Tiga bulan telah berlalu. Ia dan kedua orang tuanya masih hidup. Kedua orang tuanya tak lagi terus menuntut anak mereka menjadi sempurna, tak pula menghadiahinya dengan bentakan dan omelan yang berapi-api. Katsuki pun demikian. Ia tak lagi terus membalas perkataan mereka dengan penuh emosi.
Meski begitu, tetap saja komunikasi diantara mereka masih dibilang cukup minim. Mereka berbicara hanya seperlunya. Sejak kejadian tiga bulan lalu, segalanya terasa canggung. Hingga sekarang, tak ada seorang pun yang berani angkat bicara untuk membicarakannya. Sehingga hal itu menciptakan suasana yang demikianlah.
Singkatnya, tak ada lagi tensi, pun tak ada rasa kasih. Itu membuat seseorang yang dipanggil Katsuki merasa sedikit terganggu dengan perubahan drastis suasana rumah dimana ia bertempat.
Kucing yang ia adopsi tiga bulan lalu itu pun masih ada disini. Sekarang usianya sudah sekitar 8 bulan. Katsuki bernegosiasi pada kedua orang tuanya untuk membiarkan kucing itu tinggal di tempatnya sampai ia menemukan orang yang tepat untuk merawatnya. Mereka menyetujuinya. Jika mau dipelihara hingga tiba ajalnya pun mereka telah menyetujuinya. Dengan catatan, jangan sampai kucing itu membuat orang-orang yang ada di rumah merasa terganggu.
Meski sudah mendapat izin untuk memeliharanya, insan pemilik surai durian itu tak ingin terus menampungnya. Dirinya telah berkomitmen sejak awal bahwa ia hanya akan menyediakan tempat tinggal bagi si kucing untuk sementara, bukan untuk selamanya (karena ia tinggal tak akan lama lagi). Bahkan dirinya pun tak begitu menyukai kucing. Jika boleh, ia lebih memilih bangsa reptil untuk ia jadikan peliharaan. Mungkin ular, tokek, atau kura-kura. Alasannya, ia hanya tak begitu menyukai hewan berambut. (Jika tetap harus kucing, mungkin ia akan memilih kucing sphynx).
Ya, Katsuki tak ingin membiarkan kucing ini tinggal bersama orang yang bahkan tak dapat memberinya kasih sayang sepenuh hati. Makhluk berbulu itu tetap harus keluar dari rumah ini untuk menemukan orang yang akan memberinya kasih sayang sepenuhnya.
The cat deserves someone better than him.
Ia telah memasang papan iklan mengenai kucing aneh ini dimana-mana sejak tiga bulan yang lalu. Daring, luring, bahkan hingga go international. Namun, tetap saja. Tak ada satu pun manusia yang berminat untuk mengadopsi kucing pungut aneh ini. Entah dari sisi mana yang salah. Apakah poster yang kurang menarik? Seharusnya tidak. Ia sudah membayar mahal seorang desainer untuk mendesain poster agar enak dipandang. Dari segi foto dan deskripsi si kucing pun rasanya tidak ada yang salah.
Ia telah memfasilitasi kesehatan si kucing. Ia sudah memberinya vaksin, memberinya obat cacing, vitamin, serta menjaga kebersihannya sehingga terbebas dari kutu dan jamur. Bahkan ia sama sekali tak memungut biaya apapun sebagai syarat adopsi Segalanya ia lakukan agar kucing itu segera keluar dari tempat ini.
Rasanya aneh saja jika tak ada satu pun manusia yang berminat untuk memiliki kucing ini. Padahal, kucing merupakan salah satu hewan peliharaan paling favorit di seluruh dunia. Apalagi kucing ini limited edition.
The cat has chosen you.
Begitulah kata Deku. Menurutnya, ini adalah takdir yang tak dapat diubah. Entah mengapa dirinya berkeyakinan kuat bahwa makhluk berbulu itu sangat ingin terus berada di dekat Katsuki. Kucing itu telah memilih Katsuki untuk mengisi kekosongan hatinya. Tak ada seorang pun yang dapat mengganggu gugat keputusan sang kucing.
Jika itu benar, keinginan si kucing sangatlah berkebalikan dengan apa yang Katsuki inginkan. Insan itu tak ingin menjadi terlalu terikat dengan si kucing. Tak pernah sekali pun ada niatan untuk mengikat hubungan yang kuat terhadap sang kucing.
Bukannya ia membenci si kucing aneh pencuri sepatu. Kalau benci, tak mungkin Katsuki menunda aksi bundirnya demi repot-repot melakukan ini semua. Hanya saja, ia selalu berpikiran bahwa mereka tak akan bersama selamanya. Suatu hari mereka akan berpisah. Ia tak ingin timbul perasaan kecewa yang teramat jika suatu saat mereka berpisah.
Segala hal yang ia lakukan bukanlah atas dasar ikatan dari hati ke hati. Namun, itu semua hanyalah agar si kucing tetap berada dalam kondisi prima jika suatu saat tiba hari dimana ia menemukan orang yang mau merawatnya dengan tulus.
Namun, jika dipikir-pikir kembali, bukankah mungkin secara tak sadar insan itu telah membangun hubungan yang erat pada kucing yang telah ia pungut? Sejak kedatangan si kucing, intensitas dirinya dalam melakukan hal yang membahayakan semakin berkurang. Malam hari adalah hal yang paling ditunggu olehnya, karena tiap malam sebelum tidur, ia meluapkan segala kekesalannya di hadapan sang kucing. Jika tak ada kerjaan, ia pun terkadang mengganggu si kucing yang tengah bersantai hingga kucing itu merasa kesal. Tangannya dipenuhi dengan cakaran kucing yang ia dapatkan dari kesenangannya saat mengganggu si kucing.
Lebih dari itu semua, kucing itu telah (dua kali) menyelamatkannya dari aksi bunuh diri yang tadinya nyaris ia lakukan. Secara tak sadar, insting untuk membalas budi dari seorang Katsuki pun tumbuh dengan sendirinya. Tanpa sadar, ia telah membalas kebaikan si kucing dengan memberinya tempat tinggal yang layak dan merawatnya dengan baik.
Pada detik ini, ia mulai merasa apa yang diyakini oleh Deku mulai menjadi kenyataan.
'Sial! Aku mulai kehilangan jati diri karena perubahan drastis ini! Kucing itu harus segera keluar dari sini.' Demikianlah apa yang ada di pikirannya.
Sudah berapa kali ia mengatakan itu dalam hati. Ia mulai meragukan kalimatnya sendiri. Jika memang ia serius untuk mengeluarkan kucing itu dari sini, seharusnya makhluk berbulu itu sudah tak ada lagi disini. Seharusnya ia tak merawat kucing itu hingga segitunya. Namun nyatanya kucing itu masih disini. Nyatanya ia masih pasang badan untuk memberinya perawatan sebaik mungkin.
Perasaan gelisah mulai menyelimuti dirinya tatkala ia menyadari akan hal itu. Mungkin saja tanpa ia sadari, ikatan itu telah terhubung sejak kucing itu menyelamatkannya. Sejak dirinya bersedia untuk memberinya tempat tinggal. Atau mungkin jauh sejak pertama kali mereka saling melayangkan arah pandang terhadap satu sama lain.
Jika memang begitu, sejujurnya Katsuki tak siap jika suatu saat ikatan yang mereka bangun harus terputus secara paksa. Namun, saat ini Katsuki yakin bahwa ikatan yang mereka bangun belum sekuat itu. Jika memang harus terputus, maka rasa sakit yang ia rasakan tak akan sehebat itu.
Ia pikir begitu. Hingga tiba hari itu. Hari dimana si kucing hanyalah sedang berada pada waktu dan situasi yang tidak tepat.
Seharusnya ia tahu, tabiat lama tak mungkin bisa hilang begitu saja. Hal yang sudah menjadi kebiasaan tak bisa diubah secara drastis. Suatu saat, mereka akan kembali menampakkan diri ketika berada dalam tekanan yang berat. Tabiatnya yang kasar itu kembali muncul pada hari itu.
Hari itu, sang ibunda sedang berada dibawah tekanan. Kebanjiran klien yang meminta deadline singkat. Belum lagi dengan urusan rumah. Tak hanya sang ibunda, sang ayahanda juga demikian. Tuntutan pekerjaan membuatnya terlalu sering lembur dan selalu berangkat sebelum semua orang di rumah terbangun. Sudah begitu, gaji yang diberikan tak kunjung naik meski jam kerja sudah banyak dikorupsi.
Sang anak tunggal pun sedang berada dalam tekanan pula. Ujian akhir sudah dekat di depan mata. Ia belum bisa mengejar ketertinggalannya dari teman-teman hebatnya yang lain. Bisikan-bisikan halus masih sering terdengar (meski telah berkurang intensitanya). Ditambah, tanpa ada rasa legowo, ia masih harus merawat seekor kucing yang belum menemukan orang yang tepat untuk merawatnya.
Ketiga orang yang sedang berada dalam tekanan itu sedang berada dalam satu rumah. Katsuki di kamarnya sedang belajar untuk ujian besok, sang ayahanda di ruang kerjanya sedang mengurus dokumen kantor, dan sang ibunda di ruang tengah sedang berberes rumah.
Sejak awal kedatangannya, si kucing memang suka memperhatikan orang yang sedang bersih-bersih. Penyedot debu yang maju mundur, kemoceng yang bergerak-gerak, terasa seperti tantangan tersendiri baginya. Jadi, kali ini si kucing tengah memperhatikan ibunda dari Katsuki yang tengah beres-beres.
Awalnya sang ibunda tak begitu mempedulikan si kucing. Hingga terdengar suara mencurigakan dari arah makhluk berbulu itu.
Kucing itu muntah di atas sofa yang baru saja ia bersihkan.
Seketika itu pula amarahnya meledak. Wanita itu mengeluarkan segala kata 'mutiara' lewat mulutnya. Meski begitu, ia tetap tak memukul si kucing. Yang dilakukan wanita itu adalah mendatangi kamar sang anak tunggal dan membentaknya. Melontarkan hal-hal seperti,
"Itu kucingnya dikasih makan apa kok bisa muntah gitu?!"
"Rumah baru aja bersih udah kena muntah kucing! Bikin capek aja!"
"Ini rumah juga berantakan gak ada yang inisiatif bersih-bersih!"
"Niat gak sih ngerawat kucing?! Kalo gak niat mending dari awal gak usah dibawa kesini!"
Genggaman pena pada tangannya menguat. Gebrakan meja belajar yang menggaung membuat orang di sekitar terperanjat. Ia kemudian bangkit dari posisi duduknya. Sang remaja yang terganggu itu memberi tatapan tajam pada ibundanya sendiri.
Pertama-tama, ia berniat akan membereskan rumah setelah ia selesai menjalankan kewajibannya untuk belajar. Kedua, ia belum pernah sekalipun memiliki pengalaman dalam merawat hewan peliharaan. Ketiga, ia telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberi sang kucing penghidupan yang layak. Keempat, yang namanya sakit bisa datang kapan saja dan tak pernah ada yang tahu kapan datangnya.
Yang bisa ia simpulkan adalah, sang ibunda hanya sedang melampiaskan segala emosi padanya. Namun, seperti yang sudah dijelaskan tadi. Dirinya pun juga sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Sehingga respon yang diberi oleh anak muda itu tak baik pula.
"KENAPA SELALU GUA YANG DISALAHIN? SEKALI-SEKALI SI PAK TUA KEK! KAN BLIO JUGA GAK ADA INISIATIF BUAT BERSIH RUMAH! GAK BOSEN APA MARAHIN ANAKNYA TERUS?! ITU YANG MUNTAH SI KUCING, KENAPA NYALAHINNYA MALAH KE GUA?! DAN YANG NAMANYA SAKIT BISA DATENG KAPAN AJA!"
Tentu saja api yang dibalas dengan api hanya akan membuatnya semakin membara.
Tangan kanan wanita itu mengepal. Kemudian, ia layangkan pada ubun-ubun kepala sang putra satu-satunya dengan penuh emosi. Ungkapan-ungkapan sumpah serapah berhasil keluar dari mulutnya tanpa adanya filter sama sekali. Tak terima mendapat perlakuan yang demikian, Katsuki pun turut membalasnya, meski hanya membalas secara verbal.
Keributan itu berhasil memanggil seseorang yang tersisa di rumah tersebut untuk mendatangi sumber keributan. Karena sudah terlalu mengganggunya, akhirnya pria yang mendatangi kedua anggota keluarganya menawarkan sebuah solusi (lebih tepatnya, perintah tanpa tawaran).
"Buang aja kucingnya." Ucapnya.
"Ya, kalo dari awal gak niat ngerawat mending gausah pernah dibawa kesini sekalian! Kalo gak dibawa kesini dari awal bisa aja kucing itu dah dapet orang yang lebih bisa ngerawat dia daripada kamu." Ujar sang istri dari pria tersebut pada putra tunggalnya.
Mendengar perkataan ibundanya, Katsuki sedikit tersentak. Apa jangan-jangan selama ini ia bukannya memberi tempat tinggal pada si kucing? Namun ia hanya menghalanginya dalam menemukan orang yabg tepat untuk merawatnya. Ia hanya bersedia menampungnya agar tak dipandang tak becus. Ia hanya menampungnya untuk membalas budi pada sang kucing yang telah menyelamatkan nyawanya. Ia hanya menjadikannya sebagai alasan untuk tetap bertahan dimana seharusnya ia telah tiada karena jiwanya telah rusak.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kucing itu benar-benar menyukai Katsuki? Insan bersurai durian itu memandangi lengannya yang penuh dengan cakaran kucing. 'Pelepas stresku disaat aku malas mengambil silet'.
Apakah ia berdosa karena telah membuat kucing itu berdosa karena menyakiti 'pemiliknya' sendiri?
Selama ini Katsuki hanya memanfaatkan kucing aneh itu. Ia memang tak pernah benar-benar merasa ingin untuk memilikinya. Eksistensinya hanyalah untuk membuatnya merasa baik. Yang bahkan dirinya pun tak pernah mampu untuk membalas kebaikannya. Yang bisa ia lakukan hanyalah memberinya perawatan yang bare minimum.
Ya, mungkin tak seharusnya ia menyandera berkedok memberi tempat tinggal pada kucing itu jika memang ia tak pernah ada niatan untuk merawatnya dengan serius. Mungkin sudah seharusnya ia biarkan kucing itu di jalan agar dapat ditemukan oleh orang yang benar-benar kompeten dalam mengurusnya. Mungkin sudah seharusnya ia membiarkan kucing liar tetaplah liar.
Ia juga tak ingin sangat bergantung pada si kucing, pun vice versa.
"Oke. Buang aja tu beban keluarga! Dari awal juga gua pungut dia bukan karena gua mau."
Keributan berakhir disitu. Malamnya, setelah Katsuki selesai belajar, ia membawa kucing itu kembali ke tempat dimana ia pertama kali menemukannya. Sebelum meninggalkannya sendirian di jembatan tua itu, Katsuki meninggalkan sedikit persediaan makanan kucing serta minuman agar sang kucing tidak kelaparan dan kehausan. Ia juga meninggalkan sebuah kardus dengan selimut didalamnya agar dapat digunakan kucing untuk menghangatkan diri untuk sementara.
"Maaf, tapi kau tak diterima di keluargaku. Semoga kau dapat segera bertemu dengan orang baik."
Setelah mengusap kepala si kucing yang tengah makan itu, Katsuki memutuskan untuk pulang. Berusaha sekuat tenaga untuk menaruh pemikiran bahwa kucing itu akan baik-baik saja dan akan menemukan orang baik yang mau merawatnya. Jikapun tidak, awalnya dia adalah kucing liar. Kucing liar pasti tahu cara bertahan hidup dengan baik.
Yang liar biarlah liar.
Katsuki telah terlalu bergantung pada si kucing, pun vice versa. Yang mana bukankah seharusnya mereka menjalani kehidupan mereka masing-masing? Oleh karena itu, ia akan memutus ikatannya dengan si kucing aneh ini saat ini juga.
Ketika ia hendak tidur, rasanya ada yang kurang. Rutinitas yang biasa ia lakukan sebelum tidur adalah melampiaskan segala kekesalan di hadapan sang kucing. Namun kini kucing itu tak perlu menerima emosi negatif lagi darinya. Bukankah sejak keluar dari penjara ini, kucing itu akan lebih bahagia?
Malam itu, segalanya terasa begitu buruk. Isi pikirannya yang seharusnya sudah ia keluarkan masih tertahan didalam, membuat kepalanya terasa nyeri. Dadanya pun terasa sesak sebab segala emosi dalam hati yang saat ini masih menggebu-gebu. Hal itu membuatnya merasa kesulitan untuk tidur.
Materi pelajaran yang tadi ia pelajari hampir hilang separuhnya. Entah mengapa fokus pikirannya kini ada pada si kucing yang baru saja ia kembalikan ke tempat asalnya. Apakah kucing itu sudah ditemukan oleh orang baik? Atau sesuatu yang buruk telah terjadi pada si kucing?
Ia berkonflik dalam hati. Memperdebatkan soal apakah ia harus membawa kembali kucing itu kesini tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, atau memutuskan bahwa pilihan ini adalah pilihan yang terbaik bagi keduanya.
Sial! Bukankah ia sudah mencoba untuk memutus ikatan yang telah terbangun diantara keduanya? Mengapa ia masih memikirkan keberadaan si kucing aneh itu?
Namun sebelum mengetahui siapakah yang memenangkan perdebatan dalam hatinya, Katsuki telah tertidur. Hari itu memanglah hari yang melelahkan.
Ia tahu, seharusnya ia membiarkan pilihan pertama memenangkan pertandingan.
Esok paginya ketika ia dalam perjalanan ke sekolah, ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Kucing yang sudah tiga bulan ini ia rawat terbaring tak bernyawa di tengah jalan raya. Di hadapan sebuah truck-kun yang melintas di hadapannya.
Untuk pertama kalinya, Katsuki memberanikan diri untuk tak memanggil kucing itu dengan sebutan 'Kucing Aneh', seperti apa yang selama ini ia lakukan. Yang berhasil keluar dari tenggorokannya adalah sebuah nama yang waktu itu tak sengaja diketik oleh si kucing.
"SHOTO!"
Rintik hujan di senja hari turun dalam ritme. Gumpalan kapas kelabu perlahan mulai beranjak pergi dari tempatnya. Gemuruh hujan angin serta gelegar halilintar tak lagi terdengar. Tanda badai telah berakhir.
Disinilah ia berdiri. Masih dengan seragam lengkap dengan tasnya dengan sekujur tubuh yang basah kuyup. Kedua tangan menggenggam erat pada pembatas jembatan tua yang telah berkarat. Sepasang manik rubi yang nampak berkaca-kaca terpaku pada panorama di bawah jembatan. Dua ngarai terjal yang mengapit derasnya aliran sungai usai badai berlalu.
Sesaat setelah ia membuka mulutnya, disitulah suara geraman berhasil ia keluarkan. Terus ia keluarkan hingga tak ada lagi suara yang terdengar. Hingga ia rasa tenggorokannya telah putus.
Sial! Bahkan setelah menguras segala energi demi mengeluarkan geraman rasa kesal, perasaan sesak itu tak juga lenyap. Rasa sesak di dada yang amat sangat menyiksanya.
Ia menempelkan dahinya pada pagar pembatas yang berkarat itu. Sepasang kelopak matanya ia tutup rapat-rapat, membuat air yang sedari tadi membuat kabur pandangannya merembes keluar. Gigi-giginya ia gertakkan. Satu kali lagi geraman ia paksa keluarkan dari tenggorokan yang telah meradang itu.
Ia merasa lelah dengan semua ini.
Jatuh berlutut didepan pagar pembatas. Dirogohnya tas sekolah yang masih ia bawa untuk mengambil sebuah buku catatan beserta pena. Setelah itu, ia merobek selembar kertas dari buku catatan itu dan mulai menorehkan semacam pesan terakhir diatasnya.
Satu menit, dua menit, lima menit, ia habiskan hanya untuk menulis sebuah kalimat.
Untuk apa bertahan hidup?
Setelah menyelesaikan tulisannya, ia membanting buku serta pena yang tadi ia gunakan masuk ke dalam tas, bangkit dari posisi duduknya, kemudian melepas sepatu beserta kaos kaki yang ia kenakan. Dilipatlah surat yang ia tulis menjadi bentuk yang lebih kecil dan ia masukkan ke dalam sepatu yang ia kenakan. Dengan telanjang kaki, ia memanjat pagar pembatas berkarat itu dan mendaratkan kedua kakinya pada tepi jembatan.
Beberapa detik ia memandangi alas kaki yang berisikan surat terakhir yang ia tulis sebelum ia akan terjun ke bawah. Beberapa detik, ia memandangi aliran sungai deras yang berada jauh di bawah. Beberapa kali ia menanyakan soal apakah langkah yang ia ambil ini merupakan langkah terbaik.
Mumpung sekarang ia sedang membulatkan tekad, lebih baik ia lakukan sekarang.
Namun, disaat ia baru saja hendak melompat, terdengar suara yang berasal dari arah belakangnya. Kali ini bukanlah guguran daun yang tertiup angin, ataupun dengkuran seekor kucing. Kali ini adalah suara dari sol sepatu yang bergesekan dengan aspal. Suara yang semakin lama semakin terdengar dengan jelas, tanda bahwa sumber suara itu sedang menuju ke arahnya.
"Jika aku berada di posisimu, aku akan berusaha untuk tetap bertahan, setidaknya sampai aku menemukan jawaban dari ini." Ucap seseorang yang tengah berdiri tepat di belakangnya.
Tubuhnya yang hampir terjun bebas ke bawah itu berputar 180 derajat. Manik rubi tak berkehidupan itu menangkap seseorang dengan surai setengah merah dan setengah putih yang tak pendek pun tak begitu panjang. Dua pasang mata tajam dengan manik heterokromia, kelabu di sisi kanan dan pirus di sisi kiri. Terdapat semacam luka atau tanda lahir berwarna merah gelap pada sisi kiri wajahnya. Jika dilihat dari perawakannya, sepertinya mereka seumuran.
Kalau boleh jujur, manusia itu mirip sekali dengan si kucing aneh yang selama ini ia rawat. Namun, tentu saja ia tak mengekspresikannya secara gamblang.
Katsuki menghela nafasnya, panjang. "I've messed up every life I've lived. There will be no other."
Manusia misterius itu terkekeh pelan mendengar kalimat darinya. "Sō ka?"
Mendengar responnya yang begitu, manusia kepala durian itu merasa sedikit geram. "Kau terdengar seperti meremehkan kalimatku barusan. Apa ada kata-kata bijak yang ingin kau sampaikan sebelum aku terjun?" Ucapnya, dengan menunjukkan raut wajahnya yang sedikit kesal pada manusia sok dekat itu.
"Entahlah. Aku bukan manusia yang suka berbicara dengan kata-kata ajaib. Tapi, yang ingin kusampaikan adalah masih ada sekali lagi kesempatan untuk mencoba menyelamatkannya."
Jika ada penghargaan manusia teraneh di muka bumi, Katsuki akan memberikannya pada orang ini. Jelas saja perkataan dari insan itu membuat Katsuki bingung. Untuk apa orang yang baru pertama kali bertemu dengannya mengatakan hal seperti itu? Bukannya perkenalan dulu (bukan berarti Katsuki ingin mendengar basa-basi darinya juga, sebenarnya).
"Menyelamatkan siapa?" Ucapnya. Entah mengapa Katsuki masih mau meladeninya. Padahal ia bisa saja lompat sekarang sebelum tekad itu kembali menciut.
"Si kucing aneh." Demikianlah jawaban si manusia aneh.
Katsuki mengernyitkan alisnya. "Ha? Maksud?"
Tanpa memberi jawaban, manusia yang baru pertama kali bertemu dengannya itu mengarahkan jari telunjuk kanannya pada sesuatu. Arah pandang insan pemilik manik rubi itu kemudian terarah pada apa yang dimaksud olehnya. Sontak, kedua matanya terbuka lebar.
Dipandanginya sesuatu yang familiar. Seekor kucing yang kurang dari 24 jam yang lalu ia buang. Tergeletak diatas selimut yang disampingnya terdapat mangkuk yang terendam air hujan. Dua kaki belakang serta bagian belakang tubuhnya yang terlihat sudah lumpuh. Bagian atas tubuhnya terlihat sedikit naik dan turun perlahan, menandakan ia masih bernafas meski lemah.
"Kau tahu? Jantungnya masih berdetak. Masih ada waktu untuk menyelamatkannya." Ucap sang manusia misterius.
Melihat itu, insan yang hampir mengakhiri hidup tersebut segera berlari ke arah kucing yang pernah ia rawat selama 3 bulan lamanya. Sembari berlari kearahnya, ia meneriaki sang manusia misterius yang memberitahukan keadaan si kucing. "KENAPA TIDAK KAU SAJA YANG MENOLONGNYA SEJAK AWAL JIKA KAU TAHU DIA ADA DISITU?!"
Iris kelabu dan pirus terpaku pada insan yang tengah melepas blazer seragamnya untuk di balutkan pada sang kucing. Sembari berjalan untuk menyusulnya, ia berkata padanya. "Aku tak ada ponsel, aku tak tahu dimana rumah sakit hewan, dan kau adalah orang pertama yang kulihat disini. Jadi..."
Langkahnya terhenti ketika dirinya telah tiba tepat di belakang manusia kepala durian itu. Menyadari bahwa ia menghentikan kalimatnya disitu, Katsuki menengok ke arah belakang untuk bertatapan langsung dengannya.
"Aku butuh bantuanmu." Lanjutnya.
Bertepatan dengan itu, awan kelabu yang sedari tadi menutupi sang mentari kini beranjak pergi terbawa oleh angin. Pancaran sinar mentari senja yang berwarna jingga mengenai wajahnya. Membuat iris beda warna itu nampak berkaca.
Jujur saja, dia terlihat seperti bukan manusia. Dan tatapan yang ia berikan, seolah ia sedang mewakilkan perasaan sang kucing. Benar-benar nampak seperti dari hati yang paling dalam.
Entah mengapa itu membuat Katsuki merasa tergerak hatinya untuk sekali lagi mengurungkan niat bunuh dirinya. Merasa bahwa kali ini ia harus berusaha memperbaiki kesalahannya dengan menolong kucing ini. Ya, sang kucing yang telah banyak menolongnya sebelum kejadian nahas ini terjadi.
Tanpa melontarkan kata-kata lagi, Katsuki berdiri dari posisi berjongkoknya, dengan membawa seekor kucing yang ia balut dengan blazer seragamnya sendiri. Kemudian, ia segera beranjak pergi menuju rumah sakit hewan yang berada di dekat situ. Tak lupa juga ia mengisyaratkan pada manusia yang meminta bantuan itu untuk mengikutinya.
Pada senja hari itu, jembatan tua terbengkalai menjadi saksi atas dua makhluk. Satu dalam keadaan fisik yang normal namun jiwa yang sekarat, sedangkan yang satu dalam keadaan fisik yang sekarat namun jiwa yang terus berjuang. Yang satu mengharapkan kematian, yang satu mengharapkan kehidupan.
Tidak sampai makhluk ketiga datang menginterupsi. Datang untuk menyambung kembali tapi yang telah diputus secara paksa oleh salah seorang darinya. Membuatnya kembali tersadar bahwa tali yang telah terhubung tak mungkin bisa diputus begitu saja.
Makhluk aneh berwujud manusia yang kini tengah duduk tepat disampingnya di ruang tunggu. Sama-sama menunggu kabar dari dokter hewan yang kini sedang menangani kucing yang mereka temukan tadi dalam diam. Membiarkan kesunyian yang menusuk hati menyelubungi keduanya.
Hingga salah satu darinya memecah kesunyian tersebut.
"Kucing itu pernah tinggal di rumahku selama 3 bulan, sebelum aku melepasnya karena orang-orang di rumah tak menerimanya." Ucap Katsuki, dengan pandangannya yang tertunduk ke arah sepatunya. Sepatu yang pernah digondol si kucing aneh.
Tanpa memandang ke arahnya juga, makhluk yang diajak omong merespon, "Sedih rasanya jika keinginan orang-orang terdekatmu tak sesuai dengan keinginanmu."
"Memilki kucing itu bukan keinginanku dari awal. Aku hanya terpaksa merawatnya."
Baru kali ini kepala insan dengan surai dwiwarna itu tertuju kearahnya. Ia berkata, "kalau itu bukan keinginanmu, kau bisa saja menyerahkan kucing itu ke shelter. Kau bisa saja membiarkan mereka yang mengurus kucing itu dan melanjutkan aksi bunuh dirimu saat pertama kali kau menemukannya."
Mendengar kalimat yang dilontarkan olehnya, dua kelopak mata Katsuki terangkat dengan lebar. Secara perlahan, iris rubi itu ia arahkan lurus pada iris heterokromia milik insan di sebelahnya.
Surai dengan warna merah krimson disisi kiri dan putih salju di sisi kanan. Kedua mata dengan iris pirus disisi kiri dan iris kelabu di sisi kanan. Tanda lahir/luka disisi kiri wajah bagian atasnya.
Jika dipikir-pikir, dia terlihat seperti representasi dari kucing Shoto jika ia adalah seorang manusia.
Untuk beberapa saat, keduanya saling beradu pandang, tanpa mengeluarkan sedikit suara pun. Yang satu berusaha mencerna kalimat darinya, yang satu lagi membiarkan yang lain mencerna kalimat yang dirinya ucapkan.
Katsuki pikir, dirinya sudah gila. Bisa-bisanya disaat seperti ini, ia berpikiran bahwa makhluk yang tengah duduk di sampingnya ini adalah jiwa dari si kucing aneh yang lepas dari tubuhnya. Berusaha berkomunikasi dengannya dengan wujud manusia. Guna menyampaikan isi hati terdalam dari sang empu.
Beberapa saat kemudian, insan dengan manik rubi itu kembali mengarahkan pandangannya ke arah sepatu yang ia kenakan. Kemudian ia berkata, "jika kau terus menghalangiku untuk mengakhiri hidup, maka beritahulah jawabannya! Kenapa aku malah semakin kehilangan arah dan tak tahu tujuan?!"
Makhluk berwujud manusia (yang Katsuki belum tahu apa dia manusia betulan atau bukan) itu menaruh pandangannya pada jendela lebar yang terpasang di koridor rumah sakit hewan. Memandangi piringan atas jingga yang hanya terlihat setinggi satu ruas jari. Menandakan mentari akan segera terbenam.
"Dengan segala rangkaian peristiwa yang terjadi, seharusnya kau sudah mengetahui jawabannya. Akan tetapi, satu-satunya hal yang harus kusampaikan padamu adalah, sekali-kali cobalah angkat kepalamu dan lihatlah individu lain dalam memahami kehidupan." Jawabnya, masih terus memandangi indahnya benam mentari dari tempatnya duduk.
Sekali lagi kedua mata tajam dengan iris rubi itu terbuka lebar, tertohok atas apa yang disampaikan olehnya. Dua kalimat yang terlontar dari makhluk berwujud manusia itu seolah menusuk segala organ tubuhnya, mulai dari telinga, akal pikiran, hingga ke hatinya. Bukan menusuk dalam artian yang buruk. Namun, rasa menusuk itu seolah menusuk dan memaksanya untuk menaruh mata pada sudut pandang lain.
Selama ini, yang ada di pikirannya adalah "hidupku urusanku, hidupmu bukan urusanku". Disaat ia berjuang, yang ada di pikirannya adalah "aku berjuang hanya untuk diriku dan kepuasanku sendiri". Tak pernah ada pemikiran tentang "aku berjuang untuk orang lain". Disaat ia berbuat baik pada orang lain, yang ada di pikirannya adalah "aku berbuat baik karena aku bukan bajingan". Tak pernah ada pemikiran tentang "aku berbuat baik karena orang lain memerlukan bantuanku".
Selama ia hidup, yang ia perhatikan hanyalah kewajiban sebagai seorang manusia. Entah itu kewajibannya sendiri, maupun kewajiban orang lain. Tanpa mengingat bahwa masih ada yang namanya hak sebagai seorang manusia yang harus dipenuhi, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Jika ia telah mencapai puncak kepuasan diri, apa yang akan ia peroleh setelahnya? Jika ini adalah soal puncak, maka ada banyak manusia juga yang bisa mencapai puncak. Buktinya, ada banyak manusia yang mulai menyusulnya dan membuatnya tak lagi menjadi spesial.
Apakah selama ini ia adalah seorang bajingan yang hanya berbuat baik karena menganggap dirinya sendiri bukanlah seorang bajingan?
Selama ini, ia hanya hidup demi dirinya seorang. Selama ini ia hanya memahami dan menjalani kehidupan dalam keegosentrisan. Tanpa menyadari bahwa selama ini ia merasa kesepian.
Yang selama ini ia butuhkan adalah hubungan.
Hidup yang egosentris hanya akan membuat dirinya lelah pada akhirnya. Karena hidup adalah tentang saling memberi kehidupan. Hidup adalah untuk meninggalkan tanda-tanda kehidupan indah bagi mereka yang berharga.
Hidup bukan hanya tentang bagaimana ia memperoleh posisi puncak. Namun juga bagaimana ia meninggalkan jejak bagi yang lain. Bagaimana ia menuntun mereka pada posisi puncak dan bersama-sama turun dari puncak dengan selamat.
Tak perlu menyesal dan meminta Yang Maha Kuasa untuk memutar waktu. Yang perlu dirinya lakukan hanyalah mencoba memandang dunia dengan sudut pandang lain.
Ia yang memutuskan untuk memberi si kucing tempat tinggal sementara bukan karena dirinya tak ingin mendapat dosa, ataupun karena ia tak menganggap dirinya seorang bajingan. Namun, itu karena kucing itu memerlukan bantuan darinya. Juga sebagai bentuk balas budi pada sang kucing yang mencegahnya mengakhiri hidup, sehingga saat ini ia masih berkesempatan untuk memahami kehidupan dari sisi lain.
Ia dan kucing itu hidup untuk saling menghidupi.
Sejak kedatangan si kucing, bukannya ia semakin kehilangan arah. Namun yang sebenarnya terjadi adalah ia telah menemukan arah tujuan baru. Arah dimana ia menemukannya berkat tuntunan dari si kucing yang menemukannya di kala senja itu.
Ia telah maju selangkah dalam mendapatkan yang namanya sebuah hubungan. Sebuah tujuan hidupnya yang belum pernah ia lirik selama ini. Yang mulai sekarang sebuah hubungan akan ia jadikan sebagai tujuan hidupnya yang baru.
Setelah mendapatkan pengalaman dari menjalin hubungan dengan seekor kucing, kini ia harus mempraktikkannya pada sesama manusia.
"Aku mengerti sekarang." Ucap insan dengan surai durian itu. Dengan menunjukkan kedua iris matanya yang berseri-seri.
Melihat dari ekspresinya yang seolah sudah paham, insan dengan manik heterokrom itu tersenyum. "As you should."
Tak lama setelah itu, pintu ruang penindakan terbuka. Dari dalam ruangan tersebut, keluarlah dokter yang menangani kucing yang mereka bawa.
"Atas nama Kucing Shoto." Katanya.
Sontak kedua manusia yang menunggui kucing itu langsung berdiri. Keduanya pun melangkahkan kaki mereka ke arah dokter.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya Katsuki, dengan berusaha menutupi perasaan cemasnya. Meski begitu, ia tetap terlihat cemas dengan kedua tangannya yang mengepal begitu kuat.
Orang yang ditanyai itu menunjukkan raut wajahnya yang tak mengenakkan. Dari situ, Katsuki sudah tahu apa yang akan dikatakan sang dokter. Seketika tubuhnya terasa lemas.
"Kami ingin menginformasikan bahwa kucing Shoto tidak dapat bertahan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, kami tidak bisa melawan takdir Yang Mahakuasa. Kerusakan tulang belakangnya cukup parah. Beberapa organ juga mengalami kerusakan sehingga tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya."
Tidak. Katsuki tak memerlukan pernyataan secara resminya. Cukup dari raut wajahnya saja ia sudah tahu apa yang akan dikatakannya. Ia sudah tahu kalimat itu akan terucap. Namun, ia belum siap menerima jawabannya sekarang.
Entah mengapa saat ini kedua matanya berair. "KENAPA?" Entah kenapa pula dia berteriak di rumah sakit hewan. Mengalahkan berisiknya gonggongan anjing yang berada disekitar.
"Maaf. Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Penguburan akan dilakukan besok pagi. Jika ingin melihat prosesnya, Anda bisa kembali kesini besok pagi." Ucap sang dokter, yang kemudian ia segera beranjak pergi dari tempatnya. Entah untuk mengurus urusannya yang lain ataupun hanya ingin menghindari konflik.
Seperginya sang dokter, Katsuki segera melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi terdekat. Sesampainya di dalam, ia menendang tempat sampah yang berada di dekatnya hingga isinya keluar semua.
"KUSOOOOO!!!!" Ucapnya, sembari mengangkat tempat sampah yang kosong itu dan dibantinglah benda tak bersalah itu.
Dengan nafas yang terengah-engah karena emosi, ia jatuh berlutut. Sekali lagi, erangan penuh rasa emosi berhasil ia keluarkan dari tenggorokannya.
Disaat tak ada lagi yang bisa ia keluarkan, tubuhnya ambruk ke bawah lantai. Tangan kirinya meremas sampah tisu yang jelas-jelas jorok dan banyak kuman dan bakteri. Namun ia tak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah perasaan kesal yang entah harus dilampiaskan dengan cara apa.
"Halo?" Suara yang datang tiba-tiba dari arah pintu masuk itu mengalihkan perhatiannya.
Oh, benar. Dia masih ada disini. Bagaimana bisa dirinya melupakan keberadaannya?
Tanpa membuat dirinya bangkit, Katsuki menjawab. "Hola halo hola halo. Bisa diem gak?!" Ucapnya, dengan penuh penekanan.
"Kau nampak tidak berenergi." Insan dengan surai dwiwarna itu berkata sembari mendekati manusia yang tengah berbaring diatas lantai kamar mandi yang jorok dan tidak higienis.
Jelas saja dirinya tak berenergi. Sejak pagi tadi ia melihat kucingnya tertabrak oleh truk, yang kemudian kucing itu kabur entah kemana dengan pacuan andrenalin yang kuat. Sore harinya, ketika ia kembali ke jembatan itu, tiba-tiba ia dipertemukan kembali dengan si kucing, persis seperti kala itu. Bedanya hanya kucing itu sedang sekarat.
Masih dalam keadaan berbaring, ia berkata, "sekeras apapun aku berusaha, tetap saja aku gagal menyelamatkan nyawanya. Aku tak pernah bisa memberinya lebih dari apa yang telah kuberi. Dia tak pernah bisa mendapatkan kehidupan yang layak karena aku terlibat dalam hidupnya."
Manusia dengan surai dwiwarna itu mengangguk. Kemudian ia berjongkok tepat di belakang punggung sang kepala durian yang tengah berbaring. "Ini bukan soal berhasil atau gagal, bukan pula soal seberapa banyak materiel yang kau keluarkan demi makhluk lain. Namun, ini adalah soal seberapa besar bagian dari kehidupanmu yang kau berikan pada makhluk lain. Kau baru saja merelakan momen besarmu demi menolong seekor kucing. Tidak, itu sudah kau lakukan jauh sejak pertama kali kau memutuskan untuk merawatnya. Itu saja sudah lebih dari cukup."
Hal selanjutnya yang terjadi adalah ia merasakan sebuah telapak tangan yang menepuk pelan punggungnya. Membuatnya sedikit tersentak dengan kontak fisik yang tiba-tiba ia terima.
"Bakugou Katsuki, daijōbu. terima kasih sudah menyempatkan diri untuk merawat si kucing aneh. Kau hebat! Oleh karena itu, teruslah hidup!" Ucap sebuah suara yang bersumber dari orang yang ia punggungi.
Rasanya de javu. Ia seperti pernah mengalami hal ini, persis seperti ini pula. Terjatuh lemah diatas lantai kamar mandi. Emosi dalam hati di dominasi oleh perasaan negatif. Kemudian datanglah tepukan pelan pada punggungnya. Membuatnya merasa seolah-olah telapak tangan itu datang untuk menyerap segala perasaan negatif yang terpendam dalam hati.
Kejadian itu adalah tiga bulan yang lalu. Di hari yang sama pula saat ia hampir memutuskan untuk mengakhiri hidup. Bedanya, saat itu yang datang menolongnya adalah seekor kucing. Sedangkan saat ini, yang datang menolongnya adalah makhluk berwujud manusia.
Mengingat itu, entah bagaimana caranya perasaannya kini kembali tenang, dapat terkontrol. Ia kemudian bangkit dari posisinya berbaring tadi untuk melihat wujud manusia yang memberinya rasa tenang tadi. Hanya untuk mendapati bahwa manusia misterius itu sudah menghilang entah kemana. Ia bahkan tak merasakan kepergiannya.
Katsuki tersenyum tipis sembari menyeka air matanya.
"Arigatō. Aku akan tetap hidup."
Pada senja hari itu, dinding rumah sakit hewan menjadi saksi atas dua orang makhluk. Yang satu dalam keadaan fisik yang normal namun jiwa yang rusak, yang satu dalam keadaan fisik yang lemah namun jiwa yang terus berjuang. Pada akhirnya makhluk yang kedua harus mengakhiri perjuangannya lantaran fisiknya yang tak lagi dapat melanjutkan perjalanannya.
Namun perjalanannya tak berhenti disitu. Jiwanya yang masih memiliki semangat untuk berjuang ia berikan pada makhluk lain yang fisiknya normal namun dalam keadaan jiwa yang rusak. Berusaha membuat orang lain tak menyerah dengan keadaannya dan terus berjuang sepertinya.
I messed up every life I've lived, but I'm still living to make things better
- End -
