"Belantara hutan raya Nusantara."

Temuilah di sana, akan kautemukan jawaban yang seharusnya memang engkau temukan.

Belantara dan legam misterinya akan menjadi pelataranmu, akan menjadi tempat yang menyaksikan kisahmu dengan "ia" yang merintihkan doa bertapakkan merah darah dan putih murni hati.

"…"

"Apa lagi yang engkau tunggu? Hei. Mari, bergegaslah dengan pasti dan tegas."

Yang dia ingat pada hari kesembilan bulan tiga tahun itu ketika ia memasuki belantaraan hutan yang basah tanahnya, ialah alunan lagu yang dinyanyikan tunggal oleh seseorang. Seperti opera, namun terlalu lembut suaranya. Seperti bisikan bernada, tetapi alunannya begitu merasuk ke dalam jiwa.

Dia menoleh ke sana dan kemari, demi mencari siapa si pemilik suara tersebut. Menilik setiap celah seraya jauh menerawang ke seluruh arah penjuru. Ah. Tetapi, sayangnya, sayang, hasilnya nihil.

Ia nyaris bersungut-sungut. Sebelum menyadari sesuatu, ia terkesiap.

Hei, ini aneh. Mengapakah … mengapa tak ada siapapun jua di sini? Seorangpun. Semakhluk apapun. Hanya hutan rimbun dengan hawa dingin tanpa tanda-tanda kehadiran manusia lainnya—tentu, selain ia dan entah siapa yang melantunkan sebaris kidung bernada kuno barusan.

Tapi, siapa?

Siapapun itu, ia yakin: Perempuan!

Suara yang halus ini ... (dia mengingatnya.)

Nada suara yang melengking ini ... (ada dalam memorinya.)

Juga bahasa yang menjadi perantara tuturan kidungnya ini ... (menjadi bagian dari memori memoar lukanya).

Merasa yakin, pemuda asal Negeri Matahari Terbit itu melangkah, semakin memasukkan diri ke dalam hutan yang sepi.

Belantara.

Belantara hutan Nusantara, bagai pernaungan suci yang belum pernah terjamah oleh keserakahan umat manusia yang berpikiran licik.

Kretak! Krak!

Keretakan ranting yang terinjak oleh kakinya yang melangkah sejenak membuyarkan fokusnya. Ia menunduk, hanya untuk melihat kegelapan menyertai langkahnya. Tetapi, itu membuat batinnya mantap untuk mencari asal dari suara wanita yang masih bernyanyi.


Sungguh indah tanah air beta...

Tiada bandingnya di dunia...


Suara nyanyian yang semakin keras, setitik takut dia rasa. Ada gentar yang perlahan menyelinap dalam hati, rasa goyah yang tipis-tipis mulai merengkuhnya untuk jatuh.

"… aku tidak perlu berhenti." Namun, sayang, tidak untuknya. Dia menepis semua rasa dingin itu jauh-jauh, jauh dari pandangannya, jauh dari hatinya yang sudah telanjur mendingin …

Sepersonifikasi dari Negeri Matahari Terbit itu takkan pernah mundur.

Satu-satunya personifikasi dari jajaran Para Negeri Asia yang pernah mengalahkan Imperial Rusia di masa lalu itu takkan pernah menarik langkahnya kembali. Tidak boleh. Tidak akan.

Dia kembali melangkah, mantap tak goyah, terus menginjak rerantingan yang telah berpangkur dari pohonnya, keretak-keretak mengiringi langkah Sang Sakura Legam.

Katana yang senantiasa dibawa ia siapkan, kendati mendengar alunan nanyi yang makin lantang suaranya.


Karya indah Tuhan Mahakuasa...

Bagi bangsa yang memujanya...


Kaki-kaki jenjang beliau, dengan dituntun dengan keyakinan yang satu: bahwa beliau mendengar senyanyian berlagu halus, perlahan membelah arus sungai yang masih jernih airnya. Bening, tampak menyegarkan, seakan mampu melepas penatnya.

Anggun beliau melangkah, jubah ungu dengan lambang negaranya berkibar. Gagah laksana panglima, siap sedia bertempur di garda terdepan medan perang.

Rimbaan belantara hutan hujan kembali beliau netra. Penuh dengan kekosongan. Termasuk cahaya rembulan biru di atas sana turut kosong, tanpa makna.

Penunjuk arah dan tujuannya tidak lagi ada.

Suara itu pergi ...

Pergi ...

Senyapan para sunyi ...

Dalam hutan belantara yang sunyi ...

Beliau mengembus napas resah. Tak cukup sekali. Merotasi penetraan ke seluruh penjuru pandang.

Dalam satu jam ke depan, suara itu menghilang, nyanyi-nyanyian itu hilang. Lenyap tanpa sisa.

Menyisakan suara parau nan lemah yang lantas merintih pilu.

"Pergilah … pergi, pergi, pergi dari sini."

Matanya membulat untuk sejenak menangkap suara yang tidak asing baginya ...

"Wahai, kamu tak diinginkan, kamu hanya memberi luka; luka yang takkan pernah sembuh yang harus aku rasa!"


- 9 Maret 1942 -


Kririririririririririririririririririririiing!

"...!"

Alarm yang ada di dalam setiap kamar di hotel Indonesia Pusaka-lah yang membuat mimpi dan pembayangan si Negeri Sakura terbuntu tanpa kejelasan arah.

Tep!

Sebutang weker dia tekan, mematikan deringan berisik yang berterusan.

Ingin hati dengan sangat ia banting jam weker (sialan) itu, keluar dari kamar. dan buat pecah jendela kamar bernomor 178 tersebut, jika saja dia benar-benar melupakan sesuatu ...

... mata uang Yen tak dapat digunakan di Indonesia bila tidak lebih dahulu dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah. Singkat tuturan: ia bakal merugi. Bahkan tindakannya yang terbilang anarki tanpa tahu tata tertib dan tata krama.

Meresahkan.

Dia menghela napas, lantas mengernyit kala melihat waktu yang tertera. Eh?

Merasa janggal, ia mengusap matanya sekali lagi, memastikan nyawanya sempurna terkumpul, sebelum kembali menetra jam dinding berbingkai kuningan yang bingkainya takkan pernah dicumbu karat. Tertera di sana; jelas di sana tanpa dusta, pukul delapan lewat sepuluh lebih sekian belas detik.

Oh, astaga.

Alangkah terlambatnya dia terjaga dari tidur nyenyak semalam.

Dan menyebalkan nian mimpi dari memori yang terpotong di tengah jalan cerita barusan.

.

.

.


Bagian kesembilan terselesaikan.


2017 – 2022

(aph Indonesia)

"Mari kisahkan kembali kisah lama: Merah dan putih; keberanian dan kesucian.

Segaris benang merah panjang (demi) takdir kita, dan sepotong kain putih; mewakili negeri tercinta (dan seluruh kisah-kisah perjuangan) kita: Ind(one)sia."

.

Dengarlah, dengar, mari dengarkan;

kisah yang dituturkan oleh bisik dongeng dan legenda,

berada antara fana dan nyata,

benang merahnya; berpilin membentuk rasa.

.

Maukah kamu, sekali lagi merasakannya?

"Perasaan yang dulu ada, menyelinap ke dalam relung jiwa. Lebih dari sekadar suka, demi bakti pada tanah air pusaka."

© INDONESIAN KARA

"Aku kembali, untuk kemudian menuturkan perjalananku mengarungi semesta yang berbeda ke dalam cerita."

02-12-2022