TW!
Suicidal thoughts
•
•
No quirks AU
Junior High Period
Rintik hujan di senja hari turun dalam ritme. Gumpalan kapas kelabu perlahan mulai beranjak pergi dari tempatnya. Gemuruh hujan angin serta gelegar halilintar tak lagi terdengar. Tanda badai telah berakhir.
Disinilah ia berdiri. Masih dengan seragam lengkap dan tasnya dalam keadaan sekujur tubuh yang basah kuyup. Kedua tangan menggenggam erat pada pembatas jembatan tua yang telah berkarat. Sepasang manik rubi yang nampak berkaca-kaca terpaku pada panorama di bawah jembatan. Dua ngarai terjal yang mengapit derasnya aliran sungai usai badai berlalu.
Sesaat setelah ia membuka mulutnya, disitulah suara geraman berhasil ia keluarkan. Terus ia keluarkan hingga tak ada lagi suara yang terdengar. Hingga ia rasa pita suaranya telah putus.
Sial! Bahkan setelah menguras segala energi demi mengeluarkan geraman rasa kesal, perasaan sesak itu tak juga lenyap. Rasa sesak di dada yang amat sangat menyiksanya.
Ia menempelkan dahinya pada pagar pembatas yang berkarat itu. Sepasang kelopak matanya ia tutup rapat-rapat, membuat air yang sedari tadi membuat kabur pandangannya merembes keluar. Gigi-giginya ia gertakkan. Satu kali lagi geraman ia paksa keluarkan dari tenggorokan yang telah meradang itu.
Ia merasa lelah dengan semua ini.
Jatuh berlutut didepan pagar pembatas. Dirogohnya tas sekolah yang masih ia bawa untuk mengambil sebuah buku catatan beserta pena. Setelah itu, ia merobek selembar kertas dari buku catatan itu dan mulai menorehkan semacam pesan terakhir diatasnya.
Satu menit, dua menit, lima menit, ia habiskan hanya untuk menulis sebuah kalimat.
Hidup untuk apa?
Setelah menyelesaikan tulisannya, ia membanting buku serta pena yang tadi ia gunakan masuk ke dalam tas, bangkit dari posisi duduknya, kemudian melepas sepatu beserta kaos kaki yang ia kenakan. Dilipatlah surat yang ia tulis menjadi bentuk yang lebih kecil dan ia masukkan ke dalam sepatu yang ia kenakan. Dengan telanjang kaki, ia memanjat pagar pembatas berkarat itu dan mendaratkan kedua kakinya pada tepi jembatan.
Beberapa detik ia memandangi alas kaki yang berisikan surat terakhir yang ia tulis sebelum ia akan terjun ke bawah. Beberapa detik, ia memandangi aliran sungai deras yang berada jauh di bawah. Beberapa kali ia menanyakan soal apakah langkah yang ia ambil ini merupakan langkah terbaik.
Mumpung sekarang ia sedang membulatkan tekad, lebih baik ia lakukan sekarang.
Namun, disaat ia baru saja hendak melompat, terdengar suara asing yang berasal dari arah belakangnya. Tidak, itu bukan suara langkahan kaki manusia. Bukan pula suara angin berhembus yang membawa sampah.
Ia mendengar suara dengkuran dari seekor kucing.
Sontak, ia segera memutar kepalanya kebelakang dan benar saja. Terdapat seekor kucing kecil berwarna setengah merah dan setengah putih (warna yang aneh) yang entah datang dari mana. Terlihat kucing itu tengah mengendus-endus sepasang sepatu yang baru saja ia lepas.
Melihat itu, insan berambut durian itu hanya memandanginya dengan bingung. Ia bertanya-tanya pada dirinya, mengapa kucing ini tiba-tiba muncul dan mengendus sepatunya? Apa tujuannya?
Kucing itu kemudian menemukan sebuah kertas yang tak lain dan tak bukan adalah surat tulisannya. Pada detik itu juga, pemuda itu memutar seluruh badannya agar ia dapat melihat sang kucing dengan lebih jelas lagi.
Ia bukanlah seseorang yang sangat tergila-gila dengan kucing. Namun, melihat tingkah aneh dari kucing ini, ia merasa sedikit terhibur.
Biarlah kucing ini menjadi hal terakhir yang ia lihat sebagai hiburan terakhir. Ya, hiburan terakhir yang ia lihat sebelum ia akan melompat.
Selang beberapa detik kemudian, kucing itu menggigit tali sepatu yang berisikan surat terakhir darinya dan secepat kilat ia kabur dengannya. Itu membuat sang pemilik sepatu ternganga dan terheran-heran.
Dimana-mana, kucing mencuri ikan atau sesuatu yang berbau amis di pasar. Tapi kenapa kucing satu ini malah mencuri sepatunya di jembatan tua terbengkalai? Insan yang tengah termenung itu amat sangat heran dengan kelakuan si kucing.
Apa jangan-jangan kucing itu secara tak langsung mengatakan bahwa kakinya itu bau amis?
KUCING KURANG AJAR!
"OI! SEPATUKU! KEMBALI KESINI!"
Dengan telanjang kaki, ia berlari menyusul kucing yang baru saja mencuri sepatunya. Sebenarnya, bukan masalah kakinya bau amis maupun hilangnya salah satu bagian sepatunya yang ia permasalahkan. Toh dia akan mengakhiri hidupnya setelah ini. Namun yang menjadi permasalahannya adalah perihal surat yang ia masukkan ke dalam sepatunya. Yang ia inginkan adalah surat itu ditemukan oleh seorang manusia, bukan seekor hewan. Ia tak ingin apa yang terakhir kali ia goreskan di akhir hayatnya ini hilang hanya karena digondol kucing.
Tibalah ia di sebuah gang kecil dari gedung tua terbengkalai di sekitaran situ. Tempat dimana kedua iris rubi itu terpaku pada kucing yang mencuri sepatunya tadi. Makhluk berbulu itu memasukkan tubuh lenturnya ke dalam lubang sepatu, mulai dari kepala. Nampaknya ia ingin menggunakan sepatu itu sebagai tempat untuk berkemul.
"Oh..." Raut wajah marah yang ia pasangkan kini perlahan memudar. Melihat itu, akhirnya Katsuki tak jadi marah (bukan berarti ia berhenti merasa kesal).
Setelah seluruh badannya masuk ke dalam sepatu, kucing itu memutar tubuhnya supaya kepalanya dapat keluar. Terdapat kertas yang dilipat hingga sangat kecil yang ia bawa dengan gigitannya. Makhluk itu nampak menggigit-gigitnya.
"OI! SURATKU! JANGAN DIMAKAN!" Ucap Katsuki, sedikit panik. Ia langsung berjongkok dan merebut kertas itu dari si kucing. Kuat juga gigitan kucing ini. Ia bahkan sampai harus membuka paksa mulut si kucing agar ia mau melepaskannya.
Beberapa detik kemudian, berakhir sudah adegan berebut kertas yang dilakukan oleh kedua makhluk itu. Jelas saja pemenangnya adalah sang manusia. Meski telah menjadi pemenang, rasanya ia tak begitu menang. Karena apa yang ia rebutkan tadi kini sudah tidak berwujud. Katsuki mengarahkan tatapan tajam pada si kucing. Namun, makhluk berbulu itu hanya memandangnya dengan pupil yang besar pada iris beda warnanya, tanpa ada perasaan berdosa sedikitpun.
Katsuki menghela nafas panjang. Mau dimarahi pun juga percuma. Dia hanyalah seekor kucing.
Sudahlah, ia hanya perlu menulisnya ulang. Lagipula, itu hanyalah tiga kata simpel yang tak harus menggunakan tenaga ekstra dalam menulisnya. Setelah ini, ia akan kembali ke jembatan tua itu untuk melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
Beberapa langkah berhasil ia tempuh tanpa beralas kaki. Namun, pikiran yang tiba-tiba berubah 180 itu membuatnya menghentikan langkah.
Apa ia akan membiarkan kucing ini terlantar begitu saja?
Ia tak tahu banyak soal kucing. Dan tak ada niatan sedikitpun baginya untuk merawat kucing tersebut (karena kucing itu aneh dan ia berniat untuk mengakhiri hidup setelah ini).
Namun, ia tak sejahat itu untuk membiarkannya terlantar dan kedinginan. Apalagi dia masih kecil.
Ia berbalik badan, kemudian melangkahkan kakinya kembali pada si kucing. Ia berjongkok di hadapannya. Pupil besar yang ditampilkan si kucing itu telah berhasil meluluhkan hatinya.
Ia meraih ponsel dari saku celananya (yang sialnya lupa ia masukkan ke dalam tas sebagai peninggalan karena ia akan meninggalkan dunia ini). Lalu, ia membuka nama kontaknya.
Ia teringat pada teman masa kecilnya (bukan teman juga sebenarnya, karena hanya one-sided. or is it?) yang ia panggil dengan sebutan Deku. Ia amat sangat ingin memiliki hewan peliharaan sejak dulu.
Meski enggan, namun hanya dialah yang bisa ia hubungi untuk saat ini. Tak ingin menunggu lama, ia telponlah orang itu.
"Kacchan! Orang tuamu-"
"JANGAN BAHAS SOAL MEREKA!"
"Ah! G-gomen. Kenapa kau menelpon?"
Sembari mengusap kepala si kucing setengah-setengah dengan agresif (karena gemas), Katsuki membalas, "Ada kucing."
"Eh? Kucing?" Jawabnya, nada bicaranya terdengar kebingungan karena seorang Katsuki yang menelponnya secara tiba-tiba dan memberitahukannya bahwa ia menemukan seekor kucing. Ditambah, dengan intonasinya yang sama sekali tak menunjukkan kemarahan, tak seperti biasanya. Benar-benar tak biasa dari seorang Katsuki.
"Dia datang dan mencuri sepatuku. Bad kitty! Ambil dan rawat dia atau kuhancurkan semua figure All Might mu, mulai dari yang limited edition!"
"Tolong, jangan! Aku mau mau saja merawatnya. Tapi apartemenku melarang untuk memiliki hewan peliharaan."
"Langgar saja aturannya! Lagian kau bayar untuk mereka kan? Apa salahnya melanggar salah satu aturannya?!"
"Maaf, Kacchan! Aku tak bisa menzholimi orang yang telah memberiku tempat tinggal. Aku harap aku bisa menampungnya, tapi aku memang benar-benar tidak bisa."
"LALU HARUS KUAPAKAN KUCING INI?! AKU TAK INGIN MERAWATNYA! TAPI AKU JUGA BUKAN SETAN YANG PUAS MELIHATNYA KEDINGINAN!"
"Untuk sementara, kau bisa menampungnya kan?"
"GAK!" Bentakan yang dikeluarkannya bahkan hingga membuat si kucing terperanjat.
"Kacchan, kucing itu datang padamu pasti karena suatu alasan. Cobalah untuk me-"
"AKU TAK PEDULI DENGAN MITOS ATAU TAKHAYUL ATAU APALAH ITU!"
"T-T-Tapi, itu bukan mitos atau takhayul. Itu fak-"
"POKOKNYA GAK!"
"Ayolah, Kacchan! Sesekali aku akan berkunjung ke tempatmu untuk membantu. Aku juga akan membantumu mencari orang yang bisa merawatnya. Oh! Aku juga akan meminjamkan buku panduan merawat kucing yang kupunya!"
"AKU TAK BUTUH BANTUANMU! AKU HANYA TAK INGIN MENAMBAH DOSA KARENA TELAH MEMBIARKAN KUCING PENCURI SEPATU INI TERLANTAR!"
"Kacch-"
Sebelum dapat mendengar balasan darinya, Katsuki menutup panggilan itu duluan. Suasana hatinya yang tadinya telah hancur, bertambah hancur lagi setelah suara dari manusia itu masuk ke gendang telinganya.
Ia menaruh ponselnya pada saku celana. Dua manik rubi itu kembali terarah pada si kucing yang kini tengah menggigit-gigit tali sepatunya. Katsuki menatapnya dengan sinis.
'Karenamu, aku gagal melancarkan aksiku kali ini!'
Katsuki menggendong kucing itu dengan kedua tangannya. Lalu ia menghadapkan kucing itu pada wajahnya. "Apa kau lapar?" Ucapnya dengan datar, tanpa sedikitpun meninggikan intonasi.
Kucing itu hanya menatap wajah sang manusia dengan polosnya, sembari mengeluarkan dengkuran lembut.
"Tch! Merepotkan saja!"
Katsuki mendekap kucing itu pada tubuhnya untuk berbagi kehangatan. Kemudian, ia beranjak pergi dari tempat itu. Ia akan membawa kucing pulang ke tempatnya, meski ia tahu orang tuanya tak akan mengizinkannya. But who cares? Mereka sedang tidak ada di rumah.
'Baiklah! Aku akan menunda aksiku, setidaknya sampai dia menemukan orang kurang kerjaan yang mau merawatnya.'
Setelah membeli banyak perlengkapan kucing, akhirnya Katsuki kembali menuju tempatnya, bersama dengan si kucing aneh yang ia pungut di jalanan. Sesaat setelah ia menyalakan lampu untuk penerangan, Katsuki menaruh kucing itu ke atas lantai agar ia bisa berjalan-jalan sendiri. Sesaat setelah dilepas, kucing itu segera berlari mencari tempat sembunyi.
Katsuki tak begitu mempedulikannya. Palingan kucing aneh itu hanya butuh sedikit adaptasi. Ia hanya menuangkan makan dan minum pada mangkuk kucing, dan ia dekatkan mangkuk itu didekat tempat si kucing bersembunyi. Setelah itu, ia pergi mandi.
Selesainya mandi, kondisi ruangan yang ditempati kucing tadi kacau sudah. Yah, tak sebegitunya juga. Namun sudah mampu membangkitkan amarah sang manusia. Mangkuk makanan dan minuman tumpah, membuat makanan kering itu berubah menjadi bubur. Beberapa perabotan kecil yang awalnya terletak diatas rak dan meja berjatuhan.
Dan disitulah si pembuat onar duduk, di tengah ruangan dengan memasangkan wajah tanpa dosanya. Bahkan ia berani mengeluarkan suara meongan pelan untuk menyapanya.
Tentu hal itu membuat sang manusia geram. "KUCING ANEH SIALAN! HARUSNYA KUBIARKAN SAJA KAU DI LUAR KEDINGINAN! PEDULI SETAN JIKA KAU MATI! DASAR KEPAR*T SIALAN!" Katanya, sembari melempar handuk yang ia pakai tadi ke arah si kucing. Untung saja si kucing dapat menghindar sebelum kena.
Setelah kabur, si kucing terlihat mengendus makanan dan minuman yang tumpah tadi. Kemudian ia mengelapnya dengan pawnya dan menjilatinya. Lalu, ia memandang ke arah Katsuki. Terlihat seperti ingin bertanggung jawab namun tak tahu caranya.
Melihat tingkahnya, amarah Katsuki mereda seketika. Kucing ini selalu saja berhasil menarik energi negatif darinya.
"KUCING JOROK! LAMA-LAMA KAU KUJADIKAN LAP PEL GRATIS SEKALIAN AJA!"
Tak disangka-sangka, kucing itu berguling diatas genangan yang ia buat sendiri. Sontak, itu membuat Katsuki kembali mengeluarkan amukan.
"EMANG DASAR KUCING ANEH! LEBIH BAIK KAU KUMANDIKAN SEKARANG!" Ucapnya, sembari ia mengangkat kucing itu dan mengantarnya ke kamar mandi.
Setelah melihat air di kamar mandi, pupil mata kucing itu membesar seketika. Ia memeluk erat Katsuki dengan cakarnya dan meraung keras.
Terkena cakaran kucing yang sedang panik, jelas terasa sakit. Namun Katsuki memilih untuk tak menunjukkannya. Ia lebih memilih untuk memarahi si kucing. "KENAPA?! TADI WAKTU HUJAN SAJA KAU TAK BEGITU MASALAH DENGAN AIR! AKU TAK PEDULI MAU KAU TAKUT ATAU TIDAK! INI ADALAH HUKUMAN KARENA TELAH MEMBUATKU MERASA KACAU!"
"MAOOOOOOU"
"OH? MAU?"
"NGEEEEEOUU!!" Kucing itu menancapkan cakarnya dalam-dalam ke kulit Katsuki. Ia mendesis kesakitan.
"BERUNTUNG KAU MASIH BISA BERTEMU ORANG YANG MAU MENGURUSMU WALAUPUN GAK IKHLAS!" Katanya, sambil melepas cakar si kucing.
Namun si kucing kembali menancapkannya pada Katsuki. "NGUAOOOOOOUUUU!!!!"
"BODO AMAT! POKOKNYA KAU HARUS MANDI!"
Setelah berjuang, akhirnya si kucing menurut juga (meski masih sedikit memberontak). Katsuki berhasil memasukkannya ke dalam bathtub dan memandikannya, tentu dengan air hangat. Ia pun mulai memandikan si kucing, diawali dengan membasahi tubuhnya dengan air hangat.
Dengan manik rubi tak berkehidupan itu, ia terus memandikan si kucing.
Setelah dipikir-pikir, untuk apa ia melakukan ini semua? Ia yang tadinya berencana untuk mengakhiri hidup, kini masih berdiri disini. Mengapa ia masih hidup sampai dengan detik ini dan malah membawa pulang seekor kucing dan merawatnya? Padahal sebenarnya ia bisa saja membiarkan kucing ini mencari orang lain yang lebih berkompeten.
Untuk alasan apa sebenarnya ia belum mengakhirinya saat ini juga? Bukankah tadi ia sudah sangat yakin untuk melakukannya?
Hidup untuk apa?
Kucing ini, entah mengapa mampu membuat suasana hatinya yang tadinya begitu buruk, perlahan menghilang. Seolah ia dapat menyerap energi negatif darinya. Itulah mengapa sampai sekarang ia belum mati juga. Padahal sedari tadi kucing ini hanya bisa menzhalimi dirinya.
Apa bisa begitu? Mungkin ia memang harus mencari tahu banyak soal kucing. (Tapi tidak dari Deku)
Katsuki menghela nafasnya, sembari menggosokkan sampo ke badan si kucing yang tengah memberontak. Kucing itu berusaha keluar dari bathtub dengan mencakar-cakar sisi bathtub. Namun, insan kepala durian itu terus menahannya agar kegiatannya cepat selesai.
Usai mandi, kini kucing itu harus dikeringkan. Ia membungkus kucing itu dengan handuk dan dibawanya keluar dari bathtub. Diraihnya hair dryer yang senantiasa tersimpan didalam rak disamping wastafel. Setelah menyambungkannya dengan listrik, ia mengarahkan pengering rambut itu pada si kucing.
Tanpa menunjukkan ekspresi apapun selain datar, ia mengeringkan kucing basah yang tengah memberontak itu.
Jika saja ia tak sedang dalam keadaan depresi, ia pasti sudah mengeluarkan kata-kata mutiara lebih dari yang sudah ia katakan sedari tadi. Pasti kucing itu sudah ia maki-maki dengan mulut pedasnya. Namun, kali ini tak seperti biasanya. Ia merasa tak memiliki energi untuk sekali lagi melontarkan bentakan.
Disaat bulu kucing itu sudah hampir kering, ia menyudahi penggunaan hair dryer nya. Ia mengambil sebuah sisir, kemudian memposisikan kucing itu dalam posisi duduk ala kucing. Ia menyisir bulu kucing yang baru saja ia pungut. Tak disangkanya, sang kucing mencondongkan kepalanya pada sisir yang dipegang Katsuki dengan memejamkan kedua matanya, terlihat menikmati dirinya yang tengah disisir.
"Barusan tadi, aku hampir membunuh orang tuaku." Ucap sang manusia, entah dapat dorongan dari mana hingga tiba-tiba ia mengatakan hal itu.
Makhluk berbulu itu terus memejamkan matanya dengan mengeluarkan dengkuran khas kucing.
Melihat itu, Katsuki menyunggingkan semyum tipis pada wajahnya.
"Mumpung ada tempat berkeluh kesah tanpa khawatir ada yang menghakimiku, aku akan cerita." Ucapnya, sembari terus menyisir sang kucing dengan lembut.
"Alasanku ingin melakukannya adalah karena aku merasa lelah. Menjadi yang terbaik dari yang terbaik adalah apa yang ingin kucapai dalam hidup ini.
Besar dari lingkungan yang selalu memandangku lebih dari apapun, menjadikanku memiliki arogansi yang tinggi. Mendapatkan banyak pujian adalah suatu kepuasan tersendiri bagiku. Membuat orang lain takut dan tunduk padaku jugalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku. Tak pernah ada yang bisa mengalahkanku.
Tak jarang orang-orang menaruh ekspektasi yang begitu tinggi terhadapku karena ini. Apalagi kedua orang tuaku, yang selalu menuntutku lebih.
Hingga sampai titik dimana aku merasa aku telah berada di posisi puncak. Tak ada lagi yang dapat kukerahkan untuk membuat orang tuaku bangga. Ditambah, satu per satu manusia juga mulai menyusulku. Membuatku terlihat seperti berada pada posisi rata-rata.
Sekeras apapun aku berusaha, akan selalu ada orang lain yang berada jauh diatasku. Semakin kuberusaha, semakin ku tersadar bahwa diriku bukan apa-apa.
Aku bukanlah lagi yang terbaik. Lalu, apalah arti dari tujuan hidupku sejak awal?
Hidup untuk apa?
Sejak itu, aku tak lagi berprogres. Segala sesuatu kukerjakan seadanya. Hal ini membuat orang tuaku kecewa padaku." Tutur sang manusia.
Tanpa disadarinya ia berhenti menyisir kucing itu. Dua manik beda warna dengan pupil yang besar itu terus menatap kearahnya.
"Pagi ini, tepat sebelum aku berangkat sekolah, aku merasa tak ingin berangkat, meski sudah berseragam lengkap dan siap untuk berangkat. Aku merasa sangat ingin untuk menyayat nadiku dan menggorok leherku di dalam kamarku sendiri saat itu juga. Pikiranku kosong saat itu. Yang kupikirkan hanyalah aku ingin mati.
Sempat beberapa saat, aku merasa tak berada di dunia ini. Kupikir, aku sudah mati. Namun, saat aku membuka mataku, aku melihat kedua orang tuaku tergeletak tepat dihadapanku dengan bersimbah darah, dengan kondisi kamarku yang seperti kapal pecah.
Aku tak tahu apa yang terjadi. Asumsiku, aku menggila hingga melukai orang tuaku sendiri. Ya, mereka yang ingin menghentikanku melakukan aksi gila. Pada akhirnya malah mereka sendiri yang terluka."
Air mata mengalir dari kedua matanya yang basah. Ia menyekanya dengan punggung tangannya. Si kucing terus menatap manusia yang telah memberinya tempat tinggal (sementara) itu dengan pupil bulatnya.
"Aku langsung memanggil ambulans. Dan... bukannya menemani mereka, aku memilih untuk kabur. Akhirnya aku tetap datang ke sekolah, meski terlambat dan mendapat hukuman. Dan sorenya, kau menemukanku."
"Padahal aku ingin mengakhiri ini tanpa menimbulkan masalah. Apalah arti hidupku jika mereka mati saat itu juga?!"
Pecah sudah bendungan yang menampung air matanya. Kedua kaki kehilangan kekuatannya untuk menopang dirinya. Ia jatuh berlutut, menempelkan dahi pada lututnya. Pandangan kabur oleh air mata yang menghalangi pandangannya. Tubuhnya bergetar karena tangisan yang ia keluarkan.
Mengapa begini pada akhirnya?
Ia yang dulunya merupakan manusia bak superhero dengan kekuatan super, kini hanyalah gumpalan daging tanpa jiwa yang kehilangan arah.
Hanya ditemani oleh seekor kucing yang bahkan tak dapat memberikan saran dan arahan untuknya. Yang dapat dilakukannya hanyalah diam dan mengusap kepalanya dengan tangan berbulunya yang lembut.
Beberapa menit ia habiskan untuk mengeluarkan segala emosi yang terpendam didalam hatinya. Dengan ditemani seekor kucing yang terus mengusap kepalanya dan memijat punggungnya. Seolah menyampaikan bahwa "Tak apa. Aku ada disini untukmu."
Meski tak banyak yang dapat dilakukan si kucing, setidaknya ia mampu membuatnya merasa sedikit baikan.
Ia bangun 20 menit kemudian. Kucing yang tadinya berdiri diatas punggungnya untuk memijatnya meluncur kebawah dengan mengeluarkan suara meongan pelan (sepertinya dia terkejut). Merasakan beban di punggungnya kini tak ada lagi, Katsuki menengok ke arah belakang untuk melihat keadaan si kucing. Kucing itu masih memasang pupil besar pada kedua matanya.
Melihat reaksi dari si kucing, Katsuki tersenyum tipis. "Tak ada yang tahu soal ini selain dirimu, kucing aneh. Jangan merasa spesial hanya karena itu!"
Akhirnya si kucing sudah bersih dan wangy. Katsuki membiarkan kucing yang sudah bersih itu berkeliaran di rumahnya. Kini, ia tinggal membereskan kekacauan yang dibuat si kucing tadi. Meski saat ini kepalanya masih pusing karena terlalu lama menangis tadi.
Ditengah-tengah ia sedang membereskan kekacauan, tiba-tiba ia mendengar suara gemerusuk dari arah tempat kerja orang tuanya. Sontak, ia langsung berlari ke arah sumber suara. Ia tak ingin si kucing menimbulkan kekacauan lagi disaat dirinya sedang benar-benar kacau.
Tibalah ia didepan ruang kerja orang tuanya. Kucing itu menindih keyboard dari komputer milik ayahnya. Disana terlihat layar monitor menyala dengan menampilkan dokumen kerjaan ayahnya yang belum ditutup olehnya.
"OI! MAU TANGGUNG JAWAB KALO AYAHKU KEHILANGAN PEKERJAAN?!" Bentaknya, sembari mengangkat tubuh kucing setengah-setengah itu dan meletakkannya di atas lantai. Sesaat setelah itu, sang kucing langsung lari terbirit-birit keluar dari tempat kerja orang tuanya.
Dengan memasang tatapan sinis ke arah dimana kucing itu kabur, ia mendecih. Kemudian, ia berniat untuk bertanggungjawab membereskan kekacauan lain yang dibuat makhluk tak tahu terima kasih ini. Disaat ia melihat ke arah layar monitor, disitu ia terdiam membeku.
Sepasang manik rubi tajam terpaku pada huruf-huruf yang diketik tanpa sengaja oleh sang kucing pada layar monitor.
Jari telunjuknya menekan keycaps bertuliskan backspace secara perlahan, menghapus satu kata simpel yang tak sengaja diketik oleh sang kucing.
Shōto
'Sepertinya nama yang bagus untuk si kucing aneh.'
Shōto, as in shōtokēki (ショートケーキ).
Makhluk berbulu itu terduduk diatas sofa sembari terus memperhatikan manusia yang tengah melakukan kegiatan beres-beresnya, layaknya bos yang hanya duduk santai melihat bawahannya bekerja. Sesekali kedua kelopak matanya berkedip secara perlahan, menikmati kehadiran manusia yang mau untuk menampungnya, meski hanya untuk sementara waktu.
Kelopak mata sang kucing terbuka secara spontan tatkala ia merasakan tubuhnya yang diangkat. Dua buah bola mata terarah pada seorang yang tengah mengangkatnya ke udara.
Dengan posisi kepalanya yang mendangak, insan itu bermonolog, "memangnya kalau kurang ajar begini siapa yang mau? Apalagi, dia aneh."
Katsuki meletakkan makhluk itu pada pangkuannya. Menaikkan kedua kakinya keatas sofa, kemudian membaringkan tubuhnya disitu. Kucing yang membersamainya itu kembali ia angkat ke udara.
"Hontōni henda. Hanbun yarō!"
Kucing itu mengedipkan matanya secara perlahan, merasa bahwa manusia ini mulai menoleransi keberadaannya.
Jika saja si kucing mengerti bahasa yang digunakan makhluk yang tengah mengangkatnya, mungkin saja kucing itu akan menjadi musuhnya tak lama setelah kalimat itu terucap. Untung saja kucing itu tak tahu-menahu soal bahasa manusia sedikitpun.
Yang dapat diketahui sang kucing hanyalah perasaan negatif yang tersimpan di dalam hati sang manusia. Emosi yang manusia ini keluarkan disaat ia tengah menyisir tubuhnya dengan sisir lembut. Sebagai makhluk yang ia tahu diutus sebagai pembawa kebahagiaan, yang terlintas pada pikiran kucing itu hanyalah untuk menyerap energi negatif dari sang manusia. Membantu meringankan beban-beban pikiran dan emosi yang sudah sangat menumpuk pada tubuh sang manusia.
Dengkuran pelan kembali terdengar dari makhluk itu. Katsuki hanya memandangnya dengan tatapan wajah datar.
Ditengah kesunyian yang tenang itu, tiba-tiba saja terdengar suara bel yang menandakan ada seseorang yang datang mengunjungi rumahnya. Katsuki mendecak kesal. Mengapa harus disaat-saat seperti ini ada orang yang datang berkunjung?
Insan itu lekas bangkit dari posisinya dan menaruh kucing itu di atas sofa. Ia harus menjawab panggilan bel tersebut. Derap langkahnya itu membangkitkan semangat pada sang kucing untuk turut membuntutinya. Katsuki yang sedikit merasa kesal karena terus diikuti kini tak ingin berkutik. Energinya telah banyak terkuras hari ini.
Sesampainya tepat didepan pintu depan, ia langsung membukanya. Tanpa menatap ke arah orang yang tengah bertamu, ia berkata, "jangan ganggu waktu istirahatku, sialan!"
"Katsuki-kun! Konbanwa! Ano... Lampu luar belum dinyalakan." Terdengar suara seorang wanita yang familiar di telinganya. Mendengar itu, sontak pandangannya ia arahkan pada seseorang yang telah menekan bel.
Midoriya Inko dan putra tunggalnya yang ia panggil dengan sebutan 'Deku'.
"Oh! Jadi, itu kucingnya?" Ucap manusia kepala brokoli itu, sembari terus mengarahkan pandangannya pada seekor kucing yang tengah berdiri disamping kaki Katsuki.
Sang tuan rumah mendecakkan lidahnya. "Masuk sebelum aku berubah pikiran!" Ucapnya, mempersilahkan para tamu untuk masuk dengan tidak sopan. Disaat kedua tamu itu masuk ke dalam rumahnya, Katsuki menyalakan saklar lampu luar.
Melihat suasana depan rumah yang tiba-tiba terang oleh lampu, si kucing mengangkat kepalanya, terkesiap. Saat itu juga, sang kucing terlihat bersiap untuk berlari keluar rumah. Namun, tentu saja Katsuki berhasil menahannya dengan kaki.
"Jangan keluar, gblk! Banyak setan!" Ucapnya dengan sedikit membentak, sembari menutup pintu depan. Si kucing menurut saja. Kemudian makhluk berbulu itu lari dari pintu depan menuju ruang tamu, diikuti Katsuki di belakangnya. Kucing itu hanya berdiri didepan kedua tamu, mengobservasi dari kejauhan.
"Kacchan, boleh pegang kucingnya?" Insan kepala brokoli itu meminta izin pada temannya.
"Bawa aja sana!" Ucapnya, ditengah dirinya sedang menekuk kedua lutut untuk menduduki sofa di seberang kedua orang tamu.
Karena sudah diizinkan, manusia yang memiliki nama asli Izuku itu langsung berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri si kucing. Setelah dapat, ia kembali ke tempatnya. Ia pun menaruh makhluk berbulu itu pada pangkuannya.
"Kenapa tiba-tiba?" Insan kepala durian itu mempertanyakan maksud kedatangan mereka.
"Apa kau sudah makan? Ini ada sedikit makan malam untukmu." Wanita itu berkata, sambil memberi makanan yang dimaksud itu pada sang tuan rumah. "Kulihat, kau memutuskan untuk mengadopsi seekor kucing, ya?" Lanjutnya.
Katsuki menerima pemberian wanita itu sambil menjawab, "tidak selamanya. Aku hanya akan menampungnya sampai dia menemukan tempat yang tepat."
"Oh... Begitu ya?" Demikianlah respon wanita itu.
"Bagaimana jika ternyata tak ada orang yang bersedia menampungnya?" Ujar manusia yang tengah mengelus kucing di pangkuannya.
Sepasang manik rubi tertuju pada manik zamrud di seberangnya. "Pasti dia akan keluar dari sini. Mau kupelihara pun pasti orang tuaku juga tak akan mengizinkan." Balasnya. Memang, baik ayah maupun ibunya, tak ada satupun yang menyukai binatang untuk dipelihara. Dirinya pun sebenarnya juga demikian.
Berbicara tentang orang tua, bukankah itu alasan kenapa dua orang tamu itu sedang berada disini?
"Tadi kita sudah menjenguk orang tuamu. Mereka bilang, ini bukan salahmu. Jangan terus menyalahkan dirimu."
Insan dengan mata tajam itu membuang wajah sembari mendengus dengan kesal. "Apa susahnya menyampaikannya secara langsung dihadapan wajahku? Dasar orang tua cupu!" Ucapnya, pelan namun penuh dengan penekanan.
Tak ada yang mengeluarkan satu patah kata pun setelah kalimat itu terlontar.
Dua orang tamu yang mengunjungi rumahnya akhirnya pergi juga setelah beberapa menit. Kini, tinggal dirinya dan si kucing yang menempati rumah mewah tersebut.
Ia beranjak pergi ke ruang makan untuk mengurus makanan pemberian ibunda dari temannya. Si kucing yang dari tadi terus memperhatikannya itu mengikutinya. Mungkin karena mencium bau makanan yang membuatnya kepo.
Kucing itu sampai naik-naik ke atas meja makan dimana Katsuki harus melakukan kegiatannya. Jelas perilaku agresif si kucing amat sangat mengganggu kegiatannya.
"PERSONAL SPACE PLEASE!"
Dimarahi pun tak akan berpengaruh terhadap perilaku si kucing. Ia akan terus mengganggu pekerjaannya. Oleh karena itu, Katsuki memilih untuk mengurung si kucing pada sebuah ruangan yang kosong untuk sementara waktu.
Setelah mengurung seekor kucing di kamarnya, insan pemilik manik rubi itu kembali melanjutkan kegiatannya. Dibongkarlah makanan dalam kemasan yang diberikan oleh wanita tadi padanya.
Sejujurnya, ia tak bernafsu untuk makan. Ia pun tak masalah jika kucing itu mengambil jatah makan malamnya ini (namun masalahnya, makanan ini pedas. Katsuki tak tahu apakah kucing boleh makan makanan pedas atau tidak).
Ditatapnya sisa sarapan yang dibuatkan sang ibunda untuknya tadi pagi. Sepiring omelette yang belum sempat ia sentuh sama sekali. Juga secangkir kopi milik sang ayahanda yang baru diminum separuhnya.
Oh, benar. Orang tuanya sedang berada di rumah sakit saat ini. Keberadaan mereka di rumah sakit merupakan kesalahannya. Bagaimana bisa ia melupakannya.
Seketika, ia teringat pada perkataan wanita tadi mengenai apa yang dikatakan oleh salah satu dari kedua orang tuanya. Sebuah informasi yang membuatnya ingin terbahak dalam ironi.
'Jangan salahkan dirimu pala kau! Pasti dihadapanku nanti kalian hanya akan memaki-makiku. Mengatakan bahwa aku seorang pecundang yang bahkan nama baiknya masih harus dilindungi oleh kalian berdua. Bahwa segala hal yang kupunya tak pernah cukup untuk memenuhi nilai hidupku.'
Nilai hidup, yang tak ada lagi arti baginya.
Bukankah ia berencana untuk mengakhirinya hari ini juga? Mengapa sekarang ia masih ada disini?
Ia tak mengingat dan tak menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Namun, tiba-tiba saja sebuah pisau dapur telah berada pada genggaman tangannya.
Menusuknya pada tenggorokan mungkin tak seburuk itu.
MEONG
Suara kucing. Suara yang mampu menembus pada gendang telinga hingga pikiran kacaunya.
Ah, benar. Ia baru saja memberi seekor kucing sebuah tempat bernaung.
'Heh... Apa yang kupikirkan?! Mengurus diri sendiri saja tak becus. Bagaimana bisa aku berpikiran untuk menampung seekor kucing?!'
MEONG
Suara itu lagi. Suara yang kini terasa seperti tengah berusaha untuk menariknya dari kegelapan. Mengusir segala getaran negatif yang menyelubunginya. Menuntunnya pada kilau cahaya yang menyilaukan mata.
Kedua matanya terbelalak lebar. Ia kembali tersadar.
Dilemparlah sebuah pisau yang ia genggam menjauh darinya. Berlarilah dirinya ke arah dimana ia mengurung seekor makhluk berbulu yang hanya tinggal untuk sementara di tempatnya.
'Jika aku tak disini, siapa yang akan membersamai kucing itu?' Hanya itulah yang ada dipikirannya.
Dibukalah pintu ruangan yang didalamnya terdapat seekor kucing yang dimaksud. Dimana kucing tersebut segera melompat ke arahnya dan terlihat seperti ingin memberinya sebuah pelukan hangat.
Ia tak tahu kenapa. Namun, apa yang ditunjukkan oleh si kucing sepertinya membuat matanya berkeringat.
Segeralah insan pemilik manik rubi itu berjongkok dan menerima kasih sayang yang ditawarkan sang kucing.
"SIALAN KAU! KENAPA KAU SELALU SAJA MENGURUNGKAN NIATKU?! KENAPA KAU SELALU SAJA MEMBUATKU RAGU?!"
Ia mengambrukkan tubuhnya ke atas lantai dan lagi-lagi meluapkan segala perasaan negatif yang masih terkubur didalamnya. Ditemani oleh seekor kucing yang ia sebut-sebut aneh itu.
Sial! Lagi-lagi, ia menunjukkan sisi lemahnya dihadapan sang kucing.
Entah sudah berapa lama ia berada dalam posisi ini. Namun, kucing yang sedari tadi ia peluk itu tiba-tiba terlihat ingin melepaskan diri. Setelah terlepas, makhluk berbulu itu nampak seperti ingin menunjukkan sesuatu padanya.
Karena penasaran, akhirnya Katsuki mengikuti si kucing. Terlihat si kucing mengendus-endus bungkus makanan kucing yang terletak di ruang tengah.
"Oh, benar. Kau belum makan, ya?"
Kucing itu diberilah makan olehnya. Tepat setelah makanan itu tertuang pada mangkuk makanan, kucing itu segera melahapnya dengan agresif. Katsuki tak mengerti kenapa kucing ini bisa menjadi sangat agresif jika itu soal makanan. Mungkin memang sifat alami si kucing yang posesif.
Tak lama setelah itu, terdengar suara telepon yang berdering.
Lagi-lagi, ia mendengus, kesal. Dirinya benar-benar sedang tak ingin berhubungan dengan orang lain, siapapun itu. Jadi, ia biarkan saja telepon rumah itu berdering.
Lagipula, Katsuki sudah tahu siapakah yang menelepon dan apa yang ingin ia bicarakan.
Namun, telepon itu tak hanya sekali berdering. Dalam lima menit terakhir, sudah empat kali telepon rumahnya itu berbunyi.
Karena terus berbunyi, akhirnya Katsuki memutuskan untuk mengangkatnya.
"Langsung ke intinya!" Ucapnya.
Terdengar suara hembusan nafas lega dari posisi orang yang meneleponnya.
"Katsuki, kami minta maaf. Kami benar-benar menyesali perbuatan kami. Bisakah kau ke rumah sakit sekarang?"
Ia kicep saat itu juga.
TBC
