Chapter 3

©Rosetta Halim


29 Maret 2002

Aroma masakan menyebar, bermain-main di sekitar Hinata. Sesekali dia menghirup udara dalam-dalam, supaya nikmatnya aroma masakan ibu barunya meresap dengan benar ke dalam ingatannya. Aroma itu semakin menguat tatkala Mikoto menyajikan sarapan di atas meja makan, tepat di depannya.

Pagi pertama Hinata di kediaman Uchiha, cukup berat, ia harus berusaha menyesuaikan diri dengan ketentraman rumah yang baru baginya. Di panti, pagi-pagi begini, biasanya dia menonton keributan yang lucu. Menghibur dirinya bak film komedi yang setiap malam Natal dia tonton bersama keluarga besarnya.

Malam pertamanya tidur di rumah ini juga tak kalah meresahkan. Sebelumnya dia tidur di futon. Setiap malam sebelum tidur, Ayame akan membantunya membentangkan futon, membacakan dongeng untuknya dan menemaninya sampai terbangun keesokannya. Tadi malam, Mikoto melakukan hal serupa, hanya saja karena dia tidur di ranjang, dia jadi waspada, takut jatuh, sehingga akhirnya sepanjang malam dia memegangi Mikoto.

Tak terasa, berbagai jenis menu sarapan tertata di atas meja. Itu pun hal baru bagi Hinata. Di panti, makanan dijatah. Tak pernah dia melihat masakan yang melimpah di meja dan itu hanya untuk sarapan.

"Karena ini pagi pertamamu di sini, Kaa-san menyiapkan banyak sekali sarapan. Kaa-san belum memahamimu, makanan yang kausuka dan tidak, bagaimana … ah, sudah, kita lakukan perlahan." Di tengah-tengah kesibukannya, Mikoto menyempatkan diri berbicara kepada Hinata, namun karena Hinata malah tampak bingung, dia menghentikannya.

Kaki kursi dan lantai bergesekan secara tiba-tiba, menimbulkan suara, mengagetkan Hinata. Dengan mata setajam mata elang dan senyum licik, Sasuke duduk di seberang Hinata. Dia lah yang baru saja menarik kursi dari kolong meja. Hinata langsung menunduk dalam-dalam, perasaannya benar-benar buruk. Keringat keluar dari pori-pori di kening Hinata, baginya Sasuke sangat menakutkan.

"Astaga, Hinata-chan, kenapa berkeringat?" tanya Mikoto ketika ia meletakkan sup ikan di meja makan. Buru-buru dia mengambil handuk kecil, kemudian mengeringkan wajah Hinata.

Keberadaan Sasuke tidak dihiraukan oleh ibunya sendiri. Sasuke semakin jengkel, rasanya dia ingin menelan Hinata bulat-bulat.

Hinata bagai buruan yang dipojokkan oleh Sang Pemburu, posisinya benar-benar tidak menguntungkan. Ia membalikkan tubuhnya, kemudian menurunkan kakinya, berusaha menapak di lantai. Dia berlari kepada Mikoto setelah berhasil turun dari kursi.

"Hinata-chan, ada …" Mikoto tak sempat menyelesaikan perkataannya dikarenakan keringat Hinata yang kembali lagi. Dia kembali mengambil handuk kecil sambil berpikir tentang keanehan itu. Jelas saja, sekarang baru awal musim semi, udara sejuk, tetapi Hinata keringatan layaknya orang kepanasan. Dan lagi, setelah itu Hinata mengekorinya terus-menerus.

"Hap!" Tiba-tiba Itachi berseru sambil menangkap Hinata yang hendak ke dapur mengikuti Mikoto, kemudian mengangkat tubuh mungil bocah itu dalam gendongannya. "Ayo, duduk di sini saja," ujar Itachi, duduk di kursi di hadapan Sasuke dan mendudukkan Hinata di pangkuannya. Lucunya, Itachi tidak menyadari keberadaan Sasuke, meski kini aura yang menguar dari tubuh adiknya bak kabut hitam nan pekat.

Sesaat kemudian, Fugaku datang dengan setelan lengkap, siap pergi ke kantornya. Khusus hari ini ia mengenakan kemeja hitam di balik jas hitamnya, tanpa dasi. Fugaku menarik kursi di ujung meja, tempat spesialnya sebagai kepala keluarga. "Selamat pagi, Hinata-chan!" kata Fugaku menyapa Hinata yang menunduk, menyembunyikan wajahnya yang berkeringat. "Itachi, letakkan dia di kursi, dia tampak ketakutan. Mungkin tak kau sadari, kau berlaku kasar," ujar Fugaku pada Itachi. Karena Fugaku fokus pada Hinata, dia pun tak menyadari keberadaan Sasuke.

"Ha? Benarkah?" tanya Itachi terkejut. "Coba lihat." Itachi menarik wajah Hinata perlahan. Keringat di wajah merupakan petunjuk baginya. Kening Itachi mengerut. Apa wajahku terlihat jahat? Dia bertanya-tanya dalam hati. "Hinata-chan, apakah kau takut pada nii-chan-mu ini?" Hinata menggeleng. Itachi menyipitkan mata bingung. "Jadi, kenapa berkeringat begini? Kau tampak tegang." Tangan Itachi yang dingin dan sejuk menjelajah wajah Hinata, menyeka keringat serta memberikan rasa nyaman pada wajah Hinata yang pucat.

Di tengah-tengah kegiatan menenangkan Hinata, akhirnya tanpa sengaja, Itachi melihat tangan putih pucat terjulur, hendak mengambil tumis udang dengan natto di hadapannya. Sebelum dia berkata atau berpikir apa pun tentang hal itu, kedatangan Mikoto menginterupsi. "Sasuke-chan, hentikan itu!" bentak Mikoto, marah karena Sasuke menyendok udang dan memindahkannya ke mangkuk makannya. Sasuke pun berhenti, kemudian ia mendecih. "Itachi-kun, pindah, Kaa-san maunya di sebelah Hinata-chan."

Tingkah semua keluarganya membuat Sasuke kesal setengah mati. Semua kekesalan itu dia hujamkan kepada satu-satunya faktor penyebab dengan mata melotot tajam. Hinata menjauhkan pandangannya dari Sasuke. Gerak-gerik Hinata justru membuat Sasuke muak.

Kekesalan Sasuke bertambah dua kali lipat ketika sarapan berlangsung. Mikoto terus menanyakan hal-hal tidak berguna tentang bocah perempuan itu. Betapa ibunya ingin tahu makanan apa yang disukai Hinata dan tidak disukai. Bahwa semua sarapan di atas meja disiapkan untuk Hinata. Ibunya senang karena mendapatkan pengetahuan baru tentang Hinata. Mulai dari Hinata yang menyukai makanan yang rasa atau pun aromanya manis hingga Hinata yang sama sekali tidak menyukai makanan pahit.

Sejak awal memang sudah begitu. Semua orang membicarakan anak baru Uchiha. Tidak ada yang peduli padanya.

"Sasuke, nanti ikut ibumu ke upacara pemakaman Hyuuga," perintah Fugaku sebelum pergi ke kantor.

"Hn," jawab Sasuke acuh tak acuh.

Beberapa hari yang lalu Sasuke memang berencana pergi ke upacara pemakaman itu. Ayahnya pun akan pergi sore nanti, sepulang bekerja. Kakeknya pun nanti pasti ada di sana. Hal itu terdengar bagus untuknya, setidaknya masih tersisa seseorang yang dipastikan peduli padanya.


Sehabis menyetrika kemeja dan celana panjang yang akan dikenakannya ke upacara pemakaman, Sasuke pergi ke ruang keluarga. Tadi dia sempat melihat Hinata duduk di sana sendiri, menonton anime musim dingin, bukan seperti yang biasa ia tonton, aliran tayangan itu jelas untuk anak-anak. Ceritanya tentang robot yang dapat melakukan hal-hal ajaib, dipenuhi pengajaran yang bagus untuk anak berusia empat tahun.

Pertama-tama, Sasuke mengecek keadaan sekitar. Ibunya mungkin sedang mempersiapkan setelan yang akan dikenakan ke upacara pemakaman. Satu-satunya yang mungkin memergokinya adalah Itachi. Entah di mana kakaknya itu saat ini. Dia mengambil kesempatan itu, berjalan dengan cepat, menyambar remot yang berada di atas meja kecil. Tayangan berganti ke channel khusus berita. Pada jam-jam siang begini, berita yang ditayangkan lebih sering berita kriminal, mulai yang kecil sampai yang besar.

Mata Sasuke melotot tajam ketika Hinata menatapnya heran seolah mengatakan, "Kenapa diganti?" Dengan dingin dan penuh penekanan, Sasuke berujar, "Apa lihat-lihat?!" Hinata beranjak dari sofa, hendak datang pada Itachi. "Tetap di sini. Tv-nya masih menyala," kata Sasuke lagi sembari menarik tangan mungil Hinata. "Kenapa kau takut pada nii-chan-mu ini, hm?" Sasuke berbicara seraya merangkul Hinata dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk mengelus-elus pipi Hinata, lalu mencubitinya sampai berbekas.

Rasa panas dan perih di pipi Hinata, memaksa air mata keluar setetes demi setetes hingga mengalir deras. Isakan Hinata bak pemandu sorak bagi Sasuke, agar ia semakin bersemangat menyakiti Hinata. "Kau menggemaskan sekali, sungguh membuatku geram," ujar Sasuke seperti seorang pengidap penyakit mental.

"Sasuke!" Itachi berteriak marah, "Lepaskan!" Tidak sampai lima belas menit dia meninggalkan Hinata untuk buang air besar, dan Sasuke telah mencuri kesempatan itu.

Mendengar bentakkan kakaknya, Sasuke secara refleks melepaskan Hinata. Airmata yang mengalir deras di pipi Hinata, yang penuh dengan bekas cubitan, menambah kemarahan Itachi. Tetapi, dia tidak akan memarahi Sasuke sekarang, Hinata membutuhkan ketenangan saat ini. "Cup, cup, sudah, sudah." Itachi memeluk Hinata, mengelus-elus punggung Hinata yang bergetar.

Keadaan seperti itu sangat menguatirkan bagi Mikoto yang baru saja keluar dari kamarnya. "Ada apa dengan Hinata-chan?" tanyanya sambil mempercepat langkahnya. "Ya, Tuhan. Kemari, Sayang," bujuk Mikoto. Ketika Hinata berbalik, Mikoto terkejut menyaksikan bekas-bekas cubitan di kedua pipi Hinata. "Bagaimana …"

"Ulah Sasuke," potong Itachi.

"Aku sangat menyukainya, begitu gemas padanya. Tapi, sepertinya aku terlalu keras mencubitnya," kata Sasuke tanpa ekspresi. Tak ada sedikit pun penyesalan, seolah hal itu sudah seharusnya terjadi.

"Jangan percaya padanya, aku yakin dia sengaja berbuat begini," balas Itachi garang.

"Itu benar, aku terlalu bersemangat tentangnya sampai aku …"

"Cukup, Sasuke!" kali ini Mikoto yang bicara. Panggilan itu hanya akan keluar dari mulut Mikoto saat dia benar-benar marah. "Pergilah bersiap-siap, kita akan segera berangkat." Kemudian Mikoto pergi dari ruang keluarga bersama Hinata dalam gendongannya.

"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan, Sasuke."

Itachi pun meninggalkannya. Mereka semua memuakkan. Sasuke sama sekali tidak mengerti mengapa anak baru itu bisa membawa dampak yang sangat buruk baginya. Musibah ini membuatnya tak tahan. Dia nanti akan menemui kakeknya, mungkin bisa membicarakan acara pindahannya, biar saja, dia ingin kembali lagi ke rumah kakeknya.


Hancur. Hancur seluruh kehidupan Sasuke. Upacara pemakaman Hyuuga sama muramnya dengan hidupnya. Kakek yang ia jumpai di upacara itu, secara mengejutkan, bertanya tentang anak angkat Uchiha. Keberadaannya tidak berarti apa-apa. Berulang kali ia mencoba bicara pada Uchiha Madara, tetapi tak satu pun ditanggapi. Pria itu sibuk mengobrol dengan putra dan menantunya.

Tidak ada lagi tempat bagiku.

Sepanjang perjalanan, Madara bercerita tentang barang-barang yang ia bawa. Bagaimana pria tua itu mengelilingi pusat perbelanjaan sejak pagi hingga tengah hari untuk mencari perlengkapan anak perempuan dan bagaimana perasaan gembiranya karena memiliki cucu perempuan, meskipun darah Uchiha tidak mengalir dalam anak perempuan itu. Hingga Fugaku menghentikan mobil tepat di depan rumahnya, Madara tak sekali pun menyebut nama Sasuke.

Sasuke langsung keluar dari mobil, masuk ke rumah, naik ke kamarnya dan mengganti pakaiannya. Sehabis itu dia turun karena haus. Saat ia berjalan ke dapur, ia melihat keluarganya di ruang keluarga bersama bocah perempuan yang sangat sangat tidak ia sukai.

"Sasuke, kemarilah, kau harus lihat ini." Madara memanggil Sasuke ketika ia melihat cucunya itu berlalu.

Mendengar kakeknya menyebut namanya, wajah kesal Sasuke langsung berubah. "Mungkinkah?" gumamnya. Cepat-cepat, ia datang pada kakeknya.

"Lihatlah, topi tidurmu tampak manis dipakai Hinata," ujar Madara sambil menunjuk topi tidur biru muda berbentuk kepala kelinci yang membungkus kepala Hinata. Seketika wajah Sasuke berubah masam. Apalagi saat ia sadar Itachi cekikikan dan ibunya kelihatan masih marah karena perbuatannya tadi siang.

"Berikan semua untuknya, sekalian celana dalamku," kata Sasuke. Dia sama sekali tidak berniat melucu, namun Itachi dan Madara tertawa karena itu, bahkan ibunya juga. Hal seperti itu justru menambah kekesalannya. "Tertawalah kalian," ujar Sasuke dingin, kemudian berlalu.

"Sepertinya Sasuke kesal sekali," kata Itachi.

"Tidak apa-apa. Dia cuma iri. Selama ini semua orang memanjakannya dan selalu mengutamakannya. Tetapi, kedatangan anggota baru membuatnya merasa dinomor duakan. Lama-lama dia pasti menerimanya," jelas Madara.

"Kupikir juga begitu," kata Mikoto setuju.

"Tapi, sungguh, aku masih sulit percaya Sasuke itu memakai yang begituan selama dengan kakek," ujar Itachi sambil menunjuk setumpuk topi tidur berwarna-warni dan dengan berbagai macam bentuk di sofa. "Maksudku, Hinata memang tampak lucu pakai topi tidur, kalau Sasuke, aku belum bisa membayangkannya."

"Itu karena nenekmu sepertinya terobsesi dengan topi tidur. Kakek punya fotonya, nanti kita lihat supaya kau tak perlu repot-repot membayangkannya."


Usai makan malam para Uchiha berkumpul di ruang keluarga. Madara, Fugaku dan Mikoto membicarakan urusan dewasa sembari minum teh hijau, mulai urusan bisnis keluarga, kasus Hyuuga sampai proses pengangkatan Hinata serta hal-hal tidak normal yang ada dalam diri Hinata.

Di meja kecil di depan televisi, Itachi mengajari Hinata bermacam-macam hal, mulai dari perhitungan, menggambar, menulis dan mengucapkan kata-kata baru. Hinata sangat sulit mengingat, sehingga Itachi memilih mengajarkan abjad daripada Aksara Jepang.

Satu-satunya orang yang tak punya teman mengobrol maupun belajar hanya Sasuke. Dia menonton acara inspiratif. Kelihatannya begitu, namun televisi yang menyala tak benar-benar mendapat perhatiannya, dia sibuk memerhatikan Hinata sambil senyum-senyum. Itu karena di kepalanya telah tersusun puluhan cara menyingkirkan Hinata.

Sebentar lagi kau tamat, Bocah Jelek. Sasuke tersenyum jahat.

"Sasuke, kau belum terlalu tua untuk tidur dengan kakek, 'kan?" tanya Madara ketika ia selesai berdiskusi dengan putra dan menantunya.

"Bukankah menemani cucu perempuan kakek tidur lebih menyenangkan?" balas Sasuke dipenuhi nada sindirian.

Madara mengerti betul ke mana arah perkataan Sasuke. "Ah, itu tidak seru. Setiap menginap kakek selalu tidur denganmu. Bukankah mengubah suatu kebiasaan itu sulit?"

"Kalau begitu, aku tidak bisa menolak," kata Sasuke dengan senang hati.

"Ini sudah larut, ayo semuanya, waktunya tidur," ajak Madara.

Fugaku dan Mikoto, yang tadinya sedang tersenyum geli karena membicarakan kecemburuan Sasuke, menyetujui ajakan itu. "Itachi, malam ini kau yang temani Hinata," perintah Fugaku.

"Hinata-chan, tidur yang nyenyak, ya, Sayangku," kata Mikoto, kemudian mengecup kedua pipi dan kening Hinata. "Mimpi indah juga, harus ada Kaa-san di sana," tambahnya senang. Hinata mengangguk. "Itachi-kun, jaga adikmu yang benar." Perkataan Mikoto terkait Hinata kepada kedua anak laki-laki dan suaminya selalu terdengar tegas. Ia memperlakukan Hinata layaknya kristal cantik yang rapuh.

"Tenang, Kaa-san, Hinata kita aman bersamaku," jawab Itachi sangat meyakinkan. "Dan juga …" ucapnya setengah berbisik, "… akan kujauhkan Hinata kita dari Ular Bertopi Kelinci." Itachi menyeringai kejam sambil mengalihkan pandangannya kepada Sasuke.

"Bagus. Kaa-san mengandalkanmu."

Setelah itu Mikoto dan Fugaku pergi ke kamar mereka. Begitu pun Sasuke dan Madara. Sementara Hinata masih sibuk mencocokkan kepingan-kepingan lego house. Itachi memberikan banyak mainan asah otak dan mengajarkan cara memainkannya, agar daya ingat Hinata terlatih. Dia belum mengajak Hinata tidur, karena Hinata tampak sangat serius, dan dia tidak ingin merusaknya.

"Sudah, ya. Besok pagi kita lanjutkan," bujuk Itachi pada akhirnya. Beberapa kali ia melihat Hinata menguap, namun tetap memaksakan diri untuk membangun rumah-rumahan itu dengan benar sesuai yang diajarkan Itachi. Hinata menjulurkan kedua tangannya ketika ia kembali menguap, minta digendong. "Ya, ampun, sekarang Hinata-ku mulai tahu bagaimana cara memanfaatkan kakaknya," ledek Itachi sambil mengangkat Hinata.


Tak ada satu pun barang yang berada di tempat salah, semua tersusun rapih. Madara masih ingat, ketika usia Sasuke baru tiga tahun, berbagai macam barang bertebaran di seluruh kamar karena ulahnya. Mendiang istri Madara memang terlalu memanjakan Sasuke saat tinggal di rumah mereka.

"Hei, Sasuke, ayo main catur. Aneh kalau tidur secepat ini."

Tadinya Sasuke sudah naik ke ranjang, menarik selimut dan menutup tubuhnya sampai sebatas dada. Ia turun dari ranjang, berjalan ke lemari tiga pintu berwarna cokelat gelap, ia membuka pintu yang paling kanan. Di dalamnya terdapat berbagai macam perlengkapan, tongkat baseball, sarung tangan, topi, dan termasuk papan catur yang terlipat.

Di tempat tidur, Madara duduk bersila. Dia langsung membuka lipatan papan catur ketika Sasuke memberikannya dan menuangkan bidak catur, kemudian membalikkan papan catur. Madara menyusun bidak catur warna putih karena dia tahu Sasuke selalu menyukai bidak hitam dan entah bagaimana Sasuke kalah bila menggunakan bidak putih. Itulah sebabnya Itachi mengatakan bahwa Sasuke pantas dengan segala sesuatu yang identik dengan iblis.

"Sasuke, Kakek mengerti perasaanmu," kata Madara seusai mereka memutuskan Sasuke lah yang maju lebih dulu. "Kau merasa semua perhatian direnggut darimu. Itu tidak benar. Wajar seperti ini, Hinata baru datang dan dia lebih membutuhkan kasih sayang daripada dirimu. Dia baru empat tahun, Sasuke. Bukankah di usia itu kau mendapatkan lebih banyak dari apa yang didapatkan Hinata?"

"Kek, kita mau main catur atau membicarakan anak itu?" tanya Sasuke tajam.

Madara mendesah. "Baiklah. Tapi, lama-lama kau juga akan menyukainya."

"Tidak akan," balas Sasuke yakin.

"Ya sudah, kita lihat nanti. Tapi, berjanjilah kau tidak akan melakukan tindakan seperti siang tadi. Sekesal apa pun kau padanya, jangan sampai menyakitinya," nasihat Madara.

"Aku tidak mau."

"Lakukanlah sesukamu. Tapi, jangan menangis jika terjadi sesuatu."


To be continued …