Chapter 6
©Rosetta Halim
Based on Aelona Betsy's fiction, January was My December
23 Juli 2002
Entah sudah berapa kali Sasuke melihat mulut mungil Hinata menguap. Mata Hinata yang pagi-pagi tadi terlihat segar dengan binar semangat, kini tampak sayu. Sasuke mengajak Hinata mengobrol agar Si Kecil tetap terjaga. Wajar saja, biasanya Hinata tidur siang. Tetapi, karena keinginan sepihaknya Hinata tidak tidur hingga sore.
Sepeda yang sedari siang tadi dia kayuh sekarang dia dorong. Sasuke berjalan dengan pelan sementara Hinata duduk di boncengan sepedanya. Mereka dalam perjalanan pulang.
"Kau suka Gaara?" tanya Sasuke.
Sejak awal pembicaraan, dia bertanya apakah Hinata suka teman-teman Itachi dan teman-temannya. Dia menyebut nama orang-orang yang sering datang ke rumahnya satu per satu. Setiap kali Hinata terlihat melupakan orang yang ia sebut, Sasuke merasa lega. Mereka tidak cukup spesial bagi Hinata sehingga Hinata tidak menggunakan kapasitas otaknya yang minim untuk mengingat mereka. Sasuke suka anggapannya itu.
"Suka!" Jawaban Hinata yang terdengar bersemangat membuat Sasuke kesal. Gaara bukan salah satu orang yang sering datang ke rumahnya, tidak pernah, kecuali acara ulang tahun Itachi bulan lalu. Bagaimana Hinata mengingat Si Sialan itu?
"Apa yang kau suka darinya?"
"Gaara-kun ba-baik."
Mata Sasuke melotot tajam. Dia tidak terima ini. "Kelinci Bodoh, bersikap pintar lah sedikit. Dia itu lebih tua darimu, jadi panggilnya harus nii-san."
Hening.
Hinata berusaha keras memahami perkataan Sasuke. Ketika dia paham, Hinata mencoba mengingat wajah Gaara yang tampak sedih kala dia menyebut Gaara nii-san. "Gaara-kun senang ka-kalau aku panggil begitu."
"Tidak boleh!" bentak Sasuke akhirnya. Hinata menundukkan kepalanya. Walau dia terbiasa dibentak Sasuke, tapi rasanya tetap menakutkan. "Begini saja, kalau kau panggil Gaara nii-san, maka kau boleh memanggilku nii-san."
Hinata mengangkat wajahnya. Mata yang tadinya sayu tiba-tiba kembali bersinar. "Nii-nii-chan," kata Hinata senang.
"Gaara pun harus dipanggil begitu," tegas Sasuke. Hinata mengangguk semangat. Entah apa pun panggilan untuk orang lain, itu tidak masalah. Kala Sasuke mengizinkannya memanggil Sasuke nii-san, dia merasa sedikit lebih dekat dengan Sasuke. "Tapi …" Sasuke berhenti sejenak. "… kau sering bertemu dengan Gaara?"
Hinata menghitung jarinya sendiri. "Banyak," jawab Hinata polos sambil menunjukkan ke sepuluh jari tangannya.
"Ketemu di mana?"
Hinata menggaruk kepalanya bingung. "Di ru-rumah," jawab Hinata membingungkan.
"Rumah? Rumah yang mana?"
"Ru-rumah Nenek. Yang a-ada Yurui-chan di sana. Ada Shion-chan juga dan mmm …"
"Sudahlah! Kau memang bodoh."
Biar saja nanti Sasuke yang cari tahu selebihnya.
Sasuke menyenderkan sepedanya di dinding pos satpam selagi satpam menceramahinya sembari memutar nomor ponsel Fugaku. Dia mengangkat Hinata yang terlihat nyaris tertidur dari boncengan dan menggendongnya menuju rumah yang jaraknya masih cukup jauh. Untuk kali ini saja, Sasuke merutuki kegemaran ibunya pada tanaman.
Sesampainya di rumah, Sasuke langsung membawa Hinata ke kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur. Saat Sasuke akan pergi dari sana, Hinata mengigau. Sasuke menaikkan kedua alisnya. Selama ini Hinata tak pernah mengigau saat sedang tidur. Dia pun terpikir sesuatu. Dengan cepat dia meletakkan tangannya di kening Hinata.
Panas. Kening Hinata, wajah hingga ke leher sangat panas.
Sebelum Sasuke sempat melakukan sesuatu, Mikoto masuk ke kamar sembari meneriakkan nama Hinata. "Bagaimana? Apa dia masih hidup?" tanya Mikoto dengan marah pada Sasuke yang dia lihat ketakutan.
Jantung Sasuke berdebar menyakitkan kala ibunya menanyakan itu. "Dia cuma panas," jawab Sasuke setengah berbisik. Ibunya tak pernah semarah itu padanya. Dia anak kesayangan ibunya sebelum Hinata datang. Diperlakukan seperti itu, seolah ibunya tidak membutuhkannya lagi, hatinya sakit. Dia marah, tetapi mencoba menahannya.
Mikoto naik ke ranjang untuk mengecek putrinya. "Cuma panas katamu?" bentak Mikoto. "Apa kau tidak tahu, adikmu bisa mati hanya karena hal yang kau anggap kecil ini?"
"Bagaimana aku tahu? Apa kalian pernah beritahu aku?" Sasuke balas bertanya dengan suara yang keras serta kasar. "Dan dia bukan adikku."
Itachi nyaris menarik tangan Sasuke untuk menghajarnya ketika Sasuke keluar dari kamar Hinata. Namun, untungnya Madara dan Naruto cepat menahan Itachi. "Biar kakek yang tangani dia," kata Madara, kemudian dia mengikuti Sasuke yang berjalan dengan langkah cepat, mengabaikan Fugaku yang memanggilnya usai putranya itu menelepon dokter.
"Kau mau menyalahkanku juga?" tanya Sasuke tajam. Baru saja tangannya ditarik oleh kakeknya. "Aku salah. Aku tahu itu. Kalian tak perlu menegaskannya."
"Tidak. Bukan untuk itu. Kakek tidak menyalahkanmu, kau tak perlu marah seperti itu. Ikutlah." Madara menarik Sasuke keluar rumah. Dia berniat membawa Sasuke pulang ke rumahnya.
"Kau tidak mau turun?"
Sasuke enggan menanggapi. Dia memalingkan wajahnya menghadap kaca jendela mobil. Dia tak berniat membuka pintu mobil. Tidak ada bagusnya tinggal di rumah kakeknya. Itu hanya membuatnya merasa diasingkan.
"Kau tak memberinya vitamin seharian ini."
Memang benar. Tetapi, apa artinya itu, Sasuke tidak tahu dan selama ini dia tidak mau tahu.
"Dia bisa mati karena itu. Tapi, kakek tidak menyalahkanmu. Kami yang salah."
Entah kenapa, seluruh tubuhnya terasa ngilu mendengar itu, jantungnya berdetak tak beraturan. Dia juga salah karena selama ini tidak mau tahu tentang apa pun.
"Banyak hal tentangnya yang seharusnya kami katakan padamu."
"Apa?" Kini Sasuke memandang kakeknya. "Katakan padaku." Sasuke ingin tahu semuanya, agar peristiwa seperti hari ini tidak akan pernah terjadi lagi.
27 Juli 2002
Hinata sehat total setelah istirahat penuh selama tiga hari. Sekarang adalah jadwal kunjungan ke panti. Awalnya Mikoto ingin melakukannya hari Minggu, tetapi justru Hinata yang kelihatan tidak sabar untuk pergi. Anak itu telah menyiapkan dirinya sendiri.
Itachi yang biasanya ikut, hari ini tidak ikut karena ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan sebelum libur musim panas. Naruto juga tidak ikut, katanya dia ingin mengunjungi kakek dan neneknya.
Hinata sama sekali tidak keberatan dengan ketidakhadiran kedua orang itu. Dia sangat senang, karena nii-san-nya yang biasa tak mau ikut, kemarin bilang padanya mau ikut. Tetapi, dia tidak diperbolehkan bilang pada siapa pun.
Dengan langkah riang Hinata berjalan menuju mobil yang akan mereka tumpangi, Sasuke pasti menunggunya di sana.
Tingkah Hinata itu membuat Mikoto gemas. Dia mengikuti bocah itu sambil tersenyum.
Dahi Mikoto mengerut sesaat setelah ia membuka pintu mobil. Sementara Hinata berusaha naik ke tempat duduk. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Mikoto, tampak masih dendam dengan kenakalan Sasuke tiga hari yang lewat.
"Aku mau ikut," jawab Sasuke santai. Sasuke menyeringai ketika Hinata duduk di sebelahnya, terlihat begitu antusias.
"Kau tidak sedang merencanakan sesuatu, 'kan?" selidik Mikoto. Dia belum bisa mempercayai Sasuke, meskipun ayah mertuanya menyarankannya agar tidak terlalu keras pada Sasuke.
"Kalau pun aku merencanakan sesuatu, itu bukan jenis rencana yang membuat Kelinci Cengeng ini terluka."
Panti asuhan itu tampak sangat layak, bahkan Sasuke tidak yakin bahwa itu panti asuhan, lebih terlihat seperti asrama untuk orang punya.
Kalau Hinata tinggal di sini, tidak ada yang perlu dicemaskan. Justru segalanya menjadi runyam saat Hinata pulang ke rumahnya. Dia tidak mau punya adik seperti Hinata. Dia tidak suka ibunya menggandeng tangan mungil Hinata sebagai seorang ibu.
Sasuke melihat anak perempuan satu per satu di halaman agar dia bisa mengajukan ide bagus pada ibunya. "Kaa-san," panggilnya. Mikoto memutar lehernya, menatap Sasuke di belakangnya. "Ada anak perempuan yang mirip dengan Si Jelek ini di sana. Cuma rambutnya pirang," kata Sasuke.
Mikoto melihat anak perempuan yang ditunjuk Sasuke. Gadis itu seumuran Hinata, namanya Shion, sedang bermain lompat tali dengan teman-temannya. "Lalu?" tanya Mikoto.
"Kita tukar Si Jelek ini dengannya," jawab Sasuke polos.
"Astaga! Ada prosedur khusus untuk mengadopsi anak, Sasu-chan. Hukum menyaksikannya dan keamanannya dijamin hukum. Tidak bisa dilepas begitu saja, bahkan jika suatu saat orangtua kandung Hinata datang untuk meminta kembali anaknya atau jika kita tidak menginginkannya lagi. Itu tidak bisa. Kecuali jika ada alasan-alasan tertentu. Tapi, kalau kau suka anak perempuan itu, kaa-san dan tou-san bisa mengadopsinya untukmu."
"Tidak perlu," balas Sasuke cepat.
"Kalau begitu ayo! Jangan berdiri saja."
Sabaku Gaara mondar-mandir di depan pintu kantor neneknya. Ini sudah lewat dari biasanya. Hinata belum datang juga, pasti ada yang menghambat kedatangannya.
Wajah Mikoto yang kelihatan di ujung sana membuat bibir Gaara melengkung. Dia berlari, berniat menghampiri wanita itu saat wanita itu berhenti dan membalik tubuhnya. Gaara benar-benar tidak bisa menunggu lagi. Dia ingin segera menggapai Hinata.
"Kalau begitu ayo! Jangan berdiri saja."
Gaara terkejut ketika dia tahu siapa yang diajak Mikoto. "Gaara-chan, apa kabar?" kata Mikoto ramah.
"Tadi mungkin dia baik, sekarang pasti tidak sehat. Kami-sama tidak lagi mengabulkan doanya," kata Sasuke mengejek.
"Kau!" geram Gaara.
"Kelihatannya kalian tidak begitu akrab, ya." Mikoto tersenyum, lalu melihat ke halaman panti yang luas. Di sana ada banyak anak lelaki yang sedang bermain sepakbola. "Kalau begitu, kalian main bola saja dulu. Supaya bisa saling mengenal." Dia membawa Hinata ke dalam gendongannya dan segera pergi meninggalkan Gaara dan Sasuke.
Gaara mendecih. Dia menatap punggung Mikoto yang semakin menjauh. Gaara tidak mau main dengan siapa pun. Dia pikir dia akan mengejar Mikoto, tetapi sayang, Sasuke menarik punggung kaos putih yang ia kenakan.
Ini benar-benar keterlaluan. Satu hari kesempatan Gaara setiap minggu pun hilang karena Sasuke mengikuti ibunya. "Kau benar-benar brengsek, Uchiha," kata Gaara kesal.
"Tidak usah mengeluh seperti itu, Sabaku," balas Sasuke yang masih memegang kaos Gaara dengan erat.
"Lepaskan aku, Uchiha Brengsek!" teriak Gaara frustrasi.
Sasuke memang saingan terberat Gaara. Naruto yang sering ikut bukanlah lawan yang tangguh bagi Gaara.
"Sebaiknya kau pulang saja, Sabaku, tidak usah banyak berharap," ujar Sasuke dengan senyum penuh kemenangan.
"Kau terlalu percaya diri, UCHIHA BRENGSEK!" balas Gaara penuh amarah.
Buruk. Ini sungguh buruk dan merupakan kutukan dalam hidupnya. Pastilah setelah ini Sasuke terus ikut ke panti setiap Mikoto dan Hinata berkunjung. Sasuke tidak akan menyisakan satu hari pun untuknya. Entah kenapa dia berharap dia adalah Naruto yang dengan bebas datang ke rumah Uchiha.
Selama ini Gaara menahan dirinya datang ke rumah Uchiha. Lagipula harga dirinya terlalu tinggi untuk datang ke rumah rivalnya. Gaara tidak ingin mencari masalah dengan Uchiha Sasuke. Cukuplah dia bertemu dengan Hinata di panti saja. Namun, bila di panti pun ada Sasuke, sepertinya Gaara tidak bisa menghindari persaingan sengitnya dengan Sang Uchiha.
Sasuke yang memulainya, maka Sasuke yang harus merasakan akibatnya. Karena kedatangannya ke panti untuk mengganggu Gaara, maka Gaara akan datang ke rumah Uchiha untuk mengganggu Sasuke dan menciptakan kesempatan bersama Hinata-nya.
Bunyi piano kesayangan Fugaku terdengar tak beraturan. Hinata duduk di atas pangkuan Fugaku yang tengah memperhatikan Si Kecil Hinata menekan-nekan tuts piano. Gadis kecil itu tampak sangat tertarik dengan piano.
Setelah setengah jam bermain tak jelas, Hinata mulai merangkai nada dengan benar. Fugaku terpelongo sejenak. Dia mengenal melodi yang mulai terbentuk itu. Itu terdapat di album terakhir Hyuuga Hikari, yang belakangan sering diputar di tv untuk mengenang pianis jenius itu dan seluruh keluarganya.
Hebatnya Hinata memainkannya tanpa partitur. Fugaku bahkan tidak bisa melakukan itu walau dia sudah sering mendengarkannya.
"Wah, anak tou-san pintar," puji Fugaku setelah Hinata menyelesaikan permainannya. "Sekarang kita tahu bakatmu."
Tak menyesal dia menghabiskan malam minggu dengan putrinya, bukannya dengan sang istri. Dengan begini, dia tahu dia harus mencari guru piano terbaik di Konoha untuk Hinata.
"Tou-san yang main?" tanya Itachi yang baru saja turun. "Aku suka sekali. Tapi, bukannya tou-san bilang perlu waktu untuk membuat partiturnya. Tadi kupikir tou-san memu …."
"Itachi, hentikan itu. Adikmu yang main," jawab Fugaku memotong ocehan Itachi.
"Adikku? Hinata kita?" tanya Itachi tak percaya.
Hinata menekan beberapa tuts piano untuk menjawab Itachi.
"Kau lihat?" kata Fugaku.
Dalam beberapa detik saja, Itachi langsung kabur dari sana. Berlari-lari ke dapur untuk mengatakan berita ini pada ibunya.
Mikoto sedang beres-beres dapur ketika Itachi datang.
"Kaa-san dengar?"
"Apa?" tanya Mikoto heran.
"Piano."
"Oh, itu kan biasa. Lagipula tou-san-mu sedang mengajari Hinata main piano," balas Mikoto tak begitu tertarik. Kemudian dia kembali naik ke kursi untuk menyimpan cangkir teh di dalam lemari gantung.
"Kaa-san, itu tadi, melodi yang terdengar manis itu, Hinata kita yang bermain," kata Itachi.
"Apa?!"
28 Juli 2002
Pagi-pagi sekali dentingan piano terdengar di telinga Sasuke yang masih bergelung di tempat tidurnya. Itu bukan lagu yang sering dimainkan ayahnya atau lagu dari album-album yang dikoleksi ayahnya. Tidak satu pun. Melodinya terdengar asing.
Saat tak mendapati kepala Hinata di atas perutnya, Sasuke terheran. Sepertinya Hinata terlalu cepat belajar membuka kunci pintunya. Lain kali dia akan menyembunyikan kuncinya, biar kelincinya itu tidak bisa kabur lagi.
Sasuke keluar dari kamarnya sambil menguap kecil.
Langkah Sasuke terhenti di tengah-tengah tangga. Tadi dia berpikir ayahnya yang bermain. Tetapi, yang ada di sana sekarang ini Si Kelinci Cengeng yang bodoh, yang entah sejak kapan pandai bermain piano dengan ayah, ibu dan kakaknya yang sibuk memeloti jari-jari mungil Hinata.
Kemarin malam, rumahnya cukup heboh gegara permainan Hinata, mereka bahkan menelepon kakeknya hanya untuk memberitahu hal itu. Menjengkelkan sekali. Mereka terlalu berlebihan. Dulu saja, ketika dia menyabet juara pertama pada kompetisi catur nasional untuk anak SD, respon keluarganya begini:
"Justru memalukan sekali kalau kalah." Respon kakeknya.
"Bagus. Tapi, jangan lupa simpan pialanya di lemari, ya." Ibunya bahkan tak berpikir untuk memajang piala itu di ruang tamu, supaya orang tahu bahwa putra bungsunya adalah anak yang membanggakan.
"Kalau saja Hyuuga Neji mengikuti turnamen itu, kau pasti kalah. Kudengar dari tv, ketika pecatur terbaik Jepang berkunjung ke istana Hyuuga, Neji berhasil mengalahkan pecatur itu dalam waktu lima belas menit." Ini tanggapan kakaknya. Itu kan jelas, Itachi saja tak mungkin mengalahkan otak Neji, apalagi Sasuke.
"Teruskan." Ayahnya berkata singkat.
Sasuke mendengus. Itu respon yang tak terduga dan sangat menyakitinya. Kemudian dia memutar badannya, kembali naik ke kamar dan menunggu sampai tak ada lagi bunyi piano.
Sasuke mengutuk semua orang ketika dia turun dari kamarnya untuk makan siang. Di meja makan, Sabaku Gaara menyambutnya dengan seringai iblis. Bocah berambut merah itu memangku Hinata. Kelinci Cengeng itu jelas mau duduk di sana karena Gaara menyogoknya dengan makanan manis.
"Kau cari mati, Sabaku!" seru Sasuke mengancam.
Gaara malah terkekeh.
"Sasu-chan, jangan begitu pada tamu," kata Mikoto.
"Tamu tidak tahu diri sepertinya pantas dikasari," balas Sasuke marah. "Minggir, kau, Sabaku, itu tempat dudukku."
Dengan wajah polos yang minta dimengerti, tetapi di mata Sasuke terlihat seperti iblis, Gaara membawa Hinata pindah dari sana. "Kakak Ipar, aku akan berusaha lebih keras agar kau menerimaku," kata Gaara pada Sasuke.
Itachi yang sedang meminum kuah sup terbatuk-batuk hingga meja makan mendadak tersiram kuah sup, dia langsung berlari ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Tak jauh berbeda dengan Itachi, Mikoto dan Fugaku pun tampak tersedak. Sementara Hinata asyik sendiri dengan berbagai macam kue kering yang dibawakan Gaara.
"Jangan bermimpi, Sabaku," balas Sasuke garang.
Sasuke menarik kedua tangan Hinata sampai kue yang tadinya mengisi tangan gadis kecil itu jatuh ke lantai. Gaara tak mau kalah, dia mendekap pinggang Hinata dengan erat.
Hinata tidak mengerti apa yang dilakukan kedua orang itu, dia cuma tahu saat ini dia kesakitan dan dia harus menangis untuk mengekpresikannya.
"Cukup!" bentak Mikoto, "kalian tidak lihat dia kesakitan?" Bukannya mendengarkan Mikoto, Sasuke dan Gaara kini mulai bermain tarik-menarik bahkan saat tangisan Hinata semakin kencang, ditambah Mikoto yang ikut bersaing bersama mereka.
"Sabaku! Sasuke!"
Geraman Fugaku seketika menghentikan keduanya. Mikoto membawa Hinata pergi dari sana ketika Sasuke dan Gaara melepaskan Hinata.
"Dengarkan aku baik-baik, Sabaku. Kalau kau melakukan itu lagi, aku akan meminta ayahmu mengirimmu ke asrama. Dan kau, Sasuke, tou-san sendiri yang akan mengantarkanmu ke asrama."
Gaara langsung ketakutan. Ayahnya tidak akan mempertimbangkan, jika Uchiha yang meminta, ayahnya pasti langsung menuruti.
"Kalian berdua, berjabat tangan sekarang."
11 Agustus 2002
Lewat tengah malam, Itachi mondar-mandir di depan pintu kamar Hinata layaknya penjaga.
Belakangan tingkah Sasuke semakin menjadi. Adiknya itu bukan cuma bertengkar dengan orang lain, bahkan dia pun sering diajak berkelahi. Setiap hari di rumahnya hanya ada keributan.
Minggu lalu ayahnya murka karena semua keributan yang disebabkan oleh Sasuke dan saingan-saingannya. Akibatnya setiap Fugaku libur kerja, tak ada seorang anak pun yang boleh datang ke rumah mereka.
Entah di mana akal Sasuke? Dia sudah berulang kali mengingatkan Sasuke bahwa perbuatannya justru memperumit keadaan. Kalau ini diteruskan akan menjadi masalah besar di masa depan.
"Kau sudah datang," kata Itachi. Dia berdiri menghalangi Sasuke menggapai pintu kamar Hinata.
Sasuke yang sedari tadi dia tunggu menatapnya garang. "Minggir," kata Sasuke tajam.
"Tidak. Kau tidak bisa melakukan ini sepanjang hidupmu, Sasuke. Biarkan dia sendiri."
"Kau tahu dia tidak bisa tidur sendiri. Jadi, minggirlah."
"Itu karena kau berpikir dia tidak bisa."
Sasuke menggeram. Hinata memang sudah bisa tidur sendiri. Kelinci Bodoh itu tidak membutuhkan teman tidur lagi, Itachi mengajarinya menjadi anak pemberani. Tetapi, Sasuke tidak suka itu. Dia tak mau tahu apa alasannya, yang dia tahu dia mau Hinata tidur besamanya.
"Tidak ada bedanya. Dia tidur sendiri atau denganku, dia tetap tidur. Jadi, biarkan aku masuk!"
Itachi mendesah, dia menyingkir dari sana. Adiknya itu masih belum sadar perasaan jenis apa yang dimilikinya atau Sasuke sudah sadar, tetapi tidak tahu bahwa konsekuensi yang akan dia tanggung dari perasaannya itu sangat besar.
Sepertinya kalau bisa Sasuke dikirim saja ke asrama atau ke mana pun yang menjauhkannya dari Hinata. Menjauhkan Hinata dari rumah bukan pilihan, karena dia tahu ibunya sudah cinta mati pada Hinata.
Bukan berarti kasih sayang Itachi terhadap Sasuke berkurang. Tidak. Sasuke masih menjadi yang utama baginya. Tidak ada hal lain di dunia ini yang lebih ia sayangi dibanding Sasuke. Hanya saja, jika dia membiarkan Sasuke meneruskannya, Sasuke sendiri yang akan menanggung sakitnya.
Kepekaan Itachi akan sesuatu benar-benar mendatangkan beban bagi dirinya sendiri. Mungkin nanti dia bisa membaginya dengan kakeknya.
To be continued ….
A/N:
Khusus untuk kalian. Salam sayang!
