Orang naïf, remaja seperti Naruto, mengira pertarungan itu mudah dilakukan. Ketika melihat film action, mereka akan berpikir 'oh aku bisa melakukan itu'. Tapi saat dihadapkan dengan pertarungan sesungguhnya, mereka akan menyadari kesalahan mereka.
Naruto pikir Ia berbeda. Dengan pengalaman milik Shirou, Ia sudah melihat langsung bagaimana pertarungan berjalan. Ia sudah merasakan tangan berkeringat menggenggam senjata beradu satu sama lain.
Dan kau tidak bisa menyalahkan Naruto berpikir dirinya berbeda dari remaja naïf lainnya. Pengalaman Shirou sudah membantunya selama ini. Tangannya tidak pernah bergetar selama menarik busur panah, ujung panahnya selalu mengenai musuh-musuhnya.
Tapi kali ini, sembari pedangnya menangkis tombak cahaya yang menuju ke wajahnya dan kakinya melompat untuk menghindari tombak lain, Naruto menyadari perbedaan antara pertarungan jarak jauh dan dekat.
Jika ada jarak, Naruto masih dapat berpikir dan memprediksi gerakan musuh dengan waktu yang cukup banyak. Tapi dengan pertarungan seperti saat ini, Ia hanya memiliki waktu sepersekian detik untuk membuat keputusan. Dan jika keputusan yang Ia ambil salah, Naruto harus membayarnya dengan cepat.
Seperti saat ini. Pedang hitam di tangan kanannya, Kanshou, memotong sebuah tombak cahaya. Pedang yang sama Ia ayunkan lagi ke atas, mengubah ara tombak cahaya lain. Pedang di tangan kirinya, Bakuya, Naruto lemparkan ke musuhnya.
Kokabiel memiringkan sedikit kepalanya, membiarkan Noble Phantasm itu terbang melewatinya. Di saat yang sama, Kokabiel menciptakan puluhan tombak cahaya yang langsung ditembakan pada Naruto.
Naruto menghindar, menggunakan pedang di tangannya untuk menangkis dan kakinya untuk melompat ke sana kemari untuk menghindari luka.
Gaya bertarung Shirou, disempurnakan oleh Archer, memang diciptakan untuk menghadapi musuh yang lebih kuat dari penggunanya. Dengan memberikan banyak lubang dalam pertahanannya, musuh, sengaja atau tidak, akan mengincar lubang itu. Dan saat itu terjadi, pengguna akan bisa memprediksi serangan musuh.
Demi melakukan semua ini dengan sempurna, konsentrasi dan refleks yang tinggi sangat dibutuhkan. Salah sedikit, kau bisa kehilangan nyawa.
Rin Tohsaka dengan tepat menjelaskan gaya bertarung ini; mencari mati.
Dan Naruto, tidak peduli pengalaman yang Ia dapat, masih belum sehebat Shirou dan Archer menggunakannya. Tombak cahaya menyayat sekujur tubuhnya, armor yang Ia pakai hanya sedikit berguna untuk menghentikannya.
Naruto meloncat ke samping, bergulir di lantai, berdiri dan menangkis beberapa tombak cahaya lagi. Lalu–
"ARRGGHH!"
–Berteriak kesakitan.
Naruto melihat ke bawah, menemukan sebuah tombak cahaya menembus paha kirinya. Naruto mengeratkan giginya lalu melompat ke belakang dengan kaki kanannya. Selagi di udara, Naruto menggunakan tangan kirinya untuk menarik tombak itu keluar dari pahanya. Darah berterbangan, Naruto menahan teriakan kesakitan di mulutnya.
Ia mendarat, Kanshou di acungkan ke depan dengan siaga. Tapi dia tidak menemukan tombak cahaya datang padanya. Kokabiel menghentikan serangannya.
"Kau tahu, aku mulai bosan melihat cacing menari." Dia berkata.
Tapi perhatian Naruto tidak tertuju padanya. Bakuya, yang tadi Ia lemparkan, sudah membuat putaran penuh dan kembali terbang menuju Kokabiel. Untuk sepersekian detik, Naruto melihat Kokabiel mengangkat kakinya, tapi segera menurunkannya kembali.
Bakuya menusuk punggungnya. Kokabiel tidak memberikan reaksi apapun, selain maju satu langkah akibat dorongan Bakuya. Kokabiel mencabut Bakuya dengan tangan kirinya lalu membawa pedang putih yang berlamuran darah itu dekat ke wajahnya.
"Lagi, kau mengeluarkan senjata yang menarik." Dia berkata, mata seakan mempelajari Bakuya.
"….Kau membiarkan pedang itu mengenaimu." Naruto berkata. Reaksi kecil Kokabiel yang Ia lihat tadi membuatnya berpikir begitu.
"Kau benar." Kokabiel menjawab. "Aku akui, senjata yang kau gunakan memang memiliki kemampuan yang menarik. Seperti senjata ini, sebuah falchion. Tapi kau menggunakannya seperti boomerang. Menarik memang. Tapi senjata seperti ini tidak akan bisa membunuhku."
Oh, betapa Naruto tahu kebenaran dari kata itu. Kanshou dan Bakuya memang memiliki efek yang bagus terhadap monster, dan Kokabiel sekarang dapat di kategorikan sebagai monster. Tapi pada akhirnya, senjata spesial ini hanyalah memiliki rank C. Legenda yang melahirkan mereka tidak terdengar dan di ketahui banyak orang.
Sebelumnya, mungkin, Noble Phantasm ini dapat berpengaruh pada Kokabiel. Tapi tidak sekarang. Kokabiel sekarang sudah benar-benar menjadi monster. Luka yang di berikan Kanshou dan Bakuya tidak berpengaruh padanya.
"Apa kau memiliki trik lain manusia?" Kokabiel bertanya, nada ringan. "Jika iya, keluarkan sekarang sebelum aku bosan."
Naruto mengeratkan giginya. Benar, jika Ia tidak melakukan sesuatu segera, kemungkinan besar Kokabiel yang akan bergerak. Selama pertarungan mereka ini, Naruto selalu merasa Kokabiel tidak mengerahkan semua kemampuannya untuk membunuh Naruto.
Malaikat Jatuh gila ini benar-benar menganggap Naruto cacing dan sedang bermain dengannya.
Bakuya menghilang dari tangan Kokabiel dan muncul di tangan Naruto. Sang Malaikat Jatuh mengangkat satu alis.
Jika diibaratkan sebuah danau, maka Mana Naruto sekarang dapat dikatakan hanya tersisa sebuah genangan. Genangan ini juga terus mengalir keluar untuk mempertahankan Lord Camelot.
Dalam satu sisi Lord Camelot sangat dibutuhkan untuk melindungi para manusia biasa yang telah Naruto dan teman-temannya selamatkan. Di sisi lain, makhluk di depannya ini adalah sumber bahaya tersebut.
Naruto tahu sekarang Ia hanya memiliki satu kesempatan untuk mengakhiri Kokabiel. Satu Noble Phantasm untuk menjatuhkan makhluk yang mengaku sebagai 'Angel of Star'.
Ia tidak boleh gagal.
Naruto harus berhasil.
'Aku harus bisa.' Ia bergumam dalam hati, jemari mengerat pada gagang senjata pilihannya.
Detik berikutnya, Naruto bergerak maju.
Ancaman utama Kokabiel adalah tombak cahaya yang selalu dia lemparkan, jadi Naruto pertama harus menetralkan itu. Ia harus membuat Kokabiel tidak mampu membuat dan melemparkan tombak cahaya terus menerus.
Cara yang Naruto pilih adalah dengan melemparkan Kanshou dan Bakuya ke arah Kokabiel, mengincar leher sang musuh.
"Spirit and technique," Naruto berputar sembari menjaga kecepatannya, menghindari tombak cahaya yang sudah di lempar. "Flawless and firm."
Kokabiel, menunjukan skill nya sebagai petarung, dengan mudah menangkis pedang yang Naruto lempar ke belakang. Tapi di sepersekian detik tersebut, Naruto telah menutup jarak di antar mereka. Kanshou dan Bakuya lain sudah berada di tangan.
Pedang hitam di tangan kanan Naruto, Kanshou, di ayunkan dari bawah, bermaksud memutuskan tangan kanan Kokabiel.
Tapi lagi, Kokabiel adalah petarung berpengalaman. Dengan sedikit pergerakan dia behasil menarik pundaknya dari jangkauan Naruto.
"Our strength rips the mountains."
Di saat yang sama, Bakuya yang sebelumnya Naruto lempar, kembali dan menancapkan diri ke pundak sebelah kanan Kokabiel, membuat tangan tersebut tidak berguna.
Kokabiel mengeluarkan suara terkejut, expresi wajahnya berubah sedikit. Melihatnya, bahkan dalam keadaan sekarang, Naruto sadar Kokabiel benar-benar tidak memperhintungkan Naruto sama sekali. Dia bahkan tidak ingat kemampuan khusus senjata yang Naruto miliki.
Tanpa menunggu jeda, Kanshou yang sebelumnya terlempar, menunjukan diri. Pedang hitam itu membuat angin berdesir dalam pergerakannya menuju pundak kiri Kokabiel.
Kokabiel menyadari itu, dan berniat untuk menghindar sekaligus menjaga jarak dari Naruto, Ia terbang ke udara. Enam pasang sayap hitam keluar dari punggungnya.
Naruto tidak membiarkannya.
Mengantisipasi pergerakan Kokabiel, Ia meloncat di saat yang sama dengan Kokabiel terbang. Bakuya, pedang putih di tangan kirinya, menebas bahu liri Kokabiel.
"Our swords split the water."
Gravitasi menarik Naruto kembali ke bawah. Kokabiel, dengan expresi menunjukan kemarahan, berteriak kesakitan. Kedua tangannya, selagi belum di sembuhkan, sama saja tidak berguna.
Tapi tangan tidak dibutuhkan untuk membuat tombak cahaya.
"Mati kau manusia!" Dia berteriak, tombak cahaya di lemparkan menuju Naruto seperti misil.
Begitu kaki Naruto menginjak tanah, dia begulir ke samping, menghindari serangan Kokabiel.
"Our names reach the imperial villa."
Setelah mendapatkan tumpuan, tenaga di kakinya kembali Ia kerahkan untuk meloncat. Kanshou dan Bakuya Ia silangkan di depan dada untuk menangkis beberapa tombak.
"The two of us cannot hold the heavens together." Mana miliknya berdesir.
Loncatan Naruto membawanya bertatap muka dengan Kokabiel. Untuk sesaat, wajah Kokabiel tampak terkejut, mata menatap benda yang Naruto genggam. Karena yang Ia pedang bukan lagi sepasang pedang, melainkan sepasang sayap. Hitam dan putih. Dengan ukuran yang menyamai sayap milik Kokabiel.
"K–" Kokabiel membuka mulut.
Naruto menyerang.
"Triple-Linked Crane Wings!"
Kanshou dan Bakuya di tebaskan dengan bentuk menyilang. Dan karena tekhnik ini sama halnya dengan merusak Noble Phantasm, pedang Naruto meledak begitu mengenai Kokabiel.
BOOM!
Dengan Kokabiel sebagai pusatnya, sebuah ledakan besar terjadi. Naruto terlempar ke belakang, sedang atap yang jaraknya lebih dekat dari lantai, ikut hancur. Membuat cahaya matahari masuk dan menerangi medan pertempuran mereka.
Naruto mendarat dengan bergulir mencoba untuk meminimalisir luka yang Ia terima. Gulirnya berhenti ketika menabrak dinding.
Dengan napas terengah-engah, Naruto menegakkan diri dengan tangan memegang dinding sebagai tumpuan. Jatuhnya yang tidak sempurna tadi memberinya beberapa luka tambahan. Dan sekarang, Ia tidak dapat merasakan tangan kirinya.
Mata kiri tertutup akibat darah yang mengalir dari dahinya membuat Naruto hanya mampu melihat hasil kerjanya dengan satu mata.
Triple-Linked Crane Wings.
Mungkin ini adalah satu-satunya kekuatan 'original' yang di miliki oleh Shirou atau Archer. Tidak meniru Pahlawan lain, tidak juga belajar dari mereka. Di ciptakan oleh Emiya Shirou dan di sempurnakan oleh dirinya sendiri di masa depan.
Bisa di bilang tekhnik ini lahir dari gaya bertarung Shirou dan penggunaan pedangnya. Ini adalah tekhnik terkuat miliki Shirou.
…dan tetap tidak berpengaruh untuk keadaan Naruto sekarang.
Karena Kokabiel, bahkan setelah menerima serangan itu, masih mampu berdiri. Lukanya sudah mulai menutup, dadanya yang kembali berlubang menunjukan gumpalan ular yang perlahan menyembuhkannya.
"Kau pikir itu cukup untuk membunuhku manusia?! Kau pikir itu cukup?!" Mata Kokabiel terlihat liar. Dan di tambah dengan wujudnya sekarang yang penuh luka, membuat Malaikat Jatuh itu seperti zombie. "Kau butuh lebih dari itu untuk membunuhku manusia! Lebih dari itu!"
Tanpa Kokabiel mengatakannya, Naruto mengetahui ini.
Semenjak melihat Kokabiel sembuh dari serangan tepat di jantung, Naruto sudah mulai memikirkan rencana untuk membunuhnya, kekuatan regenerasi yang dimiliki oleh Kokabiel sangatlah kuat. Serangan Naruto tidak berpengaruh untuknya.
Lukanya akan tetap sembuh apapun yang terjadi. Kokabiel mengetahui ini, selama tubuhnya masih ada, Kokabiel akan tetap hidup. Itulah mengapa dia begitu santai selama ini.
Naruto sudah menyadari hal ini. Lalu, selagi mencari jawaban untuk mengalahkan lawan yang akan tetap sembuh apapun yang terjadi, sebuah pertanyaan lain muncul di kepala Naruto.
Lalu bagaimana jika tidak ada lagi yang tersisa untuk di sembuhkan?
Triple-Linked Crane Wings bukan serangan utama Naruto. Serangan itu hanya sebuah pembuka dan untuk membuat Kokabiel tidak mampu menghindar.
Naruto menarik semua Mana yang Ia miliki, Ia dapat merasakan koneksinya dan Lord Camelot terputus. Sekarang pasti banyak orang yang bingung, kehilangan perlindungan kastil Camelot. Di dalam hatinya, Naruto berjanji pada mereka untuk segera mengakhiri semua ini.
Begitu sedikitnya Mana yang Ia miliki, sehingga menariknya saja membuat Naruto merasa pusing. Matanya mulai memandang dengan tidak fokus.
"I am the bone of my sword."
Aria itu keluar sendiri dari mulutnya. Tidak ada efek khusunya, kecuali memfokuskan Naruto kembali. Dengan fokus, mencul sebuah keyakinan. Dan dengan keyakinan itu Naruto mengeluarkan sihirnya.
"Trace ON!"
Cahaya bukan benda solid. Itu adalah sebuah fakta. Sihir cahaya yang digunakan Malaikat dan hasil dari sihir tersebut adalah sihir. Bukan cahaya itu sendiri. Hanya para makhluk spesial yang mampu benar-benar menggenggam cahaya dan mampu memerintahnya.
Dan sekarang, cahaya tergenggam di tangan kanan Naruto.
Cahaya matahari seakan tertarik menuju tangannya. Bagaikan melupakan tugasnya untuk menerangi dunia, Matahari sekarang hanya tertuju pada Naruto. Ia seharusnya merasa panas, mengingat ini adalah tengah hari, tapi Naruto tidak merasakannya.
Yang Ia rasakan hanya kehangatan. Seperti sebuah pelukan yang tidak pernah Ia rasakan. Naruto menggengam tangan kanannya, merasakan berat pedang yang mulai perlahan terwujud di sana.
Dulu, seorang Ksatria bersumpah untuk mengikuti rajanya. Dia tidak terlalu mencolok jika dibandingkan dengan rajanya. Seorang raja dengan karisma begitu kuat hingga mampu mempersatukan kerajaan yang sudah hancur.
Dia tidak begitu di kenal, apa lagi jika dibandingkan dengan Ksatria lain yang juga melayani rajanya. Meski begitu, dia tetap mengikuti rajanya. Memenuhi sumpahnya.
Pertarungan-pertarungan dia menangkan, perang dan musuh dia taklukan. Tidak peduli susah dan beratnya hidup yang dia dapat, Ksatria ini tidak pernah lari dari rajanya.
Dia bagaikan Matahari yang tidak pernah pergi, akan selalu ada dari awal hingga akhir zaman.
Ralat itu, bukan bagaikan,dia adalah Matahari. Sebuah kehangatan untuk kedinginan sang raja. Matahari yang selalu ada di belakang Bulan.
Namanya Gawain, White Knight of the Round Table.
Pedang yang dia gunakan merupakan saudari pedang legendaris lain.
Pedang yang sama sekarang ada di tangan Naruto.
'Sebuah copy.' Naruto membenarkan dirinya sendiri.
"A–apa itu?" Kokabiel bertanya, suara berguncang. Karena apa, Naruto tidak tahu. Tapi pertanyaan itu membuatnya tersenyum.
"Apa ini?" Naruto mengayunkan pedang di tangannya, mata melihat cahaya yang dikeluarkan pedang itu di setiap ayunan. "Ini adalah sesuatu yang akan selalu ada, dari awal zaman hingga akhir zaman. Ini adalah hal yang akan selalu di tunggu semua makhluk untuk kehadirannya. Cahaya yang akan selalu menerangi jalan, apapun yang terjadi."
Seketika, Naruto mengacungkan pedang itu ke wajah Kokabiel. "Kau mendeklarasikan dirimu sebagai Angel of the Stars. Pedang ini adalah yang paling besar dan paling bersinar di antara para bintang."
Ujung yang tajam menembus tanah, gagang menjadi penampu agar Naruto tidak jatuh. "Apa ini? Kau bertanya." Senyumnya melebar, namun bukan untuk menghina. Melainkan hanya sebuah senyum yang ingin Ia keluarkan. "Tapi kau sudah tahu apa ini. Benarkan, wahai Malaikat Bintang?"
Kokabiel tidak menjawab, rahang bergerak seakan dia menahan dirinya sendiri untuk tidak bicara.
"….matahari." Kokabiel akhirnya berkata, wajah terlihat sangat masam.
"Matahari." Naruto menganggung. "Kau tahu Kokabiel? Aku rasa aku tahu kenapa Ayah-mu menganggap kami spesial."
"Apapun yang kau katakan, semua itu pasti salah manusia!" ujar Kokabiel.
"Kami tidak sekuat para Iblis, tidak juga kami patuh seperti Malaikat. Kami memuja Dia hanya ketika kami membutuhkan, kami lupakan Dia saat kami senang." Naruto melanjutkan, menghiraukan Kokabiel. "Namun begitu, saat tekad kami sudah bulat, saat keinginan kami sudah menggebu, kami tidak akan terhentikan. Kami akan terus dan terus berjuang hingga akhirnya… matahari-pun kami genggam!"
Luka musuhnya sudah hampir pulih, sementara pandangannya sendiri sudah mulai buram. Naruto tahu Ia harus segera mengakhiri ini. Secepat mungkin.
Dengan semua tenaganya yang tersisa, Naruto menarik pedangnya dari tanah dan mengangkatnya ke atas kepala. Ujung pedang itu berkilau di bawah sinar matahari.
Kokabiel mungkin berkata sesuatu, tapi Naruto sudah terlalu lelah dan tidak peduli lagi terhadap perkataan musuhnya.
"Sekarang, Kokabiel–
"Praise the Sun!"
Cahaya menyelimuti pedangnya, menutupi metal dengan semua cahaya. Terus dan terus cahaya itu meninggi, berhenti di udara dan membulat. Volume bulatan itu terus bertambah, membesar hingga akhirnya, tepat di atas kepala Naruto, dengan pedangnya sebagai penghubung, lahirlah sebuah matahari.
Hangat bagi dirinya, namun membakar bagi musuhnya.
Naruto melihat mata Kokabiel membulat, melihat tubuhnya yang masih di sembuhkan mencoba bergerak. Sayapnya di kepakkan mencoba melarikan diri. Dia berhasil terbang, menjauh dengan setiap kepakan sayap.
Tapi,
"EXCALIBUR–
Apakah dia lebih cepat dari cahaya itu sendiri?
"GALANTINE!"
Jawabannya adalah tidak.
Sinar matahari di atas kepala Naruto menjadi lebih kuat, matahari yang tadinya kuning berubah warna menjadi putih. Dari sana, laser selebar matahari itu keluar dan menghantam Kokabiel.
Saudarinya menampakkan kekuatannya dengan gelombang penghancur. Tapi Excalibur Galantine, matahari dalam bentuk pedang, mewujudkan kekuatannya sebagaimana matahari itu sendiri.
Dari atas dan tanpa ampun.
Orbital airstrike adalah tema modern nya.
Dan lebih lagi, ini bukan kekuatan maksimum Galantine. Jauh dari itu. Mana nya yang terkuras membuat Naruto tidak mampu mengeluarkan kekuatan maksimum pedangnya.
Laser yang seharusnya dapat menghancurkan pulau, sekarang hanya mampu menghancurkan setengah gedung yang Naruto tempati. Semua yang ada di hadapan Naruto hancur.
Dimana cahaya Galantine menyinari, tidak ada lagi yang tersisa di sana. Tengkorak manusia yang di jadikan pajangan oleh Malaikat Jatuh musnah, dinding yang masih berdiri tadi sudah menghilang. Tidak ada bekas pernah ada sesuatu di sana, seakan area di depan Naruto memang selalu tanah kosong.
Kecuali untuk sebuah tubuh di tengah-tengahnya.
Menyebutnya tubuh mungkin tidak benar, gumpalan daging lebih tepatnya. Tanpa tangan, kepala atau kaki, tidak juga kulit untuk menutupinya. Naruto menahan muntahnya, hal yang dipersulit saat daging itu menggeliat.
Naruto menajamkan matanya. Dari gumpalan daging menggeliat itu, ular-ular muncul. Merayap keluar dari setiap cela-cela yang ada. Naruto tidak dapat menghitungnya, mungkin jumlahnya lebih dari sepuluh, tapi setelah keluar dari gumpalan daging itu, semua ular-ular itu terbang dan menyatu di udara. Membentuk bulatan yang Naruto lihat sebelumnya.
Tapi berbeda dari yang tadi, dimana kumpulan ular itu hanya bergerak dengan malas, sekarang bulatan ular itu berputar dengan cepat. Hitam bercampur dengan merah adalah warna bola itu, tidak terlihat lagi perbedaan antara ular-ular tersebut.
Darah Naruto berdesir kencang saat gumpalan daging bekas Kokabiel terbang, menggeliat dan membuka dirinya. Menjadi mulut tanpa gigi dan melahap bola hitam dan merah itu.
Seketika, kakinya kehilangan kekuatan, tidak lagi mampu menahan tubuhnya. Lututnya berhantam dengan tanah sementara tangannya terkulai lemas di sisinya, Galantine sudah lama hilang –Naruto tidak mampu menahan beban mana dari pedang itu.
Matanya yang semakin buram masih mampu melihat kejadian di depannya. Dengan mata yang sema, Naruto melihat musuhnya terlahir kembali. Perlahan, seakan ingin menyiksa Naruto dengan horornya, gumpalan daging itu tumbuh.
Dua benjolan di bawah daging itu berputar ke bawah, menggeliat dan membentuk sepasang kaki. Gumpalan itu sendiri melebar, otot dan lemak dan jaringan tubuh muncul dan mulai membentu sebuah badan. Dari atasnya, daging berputar dan berputar, membentuk sebuah kepala.
Naruto menahan napas dan mengeluarkannya dengan kasar saat enam pasang sayap hitam muncul di belakang tubuh itu.
Dan tidak lama, Kokabiel terlahir kembali.
Tanpa kulit di sekujur tubuhnya, tanpa rambut di kepalanya, tanpa jenis kelamin di selangkangannya dan dengan mata yang kini hanya dua bola hitam, Kokabiel tidak lagi terlihat seperti Malaikat Jatuh.
Dia sudah benar-benar menjadi menjadi Monster.
Monster yang sekajar berjalan ke arah Naruto yang sudah tidak berdaya.
Ia memberontak saat tangan merah mencengkram lehernya dan mengangkatnya, kakinya menendang dengan tenaga yang ada, tapi Kokabiel seakan tidak merasakan itu.
"Harus aku akui," Monster itu memulai, suara jauh berbeda dengan Kokabiel yang dulu. "Kau membuatku terkejut manusia. Tidak kusangka mainanmu itu mampu menghancurkan tubuhku."
Dia mendekatkan wajah Naruto dengan wajahnya. Dua lubang di mana hidung seharusnya berada mengeluarkan angin yang terasa panas di wajah Naruto. Biru siang dan hitam malam bertemu.
"Tapi seperti yang kau lihat, aku masih hidup. Dewi-ku memastikan aku tidak akan pernah mati. Apa lagi di tangan manusia rendah sepertimu." Seperti membuang sampah, Kokabiel melempar Naruto.
Dengan tenaga yang sudah meninggalkan tubuhnya, Naruto bahkan tidak bisa mendarat dengan baik. Tubuhnya terguling menghantam lantai, berhenti dengan posisi tengkurap.
Entah bagaimana, Naruto masih menemukan kekuatan untuk mengangkat kepala dan menatap musuhnya.
"Tapi penghinaan ini tidak bisa aku biarkan. Kau harus membayar penghinaan ini manusia." Mendengar itu, tubuh Naruto menegang.
Kokabiel melihatnya. Dia tidak memiliki bibir, ataupun gigi, tapi Naruto merasa monster itu sedang menyeringai.
"Aku tidak akan membunuhmu. Oh tidak, itu terlalu baik untukmu. Aku tidak akan membunuhmu, malah, akan aku pastikan kau hidup setelah semua ini." Kokabiel membentang kedua tangannya ke samping. "Kau akan hidup mengetahui aku telah menghancurkan semua yang selama ini kau coba lindungi. Kotamu ini akan aku hapus dari peta. Manusia-manusia yang kau selamatkan akan aku lenyapkan. Dan teman-temanmu?" Kokabiel berhenti bicara, tapi Naruto mengerti implikasinya.
"Tidak! Tidak! Kokabiel aku lawanmu! Tinggalkan mereka!" Naruto berteriak, mata melebar.
Kokabiel menghiraukannya, enam pasang sayap hitam mengepak. "Ketahuilah manusia, kematian mereka adalah salahmu." Dengan itu, dia melesat ke udara, arahnya menunjukan tempat Camelot pernah berdiri.
"KOKABIEL! JANGAN SENTUH MEREKA! AKU LAWANMU KOKABIEL! JANGan…. Jangan…."
Mata birunya membasah dan Naruto kehilangan kesadaran.
…..
…..
Mortal Peril Detected!
Initiating Back-up Plan 1!
Initiating….
Initiating….
Initiating….
Initiating Complete!
Back-up Plan 1 is Online!
Kelopak matanya terbuka dan abu-abu menatap dunia.
Mereka sedang terdesak.
Sona melepaskan peluru air dari lingkaran sihirnya, mengenai Malaikat Jatuh yang hampir memotong kepala Tsubaki. Tanpa terkejut, Ratunya itu memutar diri, naginata memotong kepala Malaikat Jatuh yang sama. Dia mengangguk ke arahnya, Sona balas mengangguk.
Ia mengalihkan perhatiannya ke tempat lain, Rias yang sudah lama meninggalkan sisinya untuk membantu di depan, masih melemparkan bola kehancuran. Dia melemparkannya tanpa arah, Rias dari dulu memang tidak memiliki bidikan yang bagus, tapi begitu banyaknya musuh mereka membuat bola kehancuran itu pasti mengenai sesuatu.
Bantuan dari Rias membuat Kudanya, Kiba, terbebas dari musuhnya dan mampu membantu Momo, dengan luka besar di pahanya, mendorong mundur empat Malaikat Jatuh.
Di sudut matanya, Sona melihat tiga Exorcist yang sekarang menjadi sekutu mereka bertarung berdekatan. Satu akan menyerang ke depan, satu akan membantu dan satu lagi akan menutupi bagian belakang mereka.
Dan dengan setiap ayunan senjata legendaris mereka, Malaikat Jatuh mati. Sona mungkin tidak menyukai Excalibur karena efeknya pada kaumnya sendiri, tapi Ia sangat bersukur sekarang senjata-senjata itu ada di sisinya.
Ia meloncat ke belakang, menghindari sebuah tombak cahaya yang menuju ke arahnya. Di udara, Sona menciptakan lingkarang sihir yang mengeluarkan tentakel air yang langsung mengibat Malaikat Jatuh yang berhasil melewati perimeter pertarung jarak dekat dan mendekatinya.
Dengan perintah lain, tentakel itu mencekam lebih kuat, meremukan Malaikat Jatuh itu.
Sona mendarat, dan untuk kesekian kalinya, matanya menuju gedung besar di depannya. Meski dalam pertarungan sendiri, Sona menemukan perhatiannya selalu teralihkan menuju gedung itu.
Menuju pemuda yang sekarang pasti bertarung demi hidupnya –dan hidup mereka.
Sona Sitri bukanlah orang bodoh, Ia mengerti perasaannya sendiri. Ia tahu persis perasaannya pada pemuda itu lebih dari sekedar teman. Ia juga tahu Naruto memiliki perasaan terhadapnya. Keadaan membuat mereka tidak mampu duduk dan membicarakannya.
Itulah mengapa, sekarang, sekarang Ia tidak boleh lengah.
Jumlah mereka sudah jelas kalah banyak. Kemampuan mereka memang lebih di atas dari musuh, tapi kuantitas memiliki kualitas sendiri. Di tambah lagi dengan tidak adanya penyembuh di antara mereka, faktor kelelahan dan luka akan mempengaruhi kemampuan mereka.
Cepat atau lambat, Sona menyadari, keadaan yang selama ini bisa di bilang seri, akan berubah.
Dan benar saja.
Malaikat Jatuh, menyadari keadaan mulai menggunakan akal mereka.
Dalam satu pertempuran, besar atau kecil, pemberi kerusakan terbesar atau orang yang mampu menghabiskan banyak orang dalam satu kali serangan akan selalu menjadi sasaran utama musuh.
Dalam pertarungan kali ini, orang tersebut adalah dirinya sendiri dan Rias.
Target Malaikat Jatuh kali ini adalah Rias.
Satu regu Malaikat Jatuh memisahkan diri dari yang lain. Empat belas atau tiga belas Malaikat Jatuh menciptakan tombak cahaya dan melemparkannya ke Rias.
Rias, sehabis melemparkan sihirnya sendiri ke musuh, menyadarinya dan melompat ke atas, sayap Iblis nya di keluarkan untuk menyeimbangkan diri di udara.
Di saat yang sama, regu Malaikat Jatuh tersebut kembali meluncurkan tombak cahaya mereka ke Rias. Di udara dan baru saja melakukan maneuver menghindar, Rias hanya bisa melihat tombak jatuh itu datang, tangan di silangkan di depan dada untuk menangkis.
Jantung Sona seakan berhenti sejenak. Serangan tombak cahaya sebanyak itu, jika mengenai Rias, dengan luka yang sudah dia terima sebelumnya, akan membuat Rias jatuh.
Tapi untuknya, seseorang bergerak. Sebuah kilatan putih muncul, mendorong Rias dengan tubuhnya, dan menerima serangan itu dengan tubuhnya sendiri.
Sebuah ledakan terjadi dan Koneko jatuh ke tanah dengan dentuman keras.
"KONEKO!" Sebuah auman terdengar.
Issei, orang yang menurut Sona merupakan petarung paling berbahaya saat ini, menyeruduk ke depan. Membanting dan menghantam semua Malaikat Jatuh di depannya untuk melindungi Koneko. Armor merahnya masih bersinar, tapi kali ini karena darah, Issei berhasil membuat sebuah zona aman di sekitar Koneko agar yang lain bisa mengobatinya.
Di saat fokus Sona dan yang lain hampir seluruhnya tertuju pada Koneko, fokus musuh mereka masih tertuju pada Rias.
Satu regu yang lain kembali memisahkan diri dan menargetkan Rias dengan tombak mereka.
Rias, sekarang sudah di tanah, kali ini tidak tertangkap tidak siaga. Dia menghindar, berguling ke tanah dan menciptakan sebuah dinding sihir untuk menangkis serangan tersebut.
Tapi di saat yang sama, dua regu Malaikat berhasil melewati perimeter mereka dan menyerbu ke Rias. Tombak di acungkan dan sayap di kepakkan, mereka dengan cepat bergerak menuju Rias.
Rias, menyadari dia tidak akan sempat membuat sihir, memasang ancang-ancang bertarung.
Tapi Rias, Sona tahu, bukanlah seorang petarung jarak dekat. Dia bisa, tapi dia tidak hebat dalam hal itu. Satu atau dua dapat dia hadapi, bahkan sepuluh mungkin dia masih bisa.
Tapi hampir tiga puluh Malaikat Jatuh?
Jawaban nya sudah sangat jelas bagi Sona. Jadi Ia bersiap untuk melakukan sesuatu, lingkaran sihir muncul di kedua tangannya. Tangan yang Ia arahkan ke Rias, tapi insting membuatnya bergulir ke samping dan mengarahkan tangan itu ke Malaikat Jatuh yang entah bagaimana bisa mencapai sisinya.
Mana yang sudah terkumpul di keluarkan dari lingkaran sihir itu keluar dalam bentuk peluru air, menembus tubuh Malaikat Jatuh tersebut dan membunuhnya seketika.
Mata Sona dengan cepat kembali ke posisi Rias, sihir lain siap di ujung jarinya ketika Sasuke menampakkan dirinya. Kuda Rias itu menyongsong ke depan, melewati Rias, sembari menghujamkan katana di tangannya.
Momentum membuat dua Malaikat Jatuh menusukan diri mereka sendiri ke senjata tersebut. Sasuke, tanpa terganggu, berhenti seketika dan membuat tebasan melingkar dengan kaki kanannya sebagai pivot. Gerakannya ini membuat serbuan Malaikat Jatuh itu terhenti sejenak dan dapat di manfaatkan oleh Rias yang segera menembakan bola kehancurannya.
Sona menghela napas, hal yang sama Ia dengar dari wanita yang sekarang ada di sisinya.
"Ini tidak bisa berlanjut." Ujar Griselda Quarta.
Sona tahu tentang Griselda Quarta. Salah satu Exorcist terkuat yang pernah ada, wanita ini memiliki legendanya sendiri di Underworld. Legenda yang di penuh peringatan tentang betapa berbahayanya seorang Exorcist terlatih.
"Aku tahu itu." Sona menjawab, lalu balik bertanya. "Apa kau punya ide?"
Seorang Iblis menanyakan opini seorang Exorcist untuk melawan Malaikat Jatuh. Mungkin ini akan menjadi legenda juga di Underworld.
"Kita harus melakukan sesuatu yang besar." Griselda menunjuk ke gedung besar di depan mereka. "Lewati semua Malaikat Jatuh di sini, dan mengakhiri Kokabiel. Aku tidak tahu bagaimana keadaan Naruto sekarang, tapi melihat dia dan Kokabiel masih belum muncul, aku pikir mereka masih bertarung. Dan itu tidak bagus."
Karena semakin lama pertarungan mereka, makan semakin lama pula pertarungan Sona saat ini. Semakin lama dan Mana Naruto akan semakin berkurang. Semakin lama, stamina Naruto akan habis. Semakin lama, Naruto akan mati.
"Teman-temanmu bilang otakmu adalah senjata paling berbahaya milikmu. Gunakan otakmu Sona Sitri." Ujar Griselda.
Tapi kata-kata itu sudah menjadi background noise bagi Sona, layaknya kericuhan di sekitar mereka. Semua terasa hening bagi Sona saat otaknya mulai bekerja.
Seperti yang di katakan oleh Griselda tadi, mereka harus melakukan sesuatu yang besar. Opsi yang muncul paling pertama dalam pikiran Sona adalah Rias.
Harga diri atau tidak, Rias memiliki kekuatan di atas Sona. Satu serangan besar darinya seharusnya cukup untuk membuat jalan bagi mereka. Tapi Rias sudah mulai kelelahan, Mana yang dia miliki sudah menipis. Di tambah dengan jumlah musuh mereka, serangan sekuat tenaga Rias tidak akan mampu membuat jalan untuk mereka.
Issei.
Boosted Gear memiliki kemampuan untuk menggandakan kekuatan penggunanya. Sekiryuutei, siapapun yang memiliki gelar itu, selalu terkenal. Buku, acara TV dan sejarah selalu memiliki suatu penjelasan tentang mereka. Tentang kemampuan the Red Dragon Emperor.
Salah satu kemampuan itu, otak Sona mengingatkan, adalah memberi kekuatan kepada orang lain.
Jadi yang perlu Ia ketahui sekarang adalah ap–
Otaknya berhenti bekerja. Sona melihatnya sekelilingnya, menyadari bukan lagi otaknya yang membuat pertempuran itu hening.
Ia melihat ke Griselda, yang wajahnya berkilau karena cahaya.
Tunggu, berkilau?
Sona melihat ke atas, mata seketika membulat melihat dua matahari menggantung di udara. Tidak, tidak, bukan dua matahari. Satu matahari dan bola api yang begitu besarnya dengan cahaya yang menyerupai matahari.
"Apa-apaan itu?" Griselda bergumam di sampingnya.
Hampir di saat yang sama, bola itu seakan meledak. Dan serpihannya jatuh ke arah mereka.
"Awas!" Sona memperingatkan tapi, detik berikutnya, Ia menyadari peringatan itu tidaklah di butuhkan.
Pertama, bola itu tidak meledak. Tapi mengeluarkan cahaya seperti laser yang turun ke bawah. Dan kedua, targetnya bukanlah mereka.
Ledakan terjadi di sekitar Sona, mengenai tepat di mana Malaikat Jatuh berada. Dan sebanyak apapun laser dan ledakan itu terjadi, tidak satupun mengenai mereka.
"Naruto…" Sona bernapas. Ia sangat yakin ini adalah perbuatan Naruto.
Tanpa Ia sadari, kakinya sudah bergerak, berjalan lalu berlari ke depan. Ledakan dan kematian terjadi di sekelilingnya, tapi Sona tidak peduli. Mata dan tujuannya hanya pada targetnya, gedung markas Kokabiel.
Naruto.
"INI KESEMPATAN KITA! IKUTI SITRI!"
….
….
….
Dengan terengah, Sona memperlambat langkahnya. Gedung markas Kokabiel sudah lama hancur, yang tersisa di depan Sona hanyalah reruntuhan. Reruntuhan dengan kondisi yang lebih buruk dari medan pertempurannya tadi. Tapi tepat di reruntuhan itu, seorang pria masih berdiri. Rambut pirang bergoyang tertiup angin.
Dia masih hidup.
Sona tersenyum letih, "Naruto!" Ia berteriak, sembari kembali mempercepat kakinya.
Naruto menoleh ke arahnya dan Sona terhenti di tempat.
Naruto melangkah ke arahnya, luka di sekujur tubuhnya dengan sisa pakaian yang hanya tergantung di badannya. Aura nya seperti seorang veteran perang.
Kaki bergetar, Sona melangkah mundur ketika Naruto sampai di depan wajahnya. Sona violetnya tidak pernah beralih dari mana abu-abu keras Naruto.
Mata yang seharusnya biru.
"K-kau bukan Naruto." Ia berbata.
'Naruto' tersenyum,"Aku Naruto, hanya berbeda jiwa untuk sekarang."
Sona tidak melawan saat 'Naruto' merangkul tubuhnya, satu tangan melingkar di pinggangnya dan tangan lain menangkup dagunya. Abu-abu itu terlihat begitu intens menapat violetnya.
"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang," Dia berujar. "Cukup percaya padaku dan berikan Manamu."
Dan untuk sekian kalinya, bibirnya kembali di kecup oleh Naruto. Mana mengalir kencang, dia menarik.
Sona membiarkannya.
Mohon maklumi segala typo atau kesalahan penempatan kata yang kalian temukan. Fic ini di posting tanpa di edit terlebih dahulu.
Premise dasar fic ini adalah Naruto dengan kekuatan Emiya Shirou. Tapi sebelum ide itu muncul, hal pertama yang saya bayangkan adalah Naruto dengan Excalibur Galantine. Tidak jauh dengan scene di atas.
Jadi bisa dibilang tujuan saya menulis fic ini sudah terwujud. Tapi untungnya, saya sudah memiliki rencana/plot untuk ke depannya.
Kapan itu bisa saya realisasikan(tulis) dan upload? Saya tidak tahu.
Yang pasti, saya sangat ingin untuk menyelesaikan fic ini. Tapi please, jangan berharap update yang cepat.
Sedikit tambahan (kalau boleh);
Enjoy your teenage years, because adulthood sucks.
