Naruto dan semua karakternya milik Masashi Kishimoto
Cerita ini dibuat oleh Aelona Betsy, saya hanya merevisi
Chapter 1
28 Desember 1997
Salju berjatuhan dari dahan-dahan pohon yang kini tak berdaun. Sehabis badai salju menghujam bumi Konoha kemarin malam, pagi ini warna Konoha telah berubah menjadi putih. Atap-atap rumah yang didominasi warna tanah, beberapa mungkin warna seng berkarat, kini semuanya putih.
Walau salju sudah tak turun lagi, namun kabut di pagi hari sangat tebal. Seseorang pasti tidak dapat melihat apa pun yang berada lima meter di depannya. Oleh sebab itu, pria yang kini tengah berdiri di depan gerbang sebuah panti asuhan sambil memandangi bayi mungil dalam keranjang yang ia bawa, turut menajamkan pendengarannya.
Suara buldoser yang teramat nyaring perlahan mendekat ke arahnya. Sadar petugas pembersih jalan akan datang, dia langsung meletakkan keranjang dan pergi dari sana, menuju mobilnya yang terparkir lumayan jauh dari gerbang itu. Dia berusaha mengabaikan tangisan bayi yang langsung pecah setelah kepergiannya. Untunglah dia ingat posisi mobilnya.
Dalam keheningan yang menyesakkan itu, dia membenturkan kepalanya ke setir mobil. Di pikirannya dia selalu menanyakan hal yang sama. Mengapa semua harus terjadi pada cucunya? Dengan kedua tangan keriputnya, dia menggenggam setir mobil dengan erat. Dia bersumpah akan menghabisi siapa pun yang menyebabkan semua ini terjadi.
Sosok perempuan tua masih nyenyak di balik selimut abu-abu miliknya. Rambut putihnya terurai di atas bantal yang ia gunakan sebagai alas kepalanya. Ini sudah masuk masa libur musim dingin, karena itulah pada hari-hari seperti ini dia akan bangun lebih lama. Tidak ada anak yang harus diurus perlengkapan sekolahnya, mereka semua juga pasti masih bergelung di tempat tidur sambil sesekali berebut selimut dengan teman sekamarnya.
Kelelapannya sama sekali tidak terganggu, meskipun dari luar seseorang terus saja berteriak sambil memukul-mukul pintu gerbang yang terbuat dari besi. "Hayate!" Pria itu adalah petugas pembersih jalan. Jalan di depan panti asuhan itu memang belum sempat ia bersihkan subuh tadi. Dia kenal betul dengan penghuni pos satpam di panti asuhan itu.
"Sabar, ya, manis." Dia berusaha menenangkan bayi dalam keranjang yang tadi menghentikan pekerjaannya dengan tangisan pilu. "Hayate!" dia meneriakkan nama satpam sekeras yang ia bisa.
Tak lama setelah teriakan pamungkas itu, seorang wanita tua tergopoh-gopoh. Wanita itu membalut dirinya dengan selimut abu-abu. Dia terlalu terburu-buru untuk mencari mantel. "Ada apa?" tanyanya sambil membuka gerbang dengan kunci cadangan.
Sebelum menjawab, petugas pembersih jalan tadi langsung menodong wanita itu dengan keranjang yang berisi bayi. "Aku temukan dia di depan sini," jawabnya. Sebelum wanita itu melontarkan pertanyaan lagi, dia berujar, "Chiyo-san, daripada bertanya, bawa dia ke dalam. Wajahnya sangat merah, dia pasti kedinginan."
"Terimakasih. Dia bisa mati kedinginan."
"Tentu saja. Aku pergi dulu, sampaikan salamku pada Hayate."
Sampaikan salam pada Hayate katanya, Chiyo bersumpah akan menarik telinga anak itu nanti. Dia membawa bayi itu masuk ke kamarnya, lalu mengeluarkannya dari sana. Dia ternganga. Bayi dalam gendongannya itu masih sangat merah, pasti baru saja lahir, pantas terus-terusan menangis. Orangtua mana yang tega meninggalkan anaknya dalam keadaan seperti itu, setidaknya kan bisa menunggu sampai usianya dua atau tiga bulan kalau memang ingin meninggalkannya.
Selimut ungu muda yang membungkus tubuh bayi itu pun terasa sangat lembab. Ia langsung membuka selimut itu dan menggantikannya dengan selimut merah yang sudah kusam. Selimut yang pernah dipakaikan pada beberapa bayi yang sengaja ditinggal di sini. Salah satunya masih tinggal di sini, sudah berusia tiga tahun.
"Nek, aku dengar …" Ayame terpelongo. Tadinya dia diperintah Hayate mengecek gerbang, itu saat sebuah suara terdengar sangat keras serta kesal. Dia mau melakukannya karena satpam itu sedang demam. Sesampainya di gerbang, dia tidak melihat siapa pun, oleh sebab itu dia datang ke kamar Chiyo yang letaknya dekat dengan pos satpam. "Lagi?" tanyanya.
"Jangan banyak omong. Ambilkan asi sana!" perintah Chiyo.
"Eh, kita masih punya asi? Bukannya sudah habis, ya?" tanya Ayame heran. Chiyo menatap tajam wajah Ayame. Gadis itu langsung saja pergi.
Beberapa menit kemudian dia kembali dengan botol susu yang berisi asi. Sepanjang perjalanan kembali ke kamar Chiyo tadi, Ayame menebak-nebak manusia mana yang mengisi stok asi mereka, sampai penuh sekali. Kemudian dia memperhatikan bayi yang sekarang rakus menyusu pada botol yang dibawanya barusan.
"Anak ini beruntung, ya. Padahal sudah seminggu asi kita kosong, tiba-tiba sekarang jadi penuh begitu." Dia berbicara sambil terus memandangi bayi yang menurutnya sangat lucu itu. "Apa yang berteriak di luar tadi ayahnya?"
Chiyo tersenyum. "Nasibnya cukup bagus. Tuan Ibiki kemarin yang mengisi stoknya. Dibawa langsung dari Hyuuga Hospital. Yang berteriak tadi petugas pembersih jalan, dia yang mendengar anak ini menangis. Seharusnya Hayate juga mendengar, ya, kan? Ke mana Si Malas itu?"
Ia ber-oh sambil mengangguk-angguk mengerti. "Kali ini dia benar-benar demam. Aku sendiri yang memeriksanya tadi. Omong-omong orangtuanya meninggalkan nama untuknya? Orangtua kebanyakan kan meninggalkan anaknya bersama secarik kertas."
"Oh, iya, juga." Chiyo berujar demikian. Dia belum terpikir ke sana tadi. "Coba lihat keranjang itu," katanya, lalu menunjuk sebuah keranjang dengan dagunya. Ayame menuangkan semua isinya, mencari-cari secarik kertas yang dimaksud.
Keranjang itu berisi beberapa lembar selimut dan pakaian yang ikut lembab karena dihinggapi embun. Sejumlah topi dengan berbagai macam warna dan bentuk. Kaos kaki dan sarung tangan lucu dengan berbagai motif dan warna, namun sepertinya tak ada satu pun warna merah muda di sana. Ayame terus mengacak-acak barang-barang itu. Semenit kemudian barulah dia menemukan secarik kertas yang nyatanya terselip di selimut ungu muda yang tadi membungkus tubuh mungil si bayi.
"Di sini hanya tertulis, Hinata, 27 Desember 1997, tidak … demi Tuhan, dia lahir kemarin." Ayame mulai berujar tak percaya, mengutuk siapa saja yang meninggalkan bayi itu di luar panti. Dia terus saja melontarkan ucapan-ucapan penuh kemarahan. "Padahal kalau dilihat dari barang-barangnya, anak ini mungkin dari keluarga berada, lihat saja selimutnya terbuat dari bahan bagus."
"Apa pun alasannya, sekarang Hinata sudah ada di sini. Jadi, dia adalah tanggung jawab kita. Daripada kau terus mengoceh, lebih baik kau kerjakan tugasmu." Buru-buru Ayame pergi dari sana. Dia harus membuatkan sarapan untuk seluruh penghuni panti.
Bayi mungil itu diletakkan di atas tempat tidur. Chiyo merapikan barang-barang yang berserak di atas kasur sambil meneliti selimut, pakaian, kaos kaki dan sarung tangan. Ayame berkata benar, semuanya dibuat dari bahan unggul. "Apa sebenarnya yang membuat keluargamu membawamu ke sini?"
Dia menimbang-nimbang. Dulu ada anak laki-laki tuli yang ditinggalkan di stasiun kereta. Polisi membawanya ke panti lantaran keluarga anak itu tak kunjung ditemukan. Mungkin anak yang sedang lelap di kasurnya itu ditinggal untuk alasan serupa. Dia menghela napas lelah.
Dua puluh tahun dia mengabdi di panti, dia sudah melihat banyak kemurungan di wajah anak-anak yang tak diingankan. Tetapi, apa yang dimengerti Hinata? Dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak tahu bedanya punya ayah dan ibu dengan tidak punya.
Semua anak-anak di sini pun begitu. Ketika terlalu kecil untuk mengerti mereka terus tersenyum. Namun, semakin tumbuh, maka mengertilah mereka bahwa mereka berbeda dengan orang pada umumnya, yang punya ayah dan ibu, mungkin juga saudara dan saudari. Itu membuat mereka bersedih.
Saat itu juga, jika ditanya apa cita-cita mereka, maka dengan polos mereka menjawab, "Aku hanya ingin menjadi anak dari seorang ayah dan seorang ibu." Cita-cita yang terlihat mudah di mata orang, namun bagi mereka sulit diwujudkan, belakangan lebih banyak anak yang ditinggalkan daripada yang diadopsi.
Jika ada anak yang diadopsi, maka Happy Places akan diwarnai kesedihan. Setelahnya, mereka akan memulai awal baru, yaitu awal mula tanpa salah satu anggota mereka. Sebaliknya, suasana akan terasa ceria jika mereka kedatangan anggota baru. Karena Chiyo memang selalu mengajarkan mereka untuk tersenyum gembira saat menyambut anggota baru.
"Hinata, kau sangat kecil. Tetapi, tenang saja, kau punya keberuntungan yang bagus." Ia tersenyum kecil mengingat apa yang dikatakan Ayame tadi, dan juga apa yang dia pikirkan. "Mulai sekarang, inilah tempatmu pulang. Kau tak perlu takut jika kau tak menemukan satu pun sudut di dunia ini yang mau menerimamu, karena kau akan selalu diterima di sini."
28 Maret 2002
Uchiha Sasuke fokus pada berita siang yang sudah seminggu lalu menghadirkan kasus kebakaran Hyuuga's Mansion. Bukan hanya mansion, beberapa pabrik dan rumah sakit milik klan paling kaya di Konoha itu pun ikut terbakar. Yang paling mengejutkan bagi Sasuke adalah kematian seluruh Hyuuga. Dia tidak percaya semua Hyuuga sudah mati. Karena itulah dia terus mengikuti proses penyelidikan kasus kebakaran itu. Mungkin saja ada kabar yang mengatakan bahwa salah satu dari mereka masih hidup.
Sesaat dia teringat pada Neji, seseorang yang dulu menjadi rivalnya. Sasuke menganggap Neji itu jenius dan akan bangga jika menang bersaing dari Neji. Namun, Neji menganggap dia rival untuk alasan lain, yaitu karena Sakura menyukainya. Entah kenapa kejeniusan Hyuuga Neji itu jadi terlihat tolol kalau sudah berurusan dengan Sakura.
Sakura juga, mereka berdua sama tololnya. Semenjak kebakaran terjadi, gadis itu seperti mayat hidup. Dulu saja waktu dipuja-puja oleh Neji, tanggapannya selalu kasar, sekarang kena karma. Kabar kematian Neji membuat gadis itu jadi murung, bahkan terus berlanjut sampai hari ini. Buktinya saja, dia tidak dikirimi undangan acara ulang tahun. Sakura kan berulang tahun hari ini.
Sebenarnya dia merasa lega, setidaknya Sakura tidak mengganggunya selama di sekolah. Meskipun empat tahun lalu Neji menghilang, pergi tanpa mengatakan apa pun pada teman-temannya, dia tetap menjadikan Neji saingan. Ada catatan prestasi Neji di sekolah yang menjadi saingannya.
"Sasuke-chan, kaa-san dan tou-san pergi dulu, ya." Sasuke tidak terlalu peduli dengan ibunya yang berpamitan, dia hanya menggumamkan 'hn'
Belum lagi berita itu selesai, Naruto datang merecokinya. "Sasuke, katakan padaku, apakah kau juga tidak dapat undangan dari Sakura-chan?" Si Pirang langsung mengambil posisi di sebelahnya.
"Iya." Naruto menggaruk-garuk kepalanya. Dia bingung. Sasuke menggeram marah ketika dia bertanya lagi. "Aku tidak dapat undangan dari Sakura-chan," kata Sasuke selengkap-lengkapnya.
"Empat tahun belakangan dia selalu semangat sekali dengan ulang tahunnya. Tapi tiba-tiba, beberapa hari belakangan dia seperti tak berjiwa. Iya, tidak?"
"Diam, Uzumaki!" bentak Sasuke. Pasalnya apa pun yang dikatakan reporter yang mengabarkan perkembangan kasus kebakaran itu tidak terdengar karena suara Naruto.
"Aku kan cuma tanya, masa kau tidak peduli. Ayolah, Sasuke, dia sudah memberikan segenap cintanya untukmu. Dia juga kan teman kita, setidaknya kita cari tahu dia kenapa."
Dari dulu sampai sekarang, dia paling benci dengan sifat ngotot Naruto itu. Dia mendengus kesal, lalu mematikan televisinya. "Sakura. Sedang. Patah. Hati. Kekasihnya mati, jadi wajar saja dia muram." Sasuke berujar penuh penekanan.
"Astaga, ya, Tuhan, kalian ini masih kecil sudah bicara soal kekasih." Itachi yang baru saja turun dari kamarnya berujar demikian. Wajah remaja tanggung itu dihinggapi keterkejutan. Seingatnya, dia tidak pernah memberi contoh yang tidak-tidak pada adiknya.
Kedatangan sepasang suami-istri Uchiha menghentikan semua orang dari melakukan kegiatannya di Happy Places. Uchiha Fugaku sudah sering datang ke sana, namun ini lah pertama kalinya dia datang bersama istrinya. Anak-anak mulai memikirkan hal yang mereka impi-impikan, memiliki orang tua. Mungkin saja pasangan Uchiha itu datang untuk mengadopsi salah satu dari mereka.
Pemikiran itu membuat mereka kompak membersihkan diri mereka masing-masing. Duduk dengan tenang di taman sambil bercerita hal-hal yang baik, berbanding terbalik dengan hal yang mereka lakukan sebelumnya. Saling menarik, ada yang meletakkan ulat keket di bahu temannya yang takut ulat, serta hal-hal iseng lain.
Uchiha tersenyum kecil melihat anak-anak itu yang menyapanya dengan senyum hangat. Dia berjalan di belakang suaminya sambil mengamati anak-anak perempuan. Sejauh ini belum ada yang membuatnya tertarik. Lagipula, dia ikut dengan suaminya bukan untuk mengadopsi anak. Hanya sedikit rasa ingin tahu, tetapi kalau ada anak perempuan yang manis, dia akan memikirkan soal adopsi.
Selama ini dia hanya mendengar kisah dari suaminya, atau kalau pria itu sedang rajin dia bisa melihat foto. Kemarin suaminya bilang panti asuhan itu baru direnovasi pada musim semi tahun lalu. Tetua Hyuuga yang mengucurkan dana. Dia sampai heran mengapa klan paling elit di Konoha itu sangat perhatian pada Happy Places. Setiap bulan, sepulang dari sana, suaminya selalu mengisahkan betapa baiknya Hyuuga. Bahkan, setiap bulan Hyuuga menyediakan check-up gratis di tempat itu.
"Kurasa, setelah mereka tewas semua, tidak akan ada lagi yang mengucurkan dana berlebih untuk tempat ini," bisik Mikoto. Ia menunggu di sebelah suaminya yang baru saja mengetuk sebuah pintu. "Entah siapa yang tega melakukan itu kepada orang baik seperti mereka."
"Menyayangkan memang, tetapi kita dan donatur lainnya masih mampu menghidupi mereka semua," tanggap Fugaku. Dia dan istrinya masuk ke ruangan Akasuna Chiyo, kepala panti asuhan itu, setelah Chiyo berseru mempersilakan mereka masuk.
"Uchiha-san," kata Chiyo tampak kaget. "Tidak biasanya datang secepat ini," imbuhnya. Ia mengangguk sambil tersenyum geli kala Fugaku mengedikkan kepalanya ke samping kiri. Wanita itu sepertinya begitu intens menatap sosok mungil yang sedang duduk manis di atas kursi panjang sambil menyendok es krim cokelat.
Pipinya yang bersemu merah membuat Mikoto gemas. Poni dan rambut berwarna langit malam yang membingkai wajah bulatnya, semakin mempermanis dan menambah kesan imut. Hidung kecil dan bibir mungi semerah cherry benar-benar menggemaskan di mata Mikoto. Gadis kecil itu mengenakan gaun polos bewarna hijau terang. Kelihatannya terbuat dari bahan yang lembut.
Dia tenggelam dalam angan-angan baru, yaitu membawa anak itu pulang ke rumah dan dijadikan Uchiha. Mikoto agak takut kalau ternyata anak itu adalah anak salah satu pekerja di sini, atau bahkan cucu dari … tiba-tiba dia menoleh ke arah Chiyo, lalu berusaha menyembunyikan rasa malu. Pasalnya Chiyo dari tadi mengulurkan tangan kepadanya, mengajaknya berkenalan.
"Maaf. Aku Uchiha Mikoto. Salam kenal," ujarnya seraya menyambut uluran tangan Chiyo. Sejenak mereka duduk di hadapan meja kerja Chiyo. Fugaku kemudian tenggelam dalam laporan keuangan panti. Lantaran bosan, dia menghampiri gadis kecil tadi. Dia duduk di sebelah gadis itu.
"Es krimnya enak, ya?" tanya Mikoto. Gadis itu sangat fokus pada es krim sampai kehadirannya tidak disadari. Pertanyaannya sepertinya menyeramkan, sebab gadis itu langsung menjaga jarak, bergeser ke ujung kursi panjang. Ia tak menyerah. Perlahan-lahan dia pun bergeser. "Hei, jangan takut, Bibi bukan orang jahat," katanya, dia berusaha bicara selembut mungkin.
"Istriku, dia takut dengan orang asing." Ternyata Fugaku sudah selesai mengecek laporan. Di sebelahnya Chiyo tersenyum, lucu saja melihat Nyonya Uchiha.
"Hinata-chan, kemarilah," kata Chiyo sembari menggerak-gerakkan kelima jarinya. Hinata yang dimaksud merasa mendapat angin segar, dia jadi punya alasan untuk lebih jauh dengan wanita asing. Dia langsung menghampiri Chiyo. "Mikoto-san, namanya Hinata. Dia datang ke sini Desember, empat tahun lalu."
Hinata berdiri di dekat Chiyo sambil memeluk kaki wanita itu. Dia bahkan menyembunyikan wajahnya di balik rok lebar Chiyo. "Ah, Hinata-chan, kau tidak kangen dengan paman." Kali ini Fugaku yang berujar. Hinata memberi respon yang mengejutkan Mikoto. Gadis itu menghampiri Fugaku dengan semangat. Kemudian, seperti selalu, Fugaku mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke dalam gendongannya.
"Ya, Tuhan, kenapa kau tak pernah cerita padaku? Suami kejam." Mikoto mengerutkan kening kesal. "Kita perlu bicara." Fugaku menurunkan Hinata dan meninggalkannya bersama Chiyo.
Mereka berjalan agak jauh dari ruangan itu. "Dia anak seseorang?" tanya Mikoto, saat dia merasa sudah cukup jauh.
"Tidak."
"Kau suka padanya?"
"Iya."
"Lalu kenapa tidak bilang padaku? Kau pasti tahu dia sangat tipeku." Mikoto melayangkan beberapa pertanyaan, yang mana jawaban suaminya membuat dirinya kecewa. "Kita sudah membicarakan ini sejak lama. Aku selalu berharap, suatu hari kau pulang dan bilang padaku, ada anak perempuan yang bisa kita adopsi."
"Masalahnya tidak sesederhana itu, Istriku. Kau mungkin tidak akan menyukainya jika tahu kondisinya." Mikoto mengerutkan kening, heran. Fugaku menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Dia menunggu beberapa saat, lalu melanjutkan, "Dia tak bisa hidup tanpa vitamin. Setengah saraf yang ada di otak kirinya tak berfungsi. Selama tinggal di sini dia sudah berulang kali masuk rumah sakit. Keberuntungannya Hyuuga Hospital selalu memberikan perawatan gratis.
"Di usianya sekarang, dia bahkan belum bisa bicara sebanyak yang seharusnya bisa ia ucapkan. Anak itu tidak normal, kau akan kerepotan. Dan aku tahu kau tidak akan memintanya setelah tahu itu."
Penjelasan suaminya membuat dia syok. Dia bayangkan kembali bagaimana gadis kecil tadi terlihat sangat normal di matanya. Manis, imut dan lucu. "Baiklah. Katakan padaku, kalau aku menginginkannya, kau keberatan?"
"Keputusan di tanganmu. Kau tahu kau ratunya." Fugaku tersenyum sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Hal itu sukses membuat Mikoto tersipu.
"Beri aku waktu untuk berpikir, dan aku perlu memikirkannya di depan Hinata."
Siapa yang mengira bahwa pasangan Uchiha akhirnya mengadopsi Hinata. Padahal Chiyo pernah berpikir bahwa selamanya tidak akan ada yang mengadopsi anak itu. Tetapi, justru pasangan dari klan elit yang mengadopsinya. Kembali dia berpikir bahwa Hinata memiliki semua keberuntungan yang dimiliki dunia ini. Hal yang pantas didapatkan gadis itu, mengingat Hinata juga mendapatkan seluruh penderitaan yang dimiliki dunia ini.
Wanita tua itu tersenyum senang melihat Hinata yang dibawa pergi oleh Uchiha Fugaku. Cukup lama tadi dia harus berbicara pada Hinata agar anak itu mengerti. Hinata sampai menangis pilu gegara dirinya tak akan bertemu Ayame, Chiyo dan yang lainnya lagi. Bahkan Mikoto pun ikut membantunya membuat Hinata mengerti.
"Hinata-chan, jangan menangis, kita akan kembali lagi ke sini, kok." Butuh waktu ekstra baginya untuk mengerti ucapan Mikoto. "Eum, Hinata-chan masih bisa ketemu dengan nenek Chiyo dan yang lainnya di sini. Sekarang, Hinata-chan pulang dulu dengan Tou-san dan Kaa-san."
Akhirnya Mikoto dan Fugaku membawa anak perempuan pulang ke rumah mereka. Sesuatu yang sudah ditunggu-tunggu Mikoto selama hidupnya. Meskipun sebenarnya masih banyak yang harus diurus untuk meresmikan pengangkatan Hinata. Tetapi, itulah Mikoto, perempuan keras kepala yang menjadikan segalanya semudah yang dia pikirkan. Perempuan yang tidak sabaran, ingin segera membunuh rasa penasarannya, yaitu 'bagaimana rasanya mengurus anak perempuan?'
Sepanjang perjalanan, wanita Uchiha itu berusaha mengakrabkan diri dengan anak perempuannya. Dia berkata ini dan itu tentang setiap hal yang mereka lewati. Kala Hinata merasa penasaran, dia akan berdiri untuk menatap ke luar jendela. Mikoto semakin gemas saat Hinata berbinar-binar menyaksikan gambar es krim yang cantik terpampang di dinding bagian depan sebuah bangunan.
"Kapan-kapan kita ke sana," kata Mikoto. Tempat itu khusus menjual makanan manis. Es krim, cokelat, kue, dan bahkan manisan asal India juga dijual di sana.
Tanpa terasa, mobil yang mereka tumpangi melewati sebuah gerbang yang menjulang, dan tampak kokoh yang di baliknya ada hutan kecil yang rapih. Pohon-pohon yang ditanam di sana bermacam-macam. Karena baru awal musim semi, dau-daunnya masih berwarna hijau muda. Beberapa pohon bahkan belum menunaskan daun.
Setelah seratus meter, terlihatlah hamparan rumput hijau, bak lapangan bola, sangat luas. Sehabis hamparan rumput, mata Hinata dimanjakan dengan tanaman hias berbagai jenis, dan juga kebun bunga. Warnanya sudah memanjakan mata Hinata dalam bentuk kuncup-kuncup yang mungil.
"Bukankah sangat cantik?" Hinata mengangguk semangat. Rasanya, dia tak sabar melihat mereka semua dalam jarak yang sangat dekat. "Nah, rumah kita sudah kelihatan."
Kediaman Uchiha Fugaku tidak bisa dibilang kecil atau besar. Sangat sederhana untuk ukuran Uchiha yang sebenarnya bisa membangun sebuah mansion. Ia membayar banyak orang hanya untuk mengurus pepohonan, halaman dan kebun bunga mereka, tentu dikepalai oleh istrinya yang sangat menyukai tanaman lebih dari siapa pun di dunia ini.
Bangunan itu berlantai dua. Keempat orang Uchiha yang tinggal di sana, dan kini ditambah Hinata tentu cukup untuk menghangatkan rumah itu. Apalagi, nyonya rumah tak membiarkan pembantu mengerjakan sesuatu di dalam sana. Dia masih sanggup membereskannya, dibantu kedua anak laki-lakinya yang terkandang mengeluh dan bertanya-tanya, pantaskah mereka mencuci piring? Membuat jadwal menyapu, menggosok lantai dan dinding kamar mandi?
Penuh nuansa kekeluargaan. Bangga pada Mikoto.
Wanita itu mengajak Hinata turun ketika mereka sudah sampai tepat di depan rumah. Fugaku meminta sopir membuka bagasi, mengambilkan barang-barang Hinata, kemudian mengikuti mereka ke dalam rumah.
Seperti sore-sore sebelumnya, Itachi sibuk menyaksikan anime romantis yang tayang setiap jam lima sore, Senin-Kamis. Sasuke bermesraan dengan ular peliharaannya, pasti setelah berhasil mengusir Naruto dari rumah. Fugaku berdeham. Itachi gelagapan dan langsung mematikan televisi, pasalnya sedang ada adegan ciuman. Sasuke tak acuh. Dia tetap tergeletak di depan kaki kakaknya dengan ular yang melilit tangan kirinya.
"Sasuke-chan," panggil Mikoto. Barulah dia terduduk. Kepala ular piton albino berwarna ungu pucat di balik pola-pola kunging telur, yang muncul membuat Hinata menjauh, bersembunyi di balik Fugaku sambil melirik-lirik ketakutan. "Ada yang ingin kami bicarakan." Sasuke bediri, dia menyeringai jahil melihat entah siapa takut pada ularnya. Dengan cepat dia berjalan ke arah anak itu dan menodongkan ularnya.
"Sasuke, masukkan ularmu ke kandangnya!" perintah Fugaku tegas ketika dia menyadari bahwa Hinata ketakutan. Sasuke langsung ke belakang, kemudian kembali lagi. Dia tersenyum aneh pada Hinata, dan itu sukses membuat gadis itu lebih takut daripada yang sebelumnya. "Sasuke, jangan menakutinya." Dia mendengus kesal sambil duduk di tengah-tengah ayah dan ibunya, menggeser-geser Hinata yang tadinya duduk di sana, hingga akhirnya gadis itu naik ke pangkuan Fugaku.
Berbeda dengan Sasuke yang usil, Itachi menatap Hinata penasaran. Dia berpikir, mungkin saja anak itu satu-satunya Hyuuga yang selamat. Lihatlah matanya, Hyuuga sekali. Tetapi, mana mungkin, kalau ada anak sekecil itu yang selamat pasti ditampung oleh klan Sarutobi, kan mereka yang dekat dengan Hyuuga. "Datang dari mana anak ini?" tanyanya sambil menunjuk Hinata. Itachi sebenarnya senang-senang saja duduk di dekat ayahnya, dia jadi lebih mudah memperhatikan Hinata. Jujur saja, dia ingin sekali mengelus pipi yang bersemu merah itu, pasti rasanya lembut sekali.
"Nah, itulah yang mau kami bicarakan." Mikoto berujar hati-hati. "Kami baru menyepakati sesuatu." Sasuke mengerutkan kening curiga, dia menyempatkan diri melempar tatapan tajam kepada Hinata. "Kalian tahu kan Kaa-san ingin punya anak perempun?"
"Apa?" pekik Sasuke. "Jangan bilang kesepakatan kalian adalah menjadikan dia anak perempuan kalian." Sasuke berujar penuh emosi sambil menunjuk-nujuk Hinata dengan kasarnya. Ayah dan ibunya membenarkan dugaan itu dengan anggukkan. Hal itu membuat amarahnya semakin memuncak. "Bocah ini?" Dia kembali mangacungkan jari telunjukkanya ke Hinata, menatap tidak suka. "Aku tidak terima."
"Kaa-san, tidak usah dengarkan dia." Itachi berpihak pada kedua orangtuanya. "Menurutku, justru sayang sekali kalau kalian tidak bawa … eum …"
"Hinata, namanya Hinata," kata Mikoto.
"… ya, Hinata ke sini." Sasuke semakin tidak suka saat kakaknya yang sangat menyayangi dirinya tidak membelanya. Dia merasa terasing di rumahnya sendiri. "Kalian temukan Hinata di mana?" tanya Itachi, masih penasaran.
Mikoto tersenyum senang. Dia mendapat tiga suara Uchiha, mayoritas menang, Sasuke kalah sebagai pihak minoritas. "Di panti asuhan, dekat dengan mansion Aburame. Itachi-kun pernah ke sana, lho, waktu masih enam tahun."
"Oh, iya, aku ingat."
"Sekarang kenalan dulu dengan Hinata, ya."
Sasuke merasakan kedongkolan memenuhi setiap sendi kehidupannya. Dia tidak akan mau berkenalan dengan bocah perempuan itu. Tanpa bicara pada siapa pun di sana, dia pergi ke kamarnya. Sayangnya, keluarganya terlalu asyik mengobrol tentang kesukaan Hinata, umur Hinata, betapa Hinata sangat imut dan manis dan lucu, dan menggemaskan, dan banyak lagi. Mereka menutup mata untuk kegagapan Hinata, ketololan Hinata yang mesti ditanyai berulang-ulang, betapa penakutnya Hinata. Rumahnya dipenuhi Hinata, Hinata dan Hinata. Dia diabaikan.
"Awas saja, secepatnya kau akan kembali ke habitatmu," acam Sasuke dalam hati. Sasuke menampilkan seringai setan.
To be continued
Ini udah dijelasin apanya Hinata yang ga normal. Kalau diliat luarnya Hinata emang normal.
Bertemu sama Neji dan Hyuuga yang lain masih lama, ya.
Iya, ini fic Aelona Betsy yg January Was My December. Untuk beberapa alasan, dia ga bisa publish fic lagi. Makanya saya dapat tugas itu. Katanya, saya nulisnya rapih, makanya dia minta tolong ke saya. Semoga kalian suka versi saya, ya.
Thanks buatmu, Bet. Kuharap kamu punya waktu untuk membaca chapter ini.
Okay, sekian dulu, ya.
Dan buat yang review, fav n foll, arigatou, ya.
