Chapter 4

©Rosetta Halim

Based on Aelona Betsy's story January was My December


25 Mei 2002

Perasaan benci Sasuke belum berubah juga meskipun sudah satu bulan berlalu, malah semakin menjadi, pohon kebenciannya telah berbuah. Hinata memonopoli kakaknya, ibunya, ayahnya dan kakeknya.

Setiap detik yang dimiliki keluarganya hanya dicurahkan untuk Hinata, dia diabaikan. Gerakan sekecil apa pun yang dibuat Hinata, semua memerhatikannya. Cara berjalan Hinata dianggap lucu. Ketika Hinata memainkan jari telunjuknya karena gugup, kakaknya menganggap itu manis. Saat Hinata bingung, ekspresinya dianggap menggemaskan.

Kejengkelan Sasuke sudah tak terukur lagi.

Bukannya mengerti, keluarganya malah bertindak sesuka mereka.

Tadi malam mereka membahas masalah perjalanan bisnis Fugaku, pertemuan Mikoto dengan para anggota komunitas pecinta flora di Sapporo dan kemah Itachi bersama teman sekelasnya di kaki gunung Hamada. Mikoto dan Itachi setuju bila Hinata sebaiknya dititipkan ke panti. Namun, Fugaku mengajukan usulan lain yang tidak bisa diterima Mikoto dan Itachi, yaitu membiarkan Sasuke yang menjadi pengasuh Hinata mulai sepulang sekolah nanti sampai besok sore. Mereka sampai berdebat semalaman hanya untuk itu dan solusi akhirnya meminta keputusan dari Madara.

Keputusan Madara benar-benar tidak masuk akal. Entah sejak kapan kakeknya itu berpikir untuk membiarkannya menjaga bocah jelek itu. Kata Madara, "Agar Sasuke punya waktu khusus untuk akrab dengan adiknya. Karena itu, dia harus diberi tanggung jawab ini. Kalian tak perlu kuatir, Hinata akan baik-baik saja."

"Tou-san, ini tidak harus terjadi," kata Sasuke pelan. Ia meletakkan sumpit yang belum sempat ia pakai, nasi campur di mangkuknya masih penuh.

"Aku setuju, keputusan itu bisa dibatalkan sekarang juga," timpal Itachi. Berbeda dengan adiknya, ini terhitung yang ketiga kalinya dia tambah. Ibunya memasak makanan kesukaannya untuk sarapan kali ini, karena dia akan terdampar di kaki gunung selama tiga hari dua malam.

"Kau dan ibumu sering mengeluh tentang Sasuke yang selalu berbuat jahat pada Hinata," kata Fugaku sambil melirik bekas gigitan di lengan mungil Hinata. "Tou-san tahu yang kalian pikirkan jika Sasuke diberikan tanggung jawab ini, dia akan semakin leluasa berbuat jahat. Tentu tidak. Ada harga yang harus dibayar Sasuke kalau dia tidak memenuhi tanggung jawab ini dengan benar.

"Jadi, dengar Tou-san, Sasuke. Jika sampai kau lalai, sengaja maupun tidak, uang jajanmu diberhentikan selama setahun, keluar dari klub besbol, dan semua tugas rumah Itachi, baik menyapu dan membersihkan jendela akan ditanggungkan kepadamu."

"Cih!" Sasuke menatap lurus ke depan, tepat pada Hinata. "Tambahkan dikubur hidup-hidup dalam tuntutan itu atau penjarakan aku sekalian." Sasuke beranjak dari duduknya. "Dan oh, ya, Fugaku-sama, Anda tak perlu cemas, hamba akan menjaga Stupid Little Princess ini," kata Sasuke dengan kepatuhan yang dibuat-buat, kemudian di pergi ke sekolah.

Fugaku menutup mulutnya dengan punggung tangan kirinya. Ia menahan tawa. "Lihat, 'kan?" kata Fugaku. "Dengan risiko sebanyak itu, dia tidak akan berani berbuat jahat."

"Apa itu tidak keterlaluan, suamiku? Dia kelihatan sakit hati," ujar Mikoto.

"Biarkan saja, Kaa-san. Untuk semua yang sudah dilakukannya, dia pantas mendapatkan itu."


Berulang kali Sasuke menekan bel pintu kediaman Uzumaki. Lima menit kemudian bocah pirang membuka pintu sambil menguap malas. Matanya melotot mendapati sahabat karibnya mengerutkan kening kesal.

"Apa aku amnesia? Jam berapa ini?" tanya Uzumaki Naruto kesal.

Sasuke mendengus. "Aku tahu ini masih terlalu pagi untuk mata busukmu itu." Sasuke menerobos Naruto, kemudian berjalan ke sofa empuk kebanggaan keluarga Uzumaki. Dia membaringkan tubuhnya di sana.

"Sepatumu, Teme! Kau mengotori sofa kesayangan tou-san-ku."

"Dobe, jangan banyak protes, segeralah benahi wajah idiotmu itu."

"Teme, bel masuk baru berbunyi pukul 08:50, ini masih pukul 07:30 dan sekolah kita tidak sejauh pegunungan Hida. Bukannya Itachi-nii pergi kemah dan baru kembali tiga hari lagi? Seharusnya kau ikut mengantarnya ke titik temu mereka."

"Terserahmu lah. Bangunkan aku jika kau dan otak kosongmu itu siap diisi!"

Sepatu yang dikenakan Sasuke dilepas paksa oleh Naruto, kemudian dengan sengaja ditepukkan ke jidat Sasuke. "Dobe!" geram Sasuke jengkel.

Empat puluh lima menit kemudian, Naruto membangunkan Sasuke, tetapi tendangan yang diterimanya. "Kau pergi saja sendiri, Dobe! Aku bolos!"

"Kalau kau mau bolos, pulang saja ke rumahmu!"


Sepulang sekolah, Naruto menemukan ibunya, ayahnya dan Sasuke di meja makan. Mereka sedang menikmati semur daging, makanan favoritnya. Dia jadi tidak sabaran. Semur daging adalah obat bagi kejengkelannya pada Sasuke.

"Teme, kau itu belakangan aneh sekali, setiap hari kau makan siang di sini, mandi di sini, bahkan sering menginap. Kau juga tak begitu peduli tentang kemah kakakmu. Apa kau sedang ada masalah dengan orang rumah?"

Sebenarnya bukan aneh, tetapi, tidak masuk akal. Biasanya Naruto yang datang ke rumah Sasuke dan mengacaukan hari Sasuke. Tetapi, sekarang kebalikannya.

"Otakmu biasanya pendek, tetapi kenapa sekarang terlewat panjang?" sindir Sasuke. "Tidak ada apa-apa denganku."

"Oke. Kalau begitu aku akan ke rumahmu setelah ini."

"Terserahmu."


"Manusia tolol" adalah dua kata yang digumamkan Sasuke sepanjang jalan pulang. Naruto mengayuh sepeda di sebelahnya, tampak normal dengan kandang katak yang tergantung di stang sepedanya. Tetapi, tujuannya membawa katak peliharaannya sama sekali tidak normal.

"Sudah lama aku ingin memperkenalkan Gamabunta pada Manda," kata Naruto. "Mumpung hari ini aku ingat, jadi harus segera dilaksanakan, daripada nanti lupa lagi."

Gamabunta itu katak, sedangkan Manda ular piton. Memperkenalkan Gamabunta pada Manda sama seperti memberi makanan spesial pada ular rakus. Memang pantas Naruto disebut manusia tolol.

Sesampainya di rumah Sasuke, maksud Naruto jelas dianggap gila oleh Mikoto. Wanita paru baya itu bahkan sampai tak bisa berkata-kata. Kelakuan Sasuke yang selalu langsung masuk kamar sama sekali tak diperhatikan Mikoto.

"Omong-omong, kenapa kau tidak pernah datang lagi ke sini? Apa kau memutuskan untuk mendengarkan Sasuke?"

"Hah?" Naruto terbengong sejenak. "Memangnya Bibi tidak tahu, Sasuke itu sering main ke rumahku? Bahkan seolah dia anak ayah dan ibuku. Dalam sebulan ini dia sudah menginap lebih dari dua puluh kali. Bagaimana aku bisa di sini sementara dia menyabotase ayah dan ibuku," jelas Naruto.

"Ah masa?" tanya Mikoto tak percaya. "Bibi pikir dia selalu di kamarnya? Apa dia keluar dari jendela kamarnya, ya?"

Ah, jadi ternyata gegara kurang diperhatikan, pikir Naruto sambil manggut-manggut. "Bi, Sasuke itu tidak mungkin membuang energi dengan melompati jendela hanya untuk keluar rumah. Itu pasti Bibi dan yang lain kurang peduli tentangnya, pantas saja dia sering ke rumahku, mencuri perhatian orangtuaku."

"Aduh, Bibi jadi merasa tidak enak. Maaf, ya, anak Bibi merepotkan keluargamu."

"Tidak masalah, Bi. Yang penting sekarang, aku ingin tahu ada masalah apa di sini?"

"Begini. Kau lihat itu." Mikoto menunjuk anak perempuan menggemaskan yang sedang mewarnai di kolong piano kesayangan Fugaku. "Itu adik Sasuke. Kami baru mengadopsinya, sebulan yang lalu. Sasuke tidak menyukainya, dia merasa adiknya mencuri semua perhatian keluarganya. Jadi, ya, begitulah jadinya."

Naruto memperhatikan gadis kecil itu lekat-lekat. "Siapa namanya?"

"Hinata. Bicaralah padanya, tapi pelan-pelan. Bibi bersiap-siap dulu."

Segera Naruto bergabung dengan Hinata di kolong piano. "Waduh, kalau dia semanis ini, kurasa seluruh perhatianku pun akan terampas. Malang sekali Sasuke, sekarang dia pun kehilangan teman baiknya," gurau Naruto. "Hai, adik manis, sedang apa?"

Hinata mendongak dan menatap Naruto bingung, kemudian dia mengangkat buku gambarnya untuk ditunjukkan pada Naruto. "Wah, bagus sekali," puji Naruto asal, padahal warna gambarnya benar-benar kacau. Daun berwarna kuning, awan diberi warna hijau, matahari menjadi biru dan langitnya merah muda. "Siapa namamu?"

"Namaku. Hi … Hinata."

Suara gadis kecil itu terdengar begitu manis di telinga Naruto. Pipi Naruto memerah malu. "Astaga, ya, Tuhan. Pantas mereka semua lupa pada Sasuke."

Lihat, Kelinci Cengeng itu, dia mulai melebarkan pengaruhnya.

Sasuke jengkel setengah mati ketika ia baru tiba di lantai satu. Seragamnya kini digantikan dengan pakaian rumahan. Tadinya dia tidak sabar memperkenalkan, ralat memberikan katak Naruto sebagai makan siang Manda. Tetapi, kini antusiasmenya menguap.

"Hoi, Teme! Lihat, adikmu ini manis sekali. Ayo, kita temani dia main." Naruto berujar ceria, mengajaknya bersenang-senang dengan serigala berwajah polos itu. Dia mengabaikannya. Naruto tak mau kalah, dia mengejar-ngejar Sasuke yang berjalan cepat menuju halaman belakang. "Teme, dia ini sekarang adikmu. Senanglah sedikit. Kau aneh sekali, dulu kau kan bilang kau mau punya adik."

"Adik laki-laki, Dobe. Adik. Laki. Laki," balas Sasuke geram.

"Kau payah, Teme! Aku laki-laki, Itachi-nii juga laki-laki, masa kau mau laki-laki juga."

"Ya, sudah, kalau kau senang dengan adik perempuan, kau bisa membawanya ke rumahmu. Kebetulan sekali, ayahku perjalanan bisnis, kakakku kemah, ibuku sebentar lagi berangkat untuk pertemuan komunitas, kau bisa menculiknya. Tidak usah dikembalikan ke sini."

Naruto mendesah. "Kau tak perlu begitu. Itu ide yang bagus. Kau harus menjaganya, 'kan? Nanti kubantu."

"Kalian ini apa-apaan. Kenapa kalian semua memaksaku menjadi pengasuhnya?"

"Karena hanya dengan begitu saja, kau akan menyadari betapa Hinata-chan sangat manis. Ayolah, kita ajak dia main."

"Tidak."

"Naruto, biarkan saja. Bibi yang akan bicara." Mikoto tiba-tiba muncul di belakang Naruto. Dia sudah siap pergi. Hanya tingagal berpamitan dengan Sasuke saja.

Putra bungsunya memandangi ular piton sambil mengumpat. "Sasuke-chan, semua yang harus kau lakukan sudah ibu catat di buku kecil, ibu meletakkannya di meja makan. Ibu pergi dulu. Semangat, ya!"


Sejak siang tadi Naruto dengan senang hati menjadi pengasuh Hinata, dia bahkan lupa apa tujuannya datang ke rumah Sasuke. Sebenarnya, dia bersedia menjaga Hinata sampai besok sore Mikoto kembali lagi ke Konoha. Tetapi, Mikoto sudah berpesan padanya, Sasuke harus dibiarkan berdua dengan Hinata. Sebesar apa pun ketidaksukaan Sasuke, tidak mungkin Sasuke tega menelantarkan Hinata. Itulah sebabnya, dia harus pulang sekarang.

Pintu kamar Sasuke masih tertutup rapat mulai pukul dua siang tadi, ketika dia bilang mau tidur siang. Naruto yakin Sasuke sedang membaca komik di dalam.

"Teme, aku akan pulang. Hinata masih tidur di kamarnya. Saat dia bangun nanti, jangan lupa mandikan dia, berikan vitamin tiga jam sekali dan jangan berikan kacang padanya, dia alergi kacang. Untuk informasi, aku memberikannya vitamin dua jam yang lalu. Ah, ya sudah lah, semua catatannya ada di meja makan." Sasuke tidak mengatakan apa pun di dalam sana.

"Lakukanlah sesukamu, Teme, aku pulang sekarang. Kalau dia mati kelaparan, kau yang akan menerima hukumannya."

Hanya semenit setelah Naruto pergi, Sasuke segera berlari ke kamar Hinata. Setibanya di sana, Sasuke menyesal. Bocah jelek itu sedang enak-enaknya tidur, menggulung dirinya dengan selimut halus pemberian kakeknya. "Dia seperti ulat obesitas," gumam Sasuke. "Tapi, ini bukan lagi jam tidur siang."

Buku catatan yang secara khusus disiapkan ibunya pasti menjelaskan kapan Hinata harus mandi sore. Dia melirik jam waker di meja nakas. Pukul 04:45. Kemudian Sasuke turun ke bawah untuk mengambil catatan kecil itu di meja makan.

Mandi sore Hinata pukul 05:00. Semangat, ya, Sasuke-chan. Hinata tidak rewel, kok. Ibu menyanyangi kalian berdua. Muuuuuacchhhh!

Sasuke meringis jijik.

Sasuke mendesah. Lima belas menit lagi, ya, pikirnya malas. Ia kembali naik ke kamar Hinata. "Ulat Obesitas, bangun!" Selimut yang membungkus tubuh Hinata ditarik paksa. Sasuke geram sekali, Hinata masih tetap terlelap. Dia mengangkatnya, lalu membawanya ke kamar mandi. Tubuh Hinata didudukkan di dalam bak mandi yang kosong, masih dalam keadaan tidur. Sasuke mengambil air dingin. Ke dalam air itu, Sasuke memasukkan tangan mungil Hinata.

Kejutan dadakan. Hinata sontak terbangun, wajahnya terkaget-kaget. Menyaksikan itu, Sasuke tertawa. Dia menyalakan keran air hangat, membuat Hinata langsung berdiri. Pundak Sasuke menjadi pegangan gadis kecil itu, dengan hati-hati dia keluar dari bak mandi. Hinata menegakkan tubuhnya dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Sasuke sama sekali tidak mengerti. Semenit kemudian Sasuke baru paham.

"Apa yang kau harapkan? Buka sendiri. Sudah bagus aku mau memandikanmu," kata Sasuke tak mau tahu.

"A … aku ti-tidak bisa."

"Dasar payah! Anak tiga tahun saja bisa melakukannya." Mau tidak mau Sasuke melepas kancing piama Hinata satu per satu secara cepat. "Itulah kenapa aku tidak mau adik perempuan," bisik Sasuke. Pipinya merona, dia memalingkan wajahnya. Itu gegara baru pertama kali Sasuke melihat tubuh telanjang perempuan, meskipun masih dalam wujud balita. "Apa yang kau tunggu? Cepat masuk!" teriak Sasuke seraya menunjuk bak mandi.

"Dengar, ya, Ulat Obesitas, Kelinci Cengeng, Bocah Jelek, apa pun namamu, kau harus belajar mandi sendiri mulai detik ini. Berdiri. Pertama-tama," Sasuke menyodorkan sabun cair khusus bayi. "Tekan seperti ini dan tampung sabunnya dengan spons mandi ini. Lalu remas-remas sampai berbusa. Setelah itu usapkan ke seluruh tubuhmu."

Hinata mengikuti instruksi Sasuke dengan patuh. Sepuluh menit kemudian, Hinata selesai mandi, Sasuke juga mengajarkannya melilitkan handuk. Hinata kembali mengangkat tangannya, kali ini Sasuke langsung mengerti, dia tahu Hinata minta digendong. "Tidak ada. Mulai sekarang kau harus belajar melakukan semuanya sendiri." Sasuke menarik tangan kanan Hinata, menuntun anak itu naik ke kamar.

Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan berikutnya, Sasuke kembali membaca buku catatan.

Kalau Hinata sudah mandi, pakaikan minyak bayi. Sore ini dia harus memakai piama sutra berwarna ungu muda, lihat di lemari. Semangat, ya, Sasuke-chan.

Sasuke mengerutkan kening.

Sama seperti tadi, Sasuke hanya melontarkan instruksi, dia tidak sudi melakukan semua itu untuk Hinata.


Mata Sasuke menyipit. Buku dongeng berjudul Momoko's Castle disodorkan ke hadapannya. Bacaannya terhenti. Sasuke menutup bukunya lalu melempar buku itu asal, jengkel. Tidak ada waktu khusus untuk dirinya sendiri. Ulat Obesitas itu bahkan sudah berani masuk ke kamarnya dan naik ke tempat tidurnya.

Sasuke mengangkat Hinata, lalu membawa gadis kecil itu ke kamarnya. "Hari ini saja, kau jangan bersikap manja, aku bukan Itachi, tou-san atau kaa-san." Sasuke membaringkan tubuh Hinata di tempat tidur, kemudian membungkus tubuh itu dengan selimut. "Langsung tidur lebih baik untukmu saat ini."

Lagi, lagi, Hinata melakukannya dengan patuh. Sasuke itu jahat, dia harus mengikuti apa pun yang diperintahkan Sasuke, kalau tidak mungkin Sasuke akan menggigitnya atau mencubitnya.

"Akhirnya," kata Sasuke, mendesah lega. Pintu kamarnya sudah ia kunci, agar Hinata tidak bisa masuk lagi.

Tepat tengah malam, hujan turun disertai petir. Sasuke menyadarinya, namun baginya hal itu menambah kenyamanan tidurnya. Tak lama setelah itu pintunya digedor.

"Aniki!"

Suara Hinata sama sekali tidak digubris Sasuke. Dia justru menutup dirinya hingga kepala.

Walaupun dia mengabaikannya, Ulat Obesitas itu sepertinya tidak mau menyerah. Sasuke membuka selimutnya, lalu mengacak-acak rambutnya sambil menggeram. "Apa sih maunya?"

Di depan pintu kamarnya Hinata tersungkur sambil menangis ketakutan. Ketika petir menyambar, Hinata berteriak, dia histeris, memanggil-manggil ayah, nenek dan ibu dengan panik. Hal itu tanpa Sasuke sadari benar-benar melukai hatinya. Sekesal apa pun dia, Sasuke masih manusia, hatinya masih ada. Apa sebenarnya yang kulakukan? Dia menyesal.

"Hei, Kelinci … kemari."

"Onii ... chan!" Hinata menghambur ke pelukan Sasuke dengan air mata yang masih berurain.

Lagi, Sasuke mendesah. "Kau ini Setan Kecil, kenapa petir saja takut? Lagipula petirnya di luar, di luar, tidak akan membuatmu gosong," jelas Sasuke. Egonya melarangnya mengusap-usap punggung Hinata. Dia menarik Hinata masuk ke kamarnya. "Lain kali kau harus belajar tidur sendiri, bagaimana pun kondisinya."

Sasuke membiarkan Hinata tidur di sebelahnya sembari memegangi tangannya. Namun, lama-kelamaan Hinata naik ke atasnya, kemudian memeluknya erat-erat, sampai dia tak bisa bernapas. Sasuke menggeram jengkel.

"Sekarang Kelinci Iblis ini ingin memonopoli perhatianku," bisik Sasuke. "Tapi, tidak. Perhatian semua orang sudah dicuri dariku, kalau bukan aku yang memperhatikan diriku sendiri, siapa lagi?"


26 Mei 2002

Kulit putih pucat yang halus. Pipi tembam yang terasa empuk. Desah napas gadis kecil itu terdengar begitu lembut. Bahkan detak jantung Si Kecil, Sasuke bisa mendengarnya. Hinata masih tertidur di atasnya, sementara dia terlalu senang memainkan jemarinya di pipi empuk Hinata. Gemas setengah mati, namun Sasuke menahan diri. Bila ayahnya melihat ada bekas cubitan baru, dia tidak akan selamat.

Tanpa sengaja, bekas gigitan di lengan mungil Hinata menyapa mata hitamnya. Dia melakukannya dua hari yang lalu. Waktu itu dia kesal setengah mati, karena Hinata menggunakan pemukul besbolnya untuk menggiling adonan. Seharian Hinata menangis karena itu.

"Itu tidak akan terjadi jika kau di habitat aslimu," gumam Sasuke.

Mulut Hinata terbuka lebar, ia menguap, lalu bangkit dan duduk di atas perut Sasuke. Perlahan-lahan dia mengucek matanya. Ketika ia sadar di mana dia duduk, dia cepat-cepat turun.

Seperti anak-anak pada umumnya, Hinata terbiasa mencari makanan sesaat setelah bangun tidur. Dia pergi ke ruang tamu, tempat di mana beberapa stoples berisi makanan ringan diletakkan. Sasuke mengekori anak itu.

"Ini kacang," kata Sasuke sambil menarik stoples kue kacang. "Dan kau, harus belajar tata krama. Kau tidak boleh makan sebelum menggosok gigi dan membenahi diri.


28 Mei 2002

Para Uchiha sudah kembali ke rumah. Kemarin sore Madara datang dan menginap di rumah. Hal itu jsutru menambah kejengkelan Sasuke. Setahunnya kakeknya itu jarang mau menginap di rumahnya dan dalam sebulan ini sudah dua kali, tujuannya hanya untuk Hinata.

Mereka semua penasaran bagaimana perubahan hubungan kakak beradik Sasuke-Hinata setelah ditinggal berdua selama lebih dari dua puluh empat jam.

Saat Hinata datang minta bantuan membuakakan tutup stoples berisi madu, semuanya pura-pura sibuk, kata mereka, "Minta sama Sasuke-nii sana!"

Di ruang keluarga Sasuke begitu serius menonton pertandingan besbol yang tayang secara langsung di tv. Sasuke paham betul bagaimana rasanya, ketika sedang serius, tiba-tiba ada orang tak tahu diri yang menginterupsi. Naruto sering melakukan itu, dan kenapa Ulat Obesitas itu mulai melakukannya juga.

Sambil tersenyum polos gadis kecil itu menyodorkan stoples madu padanya, menghalangi matanya yang seharusnya tertuju pada pertandingan besbol. "Sa-Sasuke-sama, to-tolong bu … bukakan," pinta Hinata.

"Bukakan?" Hinata mengangguk, Sasuke mengambil stoples itu. Keluarganya yang mengintip dari dapur mulai merasa Sasuke sudah bertobat. "Kemarikan wajahmu." Hinata menurut. Sasuke mengangkat tangannya, lalu menokok jidat Hinata dengan keras. "Rasakan!" seru Sasuke bahagia.

Hinata menangis, tak kuasa menahan sakitnya. Mungkin sekarang ada benjolan kecil di jidatnya. "Hei, hei, diam, diam, berhenti berteriak seperti itu," bujuk Sasuke. Dia mulai panik dan melihat sekeliling, takut ada yang melihat tindakannya itu. "Kau mau madu, 'kan, Beruang Kurus? Ini Sasuke-sama sudah membuka tutupnya." Hinata diam, takut-takut dia mengambil stoples dari tangan Sasuke.

"Kalian lihat itu tadi," kata Itachi geram. "Anak itu tidak akan berubah. Kalian juga pasti dengar bagaimana Hinata memanggil Sasuke. Selama lebih dua puluh empat jam Hinata pasti bernapas di bawah ancaman Sasuke."

Fugaku dan Madara memijat kening mereka, sementara Mikoto, ia sedang memikirkan berbagai macam cara untuk membalas perbuatan Sasuke barusan.

"Padahal, Hinata sepertinya cepat belajar kalau Sasuke yang mengajarinya. Kalian sendiri yang bilang, Hinata sekarang bisa mewarnai dengan benar, menyikat gigi dengan benar, mandi sendiri tanpa sedikit pun kesalahan dan memakai pakaiannya sendiri, kebiasaan buruk Hinata secara drastis menurun." Fugaku mencoba menyebutkan hal baik apa yang dilakukan Sasuke.

"Itu tidak penting," kata Mikoto sangar. "Anak mana pun akan patuh jika diajari dengan cara mengancam. Hinata-ku yang malang, Sasuke pasti mengancamnya untuk melakukan ini dan itu. Awas saja Sasuke itu. Suamiku, potong uang jajannya."

"Menantuku, kendalikan amarahmu," kata Madara mencoba menentramkan Mikoto. "Kita tidak boleh menghukumnya. Karena semakin kita hukum dia akan semakin berbuat yang tidak-tidak pada Hinata. Anak seusia Sasuke memang berada pada fase kritis, dia bukan anak-anak, tetapi juga bukan orang dewasa. Bila kita menghukumnya, dia akan menganggap itu kesalahan Hinata dan tentu akan membalasnya pada Hinata. Tenanglah. Kita harus mencoba cara yang lain," jelas Madara.


To be continued …