Chapter 2

©Rosetta Halim


28 Maret 2002

Sudah berjam-jam lalu bulan menggantung di langit Konoha. Seharusnya itu merupakan malam yang menyenangkan bagi rumah keluarga Haruno. Anak tunggal dalam keluarga berulang tahun hari itu.

Haruno Sakura. Boleh saja orang berpikir remaja tanggung itu sedang terguncang. Pasalnya, ibunya yang bekerja di Hyuuga Hospital mungkin saja tewas seminggu yang lalu. Sehingga wajar bila gadis itu termenung di balik jendela sambil memandang gerbang rumahnya. Kemarin dia menolak perayaan ulang tahun yang ditawarkan ayahnya dengan alasan tidak pantas ada perayaan selagi rumah sakit tempat ibunya bekerja mengalami musibah. Padahal, properti Hyuuga habis semua pun ia tak akan peduli dan tetap merayakan ulang tahun kalau saja berita televisi tahu apa yang ingin dia dengar. Hyuuga Neji selamat dari kebakaran.

Ingatan-ingatan menjengkelkan berkeliaran di kepalanya. Tentang pertemuan pertamanya dengan Neji. Takut bukan kepalang adalah reaksi pertamanya. Bocah lelaki berambut panjang yang mirip hantu itu tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya, entah sejak kapan. Itu bertahun-tahun yang lalu, ketika ibunya mengajaknya pergi ke pesta taman untuk merayakan hari jadi Hyuuga Hospital. Dia baru sadar saat Neji menyentuh jidatnya.

Dia cuma gadis kecil, usianya baru empat tahun. Wajah Neji membuat dia histeris, berteriak, "Pergi hantu!" berulang kali, dan Neji malah menjitak jidatnya dengan gemas. Jitakannya tidak terlalu menyakitkan. "Kau ini bodoh. Aku bukan hantu, jidat lebar."

"Neji-chan." Ibunya dan seorang wanita cantik menghampiri mereka. Sakura terkesima, rasanya aneh, wanita itu berambut panjang, matanya juga mirip mata hantu, tetapi bekas-bekas senyum di wajah itu sungguh damai. Wanita itu tak semenakutkan bocah laki-laki yang mengatai jidatnya. "Tidak boleh bicara begitu pada gadis cantik."

Ibunya terkikik ketika Neji berujar, "Kaa-san tidak lihat, jidatnya lebar. Dia ini pasti ada kelainan."

"Sepertinya terbalik, Hyuuga yang punya kelainan," kata ibunya sambil terus terkikik. Dia melirik ibunya bingung, semakin binging melihat ibunya Neji tersipu malu.

Bertahun-tahun dia lupa akan pertemuan pertamanya sampai pikirannya yang terus tertuju pada Neji membawa ingatan itu ke dalam mimpinya. Neji itu memang punya kelainan, dia teralu jenius untuk anak seusianya, pikir Sakura geli. Mulutnya menakutkan seperti capit kepiting dan mudah sekali tersinggung. Tak ada satu pun teman-teman sekelasnya yang tahan bersama Neji. Kadangkala mereka bertanya, kenapa Neji menyalahi aturan Hyuuga yang katanya semua keturunan Hyuuga harus belajar di sekolah khusus para Hyuuga.

Lucunya jawaban itu ada pada dirinya. Dia acap kali mendapat godaan dari teman sekolahnya. "Hyuuga keluar kandang untuk menangkap Sakura." Ejekan itu keluar dari mulut malas Shikamaru. Kalimat itu menjadi kalimat wajib didengar setiap hari di sekolah.

Ino sering mendesaknya untuk akrab dengan Neji, tujuannya agar saingan Ino berkurang dalam urusan Uchiha Sasuke. Dia tidak mau. Sasuke jelas lebih baik daripada Neji. Orangtuanya kaya, tetapi tetap bersepeda ke sekolah. Bergaul dengan siapa saja. Dia penggemar berat Uchiha yang sederhana.

Hyuuga Neji?

Setiap pagi kedatangannya selalu membuat orang terpelongo. Seragam sekolah selalu rapih, bersih seperti baru sepanjang tahun, dijahitkan oleh penjahit pribadi keluarga Hyuuga dan didesain oleh desainer ternama. Sepatu dibuat di tempat terbaik di Konoha. Kehadirannya identik dengan ginger wood dan kayu manis. Neji punya sopir pribadi merangkap pengawal, menungguinya pulang di dekat gerbang sekolah. Segala yang berhubungan dengan Neji adalah mewah, klasik, elegan dan eksklusif. Pangeran akhir abad dua puluh yang menawan. Tetapi, label untouchable sudah dilekatkan pada dirinya, jauh sebelum dia menggemparkan Jepang dengan masuk ke sekolah umum.

Paparazzi sering kedapatan menantinya di depan gerbang sekolah. Menangkap Neji dengan kamera mereka, meski tak pernah ada kesempatan mewawancarai Si Pangeran, karena pengawalnya senang mendelik marah. Tuan Muda rupanya tidak suka keramaian. Sakura tahu itu saat melihat-lihat berita di internet tentang Hyuuga Neji.

Sakura tersenyum getir. Dia kira dia tidak suka dengan Tuan Muda itu. Sasuke lebih masuk akal untuk disukai. Neji tak memiliki kebaikan untuk dipujanya. Dia merasa begitu jengkel pada Neji, sampai suatu hari pada puncak musim gugur tahun 1997, ketika seharusnya Neji mengajaknya pergi ke festival musim gugur. Neji tak pernah muncul di sekolah sejak September. Dia mulai merasa aneh, penasaran, dan … sedikit kehilangan.

Festival musim gugur waktu itu sangat ramai, tak pernah terlalu padat seperti itu. Eksistensi Neji menjadi penting baginya kala itu, dia menyapukan pandangan ke seluruh tempat sambil tetap menggandeng tangan ibunya. Bahkan dia tidak peduli ke mana ibunya menuntunnya.

Cukup lama matanya menyusuri hingga akhirnya dia berhenti melangkah. Di antara keramaian yang tercipta di depan kuil Kurama, bocah lelaki dan bocah perempuan—yang dia yakini pun keturunan Hyuuga seperti halnya bocah laki-laki—bergandengan tangan. Keduanya dikawal oleh dua orang berseragam hitam.

"Sakura-chan, kenapa berhenti? Ayo, nanti kuilnya tutup."

Neji sempat menatapnya, tetapi tak ada tanda-tanda eksistensinya dipedulikan oleh Neji. Ia tercengang, Neji bersikap seolah tak mengenal dirinya. Berlalu begitu saja, tidak menghampirinya lalu menariknya menjauh dari keramaian. Padahal tadi dia berharap ditemukan oleh Neji layaknya selalu.

Ya, seperti selalu.

"Kena kau!" seru Neji mengagetkannya ketika ia pikir dia sudah aman dari pandangan Neji.

Seperti selalu.

"Sakura, ikut denganku!" perintah Neji, tak sempat dia bilang dia bersedia memenuhi perintah itu Neji sudah menarik lengannya dan menyeret-nyeretnya sesuka hati.

Seperti selalu.

Pangeran Hyuuga itu datang ke acara ulang tahunnya dengan keangkuhan yang tak pernah lepas dari wajah rupawannya. Pelayan Hyuuga mengekor di belakangnya dengan puluhan hadiah. Dia tersenyum bangga meski datang setelah acara usai.

Seperti selalu.

Dia menatap mobil Neji datang dari jendela kamarnya. Hampir setiap hari Neji datang dengan alasan belajar bersama. Biasanya dia kabur ke rumah Ino, atau pura-pura tidur lebih awal. Kebanyakan berhasil dihindari, sisanya dia merasa terpaksa dicekoki ilmu tinggi oleh Neji.

Seperti selalu.

"Sakura, kau harus ke festival musim semi denganku."

Seperti selalu.

"Sakura, kau jangan dekat-dekat dengan Uchiha Sasuke."

Dan segala bentuk pemaksaan dan larangan-larangan yang tak pernah dia patuhi.

Di kuil Kurama, dia meneteskan airmata untuk sesuatu yang tidak dia mengerti. Dia berusaha berpikir positif, bahwa mungkin sebenarnya Neji tidak melihatnya. Bahwa mungkin Neji sedang menghindari Paparazzi, jadi terlalu berbahaya membuang waktu menyapanya.

Kehadiran Neji yang tak kunjung menyapa dan dia pun tak pernah diizinkan memasuki komplek Hyuuga, bahkan tidak bersama ibunya. Ia putuskan melakukan hal ekstrem. Pada pertengahan April 1998, ia memanjat sebuah pohon yang tumbuh kokoh di dekat tembok tinggi yang memagari komplek Hyuuga.

Penjaga di sekeliling bangunan yang paling besar di antara bangunan-bangunan kecil di sekitarnya meyakinkannya bahwa di sanalah Neji tinggal. Itulah Hyuuga's Mansion yang sangat terkenal dengan corak Heian-nya. Terlihat lebih besar daripada di tv, pikir Sakura.

Neji tak keluar seharian, dia memperhatikannya baik-baik. Tak menyerah, keesokannya, dia kembali lagi. hasilnya begitu setiap saat, meskipun dia panjat pohon ketika malam, Neji tak pernah terlihat.

Kini, dia tersadar, kembali ke dunia nyata. Tak mungkin lagi 'seperti selalu' itu akan datang. Walaupun dia senang bukan kepalang tahun lalu Neji mengiriminya bandana merah dan kalung berbandul batu rubi yang indah, dibarengi dengan sebaris ucapan selamat ulang tahun.

Tidak ada lagi harapan untuk 'seperti selalu' itu.

Neji sudah mati.

Terbakar bersama kemewahannya.

Tak mungkin lagi mobil Neji terparkir di depan rumahnya yang berkali-kali lipat lebih kecil daripada tempat tinggal Neji.

Neji sudah mati.

Terbakar bersama hadiah-hadiah yang sempat ditolaknya.

"Sakura-chan!" ibunya jalan tertatih-tatih. Luka bakar di kakinya masih belum membaik. Dia bersyukur dapat selamat dari kebakaran itu. Sangat tersentuh ketika putrinya yang selalu mengabaikan perintah-perintahnya begitu kuatir. Namun, sekarang justru dia yang menguatirkan putrinya. Belakangan suka sekali menatap ke luar jendela dengan air mata beruraian. "Kenapa?" tanyanya sembari menangkup wajah Sakura, lalu membersihkan airmata dari pipi pucat gadis itu.

"Tidak apa-apa," bisik Sakura.


30 Maret 2002

Sarutobi Hiruzen memandang Hyuuga Hiashi sedih, berduka atas tragedi yang menimpa seluruh Hyuuga. Pertemuan rahasia itu harus berlangsung, meskipun berbahaya. Dia siap menerima tanggung jawab besar, namun sama sekali tidak tahu apa saja yang harus ia tanggung. Untuk memberitahu itulah Hyuuga Hiashi berada di hadapannya, bersama seorang pengacara muda, Uzumaki Nagato.

"Tak banyak yang bisa kubantu, Hiashi-san. Semoga Anda dan keluarga tetap kuat," ujar Hiruzen ketika Hiashi baru selesai memeriksa surat-surat penting milik Hyuuga.

Hiashi tersenyum tabah. "Bantuan Anda ini sangat besar. Terimakasih. Juga untuk pengharapan Anda."

"Baiklah." Hiruzen memasukkan semua surat-surat penting ke dalam tasnya. Masih ada sebagian surat lagi yang tetap dipegang oleh Hiashi. Salah satunya berisi kontrak kerja samanya dengan Hiruzen, yang baru selesai dibuat oleh Nagato. "Kapan pun Anda siap, cepatlah kembali ke Jepang."

Sebagai mantan gubernur, Hiruzen sudah berpengalaman menjadi penengah di antara klan-klan yang bertikai. Masalah-masalah internal memang sering terjadi. Namun, pertikaian antara Hyuuga dan Fuuma itu memang yang terbesar sepanjang sejarah. Tetapi, kali ini dia tidak akan berdiri di tengah. Fuuma sudah keterlaluan. Membantai anak kecil sama sekali tidak dapat dimaafkan. Parahnya lagi, para korban, baik keturunan Hyuuga maupun pelayan, dibunuh dengan gas beracun, barulah mereka dibakar. Tindakan terkejam yang pernah terjadi di Konoha.

Tidak semua Hyuuga mati dalam kebakaran itu. Pemimpin klan mati dalam kecelakaan. Hyuuga Hiroki mati seorang diri sebelum dimanipulasi, dia dan Nagato menggunakan jaringan mereka untuk memanipulasi laporan kepolisian, sehingga setelah manipulasi, laporan menyebutkan Hiroki mati bersama keluarga inti, Hyuuga Hiashi, Hyuuga Hikari dan Hyuuga Neji. Dia sangat berharap bahwa itu cukup untuk mengelabui pihak musuh.

"Ya," jawab Hiashi mantap. Tentu, pikirnya, aku akan kembali untuk menghabisi mereka.


Gaun merah tak berlengan terlipat rapi di dalam kotak berukuran sedang yang dibungkus kertas merah muda dan diikat pita berwarna merah. Anak laki-laki berumur dua belas tahun duduk di dalam mobil, memangku hadiah itu sambil mengawasi gerbang sebuah rumah minimalis di komplek perumahan Yutakana. Dia jengkel kala mengingat komplek perumahan itu dibangun oleh Uchiha Group.

Gadis berambut merah muda yang menjadi tujuannya datang ke tempat itu beberapa menit lalu keluar rumah. Gadis itu tingginya naik drastis. Dua hari yang lalu ulang tahunnya yang ke-12. Di sendiri baru berumur dua belas bulan Juli nanti. Dia tersenyum lucu, Sakura itu lebih tua tiga bulan daripada dirinya.

"Neji-sama, apa masih lama kita parkir di sini?" tanya Yamato, sopir sewaan paman Nagato selama dia dan keluarganya di Konoha.

"Nanti kalau aku bilang jalan, baru jalankan mobilnya, jangan banyak tanya," sembur Neji.

Kening Yamato berkerut kesal. Bagaimana mungkin kakeknya tahan menjadi sopir pribadi Tuan Muda menjengkelkan itu selama bertahun-tahun? Kalau aku, mungkin sudah kujadikan sosis anak ini, pikir Yamato. Tetapi, kalau Yamato pikir-pikir lagi, Hyuuga Neji itu lucu dan menyedihkan sekaligus. Lihatlah yang dilakukan Neji seharian, duduk di dalam mobil, mengawasi rumah orang, senyum-senyum aneh kalau gadis berambut merah muda keluar dari rumah itu.

"Bawa aku ke ayahku," perintah Neji. Ayahnya bilang tak boleh pulang malam. Lagipula, Sakura sudah masuk ke rumahnya menenteng seplastik eskrim sambil menjilati eskrim. Mesin mobil menyala. "Tidak. Tunggu dulu. Kau turun dan letakkan ini di sana," perintah Neji menyodorkan kado yang dipangkunya sembari menunjuk gerbang rumah Sakura.


"Nanti kau bisa sakit kalau makan eskrim terlalu banyak." Mebuki tersenyum sabar. Puteri kecilnya tak mengacuhkan nasihatnya, seperti selalu. "Hari ini saja Kaa-san biarkan kau makan eskrim sebanyak itu, besok-besok kau akan tahu akibatnya," acamnya.

Sakura terus menjilati eskrimnya. Dia tak mendapatkan apa pun di hari ulang tahunnya kemarin. Biasanya, sesuai perjanjian, pada hari ulang tahunnya, ibunya tidak boleh melarangnya melakukan apa pun yang dia suka. Hanya hari itu ibunya tidak marah kalau dia melempar sepatu sembarangan, memberantakkan tempat tidur, makan makanan instan, merayakan pesta ulang tahun dengan caranya sendiri, keributan di setiap sudut rumah dan lain-lain. Hari ulang tahun, baginya adalah Independence Day. Dan eskrim adalah bagian terbaiknya tahun ini, seperti kata orang bisa memperbaiki moodnya yang berantakan.

"Tadaima," seru ayahnya.

"Okaeri," ibunya menjawab. Dia sendiri tak menggubris, fokus pada eskrim yang tinggal sedikit lagi.

Sebuah hadiah diletakkan di meja, tepat di depannya. Sakura mengemut bibirnya, membersihkan sisa eskrim. "Ini untuk apa, tou-san?" tanyanya penasaran. Dia mengangkat kotak itu lalu mengguncang-guncangnya di dekat telinga. Tidak ada suaranya.

"Betul. Kemarin kan kau sudah berikan dia boneka," timpal ibunya.

"Tadi dia menunggu di dekat gerbang," jawab ayahnya. "Itu pasti untukmu," tambahnya, kemudian berlalu sambil meregangkan otot-ototnya.

Sakura menarik pita merah, menyobek kertas dan membuka kotak itu tergesa-gesa. Yang lebih terpenting kartu ucapan. Lantaran tidak ada kartu ucapan di atas kain merah itu, dia menariknya keluar lalu mengibas-ibaskannya, berharap sebuah kartu jatuh dari sana. Di kotak pun tidak ada tulisan apa-apa.

Kursi yang ia duduki dia geser dengan keras, sampai kursi itu terbalik. Dia berlari keluar rumah tak memedulikan ibunya yang bertanya. Menengok ke kanan kiri, menyapukan pandangan ke sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Merasa belum puas, dia berlari ke luar komplek. Udara dingin di malam hari pada awal musim semi tidak ia pedulikan. Persetan dengan keadaannya yang hanya memakai kaos dan celana pendek serta sandal rumah berbentuk kepala kelinci.

"Bodoh. Apa sih yang kuharapkan?" umpatnya ketika ia berada di pinggir jalan besar. Dengan lesu dia kembali memasuki komplek. "Itu pasti dari orang lain. Neji sudah wafat." Arimata kembali beruraian di pipinya.

Kemarin dia dan ibunya pergi ke pemakaman Hyuuga. Klan-klan tersohor di Konoha datang ke upacara itu, bahkan yang tersohor dari luar Konoha. Mereka semua pasti pernah berbisnis dengan Hyuuga. Kehilangan Hyuuga pastilah membawa dampak buruk bagi stabilitas ekonomi Jepang.

Semua orang di sana membawa setangkai mawar putih sebagai tanda penghormatan terakhir. Tetapi, dia membawa sebuket white lilac, dibeli dengan uang tabungannya dari toko bunga Yamanaka. Bunga itu kesukaan Neji, dia mengetahuinya dari internet. Menggelikkan memang, sejak Neji menghilang tahun 1997 dia menjadi penguntit pangeran sok itu.

Sepanjang upacara pemakaman ingin dia menangis, tetapi ia tahan karena tidak ingin dicurigai Ino dan teman-temannya yang lain. Ketika Ino bertanya, "Kenapa kau memberikan bunga itu secara khusus di nisan Neji?" dia berbohong, "Ini balasan untuk kado-kado yang dia berikan untukku." Padahal, sebenarnya bukan begitu. Dia pun tak bisa menjelaskannya.

Ingatan itu nyata, semua percakapan yang terjadi di antara dia dan teman-temannya benar-benar ada. Kerumunan orang yang datang ke upacara pemakaman itu ada, jadi mana mungkin tiba-tiba Neji hidup dan bilang padanya semua yang berlangsung di sana itu palsu.

"Aku butuh lebih banyak eskrim," ujarnya sambil meyeka arimatanya dengan punggung tangannya yang dingin akibat angin malam.


To be continued


Mulai sekarang, supaya ceritanya clean, pesan saya untuk reviewer saya tulis di kotak review.