"Yuuji… Kurasa kita harus segera kembali…"

"Sebentar lagi Kaachan… Dari sini nggak kelihatan nih…"

"Orang-orang mulai memperhatikan kita… Kalau nanti aku dilaporkan bagaimana?"

"Sebentar lagi… Pasti muncul deh. Ah! Ada!" seru Yuuji sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu ruang Akunting tempat kami mengintip semenjak tadi. Seruannya yang bernada cukup tinggi membuatku spontan menarik tubuhnya ke belakang.

"Yuuji! Jangan teriak! Nanti ketahuan orang-orang di dalam!" seruku dengan suara setengah berbisik.

"Kaachan juga teriak lho barusan."

"Jangan membantah! Ayo kita kembali saja. Akan kutraktir makan siang dua porsi di kantin nanti," ucapku sambil menarik tangan kanan Yuuji dengan sekuat tenaga sementara tangan kirinya tetap berpegangan pada pintu ruang Akunting. Walau begitu Yuuji tetap bergeming dan justru aku yang terjungkal ke belakang.

"Sakit…" keluhku sambil mengusap-usap bagian bokongku. Sepertinya Yuuji tidak menyadariku yang terjatuh dan tetap mengintip ke dalam ruang Akunting dengan matanya yang berbinar-binar.

"Keren… Touchan keren banget… Masih lebih tinggi Gojou-sensei sih kayaknya tapi tetap keren!"

Tentu saja keren, kalau hal itu aku juga tahu.

Oleh karena itu, tidak mungkin kan orang yang keren seperti itu akan menjadi suamiku.

Kuhela napas sangat panjang sambil berusaha berdiri dengan pinggulku yang masih agak kesakitan, "Sudah puas kan? Ayo kita kembali."

"Eh~? Kaachan tidak mau lihat? Touchan keren banget lho, dia lagi memegang cangkir!" tanyanya sambil menoleh padaku dengan wajah polosnya.

"Kalau kita lebih lama disini, orang-orang Akunting pasti akan sadar dan itu hanya akan mengganggu pekerjaan Nanami-kachou kan?"

Yuuji menundukkan kepalanya dengan ekspresi wajah yang sedih, "Iya sih…"

"Nah… Ayo pergi. Akan kubelikan tambahan es krim."

Mendengar kata es krim wajah sedih Yuuji kembali menjadi ceria. Sepertinya di masa depan pun es krim tetap menjadi makanan terampuh untuk merubah hati seseorang.

Untung saja hari ini aku tidak ada pekerjaan yang begitu penting sehingga aku bisa menemani Yuuji. Saat jam makan siang tiba, sesuai janjiku aku mengajak Yuuji ke kantin perusahaan dan memesankan ramen serta yakimeshi [1] ukuran besar untuknya, sedangkan untukku sendiri aku memesan spaghetti dengan ukuran kecil.

Hanya dalam waktu singkat dua porsi makanan berukuran besar itu sudah berpindah ke dalam perut Yuuji. Ia makan dengan sangat lahap dan wajah yang sangat bahagia. Hanya dengan melihatnya makan saja perutku rasanya sudah merasa kenyang. Tanpa sadar aku tersenyum sambil melihat Yuuji menghabiskan suapan terakhir yakimeshinya.

"Enak?"

"Enak banget! Ah, tapi masakan Kaachan masih lebih enak kok!"

"Tidak perlu memuji seperti itu kok karena makanan di kantin ini memang enak. Ini menjadi salah satu alasan mengapa aku masih bertahan bekerja di perusahaan ini."

"Eh? Bukannya karena ada Touchan?"

Aku tersedak.

Aku tersedak spaghetti yang sedang kukunyah. Yuuji dengan panik segera bangun dari kursinya dan membantuku untuk minum dan menepuk-nepuk lembut punggungku.

"Makanya Kaachan kalau makan jangan mengunyah terburu-buru."

Memangnya dia pikir ini salah siapa?!

Karena dadaku masih terasa sesak, aku tidak bisa melakukan protes dan terus minum.

"Tapi Touchan tidak ada ya, kupikir ia akan muncul dan makan siang di sini," ujar Yuuji sambil pandangannya menyapu seluruh isi kantin sementara tangannya masih mengusap-usap punggungku.

"Hhh… Nanami-kachou jarang sekali pergi ke kantin. Ia lebih sering membeli roti di toko roti depan kantor dan memakannya di ruangan kerjanya," jawabku sambil mengambil napas dan meletakkan gelas yang sudah kosong di atas meja. Yuuji kembali duduk di kursi di hadapanku.

"Kalau Kaachan sudah tahu, mengapa Kaachan tidak ikutan membeli roti di sana? Kan jadi bisa bertemu dengan Touchan?"

"Tentu saja tidak bisa."

"Kaachan tidak suka roti?"

"Aku suka roti, tapi masalahnya bukan itu…"

"Lalu apa?"

Masalahnya adalah… Aku terlalu merasa malu setiap bertemu dengan Nanami-kachou. Aku tidak bisa membayangkan diriku berada di dekatnya. Oleh karena itu, walau aku sudah bisa mempercayai kenyataan bahwa Yuuji adalah anakku tapi lain halnya dengan Nanami-kachou. Berapa kali pun kupikirkan tetap saja rasanya mustahil.

Nanami-kachou yang itu…

Mustahil…

"Kaachan? Apa masalahnya? Wajah Kaachan memerah lho."

"Eh?! Ah, Me, merah? Mu, mungkin karena cuacanya yang panas ya, hahaha," jawabku gugup sambil mengipas-ngipaskan wajahku dengan telapak tangan berharap sosok Nanami-kachou yang sedang kupikirkan pergi dari dalam kepalaku.

"Tapi kan sekarang awal musim semi Kaachan."

Yuuji benar. Tidak mungkin cuaca terasa panas di awal musim semi. Yang panas adalah wajahku.

"Ehem! Po, Pokoknya tidak ada alasan khusus. Ayo cepat habiskan makananmu, setelah ini aku akan mengantarmu ke perpustakaan, tunggu aku di sana sampai jam pulang kantor ya."

"Yang belum habis kan makanan Kaachan, aku kan sudah habis daritadi."

"Ugh…"

Setelah makan siang selesai, aku mengantar Yuuji ke perpustakaan kota yang ada di sebelah gedung kantor dan aku pun kembali ke laboratorium untuk menyelesaikan pekerjaanku yang belum selesai. Mulai besok kurasa aku tidak akan mengajak Yuuji ke kantor lagi, aku akan memberinya kunci cadangan rumahku sehingga Yuuji bisa tinggal di rumah atau pergi main sesuka hatinya. Kurasa pasti banyak hal yang membuat ia penasaran dan ingin ia ketahui di masa ini.

Hari ini ternyata aku selesai lebih lama dari biasanya. Sudah lewat satu jam dari jam pulang yang seharusnya. Apakah Yuuji masih menungguku di perpustakaan? Karena setahuku perpustakaan hanya buka hingga sore hari. Aku tidak bisa menghubunginya karena ia tidak punya alat komunikasi. Apa aku harus membelikannya ponsel ya? Sepertinya sangat wajar untuk anak SMA jaman sekarang mempunyai ponsel. Baiklah, aku akan membelikannya nanti tapi untuk saat ini aku harus segera menjemputnya.

Saat aku keluar gedung kantor, aku dapat melihat Yuuji yang sedang melambai-lambaikan tangannya ke arahku dari jarak yang tidak begitu jauh. Aku pun segera berlari kecil menghampirinya.

"Yuuji? Sejak kapan kau menungguku di sini?"

"Baru saja kok. Tenang saja Kaachan, sesuai perintah Kaachan daritadi aku tidur di perpustakaan kok."

"Aku tidak pernah menyuruhmu untuk tidur di perpustakaan lho, aku hanya bilang, tunggu aku di perpustakaan. Perpustakaan itu tempat dimana banyak buku—," belum selesai aku berbicara, tiba-tiba saja Yuuji berseru dengan begitu kencang sambil mengangkat sebelah tangannya untuk melambai.

"Oh! Touchan!"

Ha?

Touchan katanya?

Saat otakku masih memproses apa yang sedang terjadi. Yuuji sudah melewatiku dan berlari menuju sosok yang sedang berdiri tidak jauh dari kami. Aku pun menolehkan kepalaku ke arah Yuuji berlari dan dapat melihat… Nanami-kachou yang sedang berdiri tegap dengan wajah datarnya menatap ke arah kami dengan alisnya yang mengernyit.

YUUJI, TIDAK BOLEH!

"Touchan Otsukaresamadeshita[2]! Saat pertama kali bertemu dengan seseorang yang harus dilakukan adalah mengucapkan salam bukan? Perkenalkan, namaku Nanami Yuuji, aku adalah anak laki-laki Touchan dari masa 16 tahun yang akan datang. Aku kesini untuk— Mm!" aku segera berlari sekuat tenaga menuju Yuuji dan segera membekap mulutnya secepat kilat.

"Touchan?"

DEG!

Dengan suara rendahnya yang sangat khas itu, dari sekian banyak kata-kata yang diucapkan oleh Yuuji, mengapa Nanami-kachou memilih untuk mengulang kata yang itu?!

"Un, makanya maksudku apa yang ingin kukatakan adalah—,"

"AAAAAAAAAAA!" Sambil berteriak aku membekap mulut Yuuji lebih keras, "Ma, maksudnya, maksud anak ini adalah, to, to, tochan… chan, chanto hatarakimasu ne![3] Otsukaresamadeshita Nanami-kachou!" dengan panik aku berusaha berdalih. Namun alis Nanami-kachou masih mengernyit dan justru memandangku dengan tatapan penuh penghakiman. Ugh… Rasanya begitu campur aduk. Aku ingin segera pergi dari sini!

"…Itadori-san?"

Hancur sudah…. Ia pasti menganggap aku sebagai wanita aneh yang suka membekap anak laki-laki. Sudah tidak mungkin lagi… Tidak lama lagi Yuuji mungkin akan segera menghilang karena aku dan Nanami-kachou yang tidak akan pernah mungkin menikah…

"Itadori-san?"

"Mmmm!" Yuuji menepuk-nepuk tanganku yang membekap mulutnya dan dengan lirikan matanya seolah menyuruhku untuk melihat ke arah Nanami-kachou.

"Itadori Yume-san dari divisi Riset dan Pengembangan bukan?"

Eh?

Nanami-kachou sedang mengajakku berbicara?

"Na… Nanami-kachou mengenalku… Dan tahu namaku?"

"Tentu saja. Kau adalah karyawan yang bekerja di perusahaan yang sama denganku."

Tapi kita berbeda divisi. Pada umumnya walau berada di perusahaan yang sama, jika berbeda divisi apalagi tidak pernah berinteraksi seharusnya tidak akan saling mengenal. Atau mungkin hanya mengenal wajahnya saja. Karena nama lebih sulit diingat dibandingkan wajah.

Karena aku masih diam mematung, seolah tahu apa yang sedang kupikirkan Nanami-kachou pun akhirnya menambahkan, "Itadori-san kan yang selalu membuat dan memberikan laporan keuangan divisi Riset dan Pengembangan. Aku mengetahuinya dari cap nama pada dokumen yang telah kau buat karena aku juga bertugas memeriksa dokumen itu."

Benar juga…

Tentu saja karena Nanami-kachou adalah kepala divisi Akunting semua laporan pada akhirnya pasti akan diperiksa olehnya. Apa yang kupikirkan... Rasanya kepalaku tidak dapat berpikir dengan jernih karena suara jantungku yang begitu kencang dan mengacaukan isi kepalaku.

"Y, ya. Pe, perkenalkan namaku Itadori Yume dari divisi Riset dan Pengembangan. Ah, anak laki-laki ini adalah keponakanku," dengan suara terbata-bata kubungkukkan tubuhku pada Nanami-kachou dan memperkenalkan diriku serta Yuuji. Aku berbohong karena aku tidak mungkin memperkenalkan Yuuji sebagai anakku dan dirinya. Aku pun melepas bekapan tanganku dari mulut Yuuji.

"Keponakan…?"

Lagi-lagi Nanami-kachou menatap kami berdua seperti mata hakim yang meragukan kesaksian yang diberikan oleh tersangka di pengadilan. Aku melotot ke arah Yuuji berusaha untuk menyuruhnya agar tidak berbicara yang aneh-aneh.

"Maaf sudah mengagetkan Paman… Namaku Yuuji. Aku adalah anak— Eh, eh… Keponakan dari Kaac— Eh maksudku, Yu, Yume-san," ucap Yuuji dengan kata-kata yang berantakan. Ia kemudian berbisik di telingaku, "Rasanya aneh sekali memanggil nama Ibu sendiri."

"Tidak apa-apa kumaafkan, ini situasi darurat. Kau tidak ingin dianggap sebagai orang tidak waras oleh ayahmu sendiri bukan?"

"Iya sih… Tapi aku merasa bersalah karena sudah berbohong pada Touchan."

"Panggil namanya, Nanami-san, jangan Touchan."

"Masa Nanami memanggil Nanami."

"Pokoknya untuk sementara nama keluargamu menjadi Itadori."

"Itadori kan nama gadis Kaachan."

"Maka dari itu—."

"EHEM!" Nanami-kachou berdeham dengan suara rendahnya yang cukup kencang, menghentikan bisik-bisik di antara aku dan Yuuji.

"Ah, ma, maafkan kami Nanami-kachou. Anak ini berbisik merengek minta dibelikan es krim, hahaha" ujarku berbohong sambil tertawa canggung.

"Aku tidak merengek!" Bantah Yuuji membuatku reflek menginjak kakinya dengan sepatu hakku sehingga membuatnya spontan memekik kesakitan, "Sakit!"

"Ka, Kalau begitu kami pamit pulang lebih dulu ya. Permisi. Otsukaresamadeshita," ucapku mengakhiri pembicaraan secara sepihak karena ingin segera menghilang dari hadapan Nanami-kachou. Aku menarik paksa Yuuji yang masih kesakitan memegang kaki kirinya.

"…Kalian berdua manzai[4]kah?" sambil tertawa kecil dan menutupi mulutnya dengan kepalan tangan, Nanami-kachou menatap lembut ke arah kami berdua.

Eh? Nanami-kachou…?

Ini pertama kalinya aku melihat ekspresi wajah Nanami-kachou yang seperti itu…

Jantungku berdegup semakin kencang.

Namun itu hanya berlangsung selama beberapa detik. Tiba-tiba saja wajah Nanami-kachou yang lembut berubah menjadi sangat serius. Seperti adegan gerak lambat di dalam film, waktu seolah-olah melambat. Nanami-kachou mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya sambil berlari menuju arahku. Bersamaan dengan itu, tubuhku ditarik ke belakang oleh Yuuji dengan kedua tangannya. Sebuah bayangan hitam besar yang muncul entah darimana mengeluarkan suara raungannya yang mengerikan sambil mengayunkan tangan besarnya seperti ingin menimpaku. Sebelum ayunan tangannya sampai padaku, tangan besar itu sudah terpisah dari tubuhnya, sesuatu seperti cahaya secepat kilat telah memotongnya. Sementara itu Yuuji berposisi mengambil kuda-kuda dan meninju bayangan hitam yang ternyata adalah jurei itu tepat pada bagian perutnya. Jurei itu kemudian terlempar jauh dan menghantam sebuah pohon besar.

Di hadapanku yang masih terperangah, Nanami-kachou dan Yuuji berdiri gagah di hadapanku, memperlihatkan punggung mereka yang lebar dan kokoh. Debu dan angin yang berhembus di sekitar mereka berdua membuat kedua sosok itu terlihat seperti sosok pahlawan yang muncul di komik-komik.

"KA, KAACHAN TIDAK APA-APA?!" Yuuji segera berlari panik ke arahku dan berjongkok di hadapanku yang sedang terduduk lemas. Aku memang tidak terluka namun kejadian tidak terduga yang baru saja terjadi membuatku sangat terkejut hingga membuatku kakiku terasa lemas dan tidak sanggup berdiri. Aku bahkan sampai lupa untuk mengomeli Yuuji karena ia memanggilku dengan sebutan Kaachan.

"Tidak apa-apa kok. Aku hanya kaget."

Tanpa kusadari Nanami-kachou pun telah bersimpuh di sampingku. Dengan suara rendahnya yang entah mengapa terdengar sangat lembut ia bertanya padaku, "Apakah ada yang terluka?"

Melihat Nanami-kachou yang mengkhawatirkanku, seketika membuat perasaan yang selalu kupendam selama 6 tahun itu menjadi tumpah ruah. Tanpa kehendakku air mata mengalir keluar dari kedua bola mataku. Ternyata… Nanami-kachou masih sama seperti 6 tahun lalu saat ia pertama kali menyapa dan menolongku. Sungguh orang yang baik hati... Walaupun banyak orang yang mengatakan Nanami-kachou adalah orang yang sangat dingin dan tidak berperasaan. Bagiku, Nanami-kachou adalah penyelamatku. Tidak mungkin orang yang dingin dan tidak berperasaan akan mengkhawatirkan orang asing yang tidak dikenal sampai seperti itu bukan? Aku yakin Nanami-kachou sesungguhnya adalah orang yang sangat hangat. Dan seperti keyakinan yang selalu kupegang itu. Perasaanku padanya pun tidak akan pernah berubah. Walau aku tahu sekalipun bahwa aku tidak bisa bersamanya…

Melihatku yang menangis tanpa henti Yuuji kembali menjadi panik. Karena air mataku, aku tidak tahu dan tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Nanami-kachou saat ini. Namun rasanya aku juga tidak ingin melihatnya. Bagaimana kalau ia sedang memandangku dengan tatapan menjijikan? Aku sangat takut.

"Yuuji, aku tidak apa-apa kok. Ini hanya karena aku kemasukan debu dan kotoran di mataku," jawabku sambil menghapus air mataku dengan punggung tanganku. Aku harus segera berhenti menangis.

"Su, sungguh? Tidak ada yang terluka?" tanya Yuuji lagi sambil memegang kedua bahuku dengan tangannya.

"Justru aku akan terluka kalau kau memegang bahuku seerat itu Yuuji."

Mendengar jawabanku Yuuji dengan cepat melepas pegangannya dari bahuku, "Ah, maaf."

"Daripada itu… Nanami-kachou… Anda seorang Jujutsushi?"

Aku dan Yuuji secara bersamaan memandang Nanami-kachou yang masih bersimpuh di sampingku sambil memegang pedang besar aneh yang ada di tangan kanannya. Pedang itu terbalut kain putih dengan motif bercak hitam sama seperti dasi yang dikenakannya. Setelah tangisanku berhenti, aku dapat kembali berpikir jernih dan aku akhirnya sadar bahwa yang memotong tangan besar jurei tadi dari tubuhnya adalah Nanami-kachou. Dengan sekali tebasan yang sangat cepat, Nanami-kachou mengayunkan pedang anehnya itu ke bagian pergelangan bahu jurei. Secepat apapun manusia, sekalipun ia adalah seorang atlit, kurasa ia tidak akan bisa melihat dan menebas lengan jurei dengan mudah seperti itu. Lagipula ia memiliki pedang yang sangat aneh. Oleh karena itulah kurasa Nanami-kachou pasti adalah seorang Jujutsushi sama seperti Yuuji.

Sadar akan tatapanku dan Yuuji yang mengarah ke pedangnya, Nanami-kachou segera menyimpan pedangnya kembali ke belakang punggungnya dan melepaskan kacamata berlensa hijau tua tanpa lengannya.

"Lebih tepatnya, mantan Jujutsushi," jawabnya singkat yang justru menambah pertanyaan di dalam kepalaku dan Yuuji. Walau begitu aku dan Yuuji tidak menyuarakan pertanyaan itu.

Aku tidak pernah menyangka jika dalam waktu singkat, pandangan akan dunia yang selama ini selalu kurahasiakan karena tidak pernah ada yang dapat memahaminya akan diubah oleh 2 orang terdekat yang ternyata bisa melihat hal yang sama sepertiku. Keduanya bahkan memiliki kemampuan melebihiku karena mereka berdua adalah seorang Jujutsushi.

"Tapi itu tidak penting. Aku akan mengantarkanmu pulang karena pada malam hari jurei akan lebih banyak bermunculan," ujarnya datar sambil membantuku berdiri dengan perlahan. Tangan besar Nanami-kachou memegang kedua tangan kecilku untuk membantuku berdiri. Melihat perbedaan ukuran pada tangan kami yang sedang saling bersentuhan membuat wajahku kembali terasa panas. Darah di jantungku pun kembali bergejolak, rasanya seluruh tubuhku seperti sedang mendidih.

"He…," tanpa kusadari Yuuji perlahan memundurkan posisinya menjauhi diriku dan Nanami-kachou sambil menyeringai dengan sangat lebar.

"A, aku tidak apa-apa kok. Aku tidak ingin merepotkan Nanami-kachou," jawabku dengan suara yang kembali terdengar gugup sambil menarik cepat tanganku dari tangan Nanami-kachou.

"…Aku tidak merasa direpotkan. Dan juga kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan Kachou."

"Eh? Tapi…"

Karena Nanami-kachou telah melepaskan kacamatanya, kali ini aku bisa melihat kedua tatapan matanya yang memandang lurus ke dalam mataku. Membuatku dengan cepat langsung menundukkan pandanganku.

"Aku bukan atasanmu secara langsung jadi tidak apa-apa."

Jika aku tidak memanggilnya menggunakan panggilan Kachou… Tembok yang selama ini kubangun dan kujaga agar tidak runtuh karena Nanami-kachou adalah seorang pegawai elit perusahaan yang tidak mungkin pernah bisa kugapai rasanya akan runtuh…

"Itadori-san?"

"Y, ya! Ka, kalau begitu… Na, Nanami-san..."

Karena Nanami-san tidak merespon perkataanku, aku pun mengangkat kepalaku dan mendapati senyum tipis sedang terkembang pada wajah Nanami-san yang biasanya kaku dan menyeramkan itu.

Gawat… Wajahku semakin terasa panas…

"A, anu! Nanami-san pasti lelah dan harus segera pulang untuk beristirahat bukan? Ti, tidak perlu mengantarkanku pulang."

"Tidak, aku tidak lelah."

"Eh? Ah… Ta, tapi Yuuji tadi merengek memintaku membelikan es krim untuknya. Jadi setelah ini kami harus pergi ke supermarket untuk belanja es krim dan makan malam."

Yuuji lagi-lagi menimpali, "Aku tidak merengek!"

Mendengar suara Yuuji yang terdengar jauh, aku kemudian menolehkan wajahku mencari sosok Yuuji.

Sejak kapan anak itu sudah berdiri sejauh itu dari kami?!

Melihat wajah Yuuji yang menyeringai bahagia aku segera tahu bahwa tindakannya itu pasti di sengaja.

"Pokoknya Na, Nanami-san tidak perlu khawatir! Nanami-san tadi lihat kan kekuatan Yuuji saat meninju jurei tadi? Yuuji adalah murid Kousen, jadi kami berdua pasti akan baik-baik saja!"

Mendengar pernyataanku, sambil melipat kedua tangannya di dada Nanami-san menengokkan kepalanya dan memandang ke arah Yuuji. Yuuji kemudian dengan semangat segera berpose melingkarkan kedua tangannya di atas kepala.

Kan bisa datang mendekati kami dan tidak perlu menjawab dengan pose seperti itu!

"…Baiklah. Aku percaya. Namun jika terjadi sesuatu tolong segera hubungi aku," ucap Nanami-san sambil mengeluarkan kartu nama dari saku bagian dalam jasnya dan menyerahkannya padaku.

Aku tidak percaya… Aku mendapatkan kontak Nanami-san secara langsung dari orangnya sendiri setelah 6 tahun menyukainya dalam diam… Aku bisa merasakan panas telah menjalar ke tanganku dan membuatnya sedikit gemetar.

"Kalau begitu sampai nanti. Oyasuminasai[5]," imbuh Nanami-san sambil sedikit membungkukkan tubuhnya padaku. Aku pun balas membungkukkan tubuhku padanya. Setelah itu Nanami-san membungkukkan tubuhnya ke arah Yuuji dan berteriak, "YUUJI-KUN KUSERAHKAN ITADORI-SAN PADAMU. MOHON LINDUNGI IA DENGAN BAIK!"

"TENTU SAJA TOU— EH, NANAMI-SAN! SAMPAI WAKTUNYA TIBA AKAN KULINDUNGI DENGAN SEGENAP KEKUATANKU!"

"TERIMA KASIH BANYAK! OYASUMINASAI YUUJI-KUN!"

Makanya sudah kubilang kan, kalian kan bisa saling mendekat dan tidak perlu teriak-teriak dari jauh seperti itu!

Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan karena rasanya seakan mendidih.

Tolong kalian berdua segera hentikan percakapan seperti seorang ayah yang akan menyerahkan putrinya untuk dinikahi dengan cara teriak-teriak seperti itu…

Eh?

Entah mengapa tiba-tiba saja aku merasakan sebuah tatapan yang sangat dingin sedang memandangku. Spontan aku langsung menengok ke arah pohon besar tempat jurei tadi terlempar, kurasa tatapan itu berasal dari sana… Namun tentu saja tidak ada apapun di sana. Jurei yang tadi pun telah lenyap.

"Ada apa Kaachan?" Tanpa kusadari sosok Nanami-san sudah tidak ada dan Yuuji sudah berdiri di sampingku.

Karena aku tidak ingin membuat Yuuji khawatir dan mungkin itu juga hanya perasaanku saja, aku sedikit berbohong padanya, "Tidak ada apa-apa kok. Hanya perasaanku saja."

"Eh perasaan apa? Perasaan suka Kaachan ke Touchan?"

"Yuuji! Kalau tidak mau kupecat sebagai anakku jangan berbicara yang aneh-aneh seperti itu lagi!"

"EHHHHHHH~~~~!"

"Kenapa Kaachan tidak mau diantar pulang oleh Touchan sih~?" sambil memeluk boneka pompompurin yang kudapat dari game centre, Yuuji bertanya padaku dengan gaya bicara yang dibuat-buat seperti seorang gadis.

"Tidak mau ya tidak mau!" Jawabku sambil menggembungkan sebelah pipiku dan memeluk erat bantal tidur. Walau sudah waktunya tidur, tapi karena kejadian serangan jurei beberapa jam yang lalu masih terasa sangat nyata, kami berdua belum bisa memejamkan mata kami.

"Padahal kan aku sudah sengaja memberikan kesempatan pada Kaachan dan Touchan agar bisa lebih dekat!"

"Walau begitu rasanya tetap mustahil…"

"Apanya yang mustahil sih?! Tadi kalian berdua kan sudah sangat dekat!"

"Ah berisik sekali! Darimana kau mendapatkan gen heboh dan suara lantang seperti ini sih?"

"Yah dari Kaachan dan Touchanlah!"

Suara lantang mungkin memang didapatkan dari Nanami-san karena mereka berdua saling berteriak seperti itu tadi. Tapi…, "Tapi aku dan Nanami-san tidak heboh dan ekspresif seperti itu!"

"Hmm… Benar juga."

"Kan…"

"Tapi… Tapi… Kalian berdua benar-benar Ayah dan Ibuku kok…" lagi-lagi Yuuji mengeluarkan jurus tatapan anak anjing terbuang andalannya padaku.

"Ugh… Aku bukannya bilang bahwa kau bukan anakku Yuuji, kan sudah terbukti dari hasil uji DNA… Masalahnya adalah…"

"Adalah…?" ucap Yuuji sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku sambil menelan air liurnya. Rasanya aku bukan sedang cerita horror.

"Aku tidak mungkin menikah dengan laki-laki setampan, sepintar, dan sekeren Nanami-san!" seruku sambil membenamkan wajahku pada bantal tidur. Setengah dari suaraku teredam oleh bantal, tapi kurasa Yuuji akan tetap bisa mendengar apa yang kukatakan.

"Lagi-lagi… Sudah kubilang kan, Kaachan manis kok. Pasti tadi Touchan sebenarnya jantungnya berdegup sangat kencang, percaya deh!"

Tanpa mengangkat kepalaku dan masih membenamkan wajahku di bantal aku membalas dengan suara teredam, "Yang berdegup kencang adalah jantungku tahu. Wajah Nanami-san tidak berubah sedikit pun…"

"Ah~… Kaachan jangan sedih dong… Justru karena itu kan aku ada disini. Aku pasti akan membuat Kaachan dan Touchan menikah!"

"…"

"Kaachan~~"

"…Bagaimana… Caranya?" tanyaku tanpa mengangkat wajahku dari bantal dan hanya menengokkan sedikit kepalaku ke arah Yuuji.

"Soal itu…"

Melihat Yuuji yang berwajah kebingungan aku pun menghela napas berat, "Hhh… Kalau begitu hentikan saja."

"Tidak bisa begitu! Pokoknya Kaachan harus sudah menikah dengan Touchan sebelum natal tahun ini!"

"Makanya kan, lagi-lagi mengatakan hal yang mustahil seperti itu…"

"Tidak mustahil kok!"

"Lagipula kalau pada akhirnya aku memang akan menikah dengan Nanami-san, mengapa harus terburu-buru begitu sih?" tanyaku sambil mengangkat kepalaku dari bantal dan memposisikan diri kembali duduk di atas kasur.

"I, itu…" Yuuji mengalihkan pandangannya dan memutar-mutar bola matanya kebingungan akan pertanyaanku.

"Yuuji… Kau bilang… Tidak pernah berbohong pada Kaachan kan? Pasti ada yang kau sembunyikan dariku ya…" ucapku perlahan dengan nada mengancam sambil kali ini aku yang mendekatkan wajahku pada wajah Yuuji. Aku menyipitkan mataku dan memandangnya skeptis.

"Ti, tidak kok! Su, sungguh!"

"Lalu kenapa kau tidak bisa menjawabnya…? Apa sebenarnya ada alasan lain yang kau sembunyikan dariku? Alasan kau kembali ke masa lalu…"

"I, itu… Itu karena aku ingin cepat-cepat melihat Kaachan dengan gaun pengantin secara langsung!"

"Hah?"

"Iya benar! Aku ingin melihat Touchan dan Kaachan dalam pakaian pengantin secara langsung!"

"…Itu tetap tidak menjawab pertanyaan mengapa harus sebelum natal kan…"

"Po, pokoknya begitu! Sudah ah! Aku harus segera tidur karena aku sedang dalam masa pertumbuhan! Kaachan Oyasuminasai!" Yuuji melarikan diri dengan merebahkan tubuhnya membelakangiku dan menutupi wajahnya dengan selimut. Genetik itu luar biasa… Bahkan cara melarikan dirinya sama seperti diriku saat masih kecil. Ketika ibuku bertanya padaku suatu hal yang tidak ingin kujawab, aku pasti akan langsung bersembunyi dengan menyelimuti tubuhku dengan selimut. Oleh karena itu aku tahu, berapa kali pun namanya kupanggil dan kupaksa untuk menjawab, untuk saat ini Yuuji tidak akan pernah membuka mulutnya.

Setelah menghela napas panjang, aku pun akhirnya mengambil posisi untuk tidur dan sebelum memejamkan mataku aku sedikit menepuk-nepuk kepala Yuuji, "Oyasuminasai, Yuuji."

Saat mataku sudah terpejam, Yuuji menurunkan selimut yang menutupi wajahnya, dan dengan suara yang tercekat ia bergumam dengan suara yang sangat kecil, "Maafkan aku, Kaachan…"

Sesuai dengan apa yang sudah kurencanakan kemarin, hari ini aku tidak mengajak Yuuji ke kantor. Kuberikan kunci cadangan dan juga ponsel flip-flap lamaku padanya agar kami dapat saling berkomunikasi dan aku bisa tetap mengawasinya agar ia tidak bertindak aneh. Aku juga memberikan sedikit uang saku padanya. Sebelum berangkat aku juga tidak lupa memintanya untuk tidak lupa memasukkan jemuran jika ia ingin main keluar.

"Iya, iya aku mengerti kok. Kaachan tidak perlu khawatir, aku kan sudah dewasa..."

"Untuk makan siang, karenya jangan lupa dipanaskan dulu, caranya—"

"Aku tahu Kaachan! Sudah berangkat nanti terlambat, sudah jam segini lho."

Spontan aku melihat waktu pada jam tangan yang melingkar di tangan kiriku, "Ah benar juga. Baiklah ittekimasu[6]!, Ah, kalau keluar jangan lupa gasnya dimatikan ya!"

"Iya, iya~ Kaachan itterasshai[7]~"

Walau aku baru beberapa hari menjalani keseharianku dengan Yuuji, tapi entah mengapa semuanya terasa sangat alami seolah-olah aku sudah terbiasa menjalaninya. Dalam perjalanan ke kantor sambil tersenyum-senyum aku membayangkan bagaimana diriku saat mengandung Yuuji, wajah bayi Yuuji saat baru lahir, Yuuji yang sedang belajar merangkak, Yuuji saat upacara penerimaan murid baru di sekolah dasar, Yuuji yang aktif di klub saat SMP, dan akhirnya hingga saat ini Yuuji telah tumbuh menjadi anak laki-laki yang kuat dan hebat. Juryoku[8] yang keluar dari tinjunya kemarin itu sangat membuatku tercengang. Aku yang bahkan tidak memiliki kemampuan Jujutsu pun tahu bahwa itu sungguh kekuatan yang sangat luar biasa.

Kemudian aku kembali teringat dengan gerakan Nanami-san yang bahkan lebih cepat dibandingkan dengan Yuuji. Jika Yuuji mengatakan bahwa ia adalah seorang Jujutsushi tingkat 4, pasti Nanami-san adalah seorang Jujutsushi dengan tingkat 2 ke atas. Tidak heran badannya terlihat sangat terlatih seperti itu. Tentu saja menjadi seorang Jujutsushi sangat membutuhkan fisik yang sangat kuat. Apalagi karena Jujutsushi jumlahnya sangat sedikit di seluruh dunia ini, fisik yang kuat dan sehat sangat dibutuhkan di dunia Jujutsushi agar mereka selalu siap melaksanakan misi kapanpun dan dimanapun.

Sambil mengeluarkan kartu nama Nanami-san dari dalam saku jas, aku kembali membayangkan sosok Nanami-san. Walau aku bisa membayangkan diriku mengandung, melahirkan, dan membesarkan Yuuji… Tapi entah mengapa aku sama sekali tidak bisa membayangkan diriku menikah dengan Nanami-san. Jangankan menikah, membayangkan pergi kencan berdua saja dengannya aku tidak bisa. Apalagi jika membayangkan hidup di ruangan yang sama dan bahkan tidur dengan Nanami-san…

"….."

Bahaya!

Hampir saja aku terjatuh ke dalam dunia berbahaya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Aku segera menampar kedua pipiku dengan cukup kencang untuk menyadarkan diriku. Aku harus kembali fokus bekerja!

Namun walau sudah berusaha fokus bekerja pun, hari ini aku menyelesaikan pekerjaanku lebih larut daripada biasanya. Saat aku mengirim chat menanyakan menu makan malam apa yang diinginkan oleh Yuuji, ia menjawab sedang tidak ingin makan nasi dan ingin makan roti. Saat kujawab baiklah aku akan membeli roti, roti seperti apa yang kau inginkan? Yuuji menjawab ingin mencoba makan roti dari toko roti di depan kantorku. Aku hanya bisa melihat sikapnya ini sebagai sebuah perangkap untukku karena Yuuji tahu bahwa toko roti tersebut adalah tempat yang sering didatangi oleh Nanami-san.

Mungkin Yuuji berpikir jika aku pergi ke toko roti itu maka aku akan mengalami sebuah keajaiban seperti secara tidak sengaja dan tidak direncakan bertemu dengan Nanami-san. Namun kurasa kenyataan tidak akan terjadi semudah itu. Jika memang semudah itu, selama 6 tahun ini aku pasti seharusnya sudah berkali-kali bertemu dengan Nanami-san di toko roti itu. Lagipula waktu sudah cukup larut dan sudah akan menunjukkan jam tutup toko. Roti-roti yang tersisa juga pasti pilihannya sudah menjadi sangat sedikit. Jika Nanami-san sangat menyukai roti, ia tidak akan mungkin datang ke toko roti di jam seperti ini. Aku pun melangkahkan kakiku ke toko roti tersebut dengan harapan mereka masih menyisakan setidaknya shokupan[9]. Kurasa kare yang kumasak kemarin malam masih ada sisa sedikit dan akan cocok jika dimakan dengan shokupan.

Saat aku masuk ke dalam toko roti, benar saja hanya tinggal tersisa sedikit pilihan roti. Namun aku dapat melihat masih ada beberapa shokupan. Aku segera mengambil nampan dan tongu[10] yang disediakan terjajar rapi di sebelah pintu masuk. Ucapan selamat datang dari seorang wanita muda penjaga toko roti kemudian menyapaku. Pembelinya hanya ada aku dan seorang pria berambut perak yang mengenakan pakaian serba hitam dan kacamata hitam padahal ia sedang ada di dalam ruangan. Mungkin ia baru saja pulang dari acara pemakaman? Berusaha untuk tidak mempedulikan orang aneh itu, aku pun segera berjalan menuju bagian shokupan, mengambilnya dan meletakannya di atas nampanku.

Hmm… Sepertinya tidak mungkin hanya ini saja.

Porsi makan Yuuji sangat besar. Kalau aku hanya memberikannya shokupan, ia pasti tidak akan merasa kenyang. Aku pun lanjut berjalan mengelilingi toko dengan harapan menemukan sesuatu yang menarik bagiku. Karena jenis roti yang tersisa memang hanya tinggal sedikit, akhirnya aku menjatuhkan pilihanku pada croissant[11] dan panini[12].

Saat aku ingin mengambil croissant, tanganku bersentuhan dengan tangan seseorang yang juga ingin mengambil croissant yang sama denganku. Saat aku menoleh, aku mendapati pria berkacamata hitam nyentrik itu berdiri di sampingku. Membuatku terpaku untuk sesaat.

TINGGI!

Pria nyentrik berkacamata hitam itu ternyata adalah orang yang sangat tinggi. Saat masuk toko tadi aku tidak begitu memperhatikannya. Bahkan kurasa ia lebih tinggi dari Nanami-san. Mungkin tingginya hampir mencapai 2 meter? Tubuhnya tegap dengan warna kulit pucat yang sangat kontras dengan pakaian serba hitam yang dikenakannya. Ia menyeringai menatapku. Seketika membuat bulu kudukku merinding. Naluriku mengatakan bahwa aku tidak boleh berurusan dengan orang ini.

"Silakan…," kupersilakan orang nyentrik itu untuk mengambil croissant yang tadinya ingin kuambil. Panini saja kurasa sudah cukup. Setelah ini aku akan mampir ke supermarket untuk membeli kroket setengah harga saja.

Saat aku ingin berjalan menuju kasir, pria nyentrik itu kemudian berjalan memutar mendahuluiku dan menghalangi jalanku. Aku pun mengambil sisi kanan untuk berjalan tapi ia kemudian juga mengikutiku ke kanan. Saat aku ke kiri ia juga mengikutiku ke kiri.

Aku bisa merasakan urat kesal di keningku muncul. Pria nyentrik ini sepertinya ingin mencari masalah denganku.

"Maaf Tuan… Bisakah aku lewat? Aku harus segera membayar rotiku…," ujarku dengan perlahan dan penuh penekanan pada setiap kata yang kuucapkan. Aku menahan agar emosiku tidak terlihat.

Alih-alih membukakan jalan untukku, ia justru melepas kacamata hitamnya dan sedikit mengigit gagang kacamatanya yang tipis sambil berkata, "Kau… Dari dekat ternyata memang manis ya… Coba lihat... Warna matamu sama dengan mataku. Indah sekali…"

Aku tidak tahu apakah kata-kata yang diucapkannya barusan itu adalah kata-kata rayuan atau bukan. Yang jelas, hal itu sama sekali tidak membuatku terenyuh. Aku justru merasakan bulu kudukku berdiri sepenuhnya.

Namun soal iris mataku yang berwarna sama seperti dengan warna matanya adalah benar. Seumur hidupku aku baru kali ini melihatnya selain saat aku sedang bercermin. Ibuku sendiri bahkan tidak memiliki warna mata seperti itu. Yuuji pun tidak. Tapi orang aneh ini… Benar-benar memiliki warna mata yang sama denganku… Rasanya seperti aku sedang melihat ke dalam mataku sendiri.

"Fufufu~ Manisnya~ Kau terpesona denganku ya?"

Mendengar perkataannya membuatku merasa kesal. Selain warna iris matanya kurasa orang ini pasti mempunyai sifat yang sangat buruk. Merayu seorang wanita di waktu luang bukanlah hobi orang baik-baik.

"Tentu tidak," aku segera membalikkan tubuhku untuk mengambil jalan memutar, tapi dengan cepat orang itu lagi-lagi berjalan mendahuluiku dan menghalangiku. Aku telah mencapai titik kesabaranku.

" . . . .ku."

"Huwa~ Takut~ Wajah marahmu benar-benar mirip ya dengan orang itu. Bedanya kalau wajahmu terlihat manis~"

Bukannya menyingkir dan memberikan jalan, ia justru bersikap pura-pura takut dengan sangat menggelikan.

"Apa maumu hah?!" Akhirnya aku tidak lagi menggunakan bahasa sopan. Di dalam kepalaku aku mulai mengingat-ingat gerakan bela diri yang kupelajari saat SMA dulu.

"Eh? Mauku? Hmm… Benar juga… Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin mencubit pipimu!"

"HAH?!"

Dengan gerakan yang cepat tangan kedua orang nyentrik itu bergerak menuju pipiku. Karena terkejut aku tidak sempat menghindar dan hanya bisa memejamkan mataku.

Eh? Tapi aku belum merasakan pipiku sedang dicubit?

Karena merasa ada yang aneh aku pun perlahan membuka mataku… Dan…

Aku tercengang.

YUUJI! KEAJAIBAN ITU SEDANG TERJADI SEKARANG!

Di dalam kepalaku, aku kemudian bisa mendengar suara Yuuji yang terkekeh sambil berkata, 'Kan sudah kubilang~ Kaachan dan Touchan itu memang berjodoh!'

Nanami-san telah berdiri di sampingku sambil memegang salah satu pergelangan tangan si pria nyentrik mesum dengan tangan kirinya. Nanami-sanlah yang menghentikan gerakan tangan pria nyentrik mesum itu. Pria nyentrik mesum itu pun memandang tajam ke arah Nanami-san, namun Nanami-san justru semakin erat mencengkram tangannya. Seperti ingin menghancurkannya karena aku sampai bisa melihat pembuluh darah yang ada di punggung tangan kiri Nanami-san timbul. Saat kutundukkan pandanganku, aku dapat melihat tangan kanan Nanami-san yang sedang memegang nampan berisi penuh dengan semua jenis roti yang tersisa di toko.

ROTINYA BANYAK!

"Baik… Baik… Aku berhenti sekarang~ Kau tidak berubah ya masih saja tidak ramah~"

Eh? Mereka saling mengenal?

Akan tetapi Nanami-san tidak merespon kata-kata yang diucapkan oleh si pria nyentrik mesum dan tetap memandangnya sinis.

Akhirnya pria nyentrik mesum pun menjauhi kami dan berjalan menuju pintu.

"Sampai jumpa lagi ya manis~ Aku akan mendatangimu lagi~" sambil kembali mengenakan kacamata hitamnya, pria nyentrik mesum itu meniupkan sebuah ciuman ke arahku dan keluar dari toko roti. Nanami-san langsung mengayunkan tangan kirinya di hadapanku seperti ingin menepis ciuman tak terlihat yang diarahkan padaku itu. Kurasa setelah ini aku mengalami trauma dan tidak akan datang ke toko roti ini lagi.

"Itadori-san, apakah kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya Nanami-san dengan ekspresi wajahnya yang tidak berubah sama sekali.

"A, aku baik-baik saja. Berkat pertolongan dari Nanami-san aku tidak terluka sama sekali."

Aku bisa mendengar jantungku kembali bersuara ribut. Kumohon tenanglah jantungku…

"Syukurlah. Hari ini kau sendirian saja? Yuuji-kun tidak ikut bersamamu?"

"Ah, iya. Hari ini aku menyuruhnya untuk menjaga rumah."

"Begitu…"

"Iya."

Dengan cekatan Nanami-san mengambil nampan yang sedang kupegang dan segera berjalan menuju kasir dengan memegang 2 nampan di tangannya, "Baiklah. Aku akan mengantarkanmu pulang."

"Eh?"

Otakku seperti membeku dan tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Penjaga toko roti segera menghitung jumlah roti pada nampan dan memasukkannya ke dalam kantung belanja. Dua kantung belanja. Kemudian Nanami-san mengeluarkan kartu untuk melakukan pembayaran dari dalam dompet kulitnya yang terlihat sangat mahal. Setelah saling mengucapkan terima kasih dengan penjaga toko roti. Nanami-san segera kembali ke hadapanku.

Bahkan setelah kami keluar dari toko roti dan berjalan bersama, aku masih tercengang dan hanya bisa berjalan dalam diam.

Setelah sampai di depan stasiun kereta, Nanami-san akhirnya membuka suaranya, "Ngomong-ngomong Itadori-san… Rumahmu ada dimana?"

"Eh?"

"Kita harus turun di stasiun mana?"

"Na, Nanami-san benar-benar akan mengantarkanku pulang?"

"Tentu saja."

Aku segera membalikkan wajahku dan mencubit kedua pipiku sendiri dengan sangat kencang. Eh? Eh? Aku bisa merasakan sakit?

"…I, ini bukan mimpi…?"

Aku bisa mendengar Nanami-san sedikit tertawa sebelum menjawab pertanyaanku sambil tersenyum, "Tentu saja bukan."

Sinar bulan yang membulat sempurna menyinari wajah Nanami-san dengan lembut…

Aku langsung berterima kasih pada diriku di kehidupan sebelumnya yang telah melakukan banyak hal baik sehingga aku bisa melihat wajah Nanami-san yang sedang tertawa dan tersenyum seperti ini…

Setelah itu kami berdua menaiki kereta menuju rumahku. Karena sudah larut malam, di gerbong kereta yang kami naiki hanya ada aku dan Nanami-san. Rasanya aku seperti sedang berada di dunia lain dimana hanya ada aku dan Nanami-san sebagai tokoh utama di dunia itu. Jantungku yang ribut perlahan mulai menenangkan dirinya. Dari pantulan kaca yang ada di sebrangku, aku dapat melihat Nanami-san duduk di sampingku. Berulang kali pun aku menutup dan membuka mataku, Nanami-san tetap ada di sampingku. Ini bukan mimpi…

Saat aku berkata pada Nanami-san cukup mengantarku hingga stasiun saja, Nanami-san bersikeras untuk tetap mengantarku hingga ke rumah dengan alasan ia takut aku akan bertemu dengan jurei seperti kemarin. Karena saat ini Yuuji sedang tidak ada, aku pun tidak punya alasan untuk menolaknya.

Sambil berjalan menuju rumahku, aku kembali teringat dengan kejadian di toko roti, "Ah, Nanami-san, berapa total biaya rotiku tadi? Aku ingin membayarnya," ucapku sambil akan membuka resleting shoulder bagku, akan tetapi kata-kata Nanami-san kemudian menghentikan gerakan tanganku, "Tidak perlu. Itu traktiran dariku."

"Eh? Tidak boleh seperti itu… Jumlahnya kan cukup banyak."

"Tidak apa-apa."

"Tidak bisa begitu Nanami-san. Kalau kau melakukan hal seperti itu, lama-lama kau bisa bangkrut!"

Nanami-san kembali tertawa kecil mendengar perkataanku, "Tidak apa-apa, aku akan bekerja sekuat tenaga agar aku tidak bangkrut."

Tanpa sadar aku mengerucutkan bibirku, "Bukan begitu penyelesaian masalahnya…"

"Kurasa tidak ada masalah disini."

Nanami-san terus berdalih dengan lihainya sambil tertawa kecil.

"Nanami-san… Apakah kau sedang mengerjaiku?"

"Ng? Mengapa kau berkata seperti itu?"

"Habis… Sejak tadi kau Nanami-san tertawa kan?"

Tanpa berusaha untuk menyembunyikannya, Nanami-san lagi-lagi tertawa, "Soalnya Itadori-san terlihat sangat manis."

Tubuhku terkesiap dan wajahku terasa sangat panas. Untung saja saat ini malam hari. Jika saja saat ini adalah siang hari, Nanami-san pasti akan bisa melihat wajahku yang semerah kepiting rebus. Sementara itu jantungku berbunyi sangat keras seperti bunyi drum yang sedang ditabuh di festival musim panas.

"Te, terima kasih…" jawabku singkat sambil menundukkan wajahku. Walau mungkin saja itu hanya perkataan basa-basi tapi aku sungguh sangat senang mendengarnya.

Kami berdua kembali terdiam untuk beberapa saat. Pandanganku kemudian beralih pada tas jinjing berisi roti yang sedang dibawa oleh Nanami-san.

"Nanami-san membeli roti sebanyak itu… Apakah untuk pacar atau keluarga di rumah?"

Ah!

Aku kemudian tersadar bahwa aku telah menanyakan hal yang bersifat sangat pribadi pada Nanami-san. Aku pun segera meminta maaf padanya.

"Ma, maafkan aku Nanami-san! Tidak apa-apa jika Nanami-san tidak ingin menjawabnya," ucapku terburu-buru sambil menghentikan langkah kakiku dan sedikit membungkukkan tubuhku padanya. Tentu saja pertanyaan tersebut sangat tidak sopan mengingat Nanami-san adalah seorang atasan di tempatku bekerja.

"…Aku tinggal terpisah dengan keluargaku dan saat ini aku sedang tidak memiliki kekasih. Semua roti ini adalah untuk diriku sendiri."

Walau dengan ekspresi wajah datarnya, aku sedikit terkejut karena Nanami-san sungguh-sungguh menjawab pertanyaanku. Apakah aku tidak menyinggung perasaannya?

Melihatku yang kembali berjalan dengan wajah tertunduk, Nanami-san kembali berkata, "Aku suka…"

Eh?

Aku kembali menghentikan langkahku dan menengokkan kepalaku pada Nanami-san yang tertinggal beberapa langkah di belakangku. Untuk beberapa detik keheningan menyelimuti kami. Kemudian Nanami-san melanjutkan kata-katanya, "…Aku suka roti. Oleh karena itu, setiap hari aku banyak membelinya. Jadi kau tidak perlu merasa khawatir."

Eh? Apakah Nanami-san baru saja berusaha untuk menghibur dan menenangkan kegelisahanku?

"Nanami-san… Selain Jujutsushi apakah kau juga seorang esper[13]?"

"…Mantan Jujutsushi."

"Poinnya bukan disitu~"

Tanpa membalas perkataanku, wajah Nanami-san berubah kembali menjadi lembut sambil tersenyum tipis padaku. Walau angin pada malam ini terasa sedikit dingin tapi dalam hatiku sungguh terasa hangat.

Tidak lama setelah itu, kami berdua sampai di depan apartemenku. Nanami-san kemudian memberikan tas jinjing roti milikku dan memasukkan lagi beberapa roti dari tas jinjingnya ke dalam tas jinjingku. Saat aku berkata bahwa ia tidak perlu melakukannya, Nanami-san tetap bersikeras dan berkata, "Untuk Yuuji-kun," aku pun tidak bisa lagi menolaknya.

"Nanami-san, aku sungguh-sungguh berterima kasih untuk malam ini. Maafkan aku jika telah melakukan beberapa hal yang tidak sopan padamu," ucapku sambil membungkukkan tubuhku padanya.

Nanami-san balas membungkukkan tubuhnya padaku, "Tidak… Aku juga berterima kasih. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan menyenangkan seperti ini."

Aku sedikit menelengkan kepalaku. Menyenangkan? Rasanya tidak ada hal sangat menarik yang telah kami bicarakan…

"Salam untuk Yuuji-kun. Oyasuminasai."

"Baik. O, Oyasuminasai," balasku sambil membungkukkan tubuhku lagi dengan gugup.

Sambil membungkuk aku berpikir bahwa mimpi indah itu memang selalu terjadi hanya sesaat dan tidak mungkin selamanya. Karena rasanya tidak akan mungkin terjadi untuk kedua kalinya, mimpi indah yang telah kulalui bersama Nanami-san malam ini akan kuukir lekat-lekat untuk selamanya di dalam ingatanku!

Sembari bertekad aneh seperti itu, aku kemudian membalikkan tubuhku dan berjalan menuju ke arah lift apartemenku. Namun baru beberapa langkah aku berjalan, Nanami-san kembali memanggil namaku.

"Itadori-san!"

Eh?

Aku menghentikan langkahku dan membalikkan tubuhku ke arah Nanami-san. Dari posisinya yang berdiri tidak jauh dariku Nanami-san berkata, "Di hari libur berikutnya, aku akan mengajakmu ke toko roti kesukaanku yang terkenal sangat enak. Oyasuminasai."

Tanpa menunggu respon dariku, setelah menyelesaikan kata-katanya Nanami-san kembali membungkukkan tubuhnya padaku dan kemudian berjalan berbelok menjauhi apartemenku. Meninggalkan diriku yang berdiri mematung di tengah-tengah halaman apartemenku.

Hari ini pun sebelum tidur, aku dan Yuuji melakukan percakapan seperti para gadis ketika mereka sedang menginap bersama. Sambil saling duduk berhadapan di atas kasur dan memeluk boneka pompompurin kesukaanku, aku menceritakan semua keajaiban yang telah terjadi padaku beberapa jam yang lalu kepada Yuuji. Masih dengan perasaan tidak percaya, malu, dan bahagia campur aduk menjadi satu membuat wajahku seperti warna buah tomat yang sangat matang. Karena gugup cara bicaraku juga menjadi sedikit berantakan dan terbata-bata, tapi Yuuji dengan sabar tetap mendengar ceritaku dengan matanya yang berbinar-binar menatapku dan sesekali menganggukan kepalanya dengan semangat.

"Lalu Nanami-san berkata… So, Soalnya Itadori-san terlihat sangat manis..."

"Kyaaa~! Kuuuh~~~!"

"Dan kemudian… Na, Nanami-san… A, akan mengajakku ke toko roti kesukaannya di hari libur berikutnya..." kuakhiri perkataanku sambil menutup wajah dengan kedua tanganku sementara Yuuji bersiul dan melakukan pose tangan mengepal ke atas.

"Yossshaaaa!"

"Ta, tapi itu mungkin saja karena hanya sekedar ingin merekomendasikan toko roti yang enak agar aku juga menyukai roti kan."

"Tidak, tidak Kaachan. Itu jelas-jelas Touchan mengajak Kaachan pergi kencan! Kyaa~~ Aku jadi malu~ Karena hal itu aku akan lahir kan~"

Spontan kulempar muka Yuuji dengan boneka yang sedari tadi kupeluk, "Kyaaa! Hentikan berbicara seperti itu Yuuji! Mustahil! Ini tidak mungkin! Aku pasti sedang bermimpi dan Yuuji sebenarnya juga tidak nyata!"

"Kaachan masih saja berbicara seperti itu… Dari sikap Touchan sudah jelas ia menyukai Kaachan kok," jawab Yuuji ringan sambil menyingkirikan boneka dari wajahnya.

"Kenapa…?"

"Eh? Kenapa? Kenapa apanya?"

"Kenapa Nanami-san menyukaiku? Sebelum ini kami bahkan tidak pernah berinteraksi…"

"Tentu saja itu karena Kaachan manis kan."

"…Yang beranggapan aku manis itu hanya kau saja Yuuji."

"Eh? Touchan tadi juga bilang Kaachan manis kan?"

Kali ini wajah Yuuji kulempar dengan bantal.

"Po, pokoknya! Jika Nanami-san tidak membicarakan hal itu lagi maka aku juga tidak akan mengatakan apapun!"

"Tenang saja… Pasti Touchan akan mengajak lagi kok. Sifat terus terangku ini kan kudapat dari Touchan."

"Percaya diri sekali…"

"Habis tidak mungkin kudapat dari Kaachan kan. Habisnya Kaachan tidak bisa jujur pada diri sendiri sih. Bagaimana bisa selama 6 tahun memendam perasaan pada orang yang disukai tanpa berbuat apapun?"

Ugh… Anak ini sejak kapan bisa berbicara menusuk seperti ini?

"Tenang saja Kaachan! Aku pasti akan membantu Kaachan kok," imbuh Yuuji sambil meletakkan tangannya yang besar di bahuku. Melihat ekspresinya yang santai malah membuatku menjadi tidak tenang. Aku pun hanya bisa menghela napas panjang.

"Hmm… Berarti kalau dipikirkan kejadian itu awalnya terjadi berkat Kaachan digoda oleh orang yang mirip dengan Gojou-sensei ya? Tidak, bukan mirip. Itu pasti Gojou-sensei. Tidak ada lagi manusia tinggi berambut perak berbaju hitam yang selalu mengenakan kacamata hitam."

"Gojou-sensei?"

"Wali kelasku yang kuceritakan waktu itu lho."

"Wali kelasmu guru nyentrik mesum?!"

"Ah, aku tidak akan menyangkalnya."

Tidak bisa dipercaya orang aneh seperti itu adalah seorang Jujutsushi dan terlebih lagi menjadi wali kelas Yuuji. Aku tidak ingin Yuuji diajari aneh-aneh oleh orang semacam itu! Sambil memegang bahu Yuuji dan mengguncang-guncang tubuhnya aku memprotes, "Bagaimana bisa orang seperti itu menjadi wali kelas? Bagaimana sih Kousen? Yuuji, saat kembali nanti kau harus minta ganti wali kelas! Ini pesan dari ibumu!"

"Tidak bisa Kaachan… Kousen bahkan kekurangan pengajar lho."

"Eh~ Kalau nanti ia mengajarimu yang aneh-aneh bagaimana?!"

"Tenang saja Kaachan. Selama ini belum sih soalnya."

Belum, bukan tidak. Aku memijat keningku yang mulai terasa nyeri dan mulai mengambil posisi telentang di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar.

"…Ah… Berarti pantas saja ya…"

Melihatku yang mulai mengambil posisi, Yuuji mengikutiku dan juga mulai tidur telentang, namun kepalanya ia tengokkan ke arahku, "Apanya?"

"Yuuji tadi bilang kalau Kousen selalu kekurangan orang kan, yang berarti orang-orang Kousen atau dengan kata lain Jujutsushi jumlahnya hanya sedikit kan?"

Yuuji menganggukan kepalanya, "Un, bisa dibilang begitu."

"Karena Nanami-san dulunya juga adalah seorang Jujutsushi maka tidak heran jika mereka saling mengenal…"

"Siapa? Touchan dengan Gojou-sensei? Ah, kurasa mereka memang saling mengenal kok. Kalau tidak salah Kaachan, ah maksudku Kaachan di masaku, pernah cerita bahwa mereka adalah junior dan senior waktu jaman sekolah di Kousen."

"Junior dan senior? Nanami-san punya junior orang nyentrik mesum seperti itu?!"

"Bukan, bukan. Tapi kebalikannya. Touchan adalah junior satu tingkat dibawah Gojou-sensei."

"Orang mesum itu umurnya lebih tua dari Nanami-san?!"

"Kaachan sudah menghilangkan kata nyentriknya ya…"

"Tidak bisa dipercaya…"

"Tapi… Warna mata Kaachan memang benar-benar mirip dengan Gojou-sensei ya…" ujar Yuuji sambil memandang wajahku lekat-lekat.

"…Aku tidak mau disamakan dengan orang mesum."

"Kenapa ya…?"

"Kenapa warna mataku sama dengan orang mesum itu?"

"Iya."

"Mungkin ia menggunakan lensa kontak."

"Gojou-sensei warna matanya asli kok."

Kami saling terdiam dan tidak berbicara lagi. Berdasarkan pengetahuanku, warna iris mata itu diturunkan secara genetik. Yang berarti jawaban yang mungkin adalah bahwa aku memiliki hubungan darah dengan orang mesum itu…

Tidak mungkin, tidak mungkin. Tidak.

"Ne, Yuuji, mungkinkah— Cepatnya!"

Saat aku menengok ke arah Yuuji, Yuuji sudah memejamkan matanya dan mendengkur halus. Di mataku Yuuji semakin terlihat seperti seorang anak bayi yang cepat tidur karena banyak makan dan banyak bicara.

"Manisnya~"

Setelah menepuk-nepuk kepala Yuuji, aku pun memejamkan mataku. Aku juga harus segera tidur walau aku tidak tahu kejutan dan keajaiban apalagi yang akan menungguku besok.


[1] Nasi goreng khas Jepang.

[2] Ucapan Bahasa Jepang yang diucapkan setelah selesai bekerja. Artinya, terima kasih atas kerja kerasmu.

[3] Bahasa Jepang yang artinya (Anda) benar-benar bekerja dengan baik ya.

[4] Seni melawak yang awalnya berasal dari daerah Kansai. Pertunjukan manzai biasa dilakukan oleh 2 orang yang bercakap-cakap bersahut-sahutan di depan penonton membicarakan sebuah lelucon.

[5] Ucapan dalam Bahasa Jepang yang artinya selamat malam atau selamat tidur.

[6] Ucapan dalam Bahasa Jepang yang artinya aku berangkat.

[7] Ucapan dalam Bahasa Jepang yang artinya selamat jalan.

[8] Energi kutukan yang ada di dalam diri seorang Jujutsushi.

[9] Roti tawar khas Jepang dengan tekstur sangat lembut.

[10] Alat penjepit.

[11] Roti yang berbentuk bulan sabit dan berasal dari Perancis.

[12] Roti lapis yang berasal dari Italia.

[13] Seseorang yang memiliki kemampuan psikis seperti membaca pikiran, telepati atau berkomunikasi melalui pikiran.