Beberapa minggu telah berlalu sejak peristiwa di toko roti. Walau Nanami-san mengatakan bahwa ia akan mengajakku pergi keluar di hari libur, tapi hingga saat ini hal itu belum juga terjadi. Tentu saja. Kenyataan tidak akan terjadi semudah itu. Sudah pasti itu mungkin hanya sekedar perkataan basa-basi. Walau kuakui sebenarnya aku sangat berharap. Tapi aku juga tidak bisa melakukan apapun karena aku tidak mempunyai keberanian untuk mengungkitnya pada Nanami-san. Sementara itu Yuuji terus-menerus memaksaku agar aku bergerak duluan menyerang Nanami-san. Walau aku tahu maksud Yuuji menyerang disini adalah aku yang mengajak Nanami-san lebih dulu untuk pergi kencan atau mungkin mengungkapkan perasaanku padanya, tapi sekali lagi aku tidak punya keberanian untuk melakukannya.

Selain tidak berani mungkin bisa dibilang bahwa aku merasa tidak percaya diri. Di perusahaanku tentu masih banyak wanita yang lebih cantik dan anggun dibandingkan dengan diriku. Dan para wanita itu, berdasarkan gosip yang beredar, beberapa dari mereka ada yang menyukai Nanami-san dan bahkan ada yang pernah berani mengajak Nanami-san pergi kencan, tapi mereka semua ditolak oleh Nanami-san.

Para wanita cantik dan anggun seperti itu saja ditolak oleh Nanami-san, apalagi wanita yang berwajah biasa dan sederhana sepertiku ini?

Berbeda dengan diriku, entah sejak kapan Yuuji telah melakukan chat hampir setiap hari dengan Nanami-san. Karena aku telah mengancamnya agar tidak membicarakan hal-hal tentang Nanami-san yang sebenarnya adalah ayahnya atau cerita tentang dirinya yang datang dari masa depan, sebagian besar pembicaraan mereka adalah tentang Jutsushiki[1], Jurei, Kousen, dan terkadang tentang roti.

"Ugh…"

Sakit perut.

Tiba-tiba saja aku merasakan sakit perut saat berdiri di depan ruang Akunting. Padahal sebelumnya walau tahu Nanami-san ada di dalam ruangan, tapi aku tidak pernah merasa seperti ini. Karena aku tahu, walaupun ada Nanami-san tapi ia tidak mengenaliku dan mungkin tidak akan mempedulikanku. Tapi sekarang berbeda. Nanami-san telah mengenalku. Walaupun mungkin ia tidak akan mempedulikanku, tetap saja aku terlalu menjadi sadar diri. Mungkin saja aku akan tidak sengaja melakukan hal aneh karena terlalu gugup misalnya.

Kutarik napasku dalam-dalam dan dengan berat kuangkat kakiku memasuki ruang Akunting. Sambil mengucapkan permisi, aku berjalan menuju meja salah satu staff tempat aku selalu menyerahkan laporan keuangan divisiku. Aku sedikit bersyukur karena mejanya berada paling ujung dan jauh dari meja Nanami-san.

"Eh? Tidak ada?" gumamku pelan saat melihat ternyata staff yang ingin kutemui sedang tidak ada di tempatnya. Begitu pun dengan Nanami-san. Namun saat melihat meja Nanami-san yang kosong aku justru merasa lega.

"Itu laporan kan? Taruh saja disitu," cetus staff lain yang duduk di meja sebelahnya. Aku membungkukkan tubuhku padanya dan meletakkan laporan di atas meja sesuai perintahnya.

Namun saat aku ingin meletakkan laporan di atas meja, laporan tersebut tiba-tiba saja diambil oleh tangan seseorang dari tanganku.

"Oh Kachou! Rapatnya sudah selesai? Data yang Kachou minta sudah kuletakkan di atas meja ya," ucap staff yang tadi menyuruhku menaruh laporan di atas meja.

Kachou katanya?

Saat kuangkat kepalaku, aku bisa melihat Nanami-san sedang berdiri di sampingku sambil memegang laporan yang tadinya ingin kuletakkan di atas meja.

"Ya, terima kasih banyak, akan segera kucek. Itadori-san ikuti aku," jawab Nanami-san dengan nada suara dan wajahnya yang datar. Kuikuti langkah kakinya menuju meja kerjanya dengan gugup.

Nanami-san kemudian duduk di kursinya sambil membaca laporanku. Ia membalik-balikkan halaman demi halaman. Suara balikan kertasnya memunculkan kembali rasa sakit di perutku.

Selama ini Nanami-san tidak pernah secara langsung memeriksa laporanku seperti ini. Aku selalu menyerahkannya lewat staff lain dan mengambil lagi dokumen yang sudah diperiksa dan dicap pada keesokan harinya. Walau Nanami-san sudah mengenalku seharusnya prosesnya tidak berubah. Aku tidak tahu apa yang membuatnya melakukan hal ini. Tindakannya justru memunculkan rasa takut pada diriku. Aku mengingat-ngingat lagi apakah laporan yang kubuat sudah benar? Apakah ada salah ketik? Ataukah ada hal yang lupa kumasukan?

"Tidak ada masalah," suara rendah dan datar Nanami-san menyadarkanku. Saat kuangkat kepalaku, Nanami-san sedang membubuhkan cap pada laporan yang kubuat dan menuliskan sesuatu dengan pulpen. Seketika aku langsung merasa lega. Syukurlah ternyata aku tidak membuat kesalahan…

Nanami-san memasukkan dokumen kembali ke dalam clear file dan menyerahkannya padaku. Saat kuterima clear file tersebut, tanganku tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Nanami-san. Jantung dan aktifitas sel-sel tubuhku berhenti untuk sepersekian detik.

"Kachou! Ada telepon!"

Saat suara orang lain memecah berhentinya waktu di antara kami, dengan cepat aku langsung menarik tanganku, membungkukkan tubuhku dan melangkah dengan cepat keluar dari ruangan tanpa lagi menengok ke belakang.

Aku langsung berlari menuju kamar mandi perempuan sambil tetap memeluk erat laporan di dadaku. Aku masuk ke dalam bilik paling ujung dan mengunci pintunya. Setelah mengunci pintu, aku jatuh terduduk di atas kloset yang tertutup. Kakiku rasanya sangat lemas. Kedua tanganku gemetar. Walau aku sedang tidak bisa melihatnya, saat ini pasti wajahku sangat memerah melebihi warna kepiting rebus.

Aku menutupi wajah dengan kedua tanganku. Aku tidak tahu kalau menyukai seseorang akan membuatku merasa seperti ini. Sedikit sentuhan fisik seperti itu saja sudah dapat membuat jantungku menjadi berantakan. Aku merasa sesak. Padahal dulu aku masih bisa menahan perasaanku dan bersikap biasa saja. Tapi sekarang aku tidak bisa melakukannya. Tidak setelah aku melihat Nanami-san yang tersenyum padaku dan berkata seperti itu.

Rasanya aku ingin menangis…

Namun dipikirkan bagaimanapun juga percuma.

Nanami-san tidak akan mungkin menyukaiku…

Kuhela napasku sambil mengeluarkan laporanku dari dalam clear file.

Setidaknya, aku tidak melakukan kesalahan dalam membuat laporan dan mempermalukan diriku sendiri di hadapannya. Jika ia menganggapku sebagai karyawan yang baik itu saja sudah cukup bagiku…

"Ng?"

Saat kubuka halaman terakhir laporanku, ada secarik kertas kecil yang tertempel di bawah kolom cap. Pada kertas itu tertulis,

'Besok jam 9 pagi kutunggu di depan stasiun. Sesuai janjiku sebelumnya, aku akan mengajakmu ke toko roti yang waktu itu kuceritakan. Nanami.'

"Eh? Ehhhhh?!"

Aku terperanjat kaget. Dengan tangan yang gemetar segera kuambil smartphone dari dalam saku rokku dan menelpon nomor ponsel lamaku. Setelah beberapa kali dering barulah terdengar suara dari seberang.

"Ada apa Kaachan?" tanya suara di seberang dengan suara riangnya seperti biasa. Suaranya sedikit bergaung dan di belakangnya terdengar suara aliran air.

"Yuuji, kau sedang ada di kamar mandi?"

"Iya, aku sedang menggosok bak mandi."

Rasanya aku benar-benar akan menangis karena pasangan ayah dan anak ini. Padahal aku tidak pernah menyuruh Yuuji untuk melakukannya. Ternyata diriku di masa depan sungguh mendidik dan merawat Yuuji dengan sangat baik.

"Ada apa Kaachan?" tanya Yuuji lagi dengan suara yang sudah tidak bergema. Sepertinya ia sudah keluar dari dalam kamar mandi.

"Yu, Yuuji… Ba, bagaimana ini… Ugh… Aku ingin menangis…"

"Eh?! Ka, Kaachan?! Ada Jurei yang menyerangmu lagi?! Aku segera kesana sekarang! Kaachan ada dimana?!"

"Bu, bukan itu Yuuji… Ugh… Na, Nanami-san…"

"Eh?! Touchan yang diserang Jurei?! Baiklah aku segera kesana!"

Kenapa isi kepala Jujutsushi hanya melulu tentang Jurei sih…

"Bukan keduanya! Tidak ada yang diserang oleh Jurei kok."

"Kupikir… Kaachan jangan bikin kaget dong," Yuuji menghela napas dan bersuara lega. Itu kan salahmu sendiri…

"Bukan begitu… Bagaimana ini… Na, Nanami-san mengajakku pergi ke toko roti besok…"

"Eh? Serius?! Akhirnya! Touchan lama sekali sih."

Mengapa ia malah mengomeli Nanami-san.

"Yuuji… Bagaimana ini…?"

"Lho? Bagaimana apanya? Itu kan hal bagus Kaachan. Apa ada masalah?"

Sebenarnya tidak ada. Justru bagi Yuuji mungkin ini adalah hal yang harus dirayakan. Tapi aku…

"Tapi aku takut…"

"Kaachan tidak perlu takut. Jika ada jurei yang menyerang Touchan pasti akan dengan mudah membasminya kok!"

Makanya… Kenapa ia harus berpikir ke jurei terus sih…

"Bukan itu Yuuji…"

"Ah aku tahu! Aku di masa depan punya teman dekat yang sangat modis kan. Ia sering mengajakku berbelanja, jadi aku lumayan tahu hal-hal yang sedang trend dan disukai oleh anak perempuan. Kalau begitu aku akan menemani Kaachan berbelanja persiapan kencan untuk besok!"

"Eh? Belanja?"

"Iya dong. Seperti baju, sepatu… Kata Nobara kalau pergi kencan itu harus modis dan cantik."

"Eh? Siapa Nobara? Ia seorang perempuan?"

"Tentu saja."

"Pacar?"

"Oh… Bukan kok. Soalnya kata Nobara mukaku seperti orang kampung sih."

Bisa-bisanya ia dengan santai mengatakan hal seperti itu. Bisa-bisanya juga ada manusia yang mengatakan wajah anakku yang manis seperti wajah orang kampung? Sungguh tidak bisa dipercaya… Akan kuingat-ingat di masa depan nanti untuk menceramahi anak perempuan bernama Nobara.

"Kalau begitu kutunggu nanti di depan stasiun ya Kaachan. Bye!"

"Eh? Tu, tunggu! Yuuji!"

Padahal masih ada hal yang ingin kutanyakan tapi Yuuji telah memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Namun sungguh aneh. Setelah berbicara dengan Yuuji aku menjadi merasa lebih tenang.

Aku kemudian bangkit berdiri dan kulangkahkan kakiku dengan gontai keluar kamar mandi. Sementara di dalam kepalaku aku terus berpikir apakah aku masih berada di dalam mimpi atau tidak…

Semalam aku tidak bisa tidur.

Entah sudah berapa kali aku membuka cermin sakuku untuk memastikan apakah kantung mataku terlihat atau tidak. Aku hanya bisa menutupinya dengan make up sederhana dan berharap agar Nanami-san tidak menyadarinya.

Aku sampai 15 menit lebih cepat dari waktu janji temu. Hal itu disebabkan karena aku tidak tahan berada lebih lama di rumah akibat Yuuji yang sangat bersemangat dan terus menerus menggodaku yang akhirnya pergi kencan dengan Nanami-san.

Kemarin ia juga sangat bersemangat memilihkan pakaian yang akhirnya kukenakan hari ini. Kemarin untuk pertama kalinya aku masuk ke toko pakaian besar dan modis seperti itu. Hingga saat ini, pakaian-pakaianku pada umumnya kubeli di toserba umum, toko-toko pakaian kecil, ataupun toko pakaian bekas. Yang membuatku lebih kaget dibandingkan dengan harga baju-baju yang ada di dalam toko itu adalah Yuuji yang sama sekali tidak kelihatan gugup saat masuk ke dalam toko. Ia bersikap sangat alami dengan para penjaga toko sehingga terlihat seperti orang yang sudah terbiasa datang ke toko seperti itu.

Yuuji memilihkanku sebuah one piece[2] berwarna polos biru muda dan sedikit aksen berenda dengan panjang tepat di bawah lutut. Tidak lupa ia juga memilihkan sepatu model gladiator dan tas pouch dengan warna senada. Ditambah dengan aksesoris perhiasan sebuah gelang polos berwarna perak dan biru muda. Jika dijumlahkan, semua satu set pakaian beserta aksesoris itu setara dengan harga sewa apartemenku dalam sebulan. Rasanya aku ingin menangis…

Tapi untuk saat ini yang kurasakan hanyalah perasaan gugup yang teramat sangat. Aku bahkan tidak berani berdiri menunggu di tempat di mana aku bisa melihat pantulan diriku sendiri.

Kulihat lagi waktu pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Masih sekitar 10 menit lagi sebelum waktu janji temu. Semakin mendekati waktunya, suara jantungku semakin bergemuruh sangat ribut. Jika suara jantungku saat ini disambungkan dengan mesin pengeras suara pastilah suaranya akan sangat memekakkan telinga.

"Selamat pagi Itadori-san, maaf aku terlambat."

Suara rendah bernada datar khas Nanami-san terasa sangat dekat membelai telingaku. Membuat tubuhku sedikit terperanjat saat mendengarnya. Saat kutengokkan kepalaku, Nanami-san sudah berdiri di sampingku dengan penampilannya yang berbeda dari biasanya.

Rambut pirangnya yang selalu ia sisir dengan belahan 7:3 kali ini ia biarkan jatuh begitu saja, namun masih terlihat rapi. Ia tidak mengenakan kacamata tanpa lengannya melainkan mengenakan kacamata berbingkai tipis yang sangat modis. Pakaian yang ia kenakan adalah sweater casual berwarna cokelat yang lengannya ia gulung hingga ke siku sehingga dapat memperlihatkan lengannya yang ternyata sangat berotot dan besar. Pada salah satu lengannya yang kokoh itu melingkar jam tangan berantai perak yang terlihat sangat mahal. Celananya merupakan celana bahan berwarna gelap dengan alas kaki sepatu loafer semi kasual berwarna senada. Mungkin karena aku sudah terlalu terbiasa melihat Nanami-san dengan pakaian formalnya, aku tidak mengira bahwa Nanami-san akan datang dengan pakaian semi kasual seperti ini. Selama beberapa detik aku hanya terdiam terpana memandangnya.

Tunggu…

Rasanya aku seperti melihat Nanami-san di suatu tempat sebelum ini…

Saat aku berpikir seperti itu. Wajah tidak ramah pemuda Jujutsushi yang kutemui saat aku kelas 2 SMP itu muncul di dalam kepalaku.

"Ah!"

"Ada apa Itadori-san? Apakah kau sudah lama menungguku?"

"Ti, tidak kok! Tidak ada apa-apa! Aku yang datang terlalu cepat!" jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku dengan semangat.

Sungguh tidak dapat kupercaya. Pemuda Jujutsushi yang kutemui saat kelas 2 SMP itu adalah Nanami-san! Selama ini Nanami-san selalu mengenakan kacamata berlensa gelap dan menyisir rambutnya rapi ke belakang dengan belahan 7:3 sehingga aku tidak pernah menyadarinya. Penampilannya dengan rambut lurus yang terjatuh membuatku menyadari bahwa ternyata mereka adalah orang yang sama. Ternyata… Aku telah bertemu dengan Nanami-san cukup lama.

Apakah ini yang dinamakan dengan takdir?

Aku tidak tahu. Tapi aku akan menyimpannya untuk diriku sendiri dan tidak akan mengatakannya padanya karena kuyakin Nanami-san pasti tidak akan mengenaliku.

Nanami-san kemudian melihat jam tangannya dan kemudian terkekeh kecil, "Berarti kita sama ya, karena ternyata aku juga datang sedikit terlalu cepat."

Walau mungkin tidak ada maksud apapun dalam perkataannya itu, tapi hal itu telah membuat bunga-bunga musim semi bermekaran di dalam diriku.

Setelah itu Nanami-san mengajakku berjalan menuju tempat parkir terdekat karena ia membawa mobil. Aku berjalan dengan langkah kaki yang kikuk sambil menggenggam tali tas pouchku kuat-kuat. Sesekali aku melirik ke arah Nanami-san. Dari samping pun sosoknya terlihat sangat tampan dan gagah. Aku semakin tidak mengerti mengapa Nanami-san mau mengajak jalan wanita yang biasa saja sepertiku?

Di saat aku berpikir seperti itu kami telah sampai di tempat parkir. Aku tidak tahu apa nama mobil Nanami-san karena aku tidak paham tentang tipe-tipe mobil, tapi yang pasti, mobil berwarna biru tua gelap dengan sedikit model klasik ini harganya pasti sangat mahal.

Dari kaca gelap mobil aku dapat melihat pantulan diriku. Walau one piece yang kukenakan berwarna sangat cantik dengan harga yang sangat mahal, aku merasa sangat tidak cocok mengenakannya. Saat tadi berjalan menuju parkiran, kami berpapasan dengan beberapa wanita yang lebih cantik dan manis dibandingkan dengan diriku melirik ke arah Nanami-san. Dibandingkan dengan diriku, para wanita cantik itu pasti akan lebih cocok jika berjalan di samping Nanami-san. Mereka lebih tinggi dariku dengan gaya berpakaian yang lebih modis dan tentu saja make up wajah yang lebih cantik. Pasti saat kami berjalan tadi tidak ada seorang pun yang mengira bahwa kami sedang pergi kencan.

Tapi apakah ini memang kencan?

Ataukah hanya aku yang berpikiran seperti itu?

"Silakan masuk Itadori-san," Nanami-san membukakan pintu mobil di bagian kursi penumpang untukku. Dengan ragu dan canggung kubungkukkan tubuhku padanya dan masuk ke dalam mobil.

Setelah aku masuk dan mengenakan sabuk pengaman, Nanami-san juga masuk ke bagian kursi pengemudi dan melakukan hal yang sama. Ia lalu menyalakan mesin dan melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata.

Berada di ruang tertutup sempit dengan jarak yang sangat dekat seperti ini dengan Nanami-san membuat jantungku semakin ribut. Aku bisa merasakan suhu di wajahku sepertinya mulai naik. Aku tidak berani mengangkat kepalaku dan hanya bisa terus memandang tas pouch yang kuletakkan di atas pahaku.

"Itadori-san… Apakah kau tidak suka pergi keluar bersamaku?"

Eh?

"Hanya karena kita bekerja di tempat yang sama, kau tidak perlu sungkan menolakku jika memang kau tidak menyukainya."

EH?!

Tunggu, tunggu!

Nanami-san? Apa kau sedang bercanda? Memangnya di dunia ini ada wanita yang tidak suka jika diajak pergi keluar oleh orang seperti Nanami-san?

Lampu merah.

Nanami-san menghentikan mobil dan kemudian menoleh ke arahku sambil tetap memegang stir kemudi dengan kedua tangannya, "Wajahmu… Terlihat sangat sedih."

Nanami-san…

Nanami-san menyadarinya. Ia menyadari kegelisahan yang sedang kurasakan. Mengapa ia sangat baik hati seperti ini…

Sambil menelan ludahku dan menahan agar air mataku tidak keluar aku menjawab dengan suara yang kubuat-buat terdengar riang, "Aku suka kok! Aku senang sekali karena Nanami-san mau mengajakku dan memperkenalkan toko roti kesukaan Nanami-san padaku. Mungkin karena terlalu bersemangat aku jadi tidak bisa tidur dan sekarang sedikit merasa mengantuk. Tapi aku baik-baik saja! Hehehe"

"…Begitukah?"

"Tentu saja! Terima kasih karena hari ini telah mengajakku!" ucapku sambil tersenyum dan sedikit membungkukkan tubuhku padanya.

Melihatku yang tersenyum, Nanami-san juga sedikit tersenyum tipis, "Tidak… Justru akulah yang seharusnya mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah mau menemaniku di hari liburmu Itadori-san."

Lampu merah sudah berubah warna dan Nanami-san kembali melajukan mobilnya. Setelah itu suasana di antara kami sudah tidak canggung lagi dan kami mulai membicarakan hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini di kantor dan divisi masing-masing. Kemudian Nanami-san bercerita tentang jurei dan Jujutsushi. Jurei dan Jujutsushi terbagi menjadi beberapa tingkatan berbeda-beda dari yang terendah hingga tertinggi sesuai dengan kemampuan mereka. Aku mengatakan bahwa aku hanya sedikit mengetahui tentang jurei dan Jujutsushi. Aku hanya mengetahuinya dari buku atau artikel. Nanami-san mengatakan bahwa memang banyak orang yang tidak mengetahui tentang dunia Jujutsu, alasan utamanya adalah karena mereka tidak bisa melihatnya. Manusia tidak akan percaya pada hal yang tidak mereka ketahui ataupun tidak mereka alami.

Tidak sampai satu jam kami telah sampai di jalanan pegunungan yang terletak di pinggiran kota. Pemandangan pepohonan berwarna hijau membentang di sisi kanan dan kiri kami. Membuat perasaanku menjadi terasa lapang. Tanpa sadar aku tersenyum lebar sampai hampir menempelkan wajahku ke sisi jendela mobil. Dan tanpa kuketahui Nanami-san diam-diam memandangku yang sedang melakukan hal itu sambil tersenyum.

Beberapa menit kemudian, Nanami-san memberhentikan mobilnya di depan sebuah bangunan seperti cottage yang dindingnya terbuat dari susunan balok-balok kayu besar. Jika sebelumnya aku tidak diberitahu oleh Nanami-san bahwa ini adalah toko roti, saat melihatnya aku pasti akan mengira ini sebuah villa penginapan.

Saat aku turun dari mobil, aroma khas roti yang sangat menenangkan masuk ke dalam indera penciumanku. Padahal kami belum masuk ke dalam bangunannya. Tanpa sadar aku menghirup aroma itu dalam-dalam sambil tersenyum lebar. Kemudian aku mendengar suara Nanami-san yang tertawa kecil.

"Sudah tidak sabar ya."

"Un!" jawabku dengan anggukan yang mantap. Aroma roti telah menghilangkan rasa gugupku.

Saat masuk ke dalam toko, aroma manis roti semakin kuat menguar. Seorang wanita muda dengan perut yang sedikit membesar menyambut kami dari balik etalase. Berbagai macam jenis roti dan kue dengan berbagai macam ukuran tersedia di etalase tersebut.

"Wah… Ada banyak sekali Nanami-san! Semuanya terlihat enak!"

"Aa…"

Wajah datar Nanami-san berubah memperlihatkan wajah puas dengan senyuman hangat yang jarang sekali ditunjukkannya. Nanami-san kemudian memesan roti cascoot dan secangkir kopi hitam, sedangkan aku memesan canele dan secangkir kopi susu.

Karena toko roti ini juga merangkap sebagai kafe maka tersedia beberapa tempat duduk yang dapat digunakan sebagai tempat makan. Tempat duduk yang disediakan ada di dalam dan di luar ruangan. Karena aku bilang ingin memakan roti sambil menikmati pemandangan hutan maka kami memilih tempat duduk di luar ruangan.

Selain aku dan Nanami-san sudah ada beberapa pelanggan lain yang telah duduk dan menikmati rotinya. Di dalam ruangan ada seorang pria muda yang sedang mengetik di depan laptopnya. Sedangkan di luar ada pasangan ibu dan anak serta beberapa anak muda laki-laki dan perempuan yang duduk dalam satu meja.

"Sepertinya tempat ini memang populer ya, padahal ada di dalam pegunungan seperti ini."

"Aa, karena roti-roti yang disediakan di sini sangat lezat, terutama roti cascootnya. Pemilik toko roti ini pernah belajar membuat roti secara langsung di Perancis, sementara itu istrinya merupakan anak dari pemilik toko kue tradisional di Kyoto," jawab Nanami-san sambil tersenyum tipis. Benar apa kata Yuuji, jika sedang membicarakan roti suasana hati Nanami-san pasti jadi naik.

"Ah, pantas saja tadi sedang hamil ya," Nanami-san menganggukkan sedikit kepalanya menanggapiku.

"Enaknya… Menikah, membentuk keluarga, dan menjalani toko roti berdua di tempat yang tenang seperti ini… Pasti rasanya bahagia sekali ya!"

"…Apakah Itadori-san juga ingin seperti itu?"

"Eh? Punya toko roti?"

"Bukan, menikah."

"Eh?!"

"Maaf telah membuat menunggu! Silakan dinikmati pesanannya!"

Sungguh pemilihan waktu yang sangat pas!

Tidak menghiraukan keterkejutanku, istri penjaga toko roti meletakkan pesananku dan Nanami-san di atas meja kami. Dengan wajah datarnya Nanami-san mengucapkan terima kasih dan membungkukkan tubuhnya pada sang istri.

Bagaimana bisa ia berwajah tenang setelah menanyakan hal seperti itu padaku?!

Nanami-san meminum kopi hitamnya terlebih dahulu sambil memejamkan kedua matanya. Sambil sedikit menarik napas untuk menenangkan jantungku, aku mulai memotong caneleku dengan garpu menjadi potongan kecil dan menyuapkannya ke dalam mulut.

"Bagaimana rasanya?"

"Eh? Eh? Apa?" ucapku dengan panik.

"Canelenya."

Aku panik karena kupikir Nanami-san masih ingin melanjutkan topik sebelumnya dan menanyakan padaku bagaimana rasanya menikah. Karena gugup aku tidak fokus merasakan rasanya. Aku kembali menyuapkan potongan kecil canele ke dalam mulutku. Kali ini aku dapat dengan jelas merasakan tekstur lembut dan cokelat yang meleleh di dalam mulutku. Tanpa sadar aku menyentuh pipiku sambil tersenyum sangat lebar, "Ennnak sekali~"

"Syukurlah…" ujar Nanami-san sambil meletakkan cangkir kopinya perlahan di atas meja. Ia kembali memperlihatkan senyum hangatnya.

"Aku akan memesankan satu untuk Yuuji saat pulang nanti."

"Kalian akrab sekali ya."

"Eh? Ah… Te, tentu saja soalnya ia keponakanku, aku telah merawatnya sejak Yuuji masih sangat kecil."

Aku menjadi sedikit panik karena aku tidak mau Nanami-san menjadi salah paham tentang hubunganku dengan Yuuji. Jawabanku tidak bisa juga disebut berbohong. Karena pada kenyataannya di masa depan nanti aku memang akan merawat Yuuji sejak ia masih kecil.

"Begitu…" ujar Nanami-san singkat sambil memasukkan roti cascoot ke dalam mulutnya dan menggigit bagian ujungnya. Saus yang ada di dalam roti sedikit keluar dan menempel di pinggir bibirnya. Nanami-san yang sadar akan hal itu segera menyentuh saus itu dengan jempol tangan kirinya yang tidak sedang memegang roti dan menjilatinya. Entah mengapa spontan aku langsung memejamkan mataku seolah-olah adegan di hadapanku saat ini adalah adegan yang seharusnya tidak kulihat. Jantungku kembali menjadi berisik.

Karena aku memakan caneleku sambil memejamkan mata, sambil tertawa kecil Nanami-san kemudian berkata, "Itadori-san sangat menyukai canele ya. Kau memakannya sampai memejamkan mata seperti itu."

Karena jantungku masih tidak bisa diajak berkompromi, aku hanya bisa membalasnya dengan anggukan kecil sambil tetap mengunyah canele di dalam mulutku. Dalam hati aku berseru, memangnya aku memejamkan mataku karena siapa~?!

Setelah canele di dalam mulutku telah habis tertelan aku kembali membuka mataku. Roti cascoot Nanami-san juga sudah habis. Saat ini ia sedang meminum kopinya dengan ekspresi wajah yang sangat puas. Sungguh curang sekali… Hanya aku saja yang sedari tadi selalu merasakan panik dan berdebar seperti ini…

"Itadori-san, apakah aku boleh bertanya hal yang sedikit pribadi padamu?"

Eh?!

Hampir saja aku menyemburkan kopi susuku saat mendengar pertanyaan Nanami-san. Sambil meletakkan gelas dengan gugup, aku memperbaiki posisi dudukku menjadi tegak dan menganggukkan kepalaku perlahan.

Aku tahu aku tidak boleh terlalu berharap. Tapi siapapun yang ditanyakan hal seperti itu pasti akan jadi berharap bukan? Di bawah meja kukepalkan kedua tanganku kuat-kuat untuk menenangkan diriku sendiri. Aku mensyukuri diriku sendiri yang tidak mengidap penyakit jantung. Jika aku mempunyai penyakit jantung, mungkin sudah sejak tadi aku dilarikan ke rumah sakit.

"Warna iris matamu… Apakah kedua orang tuamu memiliki warna mata yang sama denganmu?"

Eh?

Sudah kuduga aku lagi-lagi terlalu berharap. Tapi aku justru menghela napas lega mendengar pertanyaan itu. Padahal menurutku pertanyaan itu tidak bersifat pribadi sama sekali, tetapi Nanami-san memasang wajah sangat serius dan menatap ke dalam mataku dengan pandangan yang sangat tajam.

"Ibuku tidak mempunyai warna mata sepertiku. Tapi aku tidak tahu bagaimana dengan ayahku. Sejak kecil aku hanya hidup berdua dengan Ibuku, jadi aku tidak tahu siapa dan bagaimana wujud Ayahku."

"…"

Nanami-san terdiam dan berwajah sedikit terkejut saat mendengar jawabanku. Tidak lama setelah itu ia menundukkan tubuhnya padaku dengan dalam, "Maafkan aku…"

Dengan panik aku lalu mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku, "Tidak! Tidak! Kumohon angkat kepalamu Nanami-san. Tidak apa-apa kok. Itu bukan suatu hal yang menyakitiku dengan menceritakannya."

"Tapi…"

"Aku justru merasa senang karena Nanami-san ingin mengetahui hal pribadi tentang diriku," jawabku jujur untuk menghilangkan rasa canggung pada diri Nanami-san.

Nanami-san kemudian mengangkat kepalanya dan memperlihatkan ekspresi wajah yang sangat lembut sambil tersenyum memandangku, "Aa, sungguh warna mata yang sangat indah… Sangat cocok dengan pakaian yang kau kenakan hari ini. Maaf aku terlambat mengatakannya…"

Di saat bersamaan angin lembut berhembus di antara kami. Aku bisa merasakan aroma manis roti dan aroma segar pepohonan menjadi satu. Di dalam mulutku, aku juga masih bisa merasakan rasa manis pahit dari canele yang kumakan. Aku pun bisa mendengar dengan jelas suara percakapan dan tawa dari para pengunjung lain dengan sangat jelas.

Saat ini aku sedang tidak sedang bermimpi…

"Nanami-san, te, terima ka—"

KYAAAAAAAAAAA!

Kata-kataku tiba-tiba saja terpotong oleh suara lengkingan dari seorang wanita yang berada di belakang kami.

"La… Par… Ma… Nis… La… Par…"

Seekor jurei tinggi kurus berwarna gelap sedang memasukkan tubuh seseorang dengan belalainya yang sangat panjang ke dalam mulutnya yang terbuka sangat lebar. Aroma manis roti berubah menjadi aroma amis yang sangat memualkan.

"SEMUANYA SEGERA MASUK KE DALAM TOKO!" teriak Nanami-san dengan sangat kencang sambil mengibaskan tangannya untuk menyuruh semua orang yang ada di luar segera masuk ke dalam toko. Tubuh yang sedang dimakan oleh jurei itu adalah salah satu dari kumpulan beberapa anak muda yang duduk di belakang kami.

"A, ada apa? Apa yang sedang terjadi?"

"Hei, ke, kenapa ia berdarah?"

"Oi… Ada apa ini…?"

Kumpulan anak-anak muda itu kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Mereka tidak mengerti karena mereka tidak bisa melihat bahwa sebenarnya di hadapan mereka ada jurei mengerikan yang sedang memakan salah satu teman mereka.

"KALAU KALIAN MASIH INGIN HIDUP JANGAN BANYAK TANYA DAN SEGERA MASUK KE DALAM TOKO!"

Nanami-san kembali berteriak dengan lebih kencang. Melihat ekspresi wajah Nanami-san yang berubah menjadi sangat menyeramkan membuat mereka semua segera berlari masuk ke dalam toko.

"Sial! Kenapa jurei selalu saja menggangguku! Jujutsushi dan Jurei sialan! Itadori-san, kau juga berlindunglah di dalam sampai aku selesai memusnahkan jurei ini."

"Ba, baik."

Wajah Nanami-san benar-benar berubah jadi menyeramkan. Aku bahkan dapat melihat urat nadi kesal di keningnya menonjol dengan sangat jelas. Kedua tangannya mengepal sangat kencang. Sambil memasukkan kacamatanya ke dalam saku celananya ia mulai berjalan ke arah jurei itu.

Saat aku akan berlari ke dalam toko, pasangan ibu dan anak yang ikut berlari sambil berpegangan tangan di belakangku terjatuh. Ibu itu tidak bisa kembali bangun karena kakinya sepertinya terkilir. Anak kecil yang ada dalam pelukannya seketika menangis dengan kencang. Jurei yang telah selesai melahap mangsanya itu segera mengalihkan pandangannya pada ibu dan anak itu.

Anak itu menangis semakin kencang. Ia pasti bisa melihat jurei itu. Dengan cepat Nanami-san segera berlari menuju pasangan ibu anak itu dan meninju jurei itu hingga terpental jauh ke dalam hutan.

Aku segera menghampiri mereka bertiga.

"Itadori-san bantu Ibu ini untuk berjalan dan tetap berlindunglah di dalam toko sampai aku selesai."

"Ba, baik."

Aku segera menuntun pasangan Ibu dan anak untuk masuk ke dalam toko sementara itu Nanami-san dengan cepat berlari masuk ke dalam hutan.

Saat aku masuk ke dalam toko, mereka semua langsung menghujaniku dengan banyak pertanyaan secara bersamaan. Aku menjadi terpojok dan tidak bisa menjawab apapun.

"SEMUA DIAM DAN DENGARKAN AKU!"

Tanpa disangka istri pemilik toko roti yang sedang hamil itu berteriak kencang sehingga membuat semua yang ada di dalam ruangan jadi terdiam. Beberapa saat setelahnya terdengar seperti suara ledakan dari arah hutan.

"Pergilah dan selamatkan kekasihmu. Kalian berdua Jujutsushi kan? Aku yang akan menjelaskan apa yang telah terjadi pada semua yang ada di sini. Makhluk itu jurei tingkat 1 yang sangat berbahaya."

Aku tidak tahu mengapa istri seorang pemilik toko roti bisa mengetahui tentang Jujutsushi dan bahkan tentang tingkatan jurei. Tapi dari tatapan matanya aku tahu bahwa ia tidak berbohong. Setelah menundukkan kepalaku padanya aku segera berlari keluar toko menuju hutan.

Walau aku tahu aku tidak akan bisa berbuat apapun saat berhasil menyusul Nanami-san tapi kakiku tetap berlari. Hari dimana Ibuku pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya terbayang jelas di dalam kepalaku. Aku merasa takut. Aku takut kehilangan Nanami-san. Aku tidak ingin merasakan perasaan seperti itu lagi!

"Nanami-san! Eh?"

Tiba-tiba saja angin menghembusku dengan kuat dan di hadapanku telah berdiri jurei menyeramkan itu sambil menggeliat-geliatkan belalainya yang sangat panjang.

"La… Par… Kau… Ter… Lihat… Enak..."

Kedua kakiku seketika mati rasa. Aku jatuh terduduk dan tidak bisa menggerakkan tubuhku. Ini bukan pertama kalinya aku melihat jurei. Tapi bertemu dengan jurei yang bisa berbicara adalah pertama kalinya bagiku. Aku kembali teringat pada cerita Yuuji yang mengatakan bahwa ada jurei tingkat tinggi yang dapat berbicara dan berkomunikasi dengan manusia. Walau terbata-bata tapi jurei ini bisa berbahasa manusia. Perkataan istri pemilik toko roti yang mengatakan bahwa makhluk ini adalah jurei tingkat 1 pasti benar adanya.

Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suaraku untuk berteriak. Aura menyeramkan yang dipancarkan jurei itu membuat sekujur tubuhku gemetar hebat.

"YUME!"

Aku mendengar suara yang sangat kukenal memanggil namaku dari jauh. Kugerakkan kepalaku secara perlahan menuju asal suara. Walau pandanganku terlihat kabur karena air mataku, aku tahu di sana ada Nanami-san yang sedang berlari ke arahku, "Na… Nanami-san…" ucapku dengan suara yang tercekat.

"YUME DIAM DAN JANGAN BERGERAK!"

Sedetik setelah Nanami-san berteriak seperti itu, jurei itu dengan cepat menjulurkan belalainya yang sangat panjang untuk menusuk tepat menuju wajahku.

Tidak mungkin…

Padahal aku belum mengatakan perasaanku pada Nanami-san… Aku masih bisa mendengar teriakannya yang memanggil namaku.

Yuuji maafkan aku… Aku tidak bisa memperlihatkan diriku yang sedang mengenakan gaun pengantin…

Sepersekian detik sebelum ujung belalai jurei menyentuh wajahku, bayangan hitam muncul dan menutupi pandanganku. Suara dingin yang sangat menusuk masuk ke dalam sistem pendengaranku.

"Siapa bilang kau boleh menyentuh adikku? Kotoran."

"Go, Gojou-san?!" pekik Nanami-san.

Eh? Gojou?

"Kyoshiki Murasaki[3]."

Sesaat setelah itu cahaya ungu yang menyilaukan terpancar melesat menuju jurei dan melahap jurei serta semua yang dilaluinya. Beberapa detik setelah cahaya itu menghilang, jurei dan pepohonan yang ada di jalur cahaya itu telah lenyap dan meninggalkan tanah gosong berwarna gelap seperti habis terbakar oleh api.

"Syukurlah aku tepat waktu Yume-chan~! Kau tidak perlu takut lagi. Kakak sudah datang menolongmu~!"

Pria nyentrik mesum, bukan, pria mesum yang mengangguku di toko roti waktu itu baru saja melenyapkan jurei yang menyerangku sekaligus melenyapkan sebagian besar wilayah hutan yang ada di pegunungan itu. Tanpa menunggu persetujuanku ia langsung memelukku dan menggosok-gosokkan sebelah pipinya pada pipiku. Karena masih tidak mengerti mengapa seorang pria mesum memiliki kekuatan yang dahsyat seperti itu dan menolongku, aku hanya diam terpaku sambil menunjukkan wajah bengongku.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Adik? Kakak katanya?

Di tengah kebingunganku, Nanami-san segera menarik tubuhku dari pelukan pria mesum dan membawaku ke dalam pelukannya.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini Gojou-san?!"

"Eh~? Tentu saja menyelamatkan adikku dari jurei lemah karena seseorang yang tidak berdaya sama sekali."

"Cih! Jangan bercanda Gojou-san. Kuganti pertanyaanku, mengapa kau bisa ada di tempat ini?"

"Aku tidak sedang bercanda kok. Ah, aku ada disini tentu saja karena aku membuntuti kalian."

"Hah?!"

Nanami-san menarik napasnya dalam-dalam. Aku bisa merasakan dada bidangnya yang sedikit terangkat karena wajahku yang sedang dibenamkan pada dadanya. Sebenarnya aku ingin segera melepaskan diri karena jantungku serasa akan meledak namun dekapan Nanami-san terasa sangat erat. Sama seperti saat Yuuji memelukku. Mereka memang Ayah dan anak dengan kekuatan yang luar biasa. Atau mungkin hanya aku saja yang terlalu lemah.

"Apa maksud perkataanmu tadi? Kau pasti sedang bercanda saat mengatakan bahwa kau adalah kakak dari Yume kan?"

"…"

Mendengar perkataan Nanami-san, pria mesum yang dipanggil sebagai Gojou-san itu memperlihatkan ekspresi wajah yang sangat serius sambil melepas kacamata hitam yang ia kenakan. Mata berwarna biru terang miliknya kemudian menatap tajam ke arah kami berdua.

"Nanami… Apakah kau tidak bisa melihat kemiripan wajah dan warna mata kami? Kau pikir ini apa? Sebuah kebetulan? Doppelganger? Tentu saja bukan. Itu karena kami berhubungan darah. Yume adalah adikku. Yah… Lebih tepatnya adalah adik tiriku karena kami memiliki ibu yang berbeda."

Aku bisa merasakan tubuh Nanami-san yang sedikit terperanjat. Namun Nanami-san tidak membalas perkataannya. Walau merasa terkejut, Nanami-san pasti tidak bisa membantahnya karena apa yang dikatan oleh Gojou-san adalah benar adanya.

Tanpa menunggu respon dari kami ia pun melanjutkan, "Kau pasti tahu kan bahwa yang memiliki warna mata seperti ini hanyalah orang-orang dari keluarga Gojou kan?"

"…"

"Ibu Yume adalah seorang pelayan di rumah utama kami. Dengan kekuatan mata Rikugan[4] yang kumiliki, aku bisa langsung tahu ketika pelayan itu sedang mengandung anak dari orang itu. Aku mengancam Ibu Yume agar tidak mengatakannya pada orang itu bahwa ia sedang mengandung anaknya dan segera mengusirnya dari rumah utama. Lagipula jika keluarga lain tahu bahwa kepala keluarga Gojou melakukan hubungan gelap dengan seorang pelayan, hal itu pasti akan mencemari nama keluarga Gojou kan."

"Nah, SAATNYA UNTUK KUIS! Jangan berwajah menyeramkan seperti itu dong Nanami. Wajah biasamu saja sudah menyeramkan tahu. Kau pasti tahu bahwa banyak yang ingin menghancurkan keluarga Gojou dan mengambil alih posisi keluarga Gojou sebagai keluarga Jujutsushi yang terkuat kan? Jika orang-orang itu tahu bahwa masih ada seorang lagi selain diriku yang memiliki darah keluarga Gojou menurutmu apa yang akan mereka lakukan~?" tanya Gojou sambil mengarahkan kedua jari telunjuknya pada Nanami-san.

Nanami-san terdiam untuk sesaat dan mempererat dekapannya, "…Mereka akan mencari dan membunuh Yume."

"PINGPONG! BENNNAR SEKALI! Tapi aku tidak akan memberikan hadiah apa-apa padamu sih."

"Tidak butuh."

Setelah mengerucutkan bibirnya karena respon ketus Nanami-san, ia pun melanjutkan, "Intinya, aku berusaha untuk menjauhi Yume dan Ibunya dari dunia Jujutsu untuk melindungi mereka. Aku menyegel kekuatan Yume saat ia masih bayi dan juga mengancam Ibu Yume untuk tidak pernah mengatakan yang sebenarnya pada Yume. Ketidaktahuan akan melindunginya. Aku berusaha sebisaku. Tapi Jusoshi[5] itu licik. Mereka bahkan akhirnya bisa menemukan Ibu Yume dan membunuhnya…"

Eh? Ibu bukan meninggal karena kecelakaan?

"TAAAAAPI!"

Tiba-tiba saja Gojou-san sudah berdiri di hadapanku dan Nanami-san. Sambil tetap mendekapku Nanami-san bergerak mundur menjauhi Gojou-san.

"Muncul kejadian yang tidak terduga! Kau dan kau! Muncul di hadapan Yume sehingga Yume tahu akan keberadaan dunia Jujutsu!" Tunjuk Gojou-san ke arah Nanami-san dan ke arah sebuah pohon besar yang ada di samping kami.

Eh? Siapa yang ia tunjuk?

"Keluarlah. Percuma bersembunyi, dengan mataku kau terlihat jelas lho."

Tanpa disangka, Yuuji kemudian muncul keluar dari balik pohon besar yang ditunjuk oleh Gojou-san.

"Yuuji!" teriakku memanggil namanya, tapi tidak sedikit pun Yuuji menoleh ke arahku. Ia memandang tajam ke arah Gojou-san.

Gojou-san berjalan perlahan menuju Yuuji yang tidak bergerak dari posisinya. Saat sudah berada di hadapan Yuuji, mereka saling menatap tajam. Dengan suara baritonnya yang sedingin es di kutub Gojou-san berkata tepat di hadapan wajah Yuuji, "Kau… Siapa?"

Yuuji menelan ludahnya dan tidak menjawab pertanyaan Gojou-san.

"Oi Nanami~! Apa kau kenal dengan anak ini? Apa dia salah satu saudaramu?"

"…Bukan. Yuuji adalah keponakan dari Yume."

Mendengar jawaban Nanami-san, Gojou menjulurkan wajahnya lebih dekat ke wajah Yuuji sambil berbicara dengan nada yang terdengar sedikit kesal, "Hah? Keponakan katamu? Apa kau tidak mencerna kata-kataku barusan? Kami hanya dua bersaudara. Jika kau bilang dia keponakan Yume itu sama saja dengan mengatakan bahwa anak ini adalah anakku bukan? Aku saat melakukannya selalu menggunakan pengaman tahu! Jadi sudah pasti anak ini bukan keponakan Yume!"

Walau alasan yang diucapkannya sedikit menjijikkan tapi itu tidak salah, karena memang pada kenyataannya Yuuji bukanlah keponakanku tapi adalah anak laki-lakiku.

"Oi Nanami, kau yakin tidak punya saudara lain? Seingatku keluargamu bukan keluarga Jujutsushi kan?"

"…Ya. Aku yakin karena aku adalah anak tunggal. Lagipula, semua keluargaku saat ini ada di Denmark."

"Eh~ Kalau begitu… Siapa kau sebenarnya?"

Dengan sekuat tenagaku aku segera melepaskan diri dari pelukan Nanami-san dan berlari menuju Yuuji, "Yuuji lari! Hentikan! Tolong jangan dilanjutkan!"

"Bagaimana bisa… Di dalam dirimu mengalir Juryoku milik Nanami dan keluarga Gojou?"

"Eh?!"

Itulah pertama kalinya aku mendengar suara keterkejutan dari Nanami-san.


[1] Teknik kutukan.

[2] Baju terusan.

[3] Jutsushiki keluarga Gojou yang merupakan gabungan dari 2 Jutsushiki yang menghasilkan kekuatan sangat destruktif yaitu menghapuskan dan menghancurkan semua materi yang berada di jalurnya secara instan.

[4] 6 Mata = Teknik kutukan bawaan lahir yang diwariskan secara turun-temurun di keluarga Gojou. Memberikan kemampuan persepsi luar biasa dan kemampuan untuk memanfaatkan ruang tanpa batas secara maksimal.

[5] Sebutan untuk shaman jahat, Jujutsushi yang menggunakan kemampuannya untuk niat dan perbuatan jahat seperti membunuh.