24 November 2002

Sebuah buku tebal berada di tangan kanan Fugaku. Membaca merupakan hal lain yang ia sukai untuk mengisi liburan. Angin sejuk musim gugur seakan mendukung kegiatannya, sama seperti batang pohon yang terasa nyaman dijadikan sandaran. Waktu yang tepat untuk melakukan apa yang dia suka dan mencintai hasil kecintaan istrinya terhadap tumbuhan.

Buku itu berjudul Les Misérables, novel klasik karangan Victor Hugo yang menjadi fenomena di kalangan penggiat sastra Prancis pada tahun 1860-an. Bukan hanya untuk pecinta sastra, itu juga merupakan tulisan yang fenomenal bagi mereka yang menuntut keadilan.

Hingga kini, Les Misérables merupakan bacaan wajib bagi mereka yang mempelajari sastra Prancis dan peminat sejarah Prancis. Seorang teman Fugaku mengatakan: tidak ada yang menjelaskan sejarah Prancis lebih baik dari Les Misérables, terutama sejarah sosial negeri mode itu.

Untuk Fugaku sendiri, yang telah membaca novel itu—terbitan tahun 1987, dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh Norman Denny—belasan kali, merasa tergerak untuk melakukan sesuatu setiap kali ia selesai membacanya. Maka tak heran, dia menjadi begitu dermawan dan terbilang keras mendidik anak-anaknya dalam mempergunakan uang.

"Tou-chan!" Panggilan terdengar dari suara yang belakangan sangat ia sukai ketika ia sampai pada bagian Fantine mengira Javert datang untuk menangkapnya. Fugaku menutup buku itu, lalu meluruskan kaki kanannya yang ia tekuk demi menopang tangan kanannya. Ia meletakkan buku itu di atas pangkuannya, kemudian menatap Hinata yang berdiri di hadapannya. Kedua tangan mungil Hinata memegang segelas susu. "Untuk Tou-chan," kata Hinata sambil menyodorkan gelas itu padanya, lalu tersenyum kecil.

Itulah anak yang dia kenal sejak usia anak itu tiga bulan.

Kecil dan rapuh.

Sering jatuh sakit dengan alasan yang macam-macam.

Membutuhkan bertumpuk-tumpuk uang agar hidupnya terjamin.

Fugaku tersenyum, tipis, namun begitu tulus. Dia menyambut gelas itu. "Tou-san minum kopi pagi-pagi begini, tapi tak apa," katanya lembut. Dia langsung menenggak cairan putih itu. Detik berikutnya dia sadar, susu itu—susu yang populer di kalangan balita, memiliki banyak varian rasa. Hanya Hinata yang minum itu di rumahnya. Mikoto membeli semua rasa yang ada. Yang diberikan padanya rasa vanila.

"Enak, Tou-chan?" Hinata bertanya sambil tersenyum malu-malu ketika susunya habis.

Oh, ya, Fugaku yakin Mikoto pasti menyuruh Hinata, yang katanya sedang belajar membuat susu, melakukan percobaan lainnya dan meminta Si Kecil menanyakan pendapatnya. Sungguh, Mikoto mengerjainya habis-habisan.

"Ah, luar biasa," jawab Fugaku. "Tou-san sepertinya mau lagi."

"Be-benarkah?"

"Ayo ke dalam, dan buatkan yang rasa jeruk," kata Fugaku sambil berdiri.

"Baik," balas Hinata bersemangat.

Kedua tangan Fugaku yang kini terisi buku dan gelas kosong memaksanya mengabaikan rumput dan daun kering yang menempel di bagian belakang celana panjangnya. Dia berjalan santai dengan Hinata di depannya, terlihat tidak sabaran. Membuat susu pasti menyenangkan baginya.

Dedaunan di seluruh pekarangan Mikoto telah mengering. Mereka terlepas dari ranting, bergoyang-goyang di udara sebelum jatuh dengan anggunnya. Beberapa pohon bahkan sudah nyaris gundul.

Kemarin malam, istrinya bercerita bagaimana setiap sore Hinata olahraga. Yang dilakukan gadis kecil itu hanya berlari-lari kecil, mengejar sehelai daun yang melayang di udara, berusaha menangkapnya sebelum mendarat. Si Kecil akan memberengut bila daunnya terlanjur mendarat. Sementara Mikoto tertawa senang sambil mengurus tanaman bonsainya di dekat pintu belakang.

Istrinya selalu bahagia jika menyangkut Hinata.

Itu kebahagian terbesar bagi Fugaku.

Peristiwa pahit yang pernah menimpa istrinya tahun 1993 lalu, yang membuat istrinya kehilangan rahim, dan merenggut bayi perempuan yang seharusnya lahir pada tahun itu, seakan hanya masa lalu yang sudah semestinya terjadi. Kenangan itu tidak lagi menjadi sesuatu yang disesali istrinya setiap kali mengingatnya.

"Nanti sore kita tangkap daunnya, ya?" Fugaku mengajukan tawaran itu, sebab dia lihat Hinata sangat senang melihat guyuran dedaunan kering.

"Hm," gumam Hinata seraya mengangguk.

Sedikit lagi mereka mencapai pintu belakang yang terbuka lebar.

"Hinata-chan!" Itachi berteriak dari dalam rumah sambil berlari. Dalam sekejap putra sulungnya itu melewati ambang pintu belakang, mempercepat larinya hingga akhirnya berhenti di depannya dan Hinata. Napas Itachi tersengal-sengal. "Kartun kesayangan," katanya, kemudian kembali menenangkan napasnya yang memburu. "Kau ke mana saja, sih? Kakak lelah berkeliling mencarimu."

"Antar susu buat Tou-chan."

Itachi menatap ayahnya dengan tajam. "Tou-san ini bagaimana? Masa tidak ingat kartun kesayangan kami sebentar lagi mau tayang?" Itachi berbicara dengan nada kesal.

"Benarkah?" Fugaku tampak kebingungan. Keningnya mengerut sejenak, tidak percaya dirinya lupa akan hal itu, kemudian tersenyum miris. Kartun yang setiap hari Minggu ditonton Hinata bahkan tidak bisa diingat Hinata waktu tayangnya dengan benar. Itachi, istrinya atau dia sendiri yang selalu mengingatkan. "Hinata dengar itu, Momoko sebentar lagi beraksi."

"Eh?!"

Hinata tampak akan berlari. Namun, Itachi lebih dulu mendekap Hinata, kemudian membawa Hinata berlari ke dalam rumah.

Fugaku tersenyum, kali ini lebih lebar. Tingkah kedua anaknya itu benar-benar lucu. Sayang, satu anaknya yang tersisa tampak memusuhi semua orang.

Teringat akan Sasuke, langsung saja Fugaku menengok pohon ceri di sebelah barat, tepat di kanannya. Sasuke kedapatan memandangi Itachi dan Hinata, namun sedetik berikutnya Sasuke membuang muka.

Logika Fugaku tidak mampu menjelaskan segala macam tindakan Sasuke. Sungguh, dia tidak menganggap anaknya gila, hanya saja memang benar-benar sulit dipahami. Terkadang Sasuke bertingkah seakan ia ingin menyembunyikan Hinata dari pandangan orang-orang yang menurutnya berbahaya, namun di waktu yang lain Sasuke melarikan diri dari Hinata seolah Hinata adalah binatang buas.

Sebutan terakhir itu pantas, karena Sasuke senang memberi julukan yang aneh-aneh pada Hinata. Beruang Kurus, Ulat Obesitas, Kelinci Cengeng, Kodok Bodoh, Kelinci Iblis, Setan Kecil, Penguin Rakus, Kucing Berkutu, baru-baru ini, Singa Betina.

Tidak ada satu pun yang mengabaikan Sasuke karena kehadiran Hinata, semua orang peduli tentangnya. Mereka semua sangat berhati-hati menjaga perasaan Sasuke. Anak itulah yang menyingkirkan dirinya, duduk di ayunan yang tergantung di pohon ceri, dengan ular yang merayap bebas menjelajah tubuhnya. Berteman hanya dengan ular, seolah tak seorang pun mau berteman dengannya.

"Semua yang bersekutu dengan Kelinci Iblis itu adalah musuhku." Kalimat terkonyol yang meluncur dari bibir putra bungsunya itu. Namun, itulah jawabannya ketika Fugaku menanyakan alasan Sasuke mengasingkan diri.

Ingin rasanya Fugaku melempar gelas yang ia pegang ke batang pohon. Entah apa lagi yang harus ia perbuat agar Sasuke menerima adiknya.


"Yah, habis!" Itachi berteriak kecewa, seperti yang dilakukan Hinata. Kartun kesayangan mereka itu hanya tayang sekali seminggu.

Itachi berpikir, mungkin sesekali dia bisa membeli kaset Momoko's Castle dengan uang jajan yang dia sisihkan setiap hari. Hinata pasti menyukainya.

Setelah tontonan habis, liburan kembali terasa membosankan.

Semua ulah Sasuke.

Kalau saja adik payahnya itu tidak suka mengajak orang bertengkar pasti ada banyak teman-temannya yang datang. Dia bisa menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, mungkin bermain petak umpat, mengerjai Manda, bermain bola dan hal-hal lain yang seru.

"Bagaimana kalau Nii-chan memotretmu?!" Itachi berujar tiba-tiba kala ide itu melintas di kepalanya. Ah, mungkin memang cara yang baik untuk membunuh kebosanan.

"Memo … tret?" Hinata memiringkan kepalanya, lalu menatap Itachi bingung. "Itu apa?" tanya polos.

Mampus!

Bukan ide yang bagus memberi penjelasan. Satu pertanyaan terjawab akan ada rentetan pertanyaan lain yang mengekor. Tidak masalah bila setelah dijelaskan Hinata mengingatnya, namun itu Hinata, sudah pasti dia melupakannya. Itu jelas buang-buang energi.

"Begini saja, tunggu di sini, Nii-chan akan mengambil sesuatu. Nantinya kau akan tahu apa itu memotret."

Itachi bergegas ke lantai dua, bahkan sebelum Hinata menyetujui ide tersebut. Dia tidak suka ditinggal sendiri. Walau televisi masih menyala, menemaninya dengan penayangan kartun lainnya yang tidak begitu disukai Hinata.


Kamar adiknya sudah kacau gara-gara perbuatannya. Catur, perlengkapan bisbol, celana dalam Sasuke, yang tadinya tertata rapih di lemari, sekarang berserakan di lantai.

Dia tidak salah.

Hanya sedikit berpikir adiknya menyembunyikan kamera DSLR Nikon yang dibeli kakeknya bulan Februari lalu, tepat ketika kamera Nikon tipe D100 itu dipasarkan.

Di sana ada banyak foto Hinata yang diambil oleh Naruto selama pesta ulang tahunnya Juni lalu. Sasuke pasti bersemangat mencuri kamera miliknya itu untuk dibawa-bawa, hanya agar dia puas memandangi Hinata.

Pikirannya ternyata terlalu negatif tentang adiknya.

Itachi memijat-mijat keningnya sambil menggeram. Sebanyak apa pun ia mencoba, yang ia ingat, kamera itu terakhir berada di kamarnya. Seseorang mencurinya dan entah sejak kapan otaknya menumpul, hingga hal semacam itu luput dari penglihatannya.

Oh, oh, Itachi lupa. Ibunya adalah pesaing terberat Sasuke di rumah ini.

Tersangka baru yang melintas di benak Itachi membawa Itachi keluar dari kamar Sasuke. Nanti kalau Sasuke menanyakan faktor penyebab kamarnya berantakan, Itachi bisa menjawab itu semua ulah musang peliharaan satpam mereka, bukan musang dalam artian yang lebih keren.

"Yah, masuk akal," bisik Itachi seraya menuruni anak tangga.

Posisi sofa ruang keluarga yang membelakangi tangga menuju lantai dua memberikan keuntungan pada Itachi yang tidak ingin dilihat Hinata. Segera ia berjalan lurus ke depan, ke arah pintu belakang dengan pelan. Hinata bisa mengekorinya kalau sampai melihatnya. Itu tidak bagus.

Setelah sepuluh langkah, Itachi kini berdiri di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Celah yang tercipta cukup untuknya mengintip ayah dan ibunya. Apa yang dilakukan ayahnya membuatnya, yang hampir mengetuk daun pintu, seketika berhenti.

Itu bukan hal yang tabu untuk dilakukan. Itachi tidak sedang mengintip adegan intim. Ayah dan ibunya hanya sedang bermesraan layaknya remaja yang sedang kasmaran. Dia sudah limabelas tahun, itu adegan romantis yang sangat pantas untuk ditontonnya.

Saat itu juga dia lupa kamera, lupa Hinata dan lupa semua.

Kepalanya diisi dengan berbagai macam rencana, seperti menanyakan pada ayahnya cara menaklukkan wanita atau bertanya pada ibunya laki-laki macam apa yang membuat wanita jatuh cinta, dalam artian yang sesungguhnya, bukan yang jatuh cinta sesaat, apalagi yang cuma terobsesi. Pokoknya jauh dari fangirls.


Dulu mungkin Sasuke berharap ayahnya lebih banyak di rumah daripada bekerja di kantor. Sekarang Sasuke berharap ayahnya sibuk setiap waktu, bahkan Hari Minggu. Dengan begitu tidak ada yang perlu ditakuti Sasuke.

Ini membosankan.

Hinata pasti sedang dengan kakaknya atau ibunya. Kalau ayahnya tidak ada, mudah saja baginya merampas Hinata dari mereka berdua. Sedikit berkilah, dan … Hinata menjadi miliknya seorang.

Sasuke mendorong tubuhnya bersama ayunan ke belakang dengan kedua kakinya, kemudian mengangkat kakinya. Ayunannya bergerak ke depan, lalu kembali ke belakang, dan begitu seterusnya.

Hari ini Manda terlihat sangat bersemangat. Ular itu terus merayap ke sana ke mari seakan sedang mengajaknya bersenang-senang.

Sasuke menyeringai ketika kepala ular peliharaannya mendarat di kepalanya, sementara bagian tubuh ular itu melilit tali ayunan. "Kau mau mengajakku berkunjung ke rumah Naruto?" Sasuke bertanya seolah dia mengerti apa yang diinginkan ularnya.

Kemarin sore, cita-cita mulia Naruto berhasil terlaksana. Manda yang selalu tenang, mendadak menjadi hewan paling agresif ketika Gamabunta duduk di depan kandangnya. Dan Gamabunta yang selalu melompat-lompat gembira, mendadak menjadi tenang. Bukan karena tidak takut pada Manda, tetapi karena katak itu sepertinya menyadari ketidakberdayaan Manda yang terkurung di kandang.

Ah, Sasuke yang kebosanan, mendadak mendapatkan ide yang seru, lebih seru daripada misi konyol mengungkap tampang Kakashi-sensei.


Kebetulan yang luar biasa! Sasuke berseru dalam hati.

Hinata duduk sendirian di sofa sambil menonton televisi. Rencananya akan berjalan mulus.

Sasuke berjongkok, kemudian berjalan dengan yakin ke balik sofa. Jujur saja, Sasuke belum pernah merasakan jalan jongkok, ini pertama kalinya. Itu jenis hukuman untuk Naruto, dia tidak pernah dan tidak akan pernah dihukum.

"Nah, naiklah ke atas dan berkenalan dengannya," bisik Sasuke kepada Manda. Mulai dari dengkul hingga punggung kaki, Sasuke jadikan penopang tubuhnya. Dia meletakkan Manda di atas bahu sofa, kemudian menunggu untuk jeritan khas perempuan.


Hinata tidak bisa berbuat apa-apa.

Kepala ular yang mendarat di atas kepalanya, kemudian bergerak melewati keningnya yang ditutupi poni, benar-benar membuatnya takut. Jantungnya bekerja lebih cepat, terlalu cepat hingga dia merasa itu akan segera pecah.

Walau dia membuka mulutnya, namun tidak ada suara yang terdengar. Hinata megap-megap, takut membuatnya sulit bernapas.

Tangan yang seharusnya ia gunakan untuk menyingkirkan ular itu, hanya bisa meremas remot dengan gemetaran.

Bola mata Hinata bergerak-gerak gelisah. Tidak ada seorang pun di sekitarnya. Ular itu merayap turun ke bagian depan tubuh Hinata, hingga akhirnya menjatuhkan diri di pangkuan Hinata.


Saat pertama kali bertemu, Sasuke yakin betul dia melihat Hinata takut terhadap ularnya. Selama tinggal di rumahnya, Hinata pun selalu menjaga dirinya berada di tempat yang jauh dari kandang Manda. Hinata juga tak pernah berani mendekatinya jika dia sedang bersama Manda.

Lalu, sekarang?

Teriakan yang dia harapkan tak kunjung mengudara.

Seseorang yang ketakutan memiliki banyak cara untuk menanggapinya, berteriak, lari atau ping—

Sasuke segera berdiri dan memutari sofa.

Seketika dia melotot.

Mulut Hinata membuka menutup. Gadis itu mendongak, terlihat berusaha mendapatkan oksigen. Bola matanya bergerak ke sana ke mari. Rona di pipinya hilang. Wajah Hinata sepenuhnya pucat.

Sasuke segera mengambil Manda yang terlihat merayap naik ke dada Hinata, kemudian melemparnya ke sembarang arah.

"Hei, tenanglah," pinta Sasuke seraya duduk di sebelah Hinata.

Sasuke mulai panik ketika Hinata menangkap tangannya lalu menggenggamnya dengan kuat seakan ingin meremukkan tangannya. Sasuke tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak menyangka ketakutan dapat membuat seseorang lebih kuat, namun juga mengalami kesulitan bernapas.

"Kaa-san!"

"Nii-san!"

Sebelum ayah dan ibunya datang, dilihatnya Hinata mulai tenang. Genggaman tangannya melemah. Saat itulah Sasuke memeluknya, mecoba membuat Hinata merasa nyaman dengan mengelus punggungnya. Hal yang selalu dilakukan ibunya untuk menenangkannya.

"Ada apa?" tanya Itachi yang sampai lebih dulu.

"Dia …." Sasuke menjatuhkan pandangannya ke bawah, tepat ke kepala Hinata yang ada di pelukannya. "Pingsan."

Ayah dan ibunya tiba bersamaan saat dia mengatakan itu.

"Pingsan?" tanya Mikoto. "Apa yang kaulakukan?!" Mikoto kembali bertanya, kali ini lebih kasar.

Sasuke tak menjawab.

Mikoto menarik Hinata dari Sasuke, lalu membaringkan Hinata di sofa. Dia meletakkan telunjuknya di bawah hidung Hinata. Beberapa detik berlalu, namun dia tidak merasakan apa-apa. Dengan panik, Mikoto duduk di lantai kemudian menempelkan telinganya di dada kiri Hinata.

"Istriku, bagaimana?"

"Ini tidak mungkin," gumamnya. "Hinata-chan, jangan main-main dengan Kaa-chan!" katanya sambil mengguncang-guncang tubuh Hinata. Fugaku langsung mengerti apa yang terjadi.

Kesadaran Mikoto tidak stabil. Dia lupa bahwa suami dan kedua putranya ada di sana. Yang dia tahu, dia perlu seseorang yang bisa membantunya menyangkal kenyataan.

Dokter. Itulah satu-satunya orang yang perlu dia ajak bicara. Dia pergi dari sana, menuju meja kecil di sebelah televisi untuk menelepon seseorang.

Hinata hanya sakit, seperti yang pernah terjadi.


Fugaku segera membawa Hinata keluar dari rumah begitu dia membaca situasi. Dia tahu hal paling buruk baru saja terjadi, tetapi dia harus tetap tenang sambil berharap seseorang dapat menolongnya di rumah sakit.

"Nii-san?" panggil Sasuke. Pada saat ini, hanya Sasuke yang tidak mengerti. Wajah semua orang penuh misteri. Ibunya tampak linglung, ayahnya melangkah cepat-cepat keluar rumah sambil membawa Hinata, kakaknya menjatuhkan diri ke sofa, kemudian menatapnya lekat-lekat.

"Tidak apa-apa," kata Itachi setengah berbisik. Dia harus berusaha menjaga Sasuke dari kehancuran dan ibunya yang bertindak di luar kesadaran. "Ularmu merayap di dekat kaki Kaa-san. Kembalikan ke kandangnya sebelum Kaa-san memijaknya."

"Tidak usah membohongiku!" Sasuke berteriak. "Pasti ada yang tidak beres."

"Kalau ada yang tidak beres, maka itu kau," balas Itachi berteriak. "Apa sebenarnya yang ada di otakmu? Bukankah Kakek sudah menjelaskannya padamu? Lalu, apa? Kau menakutinya dengan ularmu, 'kan?"

Itachi menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Airmata yang coba ia tahan lolos setetes. Ia sadar hal yang baru saja dikatakannya bisa saja membuat adiknya berpikir yang tidak-tidak. "Dia pingsan karena takut. Itulah yang terjadi."

"Kau berbohong!"

Sasuke beranjak dari sofa, kemudian berlari keluar. Itachi mengejarnya sampai pintu depan, kemudian kembali lagi. Dia tidak bisa meninggalkan ibunya sendiri.


Seorang perawat sempat berteriak memarahi Sasuke karena berlari di lorong rumah sakit. Anak lelaki itu tidak mempedulikannya. Dia mencari-cari ayahnya, lupa bahwa seharusnya dia bertanya pada perawat.

Di salah satu ujung lorong rumah sakit di lantai satu, Sasuke melihat ayahnya berdiri di depan pintu sebuah ruangan dengan seorang dokter cantik berambut pirang yang tampak baru keluar dari ruangan itu. Tanpa ragu dia mendekat.

"Dia aman," kata wanita berambut pirang itu, Tsunade namanya. Sasuke tahu karena dialah dokter yang dulu menangani penyakit jantung neneknya. "Untunglah tidak terlambat."

Fugaku mendesah lega mendengarnya. "Dia tidak bernapas," kata Fugaku. Sungguh keajaiban. "Istriku berpikir dia sudah tidak ada."

"Aku pun sempat berpikir demikian, Fugaku-san. Tetapi, jantungnya masih bergetar, kondisi yang umum dihadapi pasien pengidap serangan jantung." Tsunade menjelaskan, lalu melirik putra bungsu Fugaku yang berdiri beberapa senti di sebelah kanan Fugaku.

"Bagaimana bisa?" tanya Fugaku tidak percaya. "Hinata tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Dan napasnya … apakah manusia normal mampu bertahan walau tidak bernapas selama lebih dari sepuluh menit?"

"Siapa saja bisa terkena serangan jantung, Fugaku-san. Ada banyak faktor luar yang dapat memicu jantung bekerja lebih cepat dari keadaan normal. Itulah yang terjadi pada Hinata. Kalau masalah napas, kita tahu Mikoto-san pecinta flora. Udara di sekitar rumah kalian, tentu saja, memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi dibanding lingkungan yang padat bangunan. Itulah yang membuat kadar oksigen dalam tubuhnya termasuk tinggi, sehingga bisa bertahan walau tidak bernapas selama itu."

Tsunade tersenyum kepada Fugaku, lalu kembali melirik Sasuke. "Udara yang berkualitas juga membuatmu awet muda," katanya, kemudian menyeringai.


Ketika ayahnya tidak mengizinkannya mendekati Hinata, dia sama sekali tidak protes. Ibu dan kakaknya lebih pantas berada di dalam sana, dan tempatnya di luar, duduk di kursi panjang yang diletakkan di sepanjang tepi lorong. Itu sudah biasa. Ayahnya sosok yang keras. Sehabis ini, dia pasti tidak diberi uang jajan selama satu tahun. Tidak masalah, dia akan menerima hukuman apa pun, asal tidak dikirim ke asrama.

Sasuke tidak apa-apa. Dia tidak akan menangis. Dia seorang Uchiha, pantang baginya menangis. Hinata memang penyakitan, tetapi bukan berarti dia mudah mati.

"Bagaimana?" seorang perawat muda bernama Hotaru bertanya pada temannya yang baru keluar dari ruang rawat Hinata.

"Nyaris!"

"Syukurlah!"

Sasuke tidak mengerti kenapa perawat itu sekarang menangis, tampak begitu terharu setelah mendengar kabar ambigu, menurut Sasuke, yang dikatakan temannya. Keduanya terlihat sudah mengenal Hinata dengan baik.

Perawat yang menangis itu membuat Sasuke iri.

Apakah Sasuke juga ingin menangis haru?

Tidak, tidak. Sasuke lelaki sejati. Menangis adalah hal memalukan.

Walaupun kedua perawat itu mulai mengatakan hal-hal yang membuatnya sakit. Dia masih bisa bertahan. Ayahnya pun tadi terlihat tenang, maka dia pun harus begitu.

Ketakutan membuat tubuhnya memproduksi hormon adrenalin secara berlebih hingga mengacaukan kerja jantungnya. Kasus mati karena ketakutan itu sangat langka, tetapi bisa terjadi pada siapa saja.

Dia tidak boleh menangis, meskipun kedua perawat itu menunjukkan fakta padanya bahwa dia hampir menjadi seorang pembunuh.

Sasuke tahu dia bersalah, tetapi dia paling benci jika ada seseorang yang terus-terusan berbicara seolah sedang menudingnya. Atau lebih tepatnya dia tidak ingin mendengar sesuatu yang membuatnya ingat bahawa dirinya … dirinya nyaris menjadi seorang pembunuh.

Dia nyaris membunuh Penguin Rakus itu, orang yang tidak ingin dia anggap adik, tetapi tidak bisa dibilang tidak berharga.

Bukan, Manda yang melakukan itu.

Tidak, itu perbuatannya.

Itachi yang salah, karena meninggalkan Hinata di sana sendirian saat itu.

Manda … ularnya itu terlalu menakutkan. Dia memutuskan bahwa Hinata fobia terhadap ularnya dan dia harus segera menyingkirkan ular itu dari rumahnya. Manda pantas mendapatkan itu setelah apa yang dilakukannya pada Hinata.


Kandang-kandang yang berisi berbagai jenis burung tergantung di bagian depan sebuah pet shop yang terletak di pinggir jalan raya yang dekat dengan sekolahnya.

Keranjang yang berisi ular tergantung di setang sepeda. Sasuke duduk di atas sepedanya dengan kedua kaki yang menapak di halaman sambil menatap pet shop itu dengan ragu.

Manda telah menjadi peliharaannya sejak musim gugur tahun lalu. Dulu dia membelinya dari seorang pria berambut panjang yang wajahnya terlalu mirip dengan ular, apalagi seringaiannya. Melepaskan Manda bukanlah hal yang mudah. Tetapi, kalau tidak disingkirkan, lain waktu Hinata mungkin tidak beruntung seperti hari ini.

Sasuke menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan yakin. Dia menurunkan cagak sepeda dengan kaki kirinya, kemudian meloloskan tangkai keranjang dari setang sepeda dan segera turun dari sepeda.

Penjaga pet shop-nya berambut panjang, dikuncir satu dan begitu berbeda dengan warna rambut penjaga sebelumnya. Orang itu mengenakan kacamata bulat berbingkai tebal. Dia sedang memberi air pada seekor tupai.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, tidak mengalihkan perhatiannya dari si tupai.

"Di mana Orochimaru?" tanya Sasuke ketus.

Pria berambut putih itu mendengus kesal. "Jaga sopan santunmu, Anak Muda," katanya kesal. Kemudian dia berdiri dan menjauh dari kandang tupai yang sedang rakus minum air.

"Tidak usah banyak komentar." Ini bukan titik di mana stok kesabaran Sasuke dapat dipergunakan. Ah, sepertinya jawaban orang itu tidak berguna untuknya. "Lupakan! Ini!" Sasuke menyodorkan keranjang ularnya.

Pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Apa ini?"

"Aku membelinya bulan Oktober, tahun lalu. Aku tidak menginginkannya lagi."

Orang itu menyipitkan matanya. Dia mengambil keranjang yang ditawarkan padanya, lalu membuka tutup keranjang itu. "Hm, dia kelihatan sangat jinak. Berapa harga yang kau tawarkan?"

"Tidak perlu dibayar."

"Kalau begitu tidak akan kuterima. Seseorang sepertimu yang memberikan ular secantik ini secara cuma-cuma, pastilah mencurigakan. Jangan-jangan ular ini bervirus."

"Kau!" geram Sasuke. "Baiklah, tidak usah. Aku bisa melemparnya ke jalan, kemudian menunggu truk besar melindasnya."

"Oh, tidak!" seru orang itu sembari menahan keranjang yang ditarik Sasuke. "Kau mungkin tidak ingin uang, tetapi bisa menggantinya dengan hewan lain. Di sini ada banyak yang bagus. Tarantula, kalajengking, burung hantu, sigung, iguana, bunglon, dan hewan rep—"

"Hentikan omong kosongmu!" bentak Sasuke. Orang itu gila, semua yang disebutkannya hewan yang rupanya menyeramkan. Sasuke menyapukan pandangannya ke seluruh toko. Sementara pria berkacamata itu terkikik melihat Sasuke.

Seekor anak anjing bewarna coklat yang duduk di teras toko dengan ikat leher bewarna hitam menarik perhatian Sasuke. "Aku mau yang itu," kata Sasuke singkat sembari menunjuk anjing yang dia maksud.

"Kau yakin?" tanya pria itu pada Sasuke.

"Kenapa aku harus merasa yakin untuk sesuatu yang sebenarnya tidak kuinginkan?" balas Sasuke ketus.

"Bukan begitu. Ularmu ini harganya lebih mahal daripada anak anjing itu. Ayolah, dia ini tipe langka." Sebenarnya, tidak sepenuhnya demikan. Pria itu berpikir, sosok Sasuke tidak pantas memelihara hewan menggemaskan seperti anjing, kelinci atau kucing.

"Kalau begitu, truk akan segera melindasnya."

Pria itu mendesah pasrah. Dia segera melakukan tugas sebagai penjaga toko. Pertama dia memindahkan ular dari keranjang ke kandang kosong yang tersedia di sana. Kemudian dia ke teras dan melepas tali yang terikat di tiang khusus tempat kandang burung tergantung. Anjing itu dia masukkan ke dalam keranjang Sasuke bersama ikat lehernya.


"Dari mana saja?"

Itachi berada di kamarnya ketika Sasuke masuk ke sana. "Jangan menggangguku," pinta Sasuke.

Itachi membiarkan adiknya naik ke ranjang, berbaring di sana, kemudian menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Wajah adiknya begitu datar, namun ia yakin Sasuke tidak baik-baik saja.

Sekitar sejam yang lalu Itachi kembali ke rumah bersama ibunya untuk mengambil beberapa keperluan Hinata, karena dokter masih harus melakukan terapi oksigen jangka pendek kepada Hinata. Dia tidak ikut ibunya kembali ke rumah sakit.

Kurang lebih setengah jam Itachi berada di kamar Sasuke untuk membenahi segala yang sudah diberantakkannya pagi tadi. Untunglah Sasuke kembali tepat ketika Itachi menyelesaikan pekerjaannya. Kondisi adiknya itu bisa dipastikan lebih buruk daripada ibunya, jadi dia tidak ingin menambahnya dengan membiarkan kamar adiknya berantakan.

Apa yang terjadi hari ini, Itachi tidak ingin menyalahkan Sasuke. Walaupun dia harus mengalami kesulitan untuk menyadarkan ibunya yang linglung. Beruntung Tsunade-sama menelepon ke rumah dan menjelaskannya secara langsung pada ibunya. Wanita itulah yang paling dipercaya ibunya karena profesionalitasnya.

"Tidak ingin menangis?" tanya Itachi yang kini duduk di tepi ranjang Sasuke.

"Tidak ada yang perlu ditangisi," jawab Sasuke. Itachi yakin suara Sasuke terdengar bergetar. "Pergi sana!"

"Sepertinya seseorang telah mencuri ularmu," kata Itachi. "Perlu kulaporkan pada polisi?"

"Aku sudah melemparnya ke jalan raya."

"Sasuke, maskulinitasmu sebagai lelaki sejati tidak akan berkurang hanya karena menangis," pancing Itachi lagi. Dia mencoba membantu adiknya melepaskan apa pun yang saat ini dirasakan Sasuke. Menangis adalah cara terbaik. "Marah pada dirimu sendiri itu bukanlah hal yang baik untukmu. Kau bisa menyalahkan kakakmu. Itulah gunanya aku, 'kan?"

"Memang kau yang salah! Semuanya salahmu! Kalau pagi itu kau tidak meninggalkannya sendiri di sana, ular bodoh itu tidak akan membuatnya ketakutan sampai … omong kosong! Jika kau ada di sana, kau tidak akan membiarkanku mengusilinya. Jika kau ada di sana, sekarang Penguin Rakus itu pasti sedang bekeliaran sambil memamerkan topi tidur kepala bebek yang dibelikan Naruto untuknya."

Walau samar, Itachi dapat mendengarkan isakan Sasuke.

"Ke mana kau waktu itu? Menelepon kekasihmu? Kau hanya peduli tentang dirimu sendiri, Kakak Sialan! Karenamu, ayah bahkan tidak mengizinkanku mendekatinya. Dia berpikir, semua orang berpikir, bahkan perawat sialan itu, mereka terus saja berbicara, mengingatkanku bahwa aku hampir membunuhnya. Padahal itu semua salahmu, Uchiha Itachi, Kakak Sialan!"

Kemarahan yang membeku dalam pikiran dan hati adiknya kini mencair dan mengalir melalui suara adiknya yang bergetar. Itachi tinggal di sana untuk menampung semua kemarahan itu.

Tiga jam kemudian, suara Sasuke semakin mengecil, hingga akhirnya tidak ada kata-kata kasar lagi yang terdengar. Anak itu terlalu lelah. Meskipun tidak dapat melihat adiknya yang menyembunyikan diri di dalam selimut, Itachi tahu Sasuke sudah ketiduran.


To be continued ….


A/N:

Hmm, ini sih berlaku untuk sekarang dan nanti. Berhubung beberapa waktu lalu, ada review di salah satu fic saya, yang nyebut tentang menjadikannya murid atau menyebut saya senpai. Sesungguhnya, bukan tidak menghargai, hanya saja saya kurang begitu nyaman dijadikan lebih dari seseorang.

Dan saran untuk kalian yang berminat menulis di FFn, menurut saya, label "Don't Like, Don't Read" itu dihilangkan saja. Bukannya mengkritik, hanya saja, biasanya saya merasa terusir setiap kali membuka sebuah fic dan nemu hal seperti itu (belum lagi baca, sudah diusir). Lagipula, saya orangnya tipe yang tidak tahu suka atau tidak sebelum ngerasain.

Instal KBBI versi digital, atau miliki versi cetaknya untuk kebutuhan menulis. Kalau masalah tanda baca, kalian bisa cari di internet, banyak kok yang bahas tentang itu, bahkan di forum Naruto juga ada.

Oke, terakhir, saya ucapkan terimakasih. Kalau ada yang mau ditanyakan bisa PM, saya jawab. Tetapi, kalau isinya permintaan untuk melanjutkan fic, saya tidak bisa jawab, karena updaten fic yang akan menjawabnya, yang artinya "Sabar" hahahahahahaha.

Maaf, jika ada salah kata.