Seberapa keras pun aku berdoa agar waktu untuk dapat berhenti, namun pada kenyataannya waktu bergulir dengan cepat. Dekorasi, pernak-pernik, dan iluminasi khas hari natal telah penuh menghiasi perkotaan. Tanggal 24 Desember yang sangat kutakuti akhirnya akan tiba esok hari.

Seperti biasa hari ini pun Yuuji menjemputku pulang dari kantor. Namun sepanjang perjalanan pulang ia jadi lebih pendiam daripada biasanya. Saat kutanya pun ia hanya merespon singkat atau hanya menganggukkan kepalanya. Bahkan Yuuji yang biasanya akan sangat bersemangat saat makan malam, saat kutanya menu makan malam, ia hanya menjawab terserah dan langsung pergi masuk ke kamar mandi untuk berendam.

Apa ini perasaan seorang ibu ketika anaknya sedang dalam masa pemberontakan?

Bukannya aku tidak paham dengan perasaan Yuuji. Jika ingin kuungkapkan, rasanya aku mungkin bisa saja menyerahkan jiwaku pada iblis agar waktu dapat berhenti. Sejak malam itu, Nanami-san tidak pernah datang lagi. Bahkan pesanku di chat pun sama sekali tidak dibaca olehnya. Aku takut. Ketika Yuuji sudah terlelap tidur, di tengah malam aku pasti akan terbangun dan diam-diam mengurung diriku di kamar mandi untuk menangis.

Aku tidak bisa melakukan apapun.

Aku tidak bisa menemukan cara untuk melepaskan segel kekuatanku.

Walaupun begitu.

Setidaknya aku tidak boleh menunjukkan kelemahanku pada Yuuji. Aku tidak boleh membuatnya khawatir. Jika Yuuji tahu bahwa aku menangis dan merasa cemas, ia pasti akan merasa sedih dan menyalahkan dirinya sendiri lagi. Aku harus menunjukkan pada Yuuji bahwa aku baik-baik saja.

Malam ini aku memasakkan hamburger untuk Yuuji. Menu yang kami makan bersama di malam pertama kali aku bertemu dengan Yuuji. Aku kembali teringat pada hari di awal musim semi itu. Tiba-tiba saja Yuuji muncul di hadapanku membuatku sangat kebingungan dengan mengatakan bahwa aku adalah Ibunya. Padahal baru beberapa bulan berlalu sejak hari itu, tapi rasanya seperti sudah lama sekali.

"Yuuji… Yuuji… Yuu-chan."

"Eh?"

Potongan daging hamburger yang sedang disuap Yuuji jatuh keluar dari mulutnya. Dengan matanya yang terbelalak Yuuji melihatku tanpa berkedip.

"Duh Yuu-chan… Kau tidak boleh makan dengan berantakan seperti ini lho. Jika Tousan melihatnya, kau pasti akan diceramahi panjang dengan tata krama meja," ucapku lembut sambil membersihkan sudut bibir Yuuji yang terkena saus dengan tisu.

"Eh, Ka, Kaachan? Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa Kaachan memanggilku dengan panggilan Yuu-chan?"

"Habis Yuu-chan tidak meresponku dan diam saja saat kupanggil Yuuji sih."

"Maafkan aku Kaachan…" jawab Yuuji lirih sambil meletakkan pisau dan garpunya pada piring. Ia kembali menundukkan kepalanya.

"Aku tidak sedang memarahimu kok. Apa kau tidak suka kupanggil Yuu-chan?"

"Ti, tidak mungkin tidak suka kan! Walau memang sedikit memalukan, tapi rasanya… Sangat nostalgia sekali…"

"Syukurlah…"

"Kaachan maaf…"

Kuletakkan garpu yang sedang kupegang di atas piring dan kemudian kugenggam tangan kiri Yuuji yang ada di atas meja dengan sangat erat, "Yuu-chan dengarkan aku."

Yuuji menganggukkan kepalanya dan memandang lurus ke dalam mataku.

"Sejak kecil aku hanya hidup berdua saja dengan ibuku. Dan karena kemampuanku yang bisa melihat jurei dan makhluk tidak terlihat lainnya maka tidak ada yang bisa memahamiku. Bahkan Ibuku sendiri karena ia tidak memiliki kemampuan melihat. Sejujurnya, aku tidak begitu dekat dengan Ibuku. Walau ia tidak pernah menyakitiku dan merawatku dengan baik tapi aku bisa merasakan bahwa ia sedikit takut denganku. Setiap melihat wajahku tepatnya mataku ia pasti akan memperlihatkan ekspresi wajah canggung. Dulu aku tidak tahu apa alasannya. Tapi berdasarkan cerita dari Niisan akhirnya kini aku paham. Ibuku ternyata takut dengan darah Gojou yang mengalir di dalam diriku…"

"Kaachan…"

"Walaupun begitu, walau ia tidak memahamiku, hanya Ibu satu-satunya keluarga yang aku miliki sehingga saat Ibu meninggal aku menjadi sangat terguncang. Akhirnya aku menjadi benar-benar seorang diri di dunia ini..."

Yuuji mengigit bibir bawahnya yang bergetar dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan agar air matanya tidak keluar. Sambil tersenyum lembut menatapnya aku melanjutkan ceritaku, "Setelah Ibu meninggal, karena wali kelasku yang menaruh perhatian lebih padaku, aku mengalami perisakan di sekolah. Tapi aku bisa bertahan dan melupakan perasaan sedih itu karena disibukkan dengan kerja sambilan dan persiapan ujian masuk universitas. Aku harus belajar lebih keras karena harus mendapatkan beasiswa. Kemudian saat kuliah pun, aku terus belajar, kerja sambilan, dan melakukan penelitian. Tanpa terasa aku kemudian lulus dari universitas dan kemudian sudah harus mencari pekerjaan. Aku kemudian tersadar. Ah… Selama ini ternyata aku selalu sendirian ya. Walau aku tidak tahu tujuan hidupku. Aku terus melangkah dan kemudian… Aku akhirnya bertemu dengan ayahmu."

"Bertemu dengan Touchan…?"

Sambil tersenyum lembut kuanggukkan kepalaku, "Ya. Saat itu di mataku Nanami-san terlihat bagaikan seorang malaikat. Ia menemukan diriku yang sedang meringkuk di sudut terkecil dunia ini. Dengan kebaikan hatinya Nanami-san telah menolongku dan menyelamatkan hatiku. Sejak hari itu, tanpa sadar aku selalu memperhatikannya dan jadi semakin menyukainya. Tapi aku sadar bahwa aku berada di dunia yang berbeda dengan Nanami-san. Nanami-san adalah sosok sosok sempurna yang ada di atas angin, jangankan menyentuhnya, menggapainya saja aku tidak mampu."

"Memang sih… Touchan sangat keren…"

"Yakan? Oleh karena itu, saat Yuu-chan pertama kali muncul di hadapanku dan berkata bahwa Yuu-chan adalah anakku dan Nanami-san yang datang dari masa depan aku sangat tidak bisa mempercayainya," ujarku sambil menggelengkan kepalaku. Benar… Saat itu rasanya benar-benar mustahil. Tapi…

"Tapi karena kehadiran Yuu-chan, semua hal yang mustahil itu menjadi kenyataan. Aku sudah tidak sendirian lagi di dunia ini. Aku bisa tertawa dan mengalami banyak hal-hal baru yang menyenangkan. Yuu-chan telah merubah dan mewarnai hidupku. Saat aku pulang kerja dan melihat sekumpulan anak SMA berseragam, aku pasti akan selalu teringat pada Yuu-chan, memikirkan menu makan malam apa yang akan membuat Yuu-chan makan dengan lahap, melihat wajah Yuu-chan yang tertidur pulas, mendengar tawa Yuu-chan… Semua itu… Hal kecil dan sederhana yang mungkin bagi orang lain biasa saja… Tapi bagiku itu adalah hal yang sangat sangat berharga…"

Kugenggam tangan Yuuji semakin erat, "…Dari lubuk hatiku yang terdalam aku sangat bersyukur. Aku sungguh-sungguh bersyukur bahwa di masa depan aku telah melahirkan dan membesarkan anak yang sangat hebat, kuat, ceria, dan baik hati seperti Yuu-chan. Oleh karena itulah, berhenti menyalahkan dirimu sendiri ya."

Saat aku mengakhiri perkataanku, Yuuji tidak bisa lagi menahan air matanya dan mulai menangis. Ia menangis dengan sangat kencang. Saat kupeluk tubuhnya yang lebih besar daripada tubuhku itu, Yuuji langsung menempelkan wajahnya pada perutku dan menangis dengan suara yang teredam. Sambil menyenandungkan lagu pengantar tidur yang selalu Ibuku nyanyikan untukku, aku menepuk-nepuk kepala Yuuji dengan lembut.

Bagaikan seorang anak bayi, setelah puas menangis Yuuji menjadi mengantuk. Aku pun langsung menuntunnya untuk tidur di dalam kamar. Setelah menidurkannya aku kemudian membereskan makan malam dan mencuci peralatan makan.

Di saat aku sedang mencuci piring, smartphoneku berdering. Nanami-san menghubungiku. Suara rendahnya yang menenangkan itu membelai sistem pendengaranku dan melenyapkan semua kegelishan yang kurasakan dalam sekejap. Kemudian kuceritakan padanya tentang hal yang baru saja terjadi padaku dan Yuuji saat makan malam.

"Padahal di depanku ia tidak pernah menangis seperti itu."

Mendengar respon Nanami-san membuatku tertawa kecil, "Tentu saja. Yuuji kan seorang anak laki-laki. Ia tidak akan pernah memperlihatkan sisi lemahnya di hadapan ayahnya yang terkenal sebagai gorila Jujutsushi tingkat 1 terkuat."

"Yume kumohon. Berhenti berbicara seperti Gojou-san."

Aku kembali tertawa. Syukurlah. Ternyata Nanami-san masih bisa bersikap biasa. Aku sedikit khawatir padanya. Tidak seperti Yuuji, karena Nanami-san tidak akan pernah memperlihatkan kelemahannya.

"Nanami-san… Maafkan aku…"

"…Untuk apa?"

"Karena aku tidak bisa melakukan apapun untuk Nanami-san… Selalu saja aku yang dilindungi oleh Nanami-san dan lainnya…"

"Yume…"

"Ya?"

Aku bisa mendengar suara helaan napas Nanami-san yang sangat berat dari seberang. Apakah ia akan mengomeliku?

"…Aku ingin kau mengerti bahwa sudah menjadi tugasku untuk melindungimu. Sudah sewajarnya seorang pria melindungi wanita yang dicintainya."

"…"

Mengatakan hal seperti itu langsung tepat ke dalam telingaku tentu saja membuatku tidak dapat berkutik. Rasanya saat ini kepulan asap sedang keluar dari atas kepalaku.

"Baiklah… A, aku mengerti."

"Benarkah?"

"Te, tentu saja! Nanami-san tidak mempercayaiku?"

Nanami-san tertawa kecil, "Sampai kapan pun aku akan selalu mempercayaimu."

Makanya kan… Sudah kubilang jangan mengatakan hal yang curang seperti itu…

"Nanami-san… Kumohon berjanjilah satu hal padaku."

"Ya…?"

"Jangan membahayakan dirimu dan kembalilah dengan selamat."

"…Aa, aku janji."

Aku tahu bahkan Nanami-san pun mungkin tahu bahwa janji itu mungkin saja akan sulit untuk ditepati. Tapi walau bagaimanapun aku ingin mempercayainya. Aku ingin percaya bahwa ada masa depan lain dimana aku, Nanami-san, dan Yuuji bisa hidup bahagia bertiga sebagai sebuah keluarga.

Saat aku bangun keesokan paginya, Yuuji sudah tidak ada di sampingku. Ia meninggalkan secarik kertas yang diletakkan di atas bantal tempatnya tidur dan dituliskan dengan huruf besar-besar yang berantakan, 'Aku berangkat!'

Syukurlah Yuuji sudah kembali seperti biasa. Dalam hati aku langsung mendoakan keselamatannya.

Sesuai perintah Niisan, hari ini aku tidak berangkat kerja dan mengambil libur. Karena diam menunggu saja justru hanya membuatku merasa tidak tenang, aku mulai menggerakkan tubuhku dengan membersihkan rumah dan bahkan menjemur kasur futon di beranda. Aku ingin saat Yuuji pulang nanti ia bisa tidur di kasur yang hangat.

Tanpa terasa sebentar lagi akan menunjukkan waktu petang. Aku kembali menjadi sadar dengan kenyataan. Langit juga sudah berubah menjadi semakin gelap. Apakah pertarungan sudah dimulai? Sambil mengaitkan kedua tanganku di depan dada aku mulai berdoa agar Nanami-san, Yuuji, dan juga Niisan dapat pulang dengan selamat.

Di tengah-tengah kecemasanku, kemudian bel kamarku berbunyi. Saat kupikir mungkin Yuuji atau Nanami-san sudah kembali, ternyata yang muncul di depan pintu kamarku adalah seorang lelaki kurus berwajah gugup. Karena ia mengenakan pakaian jas lengkap berwarna hitam yang sangat rapi aku tidak mengiranya sebagai orang jahat. Tapi…

"Maaf saya tidak tertarik dengan kepercayaan Anda."

"Aku datang kesini bukan untuk mengajak Anda masuk ke dalam sekte!"

Setelah berteriak seperti itu, laki-laki kurus itu kemudian memberikan kartu namanya padaku dan memperkenalkan diri sebagai seorang asisten pengawas dari Kousen bernama Ijichi Kiyotaka. Ia berkata bahwa ia datang ke tempatku atas perintah Niisan dan ditugaskan untuk mengawasiku.

Aku mempersilakannya untuk masuk dan membuatkannya teh hangat.

"Di luar pasti dingin sekali kan, silakan diminum Ijichi-san."

Ijichi-san terlihat sedikit kaget saat kusuguhkan minuman.

"A, apa Anda benar-benar adik Gojou-san?"

Ah, aku langsung paham. Ia pasti adalah salah satu korban dari ulah Niisan, "Sayangnya begitu," jawabku sambil menghela napas berat.

Ijichi-san langsung meminta maaf padaku dan berkata tidak bermaksud membuatku tersinggung. Ia hanya heran karena sikapku yang sangat baik berbeda sekali dengan Niisan.

"Pasti sedang sangat genting sekali kan situasi sekarang. Seharusnya Ijichi-san tidak perlu datang kemari dan membantu yang lainnya. Kudengar Kousen selalu kekurangan orang."

"Ah, Be, benar sekali. Tapi aku lebih takut jika tidak menuruti perintah Gojou-san."

Sosok wajah Niisan yang sedang tertawa cengengesan kemudian terbayang di dalam kepalaku.

"Eh? Kenapa takut dengan orang seperti itu?"

"Eh?! Ha, habisnya Gojou-san sangat menyeramkan! Sentilannya itu sangat keras dan menyakitkan!" pekik Ijichi-san sambil menutupi keningnya dengan kedua tangannya. Sudah jelas ia trauma. Ia pasti sudah pernah merasakan langsung sentilan dari Niisan.

"La, lagipula, aku juga tidak bisa menolak permintaan dari Nanami-san."

"Bahkan sampai Nanami-san?"

"Ya! Aku sangat senang sekali saat akhirnya Nanami-san memutuskan untuk kembali menjadi Jujutsushi!"

Rasanya aku tidak ingin meruntuhkan senyuman Ijichi-san dengan mengatakan bahwa Nanami-san sebenarnya kembali karena paksaan dari Niisan. Jadi aku hanya tersenyum. Sepertinya Ijichi-san adalah orang yang lebih polos dibandingkan diriku.

"Tapi ternyata kemudian malah terjadi peristiwa seperti ini… Aku tidak menyangka bahwa Geto-san akan kembali muncul dengan cara seperti ini…" ucap Ijichi-san sambil menghela napas berat dengan kepala yang tertunduk.

"Berarti Ijichi-san juga mengenal Geto-san?"

"Ya. Geto-san adalah teman seangkatan Gojou-san dan Ieri-san. Mereka bertiga adalah senior yang berada dua tingkat di atasku. Sementara itu, Nanami-san adalah senior setahun di atasku."

Teman seangkatan… Pantas saja mereka saling memanggil nama kecil.

Pastinya benar mereka dulu sangat akrab, karena berdasarkan cerita Yuuji, Kousen adalah sekolah dengan asrama. Mereka pasti banyak menghabiskan waktu bersama baik ketika belajar di sekolah ataupun saat sedang mengerjakan misi. Tapi ternyata kemudian sahabatnya berkhianat. Sebagai seorang mantan sahabat, Niisan pasti merasa bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Geto-san ini adalah tanggung jawabnya.

'PING PONG'

Suara bel kamarku kembali berbunyi. Apa kali ini benar-benar Yuuji yang kembali?

Saat aku ingin beranjak bangun dari kursi untuk melihat siapa yang telah memencet bel, Ijichi-san mencegahku dengan ekspresi wajah yang berubah serius, "Itadori-san tunggu saja di sini. Biar aku yang melihatnya."

Melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu tentu saja aku tidak bisa membantah dan hanya bisa membalas dengan anggukan.

Saat aku berjalan menuju beranda untuk menutup pintu beranda dengan gorden karena langit sudah menjadi gelap, tiba-tiba saja terdengar suara derap langkah kaki yang cepat dari arah pintu. Spontan aku langsung menolehkan kepalaku dan melihat Ijichi-san berdiri di ambang pintu ruang tamu sambil memegang dadanya yang berlubang.

"ITADORI-SAN CEPAT LARI DARI SINI! GETO-SAN ADA DI DEPAN PINTU!"

Eh?! Aku harus lari kemana?!

Setelah berteriak seperti itu Ijichi-san langsung jatuh terkapar dan tidak sadarkan diri. Tubuhku bergetar. Aku ingin berteriak tapi aku tidak boleh melakukannya karena pasti akan terdengar oleh Geto-san yang ada di depan pintu. Sambil membekap mulutku sendiri dengan kedua tanganku aku mulai berpikir. Aku harus lari kabur kemana jika di pintu depan ada Geto-san yang sedang menungguku?!

Derap langkah kaki yang berat kemudian terdengar dan membuat udara di sekitarku seolah membeku. Setapak demi setapak. Suaranya bergema melalui dinding rumahku dan terdengar semakin mendekat. Aku mengenal aura mengerikan ini. Geto-san sedang melangkah masuk ke dalam rumahku! Aku harus segera lari!

Saat melihat beranda, insting hidupku segera mengirim perintah ke sel-sel kakiku untuk melompat melalui beranda. Aku tahu mustahil melompat dari lantai 3 dalam keadaan selamat. Dengan gerakan cepat aku segera menjatuhkan futon ke bawah dan ikut melompat bersamanya.

Aku sungguh sangat ingin berteriak sekencang-kencangnya karena rasa sakit yang kurasakan pada kaki dan tubuhku ketika mendarat. Walau aku mendarat di atas futon tapi rasanya tetap sangat menyakitkan. Jika aku berteriak Geto-san pasti akan menemukanku. Aku segera memaksakan tubuhku untuk bergerak dan mulai berlari.

Aku terus berlari tanpa arah dengan kaki yang terpincang-pincang. Karena aku hanya mengenakan sandal rumah, aspal jalanan yang keras membuat telapak kakiku terasa sakit dan perih. Rasa sakit dan nyeri pada kakiku semakin mengurangi kecepatan berlariku dan akhirnya aku pun jatuh tersandung.

"Sakit…" erangku sambil melihat ke arah pergelangan kaki kiriku yang ternyata telah membengkak.

"…Aa, aku janji."

Saat aku ingin menangis, suara Nanami-san tiba-tiba saja terdengar di dalam kepalaku.

Benar… Aku telah berjanji pada Nanami-san. Aku tidak boleh menyerah disini. Aku harus percaya. Pasti ada masa depan dimana aku bisa hidup bahagia bertiga bersama mereka!

"Bergeraklah kakiku!" teriakku sambil mengangkat kaki kiriku dengan susah payah dan kembali mencoba berlari.

"Sebaiknya kau berhenti lho. Jika kau terus berlari dengan kaki seperti itu, mungkin selamanya kau tidak akan bisa berjalan lagi."

Tiba-tiba saja Geto-san telah berdiri di hadapanku dengan senyumannya yang bagiku terasa sangat mengerikan. Sama seperti waktu itu, saat melihat senyuman itu tubuhku jadi membeku dan tidak bisa digerakkan.

Geto-san kemudian berjalan menghampiriku dengan perlahan. Saat aku melangkahkan kakiku untuk mundur menjauhinya aku justru terjatuh.

Melihatku yang telah terjatuh tidak berdaya, Geto-san berjongkok di hadapanku sambil menyeringai sangat lebar. Ia menyentuh kaki kiriku yang bengkak dan dengan jari telunjuknya ia mulai menekan-nekan bagian yang bengkak.

"Apa kau tahu wahai adik perempuan Satoru? Aku sangat merasa jijik dan membenci para monyet! Ah, maksudku bukan monyet yang sesungguhnya… Aku menyebut para Hijutsushi dengan sebutan monyet. Mereka tidak mempunyai kekuatan apapun tapi mereka hanya bisa berisik dan terus menerus menimbulkan kesedihan dan kesengsaraan di dunia ini…"

"Ka, kalau begitu… Kau juga seharusnya jijik padaku dan tidak menyentuhku."

Entah apa yang merasukiku hingga aku berani berkata seperti itu pada Geto-san. Bahkan Geto-san sendiri pun menunjukkan ekspresi terkejut hingga membelalakkan kedua matanya yang sipit itu.

"HAHAHA! Adik perempuan Satoru memang menarik! Tidak kusangka kau akan berani membalas perkataanku!"

Suara tawa membahananya membuat bulu kuduk di sekujur tubuhku berdiri. Aku segera menarik kaki kiriku. Namun dengan kencang Geto-san kembali menarik dan mencengkramnya membuatku mengeluarkan erangan rasa sakit yang memilukan.

"Aku tahu bahwa kau bukan seorang monyet. Satoru hanya menyegel kekuatanmu. Jika kulepas segel kekuatanmu, aku bisa menyerap kekuatanmu dan menjadikannya milikku. Memiliki kekuatan keluarga Gojou akan membuatku tidak terkalahkan dan akhirnya aku bisa membunuh semua Hijutsushi di muka bumi ini!"

Mataku mulai berkunang-kunang karena rasa sakit yang kurasakan dari kaki bengkakku yang dicengkram dengan begitu kuat oleh Geto-san.

"Nah, apakah akhirnya kau sadar tujuan sebenarnya dari perang ini?"

Aku sudah tidak punya kekuatan untuk menjawabnya. Entah karena rasa sakit di kakiku atau karena rasa takutku pada Geto-san yang sudah tidak terkendali, napasku mulai tersengal-sengal dan dadaku mulai terasa sesak. Namun Geto-san tidak mempedulikanku dan terus berbicara.

"Tujuan perang ini adalah untuk mengisolasi dirimu dan menjauhkanmu dari para Jujutsushi! Sementara Satoru dan yang lainnya bertarung dengan anak buahku dan para jurei yang kulepaskan, tugasku di sini adalah untuk melepas segel kekuatanmu dan menyerapnya ke dalam tubuhku."

Geto-san semakin memperkuat cengkramannya pada pergelangan kaki kiriku.

"Eh? Kau ingin tahu bagaiamana caraku melepas segel kekuatanmu? Itu mudah saja. Hanya dengan membunuhmu…"

"Tookaku Juhou[1]!"

Tiba-tiba saja seseorang menebas tangan Geto-san yang sedang menyentuh kaki kiriku dan menarik tubuhku menjauhi Geto-san.

Walau saat ini aku sedang tidak dapat melihatnya dengan jelas karena pandanganku yang agak kabur, namun aku sangat mengenali suara itu. Suara bernada rendah yang sangat kusukai. Suara milik Nanami-san.

"Yume! Yume!"

Nanami-san terus menerus memanggil namaku sambil menyentuh wajahku dengan tangan besar dan hangatnya. Namun aku tidak bisa meresponnya karena dadaku yang masih terasa sesak dan tersengal-sengal. Saat melihat bagian pergelangan kaki kiriku, kedua mata Nanami-san membelalak sempurna di balik kaca mata berlensa hijau gelap tanpa lengannya, ia pun mengerang dengan suara mengerikan yang belum pernah kudengar, "Brengsek kau Geto-san!"

Tangan Geto-san yang beberapa detik lalu seharusnya telah hancur oleh Jutsushiki Nanami-san, segera kembali pulih dengan sempurna. Geto-san pun tertawa keras dengan suara yang sangat mengerikan, "Nanami-kun… Aku terkejut sekali lho… Padahal dulu kau hanya berkata kasar pada Satoru saja…"

"Akulah yang akan menghentikanmu Geto-san!"

Sesaat setelah berkata seperti itu Nanami-san langsung melesat maju ke arah Geto-san dan menebaskan pedangnya pada Geto-san dengan membabi buta. Namun dengan gerakan yang cepat Geto-san juga bisa menghindari setiap tebasan yang diayunkan oleh Nanami-san.

Untuk sejenak mereka saling berhenti menyerang dan saling melompat mundur menjauh. Nanami-san memasang kuda-kudanya lebih rendah dengan tetap memegang pedang di tangan kanannya. Sementara itu Geto-san mengeluarkan sebuah senjata kutukan tingkat tinggi berbentuk seperti nunchaku[2] dari dalam jubah kesanya. Nunchaku itu berwarna merah dengan garis hitam melingkar pada ujungnya. Ia pun mulai memutar-mutar senjata itu dengan cepat.

"Ternyata kehebatan dan kecepatanmu masih belum berubah ya Nanami-kun. Kau memang murid teladan. Jika saja Haibara-kun masih hidup, kalian pasti akan menjadi pasangan Jujutsushi yang sangat kuat saat ini."

Nanami-san tidak merespon perkataan Geto-san. Tapi aku bisa merasakan Juryoku Nanami-san yang menguar semakin kuat. Aku tahu saat ini Nanami-san sedang marah.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Nanami-san kembali berlari dengan cepat menuju Geto-san sambil mengayunkan pedangnya. Berkali-kali aku bisa mendengar dengan jelas suara kedua senjata yang saling berbenturan.

Mungkin karena aku melihat pertarungan mereka sambil berbaring, mataku tidak bisa mengikuti pergerakan meraka. Gerakan mereka berdua begitu cepat. Sangat cepat. Ini pertama kalinya aku melihat Nanami-san melakukan pertarungan dengan intensitas yang tinggi seperti ini.

Dengan gerakan yang sangat gesit, Geto-san berlari memutar menuju ke arahku dan kemudian memanjangkan senjatanya untuk mengenai tubuhku. Spontan aku langsung memejamkan mataku karena aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhku untuk menghindarinya.

Suara benturan yang sangat keras terdengar sangat dekat di telingaku. Untuk sesaat aku tidak bisa melihat apapun karena di sekelilingku dipenuhi dengan kepulan debu. Walau ternyata aku tidak terkena serangan Geto-san, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di hadapanku.

"Na, Nanami-san…" dengan suara yang lirih aku mencoba memanggil namanya. Namun tidak ada balasan.

Perlahan kepulan debu di sekitarku mulai menghilang dan kini aku bisa melihat Nanami-san ada di hadapanku dengan posisi kuda-kuda yang sangat rendah. Ia berhasil menahan serangan nunchaku Geto-san dengan pedang tumpulnya. Geto-san langsung menarik kembali nunchakunya dan bergerak mundur. Begitu pun dengan Nanami-san. Ia langsung berlutut di sampingku sambil menyentuh wajahku.

"Kau tidak apa-apa Yume?!"

Pertanyaan itu sepertinya lebih tepat ditujukan untuknya karena darah segar perlahan mengalir dari bagian pelipis Nanami-san. Sementara itu kacamata tanpa lengannya sepertinya sudah hancur dan entah terjatuh dimana.

"Aku baik-baik saja… Daripada itu, kumohon Nanami-san pergilah dari sini… Jangan hadapi Geto-san... Aku tidak mau… Apa yang terjadi di masa depan akan menjadi kenyataan…" ucapku lirih sambil menyentuh tangan Nanami-san yang berada pada wajahku. Geto-san hanya menginginkan kekuatanku. Kurasa jika aku mengajaknya bicara baik-baik agar dapat mencari cara menyerap kekuatanku tanpa perlu membunuhku, aku akan memberikan kekuatan ini padanya secara cuma-cuma. Lagipula sejak awal aku memang seperti tidak memiliki kekuatan ini. Walau dengan kekuatanku nantinya akan dapat terjadi bencana yang lebih besar, itu masalah nanti. Untuk saat ini aku harus melakukan sesuatu agar Nanami-san dapat terhindar dari bahaya.

Nanami-san menarik napasnya dalam-dalam dan kemudian membentakku dengan suaranya yang sangat kencang. Bahkan Geto-san pun dibuat kaget hingga ia berhenti memutar-mutar nunchakunya.

"HAH?! APA KAU BILANG?! DASAR BODOH!"

Aku sangat terkejut. Ini adalah pertama kalinya Nanami-san membentak dan bahkan mengataiku, "Eh? Bo, bodoh? Aku?"

"Ya! Memangnya disini ada lagi orang bodoh selain dirimu Yume?!"

Entah karena stress atau apa aku tidak tahu. Tapi berulang kali dikatai bodoh walau aku tahu aku memang bodoh membuatku sedikit terguncang. Aku pun membalas perkataan Nanami-san dengan sedikit meninggikan suaraku. Entah mengapa rasa sakit yang kurasakan pada tubuhku seolah menghilang untuk sementara.

"Aku tidak bodoh! Bagaimana pun caranya aku hanya ingin menyelamatkan Nanami-san!"

"Makanya aku bilang kau bodoh!"

"Jangan bilang bodoh bodoh terus! Nanami-san sendiri juga bodoh! Nanami-san tidak mengerti perasaanku! Apa Nanami-san tahu betapa takut dan menderitanya perasaanku setiap kali aku memikirkan jika Nanami-san tidak ada di dunia ini?!"

Nanami-san tersentak mendengar teriakanku. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku tidak bisa… Membayangkan dunia tanpa Nanami-san. Diriku yang ada di masa depan pasti sangat menderita sekali. Membayangkan dirinya menangis setiap malam agar tidak terdengar oleh Yuuji membuatku merasa sangat sesak.

Melihat diriku yang terus menangis sambil terisak membuat Nanami-san mendekapku erat dan kemudian mencium keningku dengan lembut. Dengan suaranya yang sangat menenangkan dan hangat ia berkata sambil menatap kedua mataku dalam-dalam, "Maafkan aku Yume… Sama seperti dirimu yang tidak ingin kehilangan diriku… Aku juga… Tidak ingin kehilangan dirimu…"

Tiba-tiba saja terdengar suara tepuk tangan. Geto-san bertepuk tangan perlahan sambil menyeringai lebar ke arah kami berdua.

"Wah… Wah… Tidak kusangka Nanami-kun yang dulu sangat tak acuh pada apapun bisa menjadi sangat romantis seperti itu. Bukannya kau dulu mengatakan tidak tertarik dengan hubungan percintaan selama masih menjadi Jujutsushi?"

Nanami-san melepaskan dekapannya dan perlahan berdiri. Dari dalam saku celananya ia mengeluarkan dasi warna kuning bermotif bercak hitamnya dan kemudian ia lilitkan pada tangan kanannya. Sedetik setelah itu tubuh Nanami-san diselubungi oleh Juryoku yang tekanannya bahkan lebih besar dan dahsyat daripada sebelumnya. Sambil menatap tajam ke arah Geto-san, Nanami-san melangkahkan kakinya perlahan dengan tekanan berat di setiap hentakannya. Bahkan aku pun dibuat merinding karena merasakan Juryoku yang begitu dahsyat itu.

"Aa, aku dulu memang mengatakannya. Tapi hal itu tidak ada hubungannya denganmu Geto-san. Sebaiknya kau jangan banyak berbicara tentang masa lalu. Membuatku merasa muak karena kau semakin lama semakin terlihat seperti Gojou-san."

Sambil menyampirkan pedangnya pada sabuk di punggungnya, Nanami-san berlari dengan kecepatan yang bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Dengan tangannya yang terlilit dasi, Nanami-san meninju tepat ke wajah Geto-san. Kali ini Geto-san tidak cukup cepat untuk dapat menghindari serangan mendadak dari Nanami-san.

"KOKUSEN[3]!"

Tubuh Geto-san langsung melesat terlempar jauh dengan berputar dan menabrak sebuah tiang listrik. Sesaat setelah benturan itu terjadi, tiang listrik tersebut retak dan jatuh terbelah menjadi dua. Sementara itu Geto-san terbatuk-batuk memuntahkan banyak darah dari mulutnya.

Namun Nanami-san tidak berhenti sampai disitu. Ia segera berlari dan mendekati tubuh Geto-san yang masih mengalami shock dan kembali memukulinya berulang kali dengan gerakan yang sangat cepat. Akan tetapi Geto-san ternyata masih memiliki kesadaran. Ia memegang salah satu tangan Nanami-san yang akan memukulnya, dan menendang bagian perut Nanami-san hingga tubuh Nanami-san terpental.

Sambil berusaha untuk berdiri dengan memegangi perutnya, Geto-san berkata, "Seperti yang sudah diduga sebagai seorang Jujutsushi tingkat 1 kemampuanmu memang luar biasa Nanami-kun… Aku tidak percaya kau bahkan bisa memojokanku yang seorang Jujutsushi tingkat tinggi sampai seperti ini… Kalau begitu aku pun tidak akan menahan diri lagi..."

Setelah mengucapkan hal itu, dari telapak tangan Geto-san kemudian keluar jurei berwujud seperti seorang wanita yang mengenakan kimono pada jaman Heian[4] dengan rambut panjang hingga ke bagian belakang kakinya. Namun jurei itu tidak memiliki wajah seperti manusia. Jurei itu memiliki 4 mata pada wajahnya dengan senyum sangat lebar yang memperlihatkan seluruh giginya yang besar. Kedua kakinya memiliki masing-masing 4 jari dengan kuku kaki berwarna gelap.

"Seperti yang telah kau ketahui. Bahwa selain aku dan Satoru, hanya ada dua orang manusia lagi yang dianugerahi dengan sebutan 'Jujutsushi tingkat tinggi'. Tapi apa kau tahu? Untuk jurei tingkat tinggi… Semuanya berjumlah 16. Ini adalah salah satu dari ke-16 jurei itu. Jurei tingkat tinggi, Keshin Tamamo no Mae."

Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. Detik itu juga aku langsung tahu bahwa makhluk itulah yang akan membunuh Nanami-san. Dengan mengerahkan seluruh sisa kekuatanku, aku mencoba untuk bangun dan berteriak, "NANAMI-SAN LARILAH! KUMOHON! CEPAT MENYINGKIR DARI SANA!"

Aku sangat yakin bahwa Nanami-san dapat mendengar teriakanku. Namun ia tidak sedikit pun beranjak dari posisinya. Ia menarik kembali pedang yang ada di punggungnya dari sabuknya dan justru mengambil kuda-kuda seolah ia siap untuk menerima serangan dari jurei tingkat tinggi itu.

Aku berusaha untuk melangkah mendekati Nanami-san sambil menyeret kaki kiriku, "Nanami-san! Kumohon dengarkan aku!"

"JANGAN MENDEKATIKU LEBIH DARI INI YUME!"

Mendengar bentakan Nanami-san seketika membuat tubuhku membeku dan aku kembali terjatuh ke atas tanah.

"Sungguh kisah cinta yang luar biasa... Kalau begitu, sebagai hadiah dariku, aku akan membunuh kalian berdua sekaligus. Akan kubuat kalian bersama-sama pergi ke alam kematian!"

Cahaya yang sangat menyilaukan keluar dari mulut Keshin Tamamo no Mae dan kemudian melesat tepat ke arahku dan Nanami-san.

"KAACHAN!"

Saat ini aku pasti sedang berhalusinasi karena aku mendengar suara teriakan Yuuji yang memanggil namaku. Benar… Yuuji. Untuk terakhir kalinya aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin melihat senyum lebarnya yang bagaikan cahaya matahari bagiku itu.

Ya… Akhirnya aku paham mengapa walau sudah tidak ada Nanami-san, tapi diriku di masa depan tetap kuat untuk menjalani hidup… Itu semua pasti karena keberadaan Yuuji. Yuuji adalah cahaya yang ditinggalkan oleh Nanami-san untukku. Oleh karena itu, apapun yang terjadi diriku di masa depan tetap bertahan hidup dan merawat serta membesarkan Yuuji dengan penuh kasih sayang.

"YUUJI!"

Teriakan Nanami-san yang memanggil nama Yuuji menyadarkanku dan membuatku perlahan membuka mataku. Aku… Belum mati?

Saat kuangkat kepalaku, aku bisa melihat Nanami-san yang sedang berdiri di hadapanku dan Yuuji yang sedang berdiri di hadapan Nanami-san. Dengan tangan kosongnya, Yuuji telah menahan serangan cahaya dari Keshin Tamamo no Mae.

"Touchan… Kumohon segera bawa Kaachan pergi dari tempat ini…" ucap Yuuji dengan suara yang tertahan.

"…"

Walau sempat terdiam sesaat. Nanami-san segera melompat mundur, berlari menghampiriku, dan menggendongku di kedua lengannya.

"Na, Nanami-san apa yang kau lakukan?! Turunkan aku dan bantu Yuuji menahan serangan itu!"

Nanami-san diam dan tidak menjawabku. Namun aku bisa merasakan tangannya semakin kuat mencengkram bagian lengan atasku.

"Touchan, Kaachan… Maafkan aku… Selama ini aku belum bisa menjadi anak yang baik untuk kalian berdua…"

Kumohon hentikan… Jangan berbicara seperti itu Yuuji…

"Nanami-san lepaskan aku!" Aku mulai memberontak di dalam lengan Nanami-san, namun Nanami-san tidak bergeming sama sekali.

"Sebenarnya… Masih ada hal yang kurahasiakan dari kalian berdua… Aku… Selalu saja menyusahkan dan membuat Kaachan bersedih… Di masa depan, aku tidak sengaja menelan jari Sukuna, sebuah objek kutukan tingkat tinggi. Untuk mencegah bangkitnya Sukuna yang ada di dalam diriku, aku mendapat hukuman mati dari pengadilan dunia Jujutsu. Aku selalu dan selalu saja berbuat bodoh dan hanya menyusahkan Kaachan! Oleh karena itu, aku melarikan diri dengan bantuan Gojou-sensei yang kemudian menceritakan semua padaku tentang Touchan dan Kaachan. Gojou-sensei kemudian membawaku pada Master Tengen. Aku berjanji pada Master Tengen bahwa aku akan menjadi wadah untuk evolusi dirinya jika ia mengabulkan permintaanku untuk mengirimku ke masa ini. Aku ingin menebus kesalahanku… Aku akan mengorbankan diriku dan menyelamatkan Touchan agar Kaachan tidak menangis lagi …"

Entah karena suara angin yang menderu sangat kencang di sekitar kami ataukah karena diriku sendiri yang tidak ingin mengakuinya, aku sama sekali tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Yuuji.

"Yuu-chan! Jangan berkata yang aneh-aneh! Kemarilah! Yuu-chan! Kumohon jangan berbuat hal bodoh!"

"Aku bahagia… Aku bisa bertemu dan berbicara dengan Touchan yang sebelumnya sama sekali tidak kuketahui…"

"Yuu-chan dengarkan perkataan Kaachan! Nanami-san lepaskan aku!"

"Kaachan…" ucap Yuuji pelan sambil menolehkan wajahnya padaku. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang dengan sekuat tenaga menahan tangis, "Terima kasih telah melahirkanku dan membesarkanku seorang diri… Terima kasih sudah mau mempercayaiku…"

"YUU-CHAN! TIDAK! YUU-CHAN!"

Cahaya dari Keshin Tamamo no Mae semakin kuat terpancar membuat tubuh Yuuji menjadi terdorong sedikit demi sedikit. Nanami-san pun segera melompat ke atas tembok yang ada di samping kami, membuatku semakin kencang memberontak dan berusaha mengulur-ngulurkan tanganku untuk menggapai Yuuji. Air mata telah mengalir deras dari kedua bola mataku.

"Touchan… Kaachan… Kumohon… Izinkan aku untuk terlahir kembali menjadi anak kalian di masa ini…"

"YUU-CHAN!"

Detik itu juga cahaya yang lebih menyilaukan daripada cahaya yang dikeluarkan oleh Keshin Tamamo no Mae memancar dari tubuh Yuuji dan melahap cahaya yang dipancarkan oleh Keshin Tamamo no Mae dan menyebar meluas melahap apa yang ada di sekitarnya. Sosok Yuuji, Geto-san dan bahkan Keshin Tamamo no Mae lenyap terselimuti oleh cahaya misterius yang menyilaukan itu. Nanami-san segera melompat dari satu atap rumah ke atap rumah yang lain menjauhi cahaya itu sambil mendekap erat tubuhku yang masih mengulurkan tanganku ke arah Yuuji. Dengan tangannya yang tidak ia gunakan untuk menggendongku, Nanami-san menutupi kedua mataku yang berurai air mata sambil menggertakan giginya kuat-kuat.


[1] Teknik Rasio. Teknik yang menciptakan titik lemah secara paksa pada lawan dengan rasio 7:3. Saat mengenai titik itu akan menjadi pukulan kritis.

[2] Senjata yang berupa dua atau tiga batang kayu yang saling dihubungkan dengan tali atau rantai.

[3] Sebuah teknik yang menciptakan distorsi spasial ketika Jujutsushi terhubung dengan energi kutukan dalam rentang 0.0000001 detik dari pukulan fisik. Energi kutukan yang dikeluarkan menjadi berwarna hitam dan meningkatkan kekuatan pukulan fisik menjadi 2.5 kali lipatnya.

[4] 794 – 1185 M.