. Ku lakukan tanpa pamrih hanya karena aku telah dibuat jatuh hati pada gadis itu.
Meski demikian, aku baru mengungkapkan perasaan pada Ino ketika menjelang kelulusan. Beberapa hari sebelum try out dan gencaran bimbingan belajar yang terlalu menyita waktu. Awalnya aku agak ragu, di bawah temaram lampu jalanan ketika kami baru pulang dari bimbel. Barangkali saat itu topik yang kami bicarakan seputar serial Harry Potter mendadak jadi tak menarik hingga membuatku mengungkapkan perasaan. Kalau sampai ditolak, aku bakal bilang 'yang tadi itu bercanda'. Namun jawabannya di luar dugaan.
"Ya Tuhan, Kiba. Kenapa baru sekarang? Sudah lama sekali aku menunggu kau mengucapkan ini." Dengan mata yang agak berair, Ino tak mampu menyembunyikan ekspresi malunya saat mengiyakan ajakanku menjalin hubungan yang lebih serius.
Aku cuma tertawa dan mengacak rambutnya. "Habisnya aku takut, ternyata kau naksir yang lain."
Dan mulai hari itu, kami resmi pacaran.
"Mau ambil jurusan apa nanti?"
Pertanyaan ini kadang membuatku muak, menentukan jurusan menjelang akhir seperti ini agak riskan. Khawatir juga nanti tak sesuai harapan, dan bimbingan bersama guru BK pun kadang tak terlalu membuahkan hasil. "Ibuku menyarankan ambil pendidikan, dan kurasa sampai saat ini jurusan itu yang paling aman untuk otakku yang pas pasan." Aku menatapnya yang tengah menyesap jus anggur favoritnya. "Kalau kau?"
"Aku akan ambil Farmasi di Todai."
"Sudah diskusi dengan orang tua?"
"Yeah, awalnya ayah menyarankanku ambil keperawatan tapi ibuku menyuruhku ambil Farmasi."
Tidak heran, ayah Ino adalah seorang dokter jantung sementara ibunya seorang perawat senior di sebuah rumah sakit terkenal di Tokyo. Ujung-ujungnya Ino akan tetap masuk sekolah kesehatan seperti orang tuanya.
Sembari mengedarkan tatapan ke seluruh kantin yang sudah sepi, ku putuskan ambil pendidikan di Todai. Sepertinya menjadi guru saat lulus kuliah bukan hal buruk.
Aku mendaftar di Todai, mengambil jurusan pendidikan Biologi setelah pertimbangan panjang. Dan diterima usai melewati berbagai tes yang ribetnya minta ampun. Sejujurnya, aku memilih Todai agar bisa sering bertemu Ino. Paling tidak, seminggu dua kali juga sudah lumayan.
Tokyo barangkali seperti yang ku lihat di TV, namun segala beban hidup yang bakal ku jalani sendiri belum pernah ku bayangkan sebelumnya. Tidak mungkin aku mengandalkan kiriman uang dari ibu terus menerus, ibuku yang cuma orang tua tunggal juga harus menanggung biaya pendidikan Hana yang saat itu sudah kelas dua SMA. Maka ku putuskan mencari pekerjaan paruh waktu ketika semester pertama nyaris usai. Dan mendapatkan tawaran bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan dekat Stasiun.
Beban kuliah yang memusingkan ditambah kerja paruh waktu yang berat membuat ku kadang ingin menyerah, namun pesan-pesan sederhana yang dikirim Ino tiap malam membuatku bersemangat kembali.
'Tiap kali ingin menyerah, ingat lagi alasan kenapa kamu memulai semua ini.'
Aku tidak pernah menduga ini sebelumnya, sampai Ino membawaku ke rumahnya dan bertemu kedua orang tuanya. Aku tidak tahu salahku dimana, tapi mereka mengabaikanku. Seolah aku tamu tak penting, atau sekedar orang mampir dan hanya ada perlu dengan Ino. Padahal dalam hati besar sekali harapan untuk bisa melamar putri mereka suatu hari nanti.
"Ada banyak masalah akhir-akhir ini, ya kau tahu lah tempat kerja kadang-kadang membuat para senior kerepotan menghadapi junior mereka." Itu kata Ino setelah kami memutuskan mencari makan di luar, dan dia meminta maaf karena perlakuan orang tuanya padaku.
"Aku nggak kecewa kok, tenang saja." Omong kosong, dan rasa pesimis ku yang awalnya hanya lima persen kini jadi enam puluh lima persen.
"Kiba, yang semangat ya kuliahnya. Aku tahu kok kehidupan Tokyo memang nggak mudah, tapi kalau kau butuh sesuatu, aku siap membantu asal itu masih dalam lingkup kesanggupanku."
Aku hanya tersenyum, harusnya aku yang bilang begitu. Harusnya aku yang menawarkan bantuan dalam segala aspek, seperti waktu masih di Osaka dulu. Tapi haha... rasanya semuanya sudah berbalik hanya karena masalah tempat.
Menjelang semester enam, segalanya berubah mengerikan. Ibu menelfon suatu malam dan bilang jika Hana hamil. Aku terdiam lama sembari mendengarkan keluhan serta tangisannya namun tak banyak yang bisa ku tangkap selain cowok yang menghamilinya menghilang entah kemana. Saat itu Hana masih semester satu menjelang semester dua, dia mengambil kuliah di Universitas Osaka agar bisa sering pulang untuk menemani ibu. Dan begini jadinya, salah pergaulan yang fatal.
Sifat laki-laki kebanyakan begini, aku toh juga laki-laki. Sudah tak terhitung lagi berapa pikiran ingin meniduri Ino terlintas, berapa kali aku membayangkannya telanjang, tapi aku masih punya moral. Bahkan ketika kami berciuman pun, aku berusaha keras tak melewati batas meski gejolak birahi rasanya memporak-porandakan akalku. Karena aku ingat jika aku punya adik perempuan, dan aku juga pasti marah jika adik perempuan ku diperlakukan tak etis oleh lelaki tak bertanggung jawab, karena dia punya masa depan yang ingin diwujudkannya.
Lelah yang menggantung di pundakku terasa lebih berat setelah ibu menutup telfon, diam-diam aku ingin mencari bocah itu. Awas saja kalau ketemu, dan untuk Hana, betapa tak bisa dia menjaga dirinya. Betapa bodohnya dia percaya dengan omong kosong lelaki yang cuma modal penasaran.
Aku melakukan perjalanan dadakan pagi itu, berbekal ijin ke bosku jika ibuku sakit, aku pergi ke Osaka. Ibu kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba, dan ku bilang aku tak bisa lama. Sebab ada urusan penting.
Keadaan Hana menyedihkan. Matanya sembap, dan sorot matanya seperti kehilangan daya hidupnya. Hatiku seperti tersayat saat menatapnya, dan urung menceramahi nya panjang lebar. Dia tak butuh olokan saat ini, dia tahu dia salah, dan dia butuh dukungan. Dukungan untuk melewati segala cobaan ini, sebab, nasi sudah terlanjur jadi bubur.
"Aku minta foto cowok itu, dan beberapa nomor kenalannya."
"Buat apa?"
"Mau ku bunuh." Rahangku kaku ketika menjawab demikian dan Hana tampak sedikit takut.
"Kakak jangan lakukan itu, kalau sampai kau masuk penjara ibu bisa gila."
Ternyata, dia masih memikirkan perasaan ibu juga. "Aku akan memintanya bertanggung jawab, itu saja."
Hana memberi nama lengkapnya, alamat kos sebelumnya, nomor beberapa kawannya, dan nomor bocah itu sendiri yang ternyata sudah tidak aktif lagi. Media sosial nya juga sepertinya sudah tak ia jamah. Cowok berengsek itu menghilang, seperti ditelan bumi.
Aku mencoba bertanya kesana kemari, dan bahkan mendatangi kota kelahirannya. Dan nihil. Hana telah ditipu, karena cowok itu bukan lahir di Chiba. Entah dimana dia lahir dan besar selama ini, tapi yang jelas berandal itu tak akan kembali lagi ke Osaka. Ya Tuhan, apa yang harus kami lakukan setelah ini? Hana akan dicap sebagai wanita nakal dan harus membesarkan anaknya tanpa dampingan suaminya. Sementara ibuku dicap sebagai orang tua yang tak mampu mendidik anaknya.
Masih sangat pagi ketika seseorang mengetuk pintu kosku. Astaga, siapa sih yang kurang kerjaan mengganggu tidur orang di minggu pagi seperti ini? Karena semakin lama semakin mengganggu, akhirnya aku bangun, berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka kilat sebelum membuka pintu.
"Ino?"
"Kiba, kau kemana saja selama ini?" Dia langsung masuk, bahkan sebelum aku mempersilahkannya. Ini hal yang biasa, membawa buah serta sayur dan beberapa kotak susu juga sudah biasa. Tapi suasana kali ini lain. "Kau sering nggak mengangkat telfon, membalas pesan dengan jawaban singkat, kau bahkan nggak kuliah, dan keluar dari tempat kerjamu. Apa Naruto benar soal ibumu yang sakit itu?"
Alih-alih menjawab, aku justru terpaku mengamati Ino yang tengah memasukkan buah dan sayuran ke dalam kulkas minimalis yang menempel di dinding itu.
"Ku ceritakan nanti, aku mau mandi dulu."
"Aku berencana mencari kerja lain usai ini." Kataku, sembari mengamati Ino yang tengah membuat sup. Kadang, aku membayangkan bagaimana jadinya hidupku tanpa Ino. Pasti lebih hancur dari ini.
"Kenapa?"
"Gajinya kurang." Aku menghela napas, sekarang aku tidak hanya mencari uang demi diriku sendiri, aku harus lebih sering mengirim uang ke rumah untuk Hana dan ibu. Apalagi biaya persalinan Hana nanti pasti tidak sedikit. "Tapi sekarang sudah proses mencari pekerjaan baru. Mungkin aku bakal berhenti kuliah."
Kalimat ku barusan pasti mengejutkannya, sebab sekarang manik biru itu menatap ku penuh tanda tanya. "Berhenti kuliah? Kiba, kau sudah sampai sejauh ini. Tinggal tiga semester lagi, kita lulus. Setelah itu bisa cari pekerjaan yang bagus."
Tinggal tiga semester. Masalahnya, kebutuhan perekonomian keluargaku tak bisa menunggu tiga semester lagi. Aku mengacak rambutku yang masih setengah basah, dan tak mampu menatap matanya.
Ino mematikan kompor, mencuci tangannya dan mendekatiku. "Aku yakin masalahmu serius sekali, apa yang terjadi Kib? Ini bukan hanya soal ibumu yang sakit kan?" Ketika jemari lentiknya menyentuh tanganku yang tebal, kehangatan yang familiar membanjiri hatiku. Nyaman sekali rasanya, nyaris sama seperti bertahun-tahun lalu ketika usiaku masih empat tahun dan ibu berusaha menenangkanku karena tak bisa membelikan mainan yang ku inginkan.
Ku ceritakan padanya soal Hana, tentang kehamilannya, tentang pacarnya yang melarikan diri, dan tentang keadaan keluargaku yang kacau. Sejak awal keluargaku memang sudah kacau. Ayahku melarikan diri bersama selingkuhannya ketika aku masih duduk di kelas dua SMP, entah dimana dia sekarang. Dan ibuku mau tak mau kerja serabutan demi membesarkanku dan Hana. Aku tak bisa melihatnya menderita lebih dari ini.
Ino mengehela napas panjang. Kami hanya saling menatap dalam diam selama beberapa saat. Sejujurnya aku ingin menangis, tapi tak bisa. Selain air mataku susah keluar, rasanya aneh juga menangis di hadapan Ino yang terlanjur percaya jika aku lelaki tangguh.
"Kalau memang keputusanmu sudah bulat, ku rasa drop out kuliah memang nggak buruk. Kau bisa mulai kuliah lagi setelah urusan ini selesai."
"Yeah, ku rasa begitu."
Hening, tak ada yang mulai bicara lagi. Dan sementara wajah kami terlalu dekat, aku tak mampu lagi menahan keinginan untuk mencium bibirnya yang terpoles lipstik warna peach itu. Kerinduan ku terhadap Ino begitu menggelegak, dan ketika dia membalas lumatan bibirku, aku justru semakin gencar melayangkan serangan. Kami baru berhenti setelah merasa sama-sama sesak karena kekurangan oksigen.
"Terima kasih." Aku menundukkan kepala ke arah pundaknya, berharap dia tak melihat air mataku yang menggenang. "Terima kasih selalu berada di sampingku."
Tangannya menggenngam tanganku lebih erat lagi, seolah dia siap dengan konsekuensi yang bakal terjadi selanjutnya.
Tanpa instropeksi diri lebih jauh lagi aku toh tahu jika tak akan pernah mendapat restu dari orang tua Ino. Kalangan kelas atas akan selalu mencari golongan yang sama dengan mereka, aku pesisimis total soal masa depan.
Sudah belasan kali, aku ke rumah Ino dan orang tuanya tak menyambut ku dengan baik. Jadi, sering kali aku tak berani menjemput ke rumahnya ketika akan kencan. Kami hanya janjian di suatu tempat kemudian pergi bersama. Menyedihkan, bagaimana mungkin semesta seolah ikut menjatuhkan hidupku dengan menguji kisah cintaku juga?
"Ya wajar sih orang tuamu nggak ingin aku sama kamu. Mereka berkorban banyak buat pendidikanmu agar hidupmu nanti nggak susah, mana rela mereka membiarkan anak kesayangannya hidup nggak bahagia bersama lelaki sepertiku." Keluhku suatu malam ketika kami tengah duduk berdua di sebuah kafe. Iringan lagu You're Beautifull milik James Blunt mengiringi malam yang agak gerimis itu.
"Bagaimana kalau kita kawin lari saja?"
Melihat ekspresi nya yang serius, aku justru tertawa. "Yang benar saja, orang tuamu bakal melaporkan ku ke polisi karena membawamu kabur."
"Lah kan kita suka sama suka, kau nggak memaksaku menikah denganmu. Masalah orang tua beda lagi." Dia memegang tanganku erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya dalam waktu dekat.
"Tetap saja, kita nggak bisa egois seperti itu." Aku ingin membesarkan hatinya, tapi membesarkan hatiku sendiri saja sulit sekali rasanya. "Kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku."
"Yang lebih baik banyak, tapi yang cocok sama aku cuma kamu."
Kalau saja Ino tahu, jika tanpa nya aku sudah ingin menghilang dari dunia ini. "Orang tuamu pasti tahu mana terbaik buatmu. Aku nggak yakin kita bisa sama-sama terus kayak gini."
Gadis itu hanya diam, bahkan mengalihkan pandangannya dari tatapanku. Lelehan air mata membanjiri pipinya. "Kalau suatu saat nanti kamu sama lain, aku boleh jadi selingkuhanmu nggak?"
Sedih sekali mendengarnya berkata begitu, namun ketimbang ikut menangis aku justru tertawa dan mengacak pelan rambutnya. Ketika ku tatap lekat-lekat iris matanya, lirik lagu James Blunt mengungkapkan isi pikiranku.
You're beautiful. You're beautiful
You're beautiful, it's true
"Aku takut kak."
Aku menyempatkan diri pulang ke Osaka sore itu, dan sementara ibu sibuk menyiapkan makan malam, aku duduk bersama Hana di ruang TV. Menonton SpongeBob tanpa tahu alasan kenapa kami menontonnya.
"Takut apa?"
"Takut melahirkan."
Mengalihkan tatapan dari layar TV, aku mengamati ekspresi Hana yang kalut. Usia kehamilannya sudah delapan bulan, mungkin bulan depan dia akan melahirkan. Dari cerita ibu yang mengantarkan Hana check up ke dokter beberapa kali, hasil USG menunjukkan jenis kelamin laki-laki. "Sepertinya nggak akan sakit."
"Bohong."
Aku cuma diam, mengamati punggung ibu yang sedikit terlihat dari arah dudukku. "Percaya saja padaku." Tentu saja aku tak tahu rasanya melahirkan, tapi dari beberapa cerita yang pernah ku dengar, rasa sakit melahirkan akan kalah dengan kebahagiaan yang hadir. "Nanti, didik anakmu dengan baik ya." Disitu aku ingin minta maaf, aku ingin minta maaf karena belum bisa jadi kakak yang baik, belum bisa memperbaiki perekonomian keluarga, dan bahkan rasanya gagal dalam berbagai hal.
Saat itu aku sudah diterima bekerja di sebuah kafe, gajinya lebih lumayan dari pekerjaan pertamaku. Dan ibu juga sudah kembali bekerja sebagai penjaga kantin di SD dekat rumah. Tapi tetap saja, perekonomian keluarga belum begitu membaik.
"Satu hal yang harus selalu kamu ingat, Hana. Bertanggung jawablah sampai akhir pada apapun yang telah kamu mulai, memang berat tapi begitulah konsekuensi nya." Aku tak tahu Hana paham atau tidak, tapi cuma itu yang ingin ku sampaikan padanya sore itu.
"Motormu baru lagi?" Aku menatap Hidan yang berjalan disisiku, dia menawariku pulang bareng, supaya aku tidak perlu menunggu bis malam ini. Ada yang aneh sebenarnya, gaji kami di kafe ini tidak akan cukup untuk memenuhi gaya hidupnya yang hedon. Apa jangan-jangan dia sebenarnya anak orang kaya.
"Yeah, begitulah."
"Kau anak orang kaya ya?"
Dia tertawa mendengar pertanyaanku. "Aku kan sudah pernah cerita padamu Bro, aku anak yatim piatu."
"Darimana kau dapat uang banyak untuk membeli motor sekeren ini?" Aku mengamati kawasaki ninja ZX-10R miliknya, ini pasti mahal.
"Ada pokoknya."
"Kau mencuri?"
"Nggaklah, gila ya." Dia menepuk bahuku diiringi dengan tawa. Aku sampai takut pemilik kafe tempat kerja kami mendengar percakapan ini.
"Terus? Kau kerja sampingan apa? Jual narkoba?"
"Hush, jangan nyebar gosip kau." Dia diam sejenak, seperti mempertimbangkan sesuatu. "Ini agak ilegal sih."
"Apa sih? Dapat uang banyak ya?"
"Kau ingin tahu sekali ya?"
"Ya, aku sedang butuh uang banyak."
Ada keraguan yang dalamnya tak bisa ku perkirakan dalam kubangan matanya. Lama, dan aku tak sabar mendengar ungkapannya.
"Kau nggak mau memberi tahu ya?"
"Bukan begitu sih, tapi..."
"Apa?"
Hidan mengacak rambutnya, dan tiba-tiba menyingkap kaos yang menutupi perutnya. Ada banyak luka lebam disana, dan apa-apaan itu? "Jadi pegulat."
Aku mengerutkan kening mendengar penjelasannya.
Belum pernah aku merasa tidak nyaman seperti ini ketika Ino menatapku begitu dalam, seolah mencari kebenaran dalam penjelasan dan wajahku.
"Aku beneran nolong orang yang mau kecopetan kemarin, dan berakhir adu pukul sama si pencopet." Aku bohong, tapi kupikir untuk saat ini bohong adalah opsi paling tepat. Ino tak boleh tahu yang sebenarnya.
"Nggak ada orang lain lagi ya yang mau nolongin sampai kamu yang harus berkorban begini?" Jemari lentiknya hendak memegang lebam di pipi kananku, namun aku justru menggenggam tangannya.
"Kan kasihan, orang-orang cuma melihat saja." Andai Ino tahu aku beberapa kali pergi ke tempat pertarungan itu demi mendapat uang lebih cepat dan lebih banyak, meski rasa sakit luar biasa ini kadang-kadang membuat tubuh remuk. Harusnya ku tolak saja tadi permintaannya untuk bertemu.
"Eh Kib, bagaimana keadaan anaknya Hana? Kita ke Osaka ya kapan-kapan, aku ingin sekali bertemu anaknya Hana, bukan cuma lewat video call." Kenapa justru Ino yang lebih bersemangat bertemu Hana dan anaknya ketimbang aku.
"Belum bisa kalau dalam waktu dekat." Hana melahirkan lima minggu lalu, dan sebagai kakak aku tak bisa datang untuk menemaninya. Aku berpura-pura sibuk dan belum bisa ambil cuti, hanya bisa mengirim uang. Padahal aku tak ingin keluargaku tahu keadaanku yang sebenarnya. "Nanti, ku beri tahu kalau aku luang."
"Yah... ku kira kita bisa datang dalam waktu dekat." Ino menyesap jus melon nya, dan mengalihkan tatapan sementara ke arah tanaman di pojok rumah makan. "Keadaan ibu baik kan?"
"Baik kok, kau tenang saja."
Malam itu aku berhasil menumbangkan lawanku setelah terkena pukulan di pipi kiri hingga ujung bibirku berdarah, namun yang tak kusangka dan membuatku terkejut sampai nyaris berhenti bernapas adalah kehadiran Ino. Mungkin dia menyaksikan pertandinganku barusan, mungkin dia juga melihatku memukuli lawanku tanpa ampun hingga ia berlutut. Dia melihat sisiku yang lain, dan itu membuatku tak nyaman.
Aku segera menyingkir dari kerumunan, masih hanya memakai celana jeans dan telanjang dada. Mendekati Ino yang menatapku dengan ekspresi kehilangan harapan.
"Ngapain disini?" Bukannya berusaha menjelaskan, aku justru ingin memarahinya.
"Ngapain disini? Kamu yang ngapain disini." Air matanya sudah turun melewati pipinya. "Astaga Kiba, kenapa kau jadi seperti ini sih?"
Aku mengajaknya ke lorong sepi, dimana tak ada satu pun orang yang bakal mendengarkan percakapan kami. "Kau nggak paham."
"Nggak akan paham soal apa? Finansial? Itu kan alasanmu?"
"Iya."
"Kalau kamu makin hancur kayak gini, bagaimana orang tuaku bakal nerima kamu? Aku berharap kamu menata masa depanmu, paling tidak ayo berusaha buat buktiin ke orang tuaku kalau kamu mampu. Kalau kamu bisa sukses, nggak kayak gini." Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menangis sesenggukan.
"Mudah kalau ngomong doang. Mudah. Kamu nggak tahu beban hidupku seperti apa. Kita jelas-jelas sudah beda kasta, Ino. Sampai kapan pun orang tuamu nggak bakal nerima aku." Aku mengacak rambutku frustasi, mengabaikan rasa nyeri luar biasa di sekujur tubuhku.
"Itu sama saja kamu nyerah sama hubungan kita." Wajahnya merah, rasa kesalku mengalahkan rasa simpatiku. Kali ini biar dia tahu seberapa dalam kekesalan ku pada orang tuanya, pada hidupku yang hancur total ini.
"Aku sudah menyerah, kamu mau aku berusaha kayak gimana lagi?"
Tangisan nya makin menjadi, dan dia bahkan tak mampu menatap mataku. Bodohnya aku, yang tak berusaha menenangkannya. Emosi di hatiku campur aduk, dan tak tahu mana yang lebih dominan.
"Kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku. Yang memiliki pekerjaan bagus, ekonomi keluarga mapan, dan masa depan terjamin. Karena seberapa pun keras aku berusaha, masa depanku masih tak teraba." Aku berusaha memelankan suara, namun rasanya tetap tak mengurangi luapan emosi dalam kalimat itu.
"Kamu selalu bilang begitu, aku muak."
Aku mendesah, kemudian menarik napas dalam-dalam. "Aku lebih muak. Kalau saja waktu bisa diputar. Hal pertama yang aku inginkan adalah, tidak dipertemukan denganmu."
Masih sesenggukan, Ino berhenti menangis. Ada luka yang terpancar dari manik birunya, yang kali ini dia pasti benar-benar kecewa. Dan aku yang bodoh ini tetap diam dan menatap nyalang ke arahnya. Luapan amarah Ino seperti sudah tak mampu di bendung lagi.
"Berengsek kau Kiba." Dia menjerit, air mata menetes dari mata kanannya. Dan detik berikutnya, dia berlari keluar dari lorong. Bantingan pintu terdengar begitu keras sampai aku sendiri terkejut.
Aku memukul tembok di hadapanku, ubun-ubunku rasanya mau pecah. Sejujurnya bukan itu yang ingin ku katakan pada Ino. Sedikit pun aku tak pernah menyesali kehadirannya dalam hidupku.
Tak ada pesan selamat pagi lagi dari Ino sejak pertengkaran kami malam itu, tak ada panggilan, atau bahkan video call lagi. Semua media sosial ku di unfollow, dan bahkan dia sengaja mengganti nomornya agar aku tak bisa menghubunginya. Barangkali begini labih baik. Ino bisa hidup nyaman tanpa beban hubungannya denganku. Ternyata yang memberi tahu Ino soal adu gulat itu adalah Hidan. Dia khawatir padaku dan meminta Ino membujuk ku supaya tak berlarut-larut dalam dunia perkelahian yang mempertaruhkan nyawa itu.
Lalu suatu hari, ketika genap satu bulan kami tak saling kontak, aku melihatnya. Ino mungkin tak menyadariku, tapi aku tahu itu dia. Di salah satu kafe yang asal saja kumasuki, ada Ino duduk di bangku paling dekat jendela bersama seorang pria. Pria itu berstelan jas rapi, tampak bersih dan menawan. Mereka membicarakan sesuatu, dan sesekali tertawa. Pacar barunya? Sepertinya mereka cocok.
Aku menarik tudung jaket ku agar tak seorang pun mengenaliku, dan sembari meneguk vanilla late pesanan ku, aku mengukir senyum. Senyum sedih bahwa hanya tinggal aku yang belum mampu melupakannya.
Kali lain, aku melihatnya berjalan bersama seorang pria berbeda. Pria berambut pirang berkaca mata, dan lagi-lagi berstelan jas rapi. Aku berpapasan dengan mereka di taman kota pada Sabtu malam yang agak mendung. Bau petricor terasa menyengat, namun tak seorang pun disana buru-buru mencari tempat untuk berlindung jika hujan tiba-tiba turun.
Apa ini pacar baru lagi?
Kalau Ino memang sudah bisa melupakanku, sebaiknya aku tak muncul di hadapannya lagi.
Aku berteriak keras-keras di dekat sungai Sumida yang sepi. Ku harap orang-orang tuli dan tak mendengar teriakan frustasi ku. Hidupku makin hancur, tak tahu akan mengarah kemana, tujuan apa yang ingin ku raih? Kalau saja tak ingat wajah ibu, mungkin aku sudah melompat ke sungai. Biar saja mati, biar sekalian selesai segala drama kehidupan yang memuakkan ini. Malam itu ku putuskan untuk pulang ke Osaka. Pergi dari dunia gulat, pergi dari pekerjaan paruh waktuku disini, dan pergi dari hidup Ino.
Aku akan memulai segalanya dari awal. DARI AWAL.
Tokyo, 2022
.
Mempelai prianya bukan orang yang pernah ku lihat bersama Ino waktu itu. Aku masih ingat betul, ini pria yang lain lagi. Apa dia berganti pacar beberapa kali sebelum memutuskan menikah dengan Sai? Ku pikir di undangan kemarin namanya memang Sai.
Ketika aku memberikan mawar putih dengan selingan babys breath di dalamnya, ku lihat genangan air di matanya yang mati-matian ia tahan. Beberapa orang yang hadir tentu tahu, aku adalah mantan terlama Ino. Mantan? Sudahkah kami putus waktu itu?
"Selamat ya, nggak nyangka kamu nikah lebih dulu dari aku." Kataku ketika ada kesempatan bicara dengannya, sementara Sai menyambut tamu yang lain.
Bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada kalimat yang keluar. Dia ingin menyampaikan sesuatu tapi sepertinya tak mampu. "Kabar ibu gimana?"
"Baik, Hana dan Akira juga baik. Kau pasti bakal terkejut kalau tahu Akira sudah masuk TK." Ingin sekali ku peluk wanita ini, ingin sekali ku kecup bibirnya seperti dulu, namun, dia sudah milik orang lain sekarang. Entah benar atau salah aku melepasnya waktu itu. Namun, jika Ino bahagia, aku akan ikut bahagia bersamanya.
"Ku dengar kau sekarang jadi guru matematika di SMA ya?"
Aku mengangguk, agak canggung menatap matanya sekarang. Mata yang dulu selalu ku puja karena tak ada keindahan yang menyamainya.
"Setelah gagal jadi guru biologi malah banting setir jadi guru matematika."
Kami berdua tertawa, namun dalam hati aku ingin menangis. "Jangan lupa bahagia ya, ini langkah yang tepat." Aku mengulas senyum tipis sebelum meninggalkan tempat itu. Dan meskipun agak samar, aku melihat ketidak relaan yang terpancar dari manik biru muda Ino.
Sebab ku mengerti cinta itu tak mesti memiliki
Andai saja bisa kau fahami
Layaknya arti kasih sejati
Karena cinta yang sungguh
Tiada akan pernah mungkin bersyarat
"Aku nggak nyangka kau bakal kembali ke Tokyo lagi." Naruto mengaduk kopinya sebelum menyesapnya beberapa kali.
Setelah nyaris enam tahun tak bertemu, Naruto ternyata sudah menikah tanpa mengundangku. Dia juga sudah memiliki kafe sekarang. Benar-benar hebat.
"Cuma sehari ini, nanti malam aku bakal kembali ke Osaka lagi." Aku menghela napas, mengamati ornamen dalam kafe milik Naruto yang bernuansa orange itu. "Lagian acara pernikahan mantan terindah masa nggak datang." Aku tertawa berusaha menutupi kesedihanku.
Ketika lagu milik James Blunt yang berjudul You're Beautifull terputar pelan, aku seperti mengalami deja vu. Kali ini aku terdiam menghayati lagunya, dan bahkan kalimat panjang lebar Naruto seolah lewat dari telingaku.
But it's time to face the truth
I will never be with you
end
Gimana kurang sedih kah? Sejujurnya aku nggak dapat feel dari lagu cinta tak bersyarat, padahal kesepakatan awalnya harus pake lagu itu ya :D. Malah ngefeel banget pas dengerin lagunya James Blunt sama lagunya TVXQ yg why did I fall in love with you.
.
Tujuh tahun bersama terus tiba-tiba pisah, yg jelas sulit sekali buat jatuh cinta sama orang baru :(.
.
Btw, thanks buat yg udah meluangkan baca fic ini.
.
~Lin
03 September 2022
