Naruto © Masashi Kishimoto
Kisah Setelah Angka Sepuluh © D.B. Winn
Rating T
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Warning: Sekuel dari Fanfic Sembilan yang Abu-abu dan Sebuah Catatan Usang Menjelang 10; barangkali masih terdapat banyak typo dan kesalahan Ejaan Bahasa Indonesia; jalan cerita yang sukar dimengerti.
RnR?
.
.
.
Perihal hitam yang mampu menyerap seluruh spektrum cahaya, yang menyimpannya inci per inci dan tidak mau memantulkannya kembali. Ia serupa arogansi yang dipaksa bertumbuh karena tidak punya pilihan. Serupa tempat di mana semua angkara dikubur. Serupa aku yang masih saja diam kecut, yang masih membisu meski nasib di ujung tanduk.
Perihal hitam yang mampu menyembunyikan segala sesuatu sekalipun itu cahaya, yang gelapnya selalu dikonotasikan negatif, yang selalu menjadi tuduhan empuk bahwa ia berhubungan erat dengan sihir dan kegelapan. Ia mewujud mantra-mantra magis, kokoh berdiri dengan menyandang label-label bertajuk otoritas dan kekuatan.
Pada akhirnya, hitam akan selalu tentang kematian. Ia akan selalu mendapat penghakiman massa bahwa dialah akhir dari segala sesuatu. Dialah penyebab kesedihan tak berujung, sumber telaga air mata dan awal dari ketidakbahagiaan.
Pada akhirnya pula, pilihanku jatuh pada gaun hitam lama yang sudah berdebu di lemari. Banyak gaun baru yang disiapkan ayah tapi warna-warnanya terlalu bahagia untuk dipadukan dengan suasana hati yang sedang kalut. Gaun itu polos tanpa manik-manik ataupun brokat berlebihan. Hanya kain sifon dengan potongan V-neck berlengan panjang. Ketika memakainya, gaun itu menjadi sangat mini, menggantung hingga pertengahan paha. Lengannya dibuat transparan, mengaburkan hitam yang seharusnya lebih mencolok dari warna kulitku.
Untuk urusan riasan wajah dan rambut, aku sudah meminta didatangkan ahlinya. Seorang penata rias dan seorang penata rambut berhasil menjadikanku mahakarya sempurna untuk dipuja-puja malam ini. Make up flawless yang dipadupadankan dengan gaya rambut half-up twist sukses membuatku berdecak kagum di depan cermin. Selanjutnya, baik heels, kalung, cincin, dan bahkan anting yang kupakai sama-sama memiliki warna selaras, hitam.
Setelan serba hitam memberiku keberanian untuk berdiri di atas keputusasaan. Menguatkan jiwaku yang terlanjur dilahap nestapa. Membantu agar bertahan baik-baik saja di tengah pusara kekacauan. Namun, setelan ini belum cukup untuk menenangkan hati yang sudah dicabik-cabik semesta takdir. Ada ngilu yang bertahan di sana. Lama, aku bertahan memandangi pantulan diriku di depan cermin.
Setelah cukup lama merenung, tekadku yang menggebu-gebu tempo hari terkikis habis oleh gelisah. Kepercayaan diriku mulai menyusut dan kini, aku mulai meragukan keputusanku. Ada detak-detak tidak mengenenakkan yang enggan hilang, yang berpacu menembus ritme-ritme waktu. Ada gemetar yang mengalir mencumbui tubuhku. Sebuah ketidaksiapan menjemput realita. Setelan ini ternyata diam-diam melahap rasa angkuh bahwa aku tidak cukup kuat untuk jadi bahan lelucon lagi.
"Ayah, Hinata tidak jadi ikut, boleh?"
Air muka ayah memancarkan tanda tanya. Pertanyaanku kembali beliau balas dengan sebuah pertanyaan pula.
"Sudah cantik begini kenapa tidak jadi ikut?"
"Hinata tidak percaya diri."
Ayah hanya tersenyum simpul. Dia sudah hapal bahwa putrinya memang krisis kepercayaan diri sejak lahir. Dia hapal betul bahwa tubuhnya yang kekar akan selalu menjadi tempatku sembunyi kapan pun dihadapkan dengan keramaian. Tapi bukan itu yang menjadi soal. Ada musabab lain yang ayah tidak tahu. Sebuah alasan yang tidak bisa kubagi bahkan kepada ayah sekalipun.
"Mau Ayah minta Hanabi yang—" tidak kubiarkan ayah melanjutkan kalimatnya. Meski dengan hati yang tidak rela sekalipun, aku tetap harus komitmen dengan kewarasan bahwa semua harus dipaksa baik-baik saja.
"Jangan, biar Hinata saja," sanggahku.
Ayah tersenyum, "Sebentar saja, Ayah janji."
Ayah memperbaiki setelan tuksedonya, menggandeng tanganku dan bersama-sama menuju Mercedez-Maybach Excelero milik ayah yang sudah terparkir di halaman depan. Meski sudah tua, ayah masih kuat menyetir kendaraan kemana pun seorang diri, tak terkecuali malam ini. Mobil sport dua pintu sengaja menjadi pilihannya agar tidak banyak orang yang ikut bergabung dalam khidmatnya hubungan seorang ayah dengan putri sulungnya.
"Sudah lama sekali ya."
Ayah terlebih dahulu memecah keheningan. Kecepatan mobilnya konstan pada angka 100 km/jam. Sengaja lebih lambat dari kecepatan maksimal agar banyak membuat momen percakapan dengan anaknya yang jarang bicara ini.
"Terakhir kali waktu masuk SMA," balasku mengingat-ingat terakhir kali Ayah mengantarku dengan mobilnya, waktu itu hari pertamaku masuk SMA Konoha. Sisanya tidak pernah lagi. Bagiku, menjadi siswa biasa tanpa bayang-bayang kekayaan dan kekuasaan ayah merupakan hadiah kebebasan yang kusambut dengan suka cita. Memang tidak mendatangkan banyak teman, tapi ampuh mendatangkan ketenangan—sebuah momen langka sebab terlanjur lahir dalam keluarga yang selalu jadi perbincangan banyak orang.
"Kamu masih ingat rupanya," Ayah tertawa. Entah bagian mana dari kalimatku yang mengandung jenaka.
"Mana mungkin Hinata lupa."
"Soalnya ketemu kamu itu kesempatan langka."
Agar menjaga Menara Hyuuga Corporation tetap berdiri kokoh di Konohagakure, ayah harus mengabdikan dirinya di perusahaan. Sesekali jika beliau pulang ke rumah, justru aku yang sibuk mengabdikan diri di perpustakaan. Konoha Metropolitan Library berdiri atas permintaanku. Tempat itu menjadi pengusir sepi karena hari-hari ditinggal Ayah bekerja dan Hanabi yang sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi penerus Ayah. Perpustakaan yang terletak di tepi kota itu menempatkan namaku sebagai penanggung jawab sekaligus pengunjung tetap.
"Itu karena ayah lebih sering di kantor daripada di rumah," balasku tidak ingin jadi yang dipersalahkan.
"Protes nih?" tanya ayah.
Aku menggeleng, "T-tidak kok!"
Ayah tertawa lagi, renyah sekali sampai tanganku tidak tahan untuk tidak mencubit lengannya.
"Ayah!" aku protes. Air mukaku mengisyaratkan agar ayah berhenti tertawa. Namun, ayah membandel. Ia menambah volume tertawanya sebelum akhirnya meminta maaf.
"Maaf, maaf."
"Dimaafkan kalau—"
Ayah kehilangan retorika bicaranya. Ia memotong kalimatku tanpa permisi terlebih dahulu. Parahnya, ia kemudian mengikuti nada bicaraku sambil mengikuti pula kata-kata yang sering aku lontarkan ketika sedang merajuk padanya.
"Kalau ada es krim satu kotak besar di kulkas." Sempurna. Ayah berhasil menirukanku. Kali ini, kami saling bertukar tawa. Semoga saja kekal hingga berakhirnya malam.
Kami disambut meriah di depan sebuah mansion. Bangunan megah bernuansa putih tulang itu gemerlap dengan banyaknya lampu yang menghiasi taman. Sudah ada banyak orang dengan pakaian serba glamor. Aku meneguk ludah, gugup karena baru pertama kali menghadiri acara ramai begini. Tanganku refleks menggenggam tangan ayah. Ada rasa takut yang butuh dihilangkan. Meski Ayah berkali-kali menguatkan lewat tatapannya, tanganku tetap saja tremor. Masih ada hal yang mengusikku, semakin menjadi-jadi tatkala langkah kami digiring agar menyusuri karpet putih gading menuju sepasang manusia yang saling berdampingan. Bukan, bukan dua orang itu yang menjadi sumber tremorku. Melainkan di depannya, ada lelaki yang tidak sopan melawan arah, memunggungi sepasang insan terhormat di depan sana demi memperjelas pandangan bahwa dua orang yang baru datang benar kenalannya.
Itu dia, entitas yang menjadi alasan gaunku kontras dari setengah pengunjung pesta. Alasan mengapa hitam menjadi identitasku malam ini dan alasan mengapa kepercayaan diriku merosot hingga mencapai angka nol. Sebab, ada yang dia matikan. Sebuah asa yang dia paksa berhenti tumbuh tepat di angka sepuluh. Ada takdir yang dia bagi denganku. Sebuah pahitnya pengakuan yang dia muntahkan tepat di wajahku. Ada batas yang dia berikan. Bahwa setiap rasa yang tumbuh atas namanya, harus lenyap digilas rasa sakit.
Sasuke Uchiha tetap saja menjadi alasan irama jantungku lepas kendali. Dia masih menjadi yang paling menawan, masih menjadi satu-satunya yang kupuja-puja. Ah, sial! Aku harus meralat perasaanku, harus memberikan stimulus pada otakku bahwa Sasuke tidak lagi mungkin menjadi nama yang kulangitkan. Dialah objek yang kukutuk-kutuk hadirnya malam ini dan malam-malam panjang sebelum-sebelumnya.
"Hinata?!"
Itu dia. Sasuke memberi keheningan di tengah ramainya suasana. Matanya membelalak, seolah sedang menebak-terka mengapa ada gadis culun di tengah-tengah kolega bisnis keluarganya. Aku tersenyum kikuk. Penuh ragu, aku melambai canggung padanya. Namun, Sasuke tetap saja tidak mengganti air mukanya. Rahangnya masih menegang dan matanya semakin intens memperhatikan. Alhasil, langkah demi langkah menujunya terasa sesak.
"S-selamat, ya!" ucapku terbata-bata.
Pertemuan terakhir kami kurang mengenakkan. Hanya berakhir hening karena sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing. Kini, ketika kami kembali dipertemukan, baik Sasuke maupun aku tidak ada yang bisa merobohkan keheningan abadi di antara kami. Sebab, kami terlanjur sama-sama jadi bahan lelucon semesta, dipecundangi sampai tidak tahu harus apa.
"Selamat ya, Sasuke." Ayah menjadi inisiator untuk memecah keheningan. Tangannya memberi pelukan singkat kepada Sasuke. Sasuke membalas pelukan ayah dengan sebuah senyum canggung.
Ternyata, keheningan di antara kami hanya pecah sementara. Baik aku maupun Sasuke sama-sama masih bungkam. Alis Ayah mengernyit, heran dengan kuatnya rasa canggung di antara kami. Beliau bahkan sungkan bertanya 'ada apa'. Dahsyatnya atmosfir tidak mengenakkan tersebut sukses mengusir Ayah menjauh. Ia memilih berjumpa kawan lama daripada harus terlibat rumitnya pergolakan batin dua muda-mudi kenalannya.
Banyaknya orang, perginya Ayah, dan kehadiran Sasuke menambah beban tremor di tubuhku. Mentalku kacau. Bertahan di situasi seperti ini sama saja sengaja bunuh diri. Ditambah Sasuke mengajukan pertanyaan, membuka percakapan yang membuat ngilu di dada.
"Mau menjelaskan apa yang terjadi?"
"I-itu... saya juga bingung jika diminta menjelaskan. Pada intinya, saya adalah putri sulung Hiashi Hyuuga, gadis yang sama dengan Hinata yang Anda kenal."
Ya, Hinata yang sama dengan anak kecil kenalanmu. Anak kecil yang kau temani berbagi meja dengannya saat makan siang dan kau temani bersebelahan tempat duduk dengannya di dalam kelas karena tidak punya teman sebab menjadi siswa di sekolah elit tanpa marga keluarga. Hinata yang sama dengan teman kelasmu semasa SMA di sekolah rakyat. Hinata yang sama dengan anak kuliahan satu universitas denganmu. Hinata yang sama dengan pengunjung perpustakaan yang kau temui di pojokan ruang baca. Hinata yang sama dengan gadis yang dipaksa berhenti menghitung panjangnya tahun-tahun yang terlewati karena tahu harapannya diputus kenyataan, dia yang memilih menyerah setelah tahu objek dambaannya sudah punya calon tetap, dia yang memilih menghilang agar punya banyak waktu untuk merenungi pertanyaan perihal mengapa dia setia menyukai orang yang sama selama sepuluh tahun lamanya, dia Hinata—gadis yang sama dengan orang yang berdiri dihadapanmu saat ini. Hyuuga Hinata dengan segala krisis kepercayaan dirinya hadir untuk menyaksikan kenyataan yang selama ini dia hindari. Kamu.
Aih, Sasuke tidak puas dengan jawabanku. Tidak ada satupun kata dariku yang mampu menepis tebalnya kebuntuan yang dia hadapi. Bukannya mengajukan pertanyaan tambahan, Sasuke justru lebih memilih mengomentari retorika bicaraku yang berubah drastis.
"Tiga tahun tidak bertemu, gaya bicaramu mendadak formal begitu." Tiga tahun katanya. Pantas saja ada rasa menggebu-gebu ingin bersua. Tiga tahun sangat lama sekali bagi orang yang dahulu hari-hari bertemu sepuluh tahun lamanya. Meski minim interaksi, rasanya ada yang hilang sepanjang tiga tahun itu. Ah, tunggu, mengapa Sasuke menghitung tahun yang terlewati? Bukannya menghitung adalah keahlianku seorang? Dia cukup menikmati waktu yang ada saja, tidak perlu repot-repot menjumlah banyaknya tahun terlewat tanpa bertemu satu kawan lama. Justru aku yang harusnya menghitung, mencatat banyaknya ruang rindu yang mengantri diisi olehnya.
"M-maaf, hanya saja..., pertemuan ini terlalu asing." Maaf karena egoku, pertemuan ini terpaksa terjadi.
"Kau saja yang selalu menganggapku asing." Onyx Sasuke menantang manik lavender milikku. Ada nada tidak suka yang ikut membersamai kalimatnya.
Aku yang tidak mengerti maksudnya, mendadak jadi tuli di tempat, "Maaf?"
"Lupakan saja," jawabnya ketus.
Hening kembali mengambil alih. Kami kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pertemuan ini memang asing, canggung, dan tidak seharusnya ada. Kami hanya sebatas teman yang saling tahu nama, tidak lebih dan tidak ada yang istimewa kecuali perasaanku terhadapnya yang rasa-rasanya sangat berlebihan.
Dua minggu yang lalu, Ayah mendapat undangan pesta ulang tahun pernikahan. Katanya, pesta tersebut sekaligus akan menjadi momen diperkenalkannya penerus Uchiha Foundation. Dia pengusaha muda kaya raya. Selain menjalankan bisnis keluarga, katanya penerus Uchiha yang ini punya bisnis sendiri di luar Konohagakure. Sasuke Uchiha nama yang jadi topik perbincangan Ayah dengan Neji perihal undangan tersebut.
Mendengarnya berulang kali disebut menampilkan visual sempurna dalam benakku. Sosok itu memenuhi kepalaku. Pertanyaan apa kabar dan bagaimana ini bagaimana itu menyesaki sukmaku. Rasa penasaran yang menumpuk harus dijawab dengan sebuah pertemuan. Ragu-ragu, aku menawarkan diri untuk ikut. Sekarang, dalam pertemuan terencana ini, tiada satu pun pertanyaan mampu terucap. Lidahku kelu. Aku dipecundangi kebodohan sendiri. 'Apa kabar? Bagaimana kabar perjodohanmu? Di mana perempuan itu? Berhasilkah kau mencintainya? Bagaimana hubungan kalian sekarang' Pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di kepalaku ditahan rasa malu. Pertanyaan itu terlalu pribadi dan tidak pantas terucap dari mulut kenalan biasa macam aku.
"Apa kabar?" di luar ekspektasi, Sasukelah yang kembali mengambil inisiatif memecah keheningan di antara kami. Ah, seharusnya aku yang mengutarakan pertanyaan itu. Bukan sebagai basa-basi melainkan sebagai pelipur lara—penghiburan bagi diri yang terlanjur menyimpan rindu terlarang.
"Baik," jawabku.
"Tidak bertanya balik?"
Demi apa Sasuke minta ditanya kembali. Lucu, tapi syukurlah, dengan begini aku bisa mulai sesi wawancara masalah pribadinya.
"Sudah pasti bahagia, kan?" tebakku asal-asalan. Hitung-hitung sebagai basa-basi pembuka sebelum memulai misi rahasia.
"Biasa saja," bantah Sasuke.
"Tunangan dengan gadis cantik lalu menjadi pewaris tahta Uchiha memangnya tidak membuat Anda bahagia?" Ini dia momennya. Perlahan tapi pasti pertanyaan-pertanyaanku mulai menyusup masuk ke dalam percakapan kami.
"Panggil aku Sasuke dengan kata ganti kamu." Protesnya. Rupanya dia benar-benar tidak nyaman dengan retorika bicara yang kubuat-buat.
"M-maaf."
"Lagi pula siapa yang kau maksud tunangan?" tanyanya.
"Iya, yang waktu itu. Atau sudah menjadi istri?" Dalam waktu tiga tahun sudah pasti banyak hal yang terjadi. Pertunangan Sasuke sangat mungkin naik level menjadi pernikahan. Bahkan mungkin, sudah ada bayi mungil yang membersamai kehidupan pernikahan mereka. Duh, ada sakit yang menyerang ulu hatiku. Bayangan keluarga bahagia mereka menimbulkan getar tidak mengenakkan.
Tapi, ekspresi Sasuke mematahkan bayangan itu. Alisnya terangkat sebelah, berusaha memaknai pertanyaanku yang barangkali terlalu ambigu dan asal menyimpulkan. "Istri? Kau meracau ya?" bantahnya.
"Hah? Bukannya waktu itu kau bilang dijodohkan atau semacamnya?"
"Aku menolak," jawabnya enteng.
"Hah?!" teriakku tidak percaya. Volume suaraku mengagetkan beberapa orang yang berlalu lalang. Karena terlanjur menjadi pusat perhatian, Sasuke terpaksa berpura-pura mengusir burung-burung kecil yang terbang di sekeliling kami. Tingkahnya cukup ampuh mengelabui orang-orang bahwa penyebabku berteriak adalah burung usil yang mencatuk puncak kepalaku.
"Ssst! Ternyata kau bisa berteriak juga," ujarnya, "Tapi salah tempat."
"M-maaf, aku tidak bermaksud." Aku menunduk malu. Wajahku memerah tomat. Harga diri yang kupertaruhkan untuk datang ke tempat ini sudah habis tak bersisa. Bahkan untuk mensejajarkan pandangan dengan Sasuke pun rasanya sudah tidak sanggup.
"Lagi pula kenapa kau sekaget itu?" Pertanyaan Sasuke menusuk. Mengapa aku sekaget ini, katanya. Aku sendiri bingung.
"Karena kupikir pernikahan politik tidak bisa ditolak," jawabku. Ingatanku refleks bernostalgia. Hari itu membekas. Hari di mana Sasuke menemuiku dengan membawa seonggok cerita perihal dipaksa mencintai orang yang salah. Pikirku, dia sudah diikat benang takdir, sudah dirajutkan simpul kehidupan yang tidak bisa ditolak sama sekali. Pikiran itu yang membuatku seketika putus asa, membuatku seketika memutuskan untuk tidak lagi mengharapkan apa-apa dari hubungan fana kami. Aku menghilang karena tahu diri tidak punya tempat pada kisahnya di masa depan. Tiga tahun setelah hari itu, aku datang menemui Sasuke. Aku datang untuk mengucap selamat atas kebahagiaannya, mengucap selamat pada wanita yang berhasil menjadi miliknya. Aku datang untuk menuntaskan sisa rasa yang tidak kunjung mati, memohon kepada semesta agar dibiarkan hidup tenang tanpa bayang-bayang atasnya, lagi.
"Kata siapa?" Ah, Sasuke tidak mau berhenti bertanya. Persoalannya, pertanyaan darinya lebih sulit dari lembar ujian. Aku jadi bingung harus beragumentasi apa.
"Hanya pikiranku sih," sekali lagi aku menjawab ala kadarnya.
Ini percakapan kami yang paling lama. Ternyata Sasuke tidak sedingin es batu seperti yang dilebih-lebihkan orang-orang. Buktinya, percakapan kami awet karena dirinya. Tapi, rasa-rasanya percakapan kami sudah harus disudahi. Aku terlalu buntu untuk bisa maklum dengan situasi sekarang. Apa yang terjadi jauh dari ekspektasiku selama tiga tahun ini. Malu rasanya karena ditakuti ekspektasi sendiri. Pada akhirnya, setelan serba hitamku malam ini menjadi lelucon yang kubuat sendiri. Bukannya berduka, aku malah jadi badut yang pantas ditertawakan. Oleh diriku, oleh Sasuke, oleh semesta.
"Pola pikirmu perlu diubah kalau begitu." Sasuke masih saja menyanggah kata-kataku. Dia gagal mengerti air mukaku yang terang-terangan menyiratkan kebuntuan.
"E-eh?!"
"Soal penolakan dalam perjodohan," lanjutnya.
"Ah, itu…, sepertinya aku memang perlu membaca soal itu." Ya, pertama-tama aku perlu membaca situasi hari ini. Bahwa ternyata, ketidakadilan semesta yang kuratapi selama ini merupakan hasil prasangka buruk dariku tiga tahun lalu. Faktanya, Sasuke punya caranya sendiri untuk memutus kontrak politik antardua keluarga yang saling mencari untung. Dia mematahkan stigma bahwa perjodohan harus selalu diterima meski terpaksa. Wajar jika dia sering disebut pintar, otaknya memang digunakan dengan benar. Beda denganku yang hatinya diguncang, otaknya yang jadi tidak jernih.
Selain otak jadi tumpul, cinta juga membuat mata jadi buta. Tidak perlu barang bukti untuk menarik kesimpulan sendiri—sebuah kebodohan yang membuat seorang gadis keliru mengambil keputusan. Bahwa seharusnya, angka tiga tidak perlu repot-repot menjadi chaos yang memutus kesinambungan angka sepuluh.
"Terima kasih." Aku menyunggingkan senyum, lalu membungkuk sebelum pamit pulang karena Ayah sudah melambai dari kejauhan. Sasuke membalas, bibirnya ikut menyunggingkan senyum tipis. Sebuah respon darinya yang ampuh menghangatkan hati.
"Sekali lagi terima kasih," gumamku. Terima kasih karena sudah meluruskan kesalahpahaman yang kubuat sendiri. Terima kasih karena selalu memberi jalan untukku jatuh pada orang yang sama berkali-kali.
Pada akhirnya, aku masih perlu menghitung banyaknya angka dan menjumlah banyaknya waktu. Bukan untuk melanjutkan tiga menjadi empat, melainkan untuk bertemu angka-angka baru yang rasa-rasanya akan teramat panjang berbaris. Merelakanmu tidak pernah benar-benar kujalani. Kau tetap ragu-ragu yang selalu kuyakini. Mulai sekarang, aku kembali menghitung.
.
.
.
FIN
.
.
.
A/N: Terima kasih telah bersedia membaca sebuah fic sederhana ini. Setelah hilang selama setahun lebih, saya muncul untuk menuntaskan trilogi(?) rumitnya mencintai diam-diam. Kisah Setelah Angka Sepuluh menjadi penutup kisah ini. Saya mohon maaf atas judul yang sangat tidak sesuai, semua typo-typo yang mungkin masih banyak, ketidaksesuaian genre dengan cerita dan banyak lainnya. Kritik dan saran sangat dibutuhkan. Jejak dari kalian sangat membahagiakan. Salam.
