Hari ini merupakan salah satu hari di musim semi yang cukup cerah karena beberapa hari sebelumnya langit selalu terlihat mendung bahkan hingga turun hujan. Dari jendela laboratorium tempatku bekerja, aku bisa melihat pohon Sakura besar yang tumbuh di taman sebelah gedung kantor telah bermekaran. Aku yang biasanya selalu makan siang sendirian di kafetaria atau di atap gedung kantor, hari ini entah mengapa memutuskan untuk makan siang di taman itu. Makan siang di bawah pohon Sakura yang sedang bermekaran mungkin akan dapat meningkatkan suasana hatiku.
Aku duduk di sebuah kursi kayu yang mungkin bisa memuat hingga kurang lebih 4 orang jika saling duduk berhimpitan. Kursi kayu tersebut berada tepat di bawah pohon Sakura paling besar yang ada di taman. Suasana taman siang ini dapat terbilang cukup sepi dan hanya ada beberapa orang lain sesekali berjalan melewati taman.
Kubuka furoshiki[1] yang membungkus kotak bekal makanku yang terbuat dari kayu berwarna cokelat muda. Aku membeli kotak makan tersebut dengan harga yang lebih murah dari harga pada umumnya karena saat itu sedang ada potongan harga akhir tahun. Karena sejak kecil aku hanya hidup berdua dengan Ibuku, aku sudah terbiasa untuk selalu berhemat dan tidak bermewah-mewah dalam berbelanja. Apalagi setelah kematian Ibu saat aku masih duduk di bangku akhir SMA. Saat itu adalah masa-masa terkelamku. Ibu hidup sebatang kara dan tidak mempunyai seorang pun yang bisa disebut sebagai saudara. Sehingga aku pun tidak mempunyai wali dan harus bekerja untuk menghidupi diriku sendiri. Akibat kondisiku yang seperti itu, pihak sekolah akhirnya mengizinkanku untuk bekerja paruh waktu dan memberi keringanan untuk setahun terakhir biaya sekolah.
Wali kelasku saat itu sangat khawatir dengan kondisiku. Ia benar-benar memberikan seluruh perhatiannya padaku. Setiap hari ia selalu menanyakan tentang bagaimana kondisiku, memberikan pelajaran tambahan sepulang sekolah, dan bahkan sering membelikanku makan siang. Bukannya aku tidak bersyukur, tentu aku sangat berterima kasih atas hal yang telah ia lakukan untukku. Tapi, tidak semua senang dengan apa dilakukan oleh wali kelasku. Tentu saja hal itu menimbulkan kecemburuan sosial di dalam kelasku. Akibatnya, aku dijauhi hampir oleh seluruh murid di kelas, disebut sebagai seorang pembohong, sering kehilangan beberapa buku dan barang, atau bahkan yang paling parah, uwabaki[2] milikku yang ada di dalam loker dipenuhi dengan tanah dan lumpur. Mudahnya mungkin hal yang kualami ini bisa disebut sebagai 'Perisakan'.
Tentu aku tidak melaporkan apa yang kualami pada wali kelasku. Bukan, bukan karena aku takut. Aku sama sekali tidak merasa takut dengan perisakan itu. Aku hanya tidak ingin merepotkan wali kelasku karena ia sudah cukup sangat direpotkan dengan mengurusku. Lagipula waktuku belajar di sekolah hanya kurang dari satu tahun lagi, jadi aku hanya punya pilihan untuk bertahan dengan semua itu.
Aku sama sekali tidak merasa takut dengan perisakan bukan karena aku merasa sombong ataupun merasa sebagai orang yang paling kuat dan tegar. Tapi semua itu karena aku tahu bahwa ada hal yang lebih menakutkan dan menyeramkan daripada sebuah perisakan. Pelaku perisakan adalah manusia. Masih sesama manusia sepertiku. Memakan nasi dan meminum susu.
Berbeda dengan jurei[3].
Entah mengapa sejak kecil aku dapat melihat hal-hal yang pada umumnya tidak dapat dilihat oleh orang lain. Aku dapat melihat roh, serta makhluk-makhluk tak kasat mata lain seperti siluman dan juga jurei. Hal inilah salah satu alasan yang menyebabkan aku selalu mendapat sebutan sebagai seorang pembohong. Saat SMP aku pernah salah mengira roh sebagai salah seorang teman sekelompok saat festival budaya. Aku selalu berpikir kalau kelompok kami terdiri dari 6 orang murid, padahal sebenarnya hanya ada 5 orang murid.
Kalau begitu apa itu jurei? Apakah jurei berbeda dengan roh manusia yang telah meninggal? Berdasarkan buku yang pernah kupinjam dari perpustakaan, jurei merupakan makhluk kutukan yang terbentuk dari kumpulan emosi negatif yang dipancarkan oleh manusia. Contoh paling mudahnya… Apakah kalian tahu alasan mengapa hantu lebih sering bermunculan di tempat-tempat umum seperti rumah sakit atau sekolah? Di rumah sakit mungkin masuk akal karena memang banyak manusia yang meninggal di tempat itu, tapi bagaimana dengan sekolah? Sedikit sekali orang yang meninggal di sekolah bukan? Tapi mengapa hantu sering muncul di sekolah? Hal itu disebabkan oleh emosi-emosi negatif yang menumpuk dan akhirnya membentuk jurei. Di sekolah tentu ada banyak sekali emosi negatif, salah satu contohnya seperti perasaan orang-orang yang merisakku dan tentu saja perasaanku sendiri yang kurasakan sebagai akibat dari perisakan itu.
Jurei memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran. Dari yang berukuran sangat kecil seukuran ibu jari hingga yang berukuran sangat besar. Saat aku kelas 2 SMP, aku pernah bekerja paruh waktu hanya selama musim panas di sebuah desa di pedalaman gunung. Aku mendapat tawaran pekerjaan itu dari teman dekat Ibuku yang tinggal di desa itu untuk membantunya memanen buah dan sayuran serta mengurus ladang. Di desa itu hanya ada 1 gedung sekolah dasar dan 1 gedung SMP. Aku melihat jurei yang besarnya mungkin seukuran pohon Beringin menempel di bagian dinding sekolah dasar itu. Hari itu adalah hari pertama aku tiba di desa. Aku sangat terkejut dan merasa ketakutan karena tidak pernah melihat jurei dengan ukuran sebesar itu. Bahkan dari jauh aku sudah dapat merasakan aura mengerikan yang dipancarkan olehnya. Bentuknya terlihat abstrak, berwarna hitam, dan seperti gumpalan besar.
Kalau begitu pasti kemudian terpikirkan, jurei yang memiliki wujud sangat menyeramkan seperti itu pasti membahayakan manusia bukan? Tentu saja. Mereka dapat menyerang dan memangsa manusia. Sebagian besar mayoritas berita dan kasus hilangnya orang secara tiba-tiba adalah karena ulah jurei.
Berarti apakah manusia tidak bisa melawan jurei dan hanya bisa menerima takdirnya jika diserang oleh jurei?
Tentu tidak.
Ada manusia selain diriku yang mempunyai kemampuan melihat jurei. Dan beberapa dari mereka terlahir tidak hanya dengan kemampuan dapat melihat saja namun juga memiliki kekuatan khusus yaitu dapat menggunakan energi kutukan yang ada di dalam dirinya untuk melawan jurei. Para manusia berkekuatan khusus itu berkumpul dalam suatu organisasi dan menjalani profesi sebagai seorang Jujutsushi[4]. Dari cerita yang pernah kudengar, untuk menjadi seorang Jujutsushi kalian harus bersekolah di sebuah sekolah khusus yang mengajarkan tentang teknik-teknik Jujutsu[5] untuk melawan jurei. Para murid tidak hanya belajar melawan jurei tetapi juga mendapatkan misi untuk memusnahkan jurei-jurei yang muncul di seluruh penjuru Jepang. Namun hampir tidak ada orang yang mengetahui tentang Jujutsushi ataupun sekolah Jujutsu. Letak persis sekolah itupun tidak ada yang mengetahui lokasinya karena sekolah itu terlindung oleh pelindung khusus yang mencegah orang tanpa kemampuan bisa melihat keberadaan sekolah itu.
Aku kembali teringat pada kejadian saat aku melewati sekolah dasar yang ditempeli jurei besar itu. Saat itu, aku juga melihat ada dua orang pemuda berseragam gakuran[6] serba hitam sedang berdiri di depan sekolah itu sambil saling berbicara. Mereka terlihat sedikit lebih tua dariku, mungkin anak SMA. Salah satu dari mereka sepertinya adalah seorang pemuda keturunan orang asing karena memiliki rambut lurus berwarna pirang dengan wajah dan kulit berwarna terang. Ia membawa sebuah tas ransel berukuran besar yang kuyakin dengan pasti bukan tas sekolahnya. Saat itu aku merasa aneh pada kehadiran mereka, mengapa di hari libur ada anak SMA berseragam saling berdiri berbincang di depan sekolah dasar? Dan lagi, tatapan mata kedua pemuda itu jelas-jelas melihat ke arah jurei besar yang menempel di sekolah. Pada saat itu aku sangat yakin bahwa mereka berdua pasti juga dapat melihat jurei sama sepertiku.
Namun karena saat itu aku merasa sangat ketakutan, apalagi setelah secara tidak sengaja pandangan mataku bertemu dengan pandangan mata tajam dari pemuda asing berambut pirang, aku spontan langsung menundukkan kepalaku dan berjalan cepat melewati mereka berdua. Aku terus berjalan menunduk dan tidak lagi berbalik melihat ke arah jurei ataupun kedua pemuda itu.
Jika kupikirkan lagi sekarang, kedua pemuda waktu itu mungkin adalah murid sekolah Jujutsu. Mereka datang ke sekolah dasar untuk membasmi Jurei besar itu. Karena keesokan harinya saat aku melewati lagi sekolah dasar, jurei besar itu sudah tidak ada.
"Hmm… Walau wajahnya tampan tapi tatapannya sedikit menyeramkan…" gumamku lirih sambil mengunyah potongan terakhir karaage[7]ku. Entah mengapa di dalam kepalaku kembali terbayang wajah tidak ramah pemuda asing berambut pirang itu.
Sambil melihat waktu pada jam tangan analog di pergelangan tangan kiriku, aku berkata pada diriku sendiri, "Hm? Sudah jam segini? Aku harus segera kembali."
Saat aku ingin menutup kotak bekal makan yang sudah kosong, tiba-tiba saja angin kencang berhembus di sekitarku dan membuat kain furoshiki yang kuletakkan di kursi terbang ke arah semak-semak di sampingnya. Saat hembusan angin sudah berhenti, sambil sedikit menghela napas aku pun bangkit dari dudukku untuk mengambilnya.
Namun mendadak aku dikejutkan oleh sebuah bayangan hitam yang dengan cepat melesat keluar dari dalam semak-semak. Karena reflek tubuhku, aku langsung bergerak mundur menjauh dan hal itu membuatku kehilangan keseimbangan. Tetapi bayangan hitam itu ternyata tidak menyerangku dan justru menahan tubuhku sehingga aku tidak jadi terjatuh.
"Kaa…chan[8]?"
Eh?
Masih sambil menahan tubuhku dengan kedua lengannya, bayangan hitam yang ternyata adalah seorang anak laki-laki itu menatapku lekat-lekat. Dan semakin lama ia semakin mendekatkan wajahnya pada wajahku.
"Ehhhhh?! Ini serius?! Uwaaaah! Keren banget! Master Tengen keren banget! Wajah ini benar-benar Kaachan! Waaaah~ Kaachan masih muda sekali! Manis! Kereeeenn!"
Hah?
Master Tengen?
Kaachan?
Siapa anak laki-laki ini?
Tanpa mempedulikan ekspresi bingung yang tampak di wajahku, anak laki-laki itu mencubit-cubit kedua pipiku kemudian memelukku tubuhku dengan erat. Karena terkejut, otakku tidak bisa mencerna sepenuhnya apa yang sedang terjadi.
"Kaachan! Kaachan! Aku merindukanmu!"
Seiring dengan semakin eratnya pelukan anak laki-laki yang tidak kukenal ini padaku, aku kembali tersadar dan segera berusaha melepaskan diriku dari pelukannya. Walau terlihat masih seperti anak kecil, namun pelukannya terasa sangat kuat dan susah untuk dilepaskan. Mungkin karena aku terus-menerus memberontak, ia kemudian perlahan melonggarkan pelukannya. Di saat itulah aku langsung melepaskan diri dan menjauh darinya.
"A, Aku akan hubungi polisi dan kulaporkan pelecehan yang telah kau lakukan padaku!" seruku sambil merogoh saku rokku dan berusaha untuk mengeluarkan smartphone dari dalamnya.
"EHHHHH! Kenapa?!"
Kenapa katanya?! Sepertinya ada yang salah dengan otak anak ini.
"Dengar Nak… Baru saja kau memelukku dan—"
"AAAAAA! Aku lupa! Tentu saja Kaachan belum mengenaliku! Saat ini aku kan belum lahir ke dunia!" Teriaknya pada dirinya sendiri sambil memegang kepala dengan kedua tangannya. Apa semua anak laki-laki jaman sekarang selalu kelebihan energi seperti ini? Lagipula apa yang ia katakan… Belum lahir?
"Maafkan aku Kaachan! Seharusnya aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu ya sebelum memeluk Kaachan?"
Tidak, kurasa letak masalahnya bukan disitu. Walau kau sudah memperkenalkan diri pun tetap saja tidak boleh memeluk orang yang baru kau kenal.
"Baiklah! Perkenalkan! Namaku Yuuji. Nanami Yuuji. Aku adalah anak pertama Kaachan yang datang dari masa depan. Sebentar… Eh…. Aku datang dari masa… Satu… Dua… Ah! 16 tahun yang akan datang!"
Datang dari… Masa depan katanya?
Apa anak ini sedang mengerjaiku?
"Apa kau tidak punya alasan yang lebih baik untuk membela dirimu? Lagipula siapa yang kau panggil daritadi Kaachan, Kaachan."
"Kaachan ya Kaachan," jawabnya tidak jelas sambil menunjuk diriku dengan jari telunjuknya.
"Eh? Aku?"
"Un, tentu saja. Aku selalu memanggil Ibuku dengan panggilan Kaachan. Ah! Jangan-jangan… Sebenarnya Kaachan tidak suka dengan panggilan itu? Apakah sebenarnya Kaachan ingin dipanggil Mama lagi? Ehhh~… Tapi aku kan sudah dewasa lho. Rasanya malu kalau harus memanggil dengan panggilan Mama lagi..."
"Tunggu, tunggu! Bukan itu maksud pertanyaanku! Maksudku, mengapa kau memanggilku dengan panggilan untuk Ibu? Aku ini masih perawan! Pacaran saja aku tidak pernah!"
"Ehh?! Serius?! Kaachan belum pernah berpacaran?! Ehhh~… Kaachan kan manis sekali! Walau Kaachan sering mengomeliku tapi wajah Kaachan masih terlihat muda lho di masa 16 tahun yang akan datang! Teman-teman dekatku sering memujiku karena aku punya ibu berwajah manis hehehe," ucapnya dengan semburat merah tipis yang mewarnai pipinya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kenapa kau jadi malu-malu…"
"Jadi Kaachan…Jangan berkecil hati kalau selama ini belum pernah punya pacar. Karena pada nantinya Kaachan pasti akan menikah dengan Touchan[9] dan kemudian melahirkanku kok," ucapnya sambil meletakkan tangannya di atas bahu kiriku dan memandangku dengan tatapan mengasihani. Mengesalkan.
Sambil menepis tangannya dari bahuku aku berkata ketus, "Kau pikir aku akan percaya dengan pembelaanmu yang berupa cerita karangan fiksi ilmiah itu?"
"Ehhhhh! Aku tidak mengarang! Aku sungguh-sungguh berasal dari masa 16 tahun yang akan datang!" jawabnya setengah berteriak sambil menatapku dengan ekspresi wajah yang sangat serius. Melihatnya membuatku merasakan perasaan janggal yang terasa aneh. Namun bukan suatu perasaan yang buruk. Perasaan apa ini…
"…Baiklah. Aku tidak akan melaporkanmu pada polisi. Tapi, berikan nomor ponsel kedua orang tuamu, aku akan melaporkan pelecehanmu pada mereka."
"Makanya, seperti yang sudah kukatakan, orang tuaku adalah Kaachan!"
"Dilihat bagaimanapun juga aku tidak mungkin Ibumu! Umurku baru 28 tahun tahu! Aku tidak mungkin punya anak sebesar dirimu!"
"Makanya kan… Aku sudah bilang bahwa aku sekarang belum lahir! Aku datang dari masa depan!"
"Tidak mungkin seseorang bisa menjelajahi waktu! Aku belum pernah mendengar NASA punya alat seperti itu! Kau berbohong!"
"Aku tidak bohong! Aku kesini bukan dengan alat NASA! Tapi dengan bantuan dari Master Tengen!"
"Siapa Master Tengen? Ilmuwan NASA? Aku tidak pernah mendengarnya! Kau berbohong!"
"Aku tidak akan pernah berbohong pada Kaachan!"
Kami saling berteriak semakin kencang dan pada akhirnya berhenti karena sama-sama kehabisan napas. Sambil mengatur napas, kami saling bertatapan.
Tatapan matanya yang lurus menatapku terlihat sangat sungguh-sungguh. Aku sudah banyak bertemu dengan berbagai macam orang di dunia yang penuh dengan kebohongan ini. Dan mata yang dimiliki oleh para pembual selalu terlihat mati dan kosong. Namun tatapan mata anak ini berbeda… Matanya terlihat sangat hidup dan bersinar. Di sudut terkecil hatiku aku sebenarnya tahu bahwa anak ini serius dan tidak berbohong. Tapi akal sehatku tidak dapat menerimanya.
"Tunggu sebentar… Tadi… Kau bilang apa?"
"Bilang apa?"
"Sebelumnya kau bilang apa?"
"Aku tidak pernah berbohong pada Kaachan?"
"Bukan, bukan, yang sebelumnya lagi."
"Master Tengen?"
"Bukan yang itu. Lagipula siapa dia."
"Ah! Jangan berkecil hati karena belum pernah punya pacar?"
"Bukan yang itu! Yang sebelumnya lagi! Kau mau kuhajar ya?"
"Aku datang dari masa 16 tahun yang akan datang?"
"Bukan! Namamu! Siapa namamu?"
"Yuuji sih."
"Nama keluargamu? Bukan Itadori?"
"Ohh… Bukan dong. Itadori kan nama gadis Kaachan. Tentu saja nama keluargaku menggunakan nama keluarga Touchan. Namaku Nanami Yuuji!" serunya menyebutkan namanya dengan bangga sambil menepuk dadanya sendiri dengan kepalan tangan.
"Na…nami…?"
"Un, kenapa? Apa ada yang aneh?" angguknya dengan wajah yang sangat polos.
Nanami…
Aku kenal seseorang dengan nama keluarga itu di tempat kerjaku. Tapi…
"Tidak, tidak, tidak, tidak mungkin," gumamku sambil mengibas-ngibaskan tanganku dengan cepat untuk mengusir pikiran yang sangat mustahil untuk terjadi dari dalam kepalaku.
"Kalau tidak salah… Kaachan dan Touchan pertama kali berkenalan di tempat kerja karena bekerja di perusahaan yang sama."
"Tidak, tidak, pasti masih ada orang lain yang memiliki nama keluarga Nanami. Tidak mungkin orang itu… Mustahil," gumamku lagi sementara bayangan wajah orang itu perlahan muncul di dalam kepalaku. Entah mengapa jantungku pun mulai berdegup kencang.
"Apa Kaachan sudah kenal dengan Touchan? Kalau tidak salah… Touchan bekerja di divisi… Apa itu namanya… Eh… A… Akun sesuatu… Ah! Akunting!"
DEG!
Untuk sesaat jantungku serasa berhenti berdetak.
Tidak mungkin… Tapi orang itu juga bekerja di divisi Akunting. Tidak, pasti ada dua orang dengan nama keluarga Nanami di dalam divisi Akunting… Ya, pasti begitu.
"Nama lengkap Touchan itu Nanami Kento!"
"EHHHHHHHHHHHHHHH?!"
Kali ini akulah yang berteriak sangat kencang.
Seperti yang sering dikatakan oleh orang-orang, bahwa dalam kehidupan itu akan selalu ada kejadian tak terduga yang tidak bisa terelakkan atau bahkan terpikirkan oleh kita. Kemampuanku dalam melihat roh dan jurei saja mungkin bagi orang lain sudah merupakan hal yang sangat sulit dapat dipercaya. Apalagi jika aku mengatakan bahwa saat istirahat makan siang tiba-tiba saja aku kedatangan anakku dari masa depan? Kurasa jika aku mengatakan hal ini pada orang lain, selain menganggapku pembohong pasti mereka akan menganggapku tidak waras.
Walau begitu, entah mengapa aku tidak dapat membenci anak ini. Saat ia memelukku pun aku tidak merasakan perasaan jijik atau tidak nyaman. Jika ingin dikatakan… Aku justru merasakan perasaan hangat aneh yang mungkin mirip seperti perasaan nostalgia ketika kau bertemu lagi dengan sahabat yang sudah lama tidak kau lihat.
Karena aku bekerja di divisi Riset dan Pengembangan, maka sudah menjadi hal wajar bagiku jika ada sebuah masalah atau pertanyaan maka aku harus menelitinya dan menemukan jawabannya. Aku harus membuktikan kebenaran dari cerita fiksi ilmiah anak ini. Tapi karena aku masih harus bekerja, akhirnya aku menyuruh ia untuk tetap menungguku di taman sampai waktu kerjaku selesai. Dengan senyum yang sangat lebar ia menjawab perintahku dengan patuh dan suara yang sangat lantang.
Sekembalinya ke laboratorium, aku tidak bisa fokus melakukan pekerjaanku. Di dalam kepalaku, aku terus-menerus teringat pada anak aneh yang mengatakan bahwa dia adalah anakku dari masa depan. Anakku dan Nanami Kento.
Wajahku terasa panas padahal aku hanya menyebutkan namanya di dalam kepalaku. Seperti apa yang telah dikatakan anak itu, Nanami Kento benar adalah nama salah satu pegawai yang bekerja di divisi Akunting di perusahaan tempatku bekerja. Ia adalah seorang Kachou[10] di divisi Akunting. Aku hanya sesekali pergi ke divisi Akunting jika ingin menyerahkan proposal pengajuan biaya penelitian atau mengembalikan laporan pemakaian keuangan. Itu juga aku tidak selalu dapat bertemu dengannya. Dan ketika bertemu dengannya saat berada di luar ruangan divisi Akunting, misalnya seperti bertemu saat saling berpapasan di lorong, kami hanya saling menundukkan kepala tanpa bicara sepatah kata pun.
Nanami Kento adalah seorang pria tinggi berbadan tegap dengan rambut berwarna pirang seperti orang asing. Kudengar dari gosip-gosip yang beredar, Nanami-kachou memang keturunan orang asing. Kalau tidak salah kakek dari pihak ibunya adalah orang Denmark. Tidak heran jika ia memiliki tubuh yang besar dan tinggi.
Bagiku wajahnya sangat tampan dengan garis wajah yang tegas. Gaya rambut, penampilan, dan pakaiannya selalu terlihat rapi dan berkelas. Tidak hanya penampilan luarnya saja, pekerjaan yang dilakukannya juga selalu sempurna, menandakan bahwa ia adalah orang yang cerdas dan cekatan. Dan walau hanya berumur 3 tahun lebih tua dariku, Nanami-kachou sudah termasuk salah satu anggota dewan tinggi di perusahaan. Kesimpulannya, Nanami-kachou termasuk salah satu pria populer yang ada di perusahaanku. Namun karena cara bicaranya yang tegas dan terkesan dingin, ditambah dengan wajah tanpa ekspresinya dan tatapan mata yang sangat tajam, Nanami-kachou juga terkenal sebagai salah satu atasan yang menyeramkan dan hampir tidak ada wanita di perusahaan yang berani mendekatinya. Para wanita itu hanya bisa mengagumi sosoknya dari jauh dan membicarakannya secara diam-diam.
Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan diriku, seorang wanita hampir berumur 30 tahun dengan wajah biasa dan penampilan yang sederhana, rasanya sangat sulit untuk dapat mempercayai kebenaran perkataan anak itu bahwa Nanami-kachou adalah suamiku di masa depan.
Aku…?
Dengan manusia sempurna seperti itu?
Aku bahkan sama sekali belum pernah berbicara dengannya!
Tidak… Sebenarnya pernah. Hanya sekali. Dan aku masih mengingatnya hingga saat ini.
Kejadian itu terjadi pada saat aku melakukan wawancara kerja di perusahaan tempatku bekerja sekarang. Di hari wawancara itu, aku merasa sangat tidak enak badan. Sebelum tiba waktunya aku masuk ke dalam ruang wawancara, aku hanya bisa meringkukkan tubuhku dan jongkok di sudut lorong depan toilet wanita. Walau aku sudah memuntahkan seluruh isi perutku, aku tetap merasa mual dan kepalaku seperti berputar-putar.
Saat itu aku hanya dapat berpikiran buruk dan berpikir untuk menyerah. Rasanya mustahil melakukan wawancara kerja dengan kondisiku saat itu, aku pasti akan gagal. Kemudian di ambang keputusasaanku, tiba-tiba saja aku merasakan tangan seseorang menepuk bahuku lembut.
Di hadapan diriku yang sedang tidak berdaya saat itu, Nanami-kachou bersimpuh di sampingku sambil menyodorkan sebotol minuman dan satu strip obat pusing serta mual. Wajah tampannya yang seperti orang asing, bagiku ketika itu terlihat bagaikan wajah seorang malaikat yang datang untuk menyelamatkanku.
"Silakan. Kau adalah salah seorang pelamar kerja bukan? Minum ini dan tenangkan dirimu sebelum wawancara dimulai."
Dengan suara rendahnya yang menenangkan ia seperti menghipnotisku. Aku tidak melawan dan hanya bisa menganggukkan kepalaku lemah. Aku menerima botol minuman dan meminum obat yang diberikan olehnya. Ia membantuku berdiri dan mengajakku untuk duduk di kursi terdekat yang ada di lorong. Selama beberapa menit ia menemaniku dan duduk di sampingku dalam diam. Walau begitu anehnya perlahan aku merasa sangat tenang, rasa pening dan mualku pun mulai menghilang.
Tidak lama kemudian Nanami-kachou mendapat panggilan masuk dari ponselnya. Setelah berbicara sebentar pada ponselnya ia kemudian izin pamit padaku dan menyuruhku untuk menenangkan diriku hingga aku dipanggil masuk ke dalam ruang wawancara.
Saat itu aku tidak tahu siapa namanya. Aku mengetahui nama pria penyelamatku itu beberapa bulan setelahnya. Jika bukan karena Nanami-kachou, saat ini aku mungkin tidak bekerja di perusaahaan ini. Sejak hari pada 6 tahun yang lalu itu, sosok Nanami-kachou menjadi sosok yang sangat kukagumi. Tentu saja sama seperti yang lainnya, aku hanya mengaguminya dalam diam.
Walau aku mengingat semua kejadian di hari itu, kuyakin Nanami-kachou bahkan mungkin tidak tahu bahwa aku diterima dan masih bekerja hingga saat ini di perusaahaan ini.
Oleh karena itu, secara teori, perkataan anak itu bahwa aku akan menikah dengan Nanami-kachou adalah hal yang mustahil.
Namun jika anak itu berbohong, bagaimana anak itu bisa tahu nama dan divisi tempat kerja Nanami-kachou? Apa anak itu adalah kenalannya Nanami-kachou?
Di saat aku masih bergelut dengan hipotesis di dalam kepalaku, tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 5 sore. Aku langsung membereskan meja kerjaku dan izin pulang lebih dulu pada rekan satu divisiku. Aku segera berlari secepat yang aku bisa menuju taman, dengan harapan bahwa aku tidak akan menemukan anak itu dan kejadian tadi siang mungkin hanyalah sebuah mimpi aneh yang terjadi karena aku tidak sengaja tertidur setelah memakan bekalku.
Tapi ternyata tidak begitu.
Anak itu ada.
Anak itu ada di hadapanku dan ia sedang bermain di dalam kotak pasir sendirian dengan santainya. Saat menyadari keberadaanku, ia langsung menengok dan memanggilku dengan wajah polosnya.
"Oh! Kaachan! Sudah selesai kerjanya? Masih sama ya ternyata jam pulang kerja di masa ini dengan di masa depan. Pusss pusss sini pusss~"
Perhatiannya kemudian teralihkan pada kucing hitam yang lewat di samping kotak pasir. Akan tetapi kucing itu hanya menoleh sedikit padanya dan tidak menggubrisnya. Wajahnya kemudian berubah menjadi sangat kecewa.
Apa benar anak yang sangat ekspresif dan ceria ini adalah anakku dan Nanami-kachou? Aku yang suram dan Nanami-kachou yang tanpa ekspresi itu?
'KRUYUUUUUUK~~~'
Suara perut yang sangat keras dari anak itu menggema di seluruh taman, membuyarkan pikiran skeptisku dan membuat orang-orang di sekitar menengok ke arah kami.
"Kaachan, aku lapar… Aku jadi ingin makan masakan Kaachan… Aku jadi ingat pada hamburger buatan Kaachan… Rasanya enak sekali…" ujarnya sambil mengusap-usap perutnya dan menatapku dengan tatapan seperti anak kucing yang kehilangan induknya. Ditatap seperti itu membuatku kembali merasakan perasaan hangat yang aneh itu.
Sambil menghela napas aku pun berkata, "Hhhh… Dengarkan aku Nak. Aku itu belum sepenuhnya percaya padamu tahu."
"Ah, Yuuji. Bukan Nak. Tapi Kaachan biasa memanggilku Yuu-chan dari aku masih kecil sih," ujarnya sambil mengerucutkan bibirnya dan bangkit berdiri dari kotak pasir. Ia kemudian menepuk-nepuk pasir yang melekat pada celana gakurannya. Sambil tetap mengerucutkan bibirnya.
"Hhhh… Baiklah. Kalau begitu… Yuuji-kun. Tapi sebelumnya kita harus pergi ke suatu tempat terlebih dahulu."
Mendengar perkataanku Yuuji-kun kemudian berjalan menghampiriku dengan wajah riangnya, "Tentu saja! Ke supermarket untuk belanja bahan makanan kan? Senangnya~! Sudah lama sekali aku tidak berbelanja ke supermarket bersama Kaachan! Aku nanti boleh minta jajan cokelat ya?"
"Bukan itu!"
"Ehh~~~ Bukan…?"
Wajah Yuuji-kun berubah kembali menjadi kecewa dan ia kembali mengerucutkan bibirnya. Aku bisa merasakan jiwa yang mungkin saja jiwa keibuanku dibuatnya terenyuh melihat ekspresinya.
"Hhhh… Baiklah. Kita akan pergi kesana setelahnya."
"Benarkah? Asyik!"
"Tapi… Itu semua tergantung pada hasil dari tempat yang akan kita kunjungi ini. Jika hasilnya tidak sesuai maka tidak ada supermarket ataupun hamburger. Mengerti?"
"Ehhhhh~~~"
"Mustahil… Ini pasti bohong…" ucapku lirih setelah melihat angka 99.99% pada kolom hasil kemungkinan maternal yang tertulis pada selembar kertas hasil uji DNA yang kupegang di tangan kananku. Tubuhku semakin lemas setelah melihat hasil uji DNA mitokondria yang kupegang di tangan kiriku yang juga menunjukkan angka 99.99%.
Uji DNA merupakan metode akurat untuk mengecek hubungan genetik antar makhluk hidup. Semakin mirip susunan genetik suatu makhluk hidup maka semakin dekat pula hubungan kekerabatan mereka. Dari hasil yang kuterima, 99.99% setengah susunan genetik Yuuji-kun mirip dengan susunan genetik milikku, yang berarti aku merupakan salah satu orang tua Yuuji-kun yang menurunkan setengah susunan genetik padanya. Setengahnya lagi tentu saja diturunkan dari pihak ayah. Dan untuk menambah keakuratan hasil, aku juga melakukan uji DNA mitokondria. Uji DNA mitokondria hanya bisa dilakukan untuk mengecek hubungan kekerabatan dengan ibu karena mitokondria hanya diturunkan oleh ibu ke anaknya dengan susunan yang tidak pernah berubah. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui siapa ibu kita, uji DNA mitokondria adalah metode yang sudah pasti lebih akurat. Dan hasil uji DNA mitokondria juga menunjukkan bahwa 99.99% Yuuji-kun memiliki DNA mitokondria yang sama denganku. Berdasarkan hasil itu, Yuuji-kun tidak mungkin memiliki DNA mitokondria seperti itu jika aku bukan ibunya.
"Tidak bisa dipercaya… Besok kita harus cek lagi di tempat lain!"
"Kurasa percuma lho, habis lihat hasilnya, 99.99% lho! Keren!" seru Yuuji-kun yang muncul dari balik punggungku sambil menunjuk angka 99.99% pada salah satu kertas yang kupegang.
Aku tidak dapat mendebatnya lagi, "Memang sih… Ini hasil yang sangat akurat…"
"Kaaan~ Kaachan sekarang percaya kan kalau aku tidak berbohong."
"Ya…" jawabku pelan sambil melipat kedua kertas hasil uji dan memasukkannya ke dalam shoulder bag kerjaku.
"Jadi sekarang kita ke supermarket kan?! Kan?! Aku sudah lapar sekali Kaachan~" seru Yuuji-kun sambil berdiri di hadapanku dan menatapku lekat dengan matanya yang berkilauan. Walau aku sudah tahu dari hasil uji DNA, tetap saja akal sehatku masih tidak dapat menerimanya. Bagaimana bisa anak yang ceria seperti ini adalah anakku?
Setelah itu kami berdua berjalan menuju stasiun terdekat untuk pulang dengan kereta. Karena sudah lewat jam pulang orang kerja, kereta yang kami naiki tidak begitu ramai dan kami berdua bisa duduk di bangku kereta. Perjalanan kereta dari stasiun tempat kami naik sampai menuju stasiun dekat apartemenku hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Di waktu itu aku bertanya pada Yuuji-kun tentang umur sebenarnya. Yuuji-kun mengatakan padaku bahwa saat ini ia berumur 15 tahun dan sedang duduk di kelas 1 SMA. Kalau aku tidak salah ingat, sebelumnya ia mengatakan padaku bahwa ia datang dari masa 16 tahun yang akan datang… Hal itu berarti… Yuuji akan lahir ke dunia ini pada tahun depan?
Yang benar saja…
Tidak lama kemudian kereta berhenti di stasiun tujuan kami. Aku segera mengajak Yuuji-kun untuk turun dan berjalan keluar stasiun. Tepat di samping stasiun terdapat sebuah supermarket yang tidak pernah sepi dengan pengunjung karena supermarket ini adalah satu-satunya supermarket yang ada di wilayah ini.
Pintu otomatis supermarket terbuka menyambutku dan Yuuji-kun yang berdiri di hadapannya. Aku segera masuk lebih dahulu dan mengambil keranjang belanja. Kupikir setelah masuk ke dalam supermarket Yuuji-kun akan langsung menjadi heboh, tapi tidak disangka ia ternyata berjalan di sampingku dengan tenang.
Saat aku sedang menimbang-nimbang apakah aku harus membeli daging sapi kualitas terbaik atau yang menengah, Yuuji-kun sudah tidak berada di sampingku. Entah mengapa aku kemudian merasa panik. Kutaruh kemasan daging yang sedang kupegang dan segera menyusuri tiap lorong untuk mencari Yuuji-kun. Untungnya karena sudah malam supermarket tidak begitu ramai. Aku dapat segera menemukan Yuuji-kun yang sedang berdiri di lorong bagian makanan ringan dengan wajah serius sambil mengusap-usap dagunya. Ekspresi wajahnya seolah sedang memikirkan hal yang sangat penting.
"Yuuji-kun! Mengapa kau menghilang tiba-tiba?! Kau seharusnya bilang kalau ingin pergi ke suatu tempat!"
"Maaf, maaf Kaachan. Daripada itu, menurut Kaachan lebih baik aku membeli keripik kentang atau biskuit cokelat? Aku inginnya sih keripik kentang tapi biskuit cokelat yang ini di masa depan sudah berhenti produksi jadi aku harus mencobanya. Tapi aku takut jadi kenyang dan tidak bisa makan malam kalau makan biskuit cokelat, tapi kalau pilih keripik kentang aku tidak bisa mencoba biskuit cokelat langka ini. Hmmm bingungnya… Hmm… Pilihan yang sulit… Hmm…"
Jadi begini perasaan para ibu ketika anaknya tiba-tiba menghilang di supermarket?
"Hhhh… Sudah sini masukkan dua-duanya ke dalam keranjang."
Mendengar perkataanku Yuuji-kun beralih menoleh padaku dengan ekspresi sangat terkejut, "EH?! Boleh?!"
"Iya boleh. Sudah cepat, kita harus segera menyelesaikan berbelanja agar jadi tidak terlalu larut."
"Serius boleh?! Ehhhh… Padahal Kaachan di masa depan selalu hanya mengizinkanku membeli satu jenis makanan ringan saja setiap ke supermarket lho. Kaachan di masa ini ternyata lebih baik daripada Kaachan di masa depan!"
Ternyata aku yang di masa depan pun masih menjadi orang yang suka berhemat dan perhitungan.
Setelah membayar semua barang, saat aku ingin membawa kantung belanjaan yang tidak begitu berat itu, Yuuji-kun dengan cekatan sudah terlebih dahulu mengambilnya dan membawanya.
"Kenapa Kaachan? Ayo," tanyanya saat melihat ekspresi wajah terkejutku, aku pun menjawabnya dengan senyuman janggal, "Tidak, tidak apa-apa kok."
Walau aku merasa sedikit terkejut dengan sikap Yuuji-kun yang sangat gentleman, namun entah mengapa aku merasa sedikit bangga melihat sikapnya yang seperti itu.
Apartemen tempat tinggalku hanya berjarak 2 blok dari supermarket. Hanya butuh waktu sekitar beberapa menit dan kami telah sampai di sebuah apartemen sederhana berlantai empat. Aku tinggal di lantai 3. Hanya ada 3 kamar di setiap lantai dan kamarku terletak di paling ujung lorong. Saat kubuka kunci kamarku dan melangkah masuk, Yuuji-kun mengikuti dibelakangku sambil mengatakan, "Tadaima[11]!" dengan suara yang sangat lantang.
Walau kamarku adalah kamar 2LDK [12] namun ukurannya tidak begitu luas seperti mansion. Karena aku tidak pernah mengundang seseorang untuk datang ke kamarku maka aku tidak tahu apakah kamarku termasuk kamar yang rapi atau tidak. Yuuji-kun adalah orang pertama, tidak, laki-laki pertama yang kuundang masuk ke dalam kamarku.
Setelah aku menekan saklar lampu untuk menerangi ruangan, Yuuji-kun mendahuluiku masuk dan meletakkan kantung belanjaan di atas meja dapur. Setelah itu tanpa mengatakan apapun ia berjalan masuk ke dalam toilet. Padahal Yuuji-kun baru pertama kali masuk ke dalam kamarku, tapi ia sudah tahu letak dapur dan toilet tanpa bertanya padaku.
Setelah meletakkan tas dan jas kerjaku di dalam kamar tidur, aku segera kembali menuju dapur. Kugulung lengan kemejaku hingga ke siku dan aku mulai mengeluarkan bahan-bahan makanan dari dalam kantung belanja. Saat aku sedang mencuci bawang bombay, kentang, dan wortel di wastafel dapur, Yuuji-kun keluar dari toilet.
"Ahhh leganya… Ternyata rumah ini masih sama ya seperti di masa depan."
Sudah kuduga. Itulah alasan mengapa Yuuji-kun bisa tahu letak toilet dan dapur. Karena di masa depan ia memang tinggal di rumah ini. Padahal kupikir setelah menikah aku akan pindah ke rumah suami dan tidak tinggal di apartemen ini lagi.
"Eh? Di masa depan kita masih tinggal disini? Bukan di rumahnya Nanami-san?"
"Ehhh~ Sekarang tempat ini jadi tempat koleksi buku Kaachan ya… Kalau di masa depan tempat ini jadi tempat koleksi foto-fotoku dan Kaachan lho!" seru Yuuji-kun sambil melihat barang-barang yang ada di rak kayu bersusun di sebelah televisi. Sepertinya ia tidak mendengar pertanyaanku.
Yuuji-kun kemudian berjalan menuju kamar tidur dan membuka pintu gesernya, "Waah! Kamar tidurnya luas juga ya! Di masa depan kamar ini akan jadi dibagi dua lho, satunya untuk kamarku sendiri hehe"
"Ahhh! Jangan lihat-lihat seenaknya!" teriakku dari dapur. Aku sedang tidak bisa menghampiri Yuuji-kun yang sedang berdiri di ambang pintu kamar tidurku karena saat ini tanganku sedang mencincang bawang bombay.
"Pelit. Sedikit saja kan boleh," balas Yuuji-kun sambil mengerucutkan bibirnya. Sepertinya sikap seperti itu sudah menjadi kebiasaannya setiap kali ia sedang merasa kecewa.
"Lebih baik kau menonton televisi saja sambil menungguku selesai memasak. Ada video game juga kok."
"Hmm… Kalau begitu, apa aku boleh bantu?"
"Eh?"
"Agar lebih cepat selesai. Di masa depan aku juga sudah terbiasa membantu Kaachan memasak kok."
"Serius?"
Sambil menganggukkan kepalanya, Yuuji-kun melepas jas luar gakurannya dan menggulung lengan jaket hoodienya. Ia kemudian berdiri di sampingku. Walau masih berumur 15 tahun, tubuhnya sudah cukup tinggi dan lengannya terlihat sangat berotot dan kuat. Apa semua anak laki-laki jaman sekarang terlihat dewasa seperti ini?
"Aku memotong wortel dan kentangnya ya."
Tanpa perlu kuperintahkan, Yuuji-kun segera mengambil pisau dapur dari dalam laci dan mulai mengupas kentang. Ia bahkan tahu tempat aku menyimpan pisau dapur. Sepertinya di masa depan Yuuji-kun benar-benar sering membantuku memasak. Jika tidak, ia pasti tidak akan bisa mengupas kentang dengan kulit yang tidak terputus. Perasaan bangga itu kembali muncul di dalam diriku. Ternyata… Aku yang dibesarkan dengan orang tua tunggal dan hidup sebatang kara, di masa depan bisa membesarkan anak yang kuat dan baik seperti ini…
"Hiks… hiks…"
Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua bola mataku.
"EH?! Ada apa?! Kenapa Kaachan menangis?! Ehhh?! Apa aku telah melakukan suatu hal yang salah lagi? Kaachan maafkan aku! Aku janji tidak akan melihat-lihat isi kamar Kaachan seenaknya lagi!" Melihatku yang tiba-tiba menangis, Yuuji-kun menjadi panik dan berhenti memotong kentang. Ia kemudian memegang kedua bahuku dengan ekspresi sangat khawatir. Alisnya menjadi turun dan tatapan matanya menjadi sangat sendu.
"Bukan… Aku tidak sedang menangis kok… Ini… Karena aku sedang memotong bawang bombay," jawabku berbohong sambil mengusap air mata di wajahku dengan punggung tangan.
Ini adalah pertama kalinya aku merasakan betapa nyatanya keberadaan seseorang di dalam hidupku selain ibuku sendiri. Aku tidak tahu apakah ini karena pengaruh fakta dari hasil uji DNA ataukah memang ikatan darah ibu dan anak kami yang membuatku merasa seperti ini. Saat Yuuji-kun berada di sampingku, aku merasakan perasaan nyaman yang begitu hangat menyelimutiku. Mengetahui bahwa ada ada seseorang memiliki darah yang sama denganku… Ah… Ternyata aku tidak sendirian. Aku sudah tidak sendirian lagi…
Selama ini ternyata aku hanya pura-pura bersikap tegar. Aku hanya berusaha untuk tidak memikirkannya. Memikirkan kenyataan bahwa selama ini sebenarnya aku merasa kesepian karena kesendirianku…
Setelah mendengar jawaban tidak jujurku, wajah Yuuji-kun berubah menjadi lega dan ia kemudian terkekeh, "Ternyata Kaachan sudah dari dulu cengeng ya!"
"Enak saja! Bukan! Ini karena bawang tahu!"
"Iya, iya."
Setelah selesai memotong bawang bombay, aku mulai mengeluarkan daging cincang dari kemasannya ke dalam sebuah mangkuk besar. Pada akhirnya aku membeli daging dengan kualitas terbaik. Kupikir tidak apa-apa sekali-kali membelinya. Dengan arahanku Yuuji-kun mulai mencampur bahan-bahan untuk saus dan memasaknya di atas wajan. Sementara itu, aku mulai mengaduk campuran daging cincang dan bumbu-bumbu dengan tanganku.
Setelah adonan daging cincang dan bumbu tercampur rata, aku mengambil sedikit adonan dan membentuknya menjadi bentuk pipih, kemudian menggorengnya di atas wajan Setelah saus matang, aku meminta Yuuji-kun untuk merebus potongan kentang dan wortelnya.
Berkat bantuan dari Yuuji-kun aku bisa membuat makan malam dengan lebih cepat. Setelah menata hamburger, rebusan sayur, dan saus ke atas piring, aku membawanya ke meja makan. Karena aku hidup sendiri, meja makanku berukuran kecil dengan dua kursi yang saling berhadapan. Aku dan Yuuji-kun duduk di masing-masing kursinya. Setelah mengucapkan "Itadakimasu![13]" dengan suara yang sangat lantang Yuuji-kun langsung memasukkan setengah potongan hamburger ke dalam mulutnya dengan sekali lahap.
"Ennnnnnaaaaakknyaaaaa!"
Melihat ekspresi bahagia Yuuji-kun saat mengunyah hamburger buatanku membuatku merasa lega, "Syukurlah… Aku belum pernah memasak untuk orang lain sebelumnya."
"Un! Un! Enak sekali! Kangennya masakan Kaachan~ Rasanya sama!" ucap Yuuji-kun sambil mengunyah. Salah satu pipinya tampak sedikit menggembung. Ia terlihat menggemaskan seperti hamster.
"Kangen? Memangnya di masa depan aku jadi jarang memasak?"
"Bukan begitu Kaachan. Setelah SMP, aku masuk ke SMA yang ada asramanya. Jadi aku hanya bisa makan masakan Kaachan saat pulang ke rumah waktu libur panjang. Makanya jadi kangen banget!"
"Asrama…?"
"Un, kalo masuk ke Kousen[14] mau tidak mau harus masuk asrama sih," jawab Yuuji-kun sambil kali ini memasukkan potongan kentang rebus ke dalam mulutnya.
"Kousen? Itu nama SMAnya?"
"Tokyo Toritsu Jujutsu Koutou Senmon Gakkou, disingkat menjadi Kousen. Ahh~ tanpa saus pun enak sekali! Aku tambah ya Kaachan."
"Iya, ambil sendiri di atas wajan. Eh?! Sebentar, barusan kau bilang apa?"
"Aku minta tambah hamburger?" jawab Yuuji-kun sambil mengambil hamburger dari atas wajan dengan spatula dan memindahkannya ke atas piringnya.
"Bukan, bukan. Barusan kau bilang nama SMAmu itu Sekolah Tinggi Teknik… Jujutsu?"
"Iya. Aku tambah 2 ya Kaachan," jawabnya lagi dengan nada sangat santai sambil kembali duduk di meja makan.
Sekolah Jujutsu itu berarti…
"Eh?! Yuuji-kun kau seorang Jujutsushi?!"
"Tapi masih tingkat 4 yang terendah kok karena aku masih anak kelas 1," kali ini Yuuji-kun menjawab sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
"Berarti kau juga bisa melihat…? Itu yang seharusnya tidak bisa dilihat?"
"Maksud Kaachan jurei? Bisa kok. Kaachan juga kan?"
"Bisa sih… Jadi kemampuan melihat itu diturunkan ya… Tapi, seingatku Ibuku tidak punya kemampuan melihat sama sekali… Berarti… Aku mendapat kemampuan ini dari Ayahku?"
"Kata Gojou-sensei tidak juga kok. Ada juga orang yang kemampuan melihat dan Jujutsunya bangkit setelah ia dewasa. Ah, Gojou-sensei adalah wali kelasku di Kousen. Dia Jujutsushi tingkat tinggi, cuma orangnya sedikit aneh sih."
Mendengar perkataan Yuuji-kun, membuatku teringat pada pemuda berambut pirang yang kutemui saat aku kelas 2 SMP dulu. Pemuda itu… Apakah sama sepertiku, sejak kecil sudah memiliki kemampuan melihat ataukah ia mendapatkannya setelah ia dewasa?
Tunggu, mengapa aku memikirkannya? Aneh sekali.
Aku pun menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Apakah Gojou-sensei tahu kalau kau pergi ke masa lalu? Ah, kalau Master Tengen siapa?"
Mendengar pertanyaanku kali ini Yuuji-kun tidak langsung menjawabnya. Ia justru memain-mainkan garpu di tangannya dengan ekspresi wajah serius, "Aku tidak bilang sih… Tapi kurasa kalau Gojou-sensei pasti tahu. Kalau Master Tengen itu… Bagaimana menjelaskannya ya… Hmm… Pokoknya dia orang hebat yang menjaga kekkai[15] di Kousen."
"Kekkai? Semacam pelindung khusus yang menyelimuti seluruh wilayah Kousen?"
"Benar, benar!" seru Yuuji-kun sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
"Dan… Orang hebat seperti itu membantumu pergi ke masa lalu?"
"Un… Master Tengen membukakan kekkai portal waktu yang tersembunyi di Kousen. Aku tidak tahu bagaimana sistem kerjanya, tapi… ada disinilah aku sekarang!" ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya dan tersenyum dengan sangat lebar.
Rasanya aku tidak tahu lagi apa yang harus kupercaya. Selama ini aku selalu berusaha untuk menyembunyikan kemampuanku karena di sekitarku tidak ada orang yang memiliki kemampuan sama sepertiku. Manusia tidak dapat memahami sesuatu hal yang tidak mereka ketahui. Sehingga selama ini kuangap dirikulah yang tidak normal.
Tapi ternyata apa yang selama ini bagiku tidak normal adalah hal yang wajar bagi beberapa orang. Bagi Yuuji-kun dan mungkin bagi para Jujutsushi di Kousen. Makhluk yang tidak terlihat itu benar-benar ada dan nyata keberadaannya.
Hanya dalam sehari pandanganku terhadap dunia ini telah berubah. Aku mungkin tidak akan heran lagi jika Yuuji-kun mengatakan bahwa ada jurei yang dapat berbicara.
"Yuuji-kun, apakah di masa depan ada jurei yang dapat berbicara dengan manusia?"
"Un, ada kok."
Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan sambil menghela napas berat.
"Baiklah… Lalu, untuk apa kau datang ke masa ini?"
"Eh? Tentu saja untuk mempertemukan Kaachan dan Touchan agar kalian bisa menikah sebelum natal tahun ini!"
"Hah? Apa-apaan hal yang mustahil itu?"
Yuuji-kun menjawab sambil menyuap potongan terakhir hamburger ketiganya, "Tidak mustahil kok. Kalian berdua kan memang ayah dan ibuku. Buktinya yah keberadaan aku ini."
Aku telah kehabisan kata-kata untuk membantah perkataannya. Tidak, tepatnya aku tidak bisa melakukannya. Hasil uji DNA Mitokondria kami membuatku tidak bisa membantahnya. Aku pun hanya meresponnya dengan helaan napas yang sangat panjang.
Selesai makan, sementara aku mencuci dan membereskan peralatan masak dan makan, Yuuji-kun pergi berendam dengan air hangat yang sudah kusiapkan sesaat sebelum makan tadi. Dari dapur aku bisa mendengar dengan jelas suara Yuuji-kun yang sedang bersenandung entah lagu apa. Namun entah mengapa aku tidak merasa terganggu sama sekali. Bagiku yang sudah lama terbiasa hidup sendiri sebenarnya hal ini adalah hal yang cukup aneh. Alam bawah sadarku sepertinya sudah benar-benar menerima kenyataan bahwa Yuuji-kun adalah anakku.
Selesai Yuuji-kun berendam, giliran aku yang berendam. Lagi-lagi aku tidak merasa aneh atau tidak nyaman sedikit pun. Aku mandi seperti biasanya, seolah-olah kehadiran Yuuji-kun memang sudah sewajarnya.
Saat aku keluar dari kamar mandi, Yuuji-kun sedang terbahak karena acara lawak yang sedang tayang di televisi. Ia duduk dengan kaki bersila di sofa panjang di depan televisi. Seperti suara teriakannya, suara tawanya pun sangat kencang. Aku duduk di sampingnya sambil menepuk bahunya ringan, "Jangan tertawa terlalu kencang! Ini sudah malam, mengganggu tetangga tahu."
"Hehehe maaf Kaachan, habis lucu sekali sih. Ah, Kaachan di masa depan juga sering mengomeliku jika aku tertawa terlalu kencang, hahaha."
"Tapi kau masih melakukannya?"
Yuuji-kun kembali mengerucutkan bibirnya, "Kan kubilang maaf, aku tidak sadar. Habis rasanya nyaman sekali sih. Benar-benar sama seperti rumahku di masa depan!"
"Kan, memang sama kan?"
"Iya sih, hehe."
"Ah, oh iya kenapa di masa depan kita tidak tinggal di—"
"AH! Kaachan! Lihat sudah jam segini! Kaachan besok harus berangkat kerja kan? Harus segera tidur!"
Perkataan Yuuji-kun membuatku lupa akan pertanyaanku dan aku pun spontan melihat ke arah jam dinding. Angka jarumnya sudah menunjukkan pukul 12.30 tengah malam. Yuuji-kun benar, aku yang susah sekali bangun pagi ini harus segera tidur, "Ah, kau benar."
Seperti yang telah kukatakan sebelumnya bahwa aku sudah lama hidup seorang diri dan bahkan tidak pernah mengajak seorang pun menginap di kamarku, maka aku tidak punya futon cadangan. Melihat aku yang tiba-tiba terdiam dengan pose sambil berpikir, Yuuji-kun menelengkan kepalanya sambil memandangku, "Kenapa Kaachan berwajah serius seperti itu? Ada apa?"
"Hmmm… Tempatmu tidur…" gumamku sambil balas menatapnya bingung.
"Aku tidur di sini juga gapapa kok."
"Tidak boleh! Di sini tidak ada penghangatnya, kau bisa sakit," balasku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak apa-apa kok. Kan sudah musim semi."
"Tidak boleh. Walau sudah musim semi, semakin menjelang pagi, cuaca akan semakin dingin."
"Terus bagaimana dong?"
"Hmm… Baiklah. Kau tidur denganku di kamar."
"EH?!"
Eh? Mengapa ia kaget?
Reaksi yang di luar dugaan. Kupikir Yuuji-kun akan bereaksi santai seperti biasa.
"Boleh…?" tanyanya dengan tatapan mata sendu seperti anak anjing yang kehilangan induknya. Melihatnya membuat perasaanku kembali menjadi aneh. Dadaku serasa dicengkram oleh sesuatu.
"…Un, boleh. Toh berdasarkan hasil uji DNA, kau adalah benar anakku jadi tidak masalah."
Sesaat setelah mendengar jawabanku, Yuuji-kun segera melompat ke arah diriku dan memelukku kembali dengan erat, "Kaachan! Aku sayang sekali sama Kaachan!"
Detik itu rasanya aku tidak peduli jika aku dianggap sebagai orang aneh pun. Perasaan hangat yang kurasakan selama aku berinteraksi dengan Yuuji-kun ini ternyata adalah perasaan bahagia. Aku pun membalas pelukan Yuuji-kun sambil tersenyum tipis.
Menjelang pagi aku terbangun karena merasa sesak. Yuuji-kun tertidur sambil mendekapku ke dalam tubuhnya yang lebih besar dariku. Wajahku terbenam ke dalam dadanya. Saat aku baru saja ingin mengomel, aku bisa merasakan tangan besar Yuuji-kun yang memeluk tubuhku sedikit gemetar. Saat kuangkat kepalaku dan melihat ke arah wajah Yuuji-kun, dari kedua bola matanya yang terpejam telah mengalir air mata.
"Kaachan… Maaf… Maafkan aku… Kaachan…"
Yuuji-kun terus menerus mengigau sambil berulang kali meminta maaf padaku. Bukan. Bukan padaku. Kuyakin permintaan maaf itu pasti ia tujukan pada diriku di masa depan. Ada sesuatu… Aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Yuuji-kun. Rasanya tidak mungkin ia pergi ke masa lalu dengan segala resiko yang ada hanya untuk bertemu denganku dan membuatku menikah dengan Nanami-kachou.
Kupeluk tubuh Yuuji yang gemetar dengan erat sambil kubelai kepalanya dengan sangat lembut. Aku teringat pada lagu pengantar tidur yang selalu dinyanyikan oleh Ibu padaku jika aku sedang bermimpi buruk. Aku tidak pernah mengira bahwa akan tiba waktunya bagiku untuk menyanyikan lagu itu untuk anakku sendiri.
Aku mulai bernyanyi dengan lirih sambil terus menerus membelai kepala Yuuji. Gemetar pada tubuhnya kemudian perlahan mulai berkurang hingga akhirnya ia kembali tertidur pulas dengan wajah yang sangat nyaman. Kuusap air mata yang membekas di wajahnya dengan jariku. Sinar rembulan yang menembus tipis melalui jendela kamarku, membuatku dapat melihat wajah Yuuji yang sedikit tersenyum dengan ekspresi wajah yang sangat lembut. Jika diperhatikan benar-benar dari dekat seperti ini… Wajah kami ternyata memang sedikit mirip. Rasanya seperti melihat foto diriku saat aku masih kecil. Melihat wajah tidur Yuuji yang sangat damai membuatku jadi merasa sangat tenang. Perlahan aku kembali merasakan kantuk dan berat pada kelopak mataku. Tanpa kusadari aku pun kembali tertidur dengan ekspresi wajah damai yang sangat mirip dengan Yuuji.
[1] Potongan kain berbentuk persegi yang digunakan untuk membungkus dan membawa barang.
[2] Jenis sandal Jepang yang khusus untuk digunakan di dalam ruangan.
[3] Makhluk kutukan yang terbentuk dari kumpulan emosi negatif yang dipancarkan oleh manusia.
[4] Shaman = Manusia yang bisa menggunakan energi kutukan.
[5] Istilah untuk segala hal yang berhubungan dengan kutukan.
[6] Salah satu jenis seragam sekolah di Jepang mengikuti model seragam angkatan laut Eropa.
[7] Ayam goreng tepung.
[8] Panggilan untuk Ibu dalam bahasa Jepang.
[9] Panggilan untuk Ayah dalam bahasa Jepang.
[10] Deputi manajer.
[11] Bahasa Jepang yang artinya 'Aku Pulang!'
[12] 2 bedroom, living, dining, kitchen (2 kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dan dapur)
[13] Bahasa Jepang yang artinya 'Selamat makan.'
[14] Tōkyō Toritsu Jujutsu Koutou Senmon Gakkou = Sekolah Tinggi Teknik Kutukan Metropolitan Tokyo.
[15] Lapisan pelindung tidak terlihat.
