12 April 2004
Sarutobi Kurenai menarik napas dalam. Anak pertama yang mengikuti tes IQ hari ini tampak sangat gugup. Gadis kecil itu terus menerus menyampirkan rambut sebahunya ke belakang telinga. Sekalipun itu masih tersemat di sana, ibu jari dan telunjuknya menangkap angin, lalu membawanya ke belakang telinga.
Apa kau bisa mengingat namaku?
Lima kali dia menanyakan pertanyaan yang sama, berlangsung tiga menit sekali. Setiap kali gadis itu tidak mampu menyembutkan namanya, dia kembali menyebutkan namanya.
Orang bilang anak Uchiha selalu memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tetapi, rasanya reputasi gemilang itu telah runtuh.
Kurenai memaklumi keabsenan darah Uchiha dalam tubuh gadis kecil bermata putih itu. Menurut kabar, keluarga Uchiha mengadopsi seorang anak perempuan dua tahun lalu, dia yakin anak yang dimaksud kini duduk di hadapannya. Dia sedang tidak di Konoha saat mereka mengundang semua orang untuk mengenalkan putri angkat mereka. Baru saja dia kembali usai menyelesaikan studi S2 di Kumo.
Aku tidak menyangka mereka mengadopsinya.
Siapa yang mengira? Wanita itu menatap sosok di depannya tanpa berkedip. Panti asuhan bukan cuma satu, anak di panti asuhan bukan cuma satu, tetapi keberadaan anak itu seolah menegaskan bahwa hanya dialah satu-satunya anak di dunia ini yang pantas menjadi bagian Uchiha walau orang lain pasti tidak setuju.
Kurenai meletakkan kertas yang terjepit di papan bersama pena di meja yang terletak di sebelah kanannya tanpa mengalihkan perhatian dari gadis kecil yang sekarang menundukkan wajah dalam-dalam sambil meremas-remas tangannya.
"Kau merindukan ibumu?" tanyanya pelan-pelan.
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Walau menunduk, Kurenai masih bisa melihat mimik gadis itu yang suram. Dia seperti orang bodoh hari ini. Gelarnya sekarang tidak begitu terdengar bagus.
"Ayo, kita temui dia."
Chapter 8
©Rosetta Halim
©Masashi Kishimoto
Based on Aelona Betsy's story January was My December
13 April 2004
Piala berjajar di dalam lemari kaca yang terletak di belakang kursi kepala sekolah. Ide baru melintas di benak Mikoto saat melihatnya sekilas. Kepala sekolah masih menanti apa yang hendak dikatakan orangtua calon murid yang berkali-kali dia tolak pengesahan pendaftarannya.
"Dia bisa menyumbangkan piala untuk sekolah ini dalam kompetisi yang diadakan Oto Music Academy." Mikoto masih berusaha bernegosiasi dengan kepala sekolah yang terus saja menolak pendapatnya.
"Anda tahu masalahnya, 'kan?" tanya Kohaku, wanita tua yang menjabat sebagai kepala sekolah sekaligus kepala Yayasan Perguruan Konoha. Sekali lagi dia melirik Hinata yang tidak terganggu sedikit pun dengan pembicaraan di sekitarnya. Gadis kecil itu sedang memandangi patung burung yang sengaja dia letakkan di salah satu sudut mejanya.
"Saya ingin dia berbaur dengan anak lainnya, bukan tentang bisa atau tidaknya dia mengikuti pelajaran," jawab Mikoto.
"Saya mengerti perasaan Anda. Tetapi, cobalah bertindak objektif. Saya bisa menerimanya dengan baik di sini. Namun, perlu Anda ingat di sekolah ini bukan hanya saya penghuninya. Dia akan kesulitan bergaul dengan siswa di sini. Menjadi berbeda di dalam sekelompok orang itu sangat sulit. Itulah ma—"
"Berapa kali harus kukatakan," potong Mikoto dengan bentakan. "dia tidak berbeda. Dia sama seperti anak lainnya," tambahnya semakin marah.
Hinata mengalihkan perhatiannya ke sebelah kanan, sedikit mendongak untuk melihat wajah ibunya yang merah. Ibunya sangat jarang berbicara dengan suara keras seperti itu.
"Percayalah, memasukkannya ke sekolah khusus adalah cara terbaik untuk membantunya." Kohaku tetap membalas ucapan Mikoto dengan suara yang lembut, mempertahankan sikap seorang profesional yang menjunjung tinggi etika.
Standar IQ yang ditentukan di sekolah itu delapan puluh, sementara hasil tes Hinata dua puluh angka di bawah standar. Jika hanya lima angka selisihnya, kepala sekolah akan mempertimbangkannya, begitu kata Kohaku tadi.
Kertas hasil tes IQ Hinata dia remas-remas lalu dilemparnya ke luar melalui jendela mobil yang dia buka sesaat, melupakan aturan membuang sampah pada tempatnya. Dia tidak membutuhkan itu. Sebelum semua ini, dia sudah mendapatkan laporan pemeriksaan medis Hinata dari kepala panti asuhan. Mikoto tahu jelasnya seperti apa. Itachi pun sering mengatakannya, bahwa Hinata payah dalam banyak hal, terutama semua hal yang berkaitan dengan otak kiri. Tetapi, dia tidak peduli itu.
Tidak masalah sebodoh apa pun putrinya. Hanya saja stigma masyarakat yang telah terbentuk sedemikian rupa sulit diubah. Mereka yang berbeda harus selalu tersingkir. Hukum alam, katanya. Kau akan selalu bergerak mencari sebuah tempat di mana makhluk-makhluk yang sama denganmu tinggal.
Bagaimana rasanya menjadi satu-satunya orang berkulit putih di tengah puluhan orang berkulit hitam?
Mikoto tahu. Bohong jika dia menjawab biasa saja, atau lebih bohong lagi jika dia menjawab nyaman.
Tidak, tidak. Hinata harus mencobanya. Gadis kecilnya tidak akan kemana-mana, dia akan mengenakan rok lipit sebatas dengkul berwarna hitam kebiruan dan kemeja biru muda khas SD Konoha. Hinata bersekolah di tempat yang tidak jauh dari rumah, supaya dia tidak perlu menunggu lama untuk kepulangan putri tercintanya.
Hinata akan punya banyak teman dari sekolahnya. Suatu saat beberapa dari mereka berkunjung ke rumah untuk mengerjakan tugas kelompok. Semua itu merupakan momen yang dinanti-nantinya.
03 Mei 2004
Sore itu, Sasuke menjatuhkan tas sekolahnya di sofa, pun tongkat bisbolnya. Dia berjalan ke dapur sambil membuka kaos tipis putih yang basah oleh keringatnya. Dengan kaos itu Sasuke menyeka wajahnya yang dikotori debu lapangan. Ketika dia menatap kaos putihnya itu warnanya berubah sedikit coklat. Sasuke harus mencucinya segera sebelum kotorannya semakin susah dihilangkan.
Hinata keluar dari kamar mandi saat dia akan masuk ke sana. Bebek Berisik itu mengenakan handuk ungu muda untuk melilit tubuhnya, sementara handuk biru tua untuk mengeringkan rambutnya yang habis dikeramas. Handuk biru tua?
"Hoi, Sialan, enak sekali kau pakai handukku," kata Sasuke tidak terima. Dia menarik paksa handuk itu dari tangan Hinata.
"Ma-maaf, Nii-chan." Hinata memainkan jari telunjuknya dengan gugup.
Sasuke memandangnya sekilas. Wajah Hinata yang biasa kalem dan menenangkan itu kini terlihat muram. Tidak biasanya dia begitu hanya karena dibentak olehnya. Sasuke mendengus, lalu melemparkan handuknya ke kepala Hinata. "Kembalikan kalau sudah selesai."
Tanpa memedulikan jawaban Hinata, Sasuke masuk ke kamar mandi. Anak itu selalu tahu kapan harus menggunakan wajah sedihnya untuk merayu orang seperti Sasuke. Kalau keluarganya bilang Hinata itu polos, baginya anak itu mirip rubah yang licik.
Sambil mencuci pakaiannya, Sasuke teringat cerita Sai di lapangan dekat sekolah tadi, tempat main untuk anak segala usia.
Itu berbeda dengan seminggu pertama Hinata belajar di SD Konoha. Awalnya gadis itu terlihat gembira. Setiap saat dia berceloteh dengan girang, tidak peduli bahwa ceritanya tidak mudah dipahami. Seingatnya, seminggu pertama cuma diisi kegiatan ringan yang tidak melibatkan buku.
Hari ini, perbedaannya mulai terasa.
Sai bilang satu kelas menertawakan Hinata karena tidak bisa berhitung satu sampai sepuluh. Abjad yang terdengar lebih mudah daripada Hiragana atau Katakana, Hinata cuma tahu huruf A dan B. Parahnya, Hinata sendiri tidak tahu apa yang ditertawakan anak-anak. Padahal Itachi sangat rajin mengajari Kelinci Idiot itu.
Ah, Naruto yang ikut mendengar cerita Sai menyalahkannya atas kebodohan Hinata.
"Itu semua salahmu, Teme. Kau sering sekali memanggilnya idiot, bodoh, dungu dan banyak lagi. Kau kan tahu setiap perkataan itu adalah doa. Menyebutnya begitu sama seperti kau berdoa supaya dia jadi seperti itu. Kami-sama mengabulkan doamu."
Sasuke tidak percaya dengan omong kosong seperti itu. Kebodohan Hinata memang bawaan lahir, dia kan bukan keturunan Uchiha, tidak jelas asal-usulnya.
"Aku akan melakukan sesuatu tentang itu," gumam Sasuke. Dia memasukkan kaos putih yang baru dia sikat ke dalam ember kecil.
Mata Sasuke menyipit tajam. Di dapur Hinata sedang asyik menikmati makaroni panggang dan pie susu. Mikoto menemaninya di meja makan sambil mencincang bawang merah, persiapan untuk menu makan malam.
Saat seharusnya Hinata belajar, dia malah enak-enakan di dapur, berpesta dengan setumpuk makanan. Ibunya pula memanjakan Si Cengeng itu.
Kasih sayang Mikoto untuk Hinata sudah terlewat batas. Ibunya tidak bisa lagi membedakan yang baik dan buruk.
Sasuke menghampiri mereka. Tanpa aba-aba, dia menarik dua piring penuh makaroni panggang dan pie susu, kemudian menjauhkannya dari Hinata.
"Sasu-chan, apa yang kaulakukan? Kembalikan sekarang." Mikoto geram melihat kelakukan Sasuke, gara-gara putra bungsunya itu, mata Hinata berkaca-kaca, siap menangis.
"Dengar, dia tidak akan makan apa-apa malam ini sampai dia menulis huruf A sampai E sebanyak lima halaman."
Mikoto memandang Sasuke tak percaya. Dia berpikir sejenak. Mungkin itu berhasil, pikir Mikoto. Dia tersenyum. "Jadilah guru yang baik."
19 Mei 2004
Anak itu, entah dengan tujuan apa, tidak bergerak sejak lima menit lalu Sakura menemukannya di sana, berdiri di depan sebuah toko kaset. Dia masuk ke dalam toko, mencari seorang Uchiha yang mungkin sedang ditunggu anak itu. Namun, di dalam hanya ada dua pria berpenampilan layaknya rocker yang pastinya tidak dikenali dan satu lagi Idate Morino, kasir di toko kaset Morino, yang sering menggodanya saat mencari kaset film drama penguras emosi.
Sakura keluar dari toko sambil menggaruk kepalanya bingung, tidak tahu harus bagaimana mengakrabkan diri dengan bocah Uchiha itu. Keberadaannya tidak dipedulikan, tidak ada tanda bahwa dia diingat.
Dibawa pergi? Kening Sakura mengerut. Bodoh sekali, semasa kecil ibunya sering bilang, "Sayang, hati-hati dengan orang asing. Jangan menerima apa pun dari orang asing atau bahkan jangan berbicara dengan mereka."
"Pasti dia diajarkan begitu juga," gumam Sakura.
Bodohnya kau Sakura. Setiap malam minggu, dia selalu menelepon kediaman Uchiha untuk pendekatan dengan putra bungsu mereka, tetapi tidak ingat nomornya.
Sakura kembali ke dalam toko sambil merutuki dirinya sendiri. Dia menghampiri Idate, lalu berkata, "Idate-san, boleh pinjam telepon?"
"Oh, tentu," jawab Idate sambil mengangkat telepon dan meletakkannya di meja kasir di dekat Sakura. "Morino-sama itu orang baik, dia pasti tidak keberatan kalau kau menambah tagihannya bulan ini," kata Idate sedikit bercanda ketika Sakura mengambil gagang telepon, lalu menekan nomor ponsel ibunya.
"Kaa-san, ini aku." Sakura mengerutkan keningnya, sedikit jengkel melihat Idate yang bertopang dagu, memandanginya sambil senyum-senyum tak jelas. "Beritahu ibunya Sasuke, putri mereka berdiri tidak jelas di depan toko kaset dekat komplek perumahan kita." Sakura membalikkan badannya selagi menunggu ibunya berbicara di seberang, dia tidak tahan lagi melihat wajah Idate. "Aku juga tidak mengerti, Kaa-san. Pokoknya beritahu saja ibunya. Sudah, ya."
"Kau kenal anak itu?" tanya Idate yang mau tak mau mendengar Sakura berbicara tentang anak yang sedari tadi berdiri di depan tokonya.
"Jangan bercanda. Dia calon adik iparku, lho!" jawab Sakura setengah bercanda. Lumayan juga untuk menyingkirkan pikiran Idate tentang menjadikannya pacar pertama.
"Hahahaha." Tawa Idate membuat Sakura jengkel. "Pasti kau bohong."
"Aku tidak perlu berusaha membuatmu percaya, 'kan?"
"Tentu tidak," jawab Idate mantap. "Omong-omong kau tadi mau cari kaset apa? Ada kaset film horor baru, lho."
"Ah, iya, sampai lupa." Sejenak Sakura tidak meneruskannya, dia fokus mendengar musik yang sekarang mengalun di seluruh penjuru toko kaset. "Kebetulan sekali. Yang sedang main ini yang kucari. Apa sih judulnya?"
"Oh, ini punya Hikari-sama. Yang ini Haru no Nioi. Ini bonus di album Broken Memories. Dengar-dengar, anak pertamanya yang menyusun komposisinya. Sayangnya, kami tidak punya lagi."
"Lalu yang kau putar itu apa?" tanya Sakura curiga.
"Hei, itu koleksi Morino-sama, bisa mati aku dibunuhnya kalau kujual."
Sakura mengendurkan bahunya, lalu menunduk lesu.
"Kau tahu LiVal?" tanya Idate, gagal melafalkan huruf L dengan benar, itu terdengar seperti R. Sakura menggeleng. "Label yang menaungi Hyuuga Hikari dan komponis-komponis legendaris lainnya. Mereka juga memiliki toko kaset yang tersebar di banyak lokasi. Kau mungkin bisa menemukan album itu di sana."
Semangat Sakura kembali dalam sekejap. Dia menatap Idate penuh harap.
"Nama LiVal itu diambil dari akronim Lilly of the Valley. Itu karena rumah produksi LiVal dimulai dari sebuah studio rekaman yang diberikan pada pasangan Ootsutsuki Hamura dan Ootsutsuki Hanare sebagai hadiah pernikahan. Terlebih Hanare-san sangat menyukai …."
Sakura memijat tengkuknya sambil mendesis. Idate masih mengoceh tentang sejarah produser m10usik klasik terpopuler di Jepang. Dari semua ocehan tak satu pun terdengar informasi yang dia butuhkan.
"A-ano, Idate-san, toko kasetnya di mana?" Akhirnya Sakura berhasil membuang jauh-jauh perasaan tak enaknya.
"Ah, maaf, maaf," kata Idate, lalu tersenyum kikuk. "Kira-kira seratus meter dari sini. Kau akan langsung menemukannya kalau sudah lewat lampu merah."
"Terimakasih."
Ketika Sakura keluar, seorang ibu menyajikan pemandangan mengharukan. Sakura segera menghampiri wanita yang sedang menciumi wajah putrinya dengan ekspresi lega. Dugaannya pasti tidak salah. Anak itu memang berdiri di sana tanpa diketahui keluarganya.
"Sudah sampai rupanya," kata Sakura, tepat saat Haru no Nioi tidak terdengar lagi.
"Oh, kau Sakura, 'kan?" Sakura mengangguk. "Terimakasih. Kau sangat membantuku. Sudah dua jam kami mencarinya." Musik yang menyala di dalam toko kaset itu sekarang digantikan dengan music jazz. Sakura melirik mobil yang parkir di pelataran toko kaset Morino, dengan seorang sopir yang berdiri di dekatnya.
"Itu kewajibanku, Bi," kata Sakura, kemudian tersenyum penuh kemenangan. Sebagai calon kakak ipar, tambah Sakura dalam hati. Ino pasti uring-uringan jika besok kejadian hari ini dia ceritakan. Sakura selangkah lebih maju dibanding teman pirangnya itu. Walau Sasuke selalu cuek, setidaknya dia berhasil membuka celah kecil untuk berteman dengan calon mertuanya. "Sepertinya dia suka sekali dengan musik Hyuuga Hikari. Tadi kasir di dalam bilang, albumnya lah yang baru diputar, itu terdengar sampai di sini."
"Ah, Bibi tidak terpikir ke sana. Dia memang suka piano."
"Benarkah?" kata Sakura berusaha terlihat antusias. Sejujurnya, dia tidak begitu suka musik klasik, akustik dan yang terlalu keras, seperti Heavy metal.
"Tentu saja. Lain kali mampirlah ke rumah, dengarkan permainannya."
"Aku pasti mampir," jawab Sakura antusias. Dapatkan hati adiknya, berarti dapat hati ibunya, dan akhirnya Sasuke-kun.
"Atau sekalian sekarang saja," usul Mikoto tiba-tiba.
"Hm, lain kali saja, Bi. Ada kaset yang harus segera ketemukan sebelum orang lain menghabiskan stoknya."
Sakura berdiri di seberang sebuah toko kaset, menanti giliran pejalan kaki untuk menyeberang. Sambil menunggu, Sakura memainkan gubahan yang dicari-carinya sedari tadi dengan suaranya yang bahkan tidak semerdu burung beo. Sakura terkikik geli mendapati pendapatnya tentang dirinya sendiri.
"Ehem, ehem!" suara dehaman secara mendadak menghentikannya. Sakura menoleh ke ke kirinya hanya untuk mendapati anak lelaki berkacamata hitam, bermasker dan bertongkat yang hendak menyeberang. Rambut lelaki itu jabrik dan berwarna coklat. "Aku Huang Jun," kata orang itu menyebutkan nama orang Cina, tetapi aksen Jepang-nya sangat kental. Sakura menduga dia keturunan Cina yang menetap. "Kau baru menyanyikan salah satu komposisi dari album yang sedang kucari. Apa kau tahu di mana aku bisa menemukannya?"
Kejutannya, anak lelaki, yang kelihatannya buta dan mungkin sedang sakit flu itu, mencari album musik klasik bikinan Hyuuga Hikari yang juga dicari Sakura. Haru no Nioi. Itu komposisi yang dicari Sakura dan baru saja dinyanikannya, terdapat di album Broken Memories, seperti kata Idate, komposisi itu adalah bonus dan kemungkinan besar disusun oleh Neji. Rasanya seperti wajah Neji yang nyaris rusak dalam kenangan. Beberapa kenangan telah rusak jauh sebelum dia sempat mengingatnya. Dia pikir album itu pasti cocok untuk didengarnya.
"Aku dari Cina," kata Jun lagi, kali ini dia berusaha bebicara tepat di depan Sakura, walau sedikit melenceng. "Ayahku sedang ada urusan di sini."
"Wow. Kau berani sekali berkeliaran tanpa ayahmu," canda Sakura, kemudian dia tertawa. "Aku pikir kau bicara dengan siapa tadi. Apa kau sengaja ikut untuk mencari album itu?"
"Komponisnya dari sini, kupikir akan lebih mudah menemukannya," jawab Jun sekenannya.
"Kau bisa bermain piano?"
"Tidak begitu," jawab Jun setengah berbisik. "Aku suka mendengar musik, terutama klasik. Kau sendiri?"
"A-ahaha," Sakura tertawa ragu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia sudah menebaknya. Lelaki buta itu berpenampilan klasik, mengenakan pakaian tradisional Cina berwarna abu-abu gelap. Oh, dia jadi teringat dengan film-film laga bertema kung fu yang sering dia tonton bersama Ino. "Dengar suka sih, cuma J-pop atau R&B," jawab Sakura akhirnya.
"Lalu kenapa kau menyanyikan musik klasik?" tanya lelaki itu berusaha terdengar penasaran.
Seketika Sakura tertunduk lesu. Dia tidak takut walau setetes air mata lolos dari permata hijaunya yang sayu. Lelaki yang nyaris berdiri di depannya itu buta, jadi dia tidak perlu sungkan. "Ada kenalan yang sering memainkannya untukku."
Belum sempat Jun bertanya lagi, Sakura menarik salah satu tangannya dan membawanya pergi dari sana, menyeberangi jalan bersama pejalan kaki yang lain.
"Hampir saja kelewatan," kata Sakura ketika mereka mencapai seberang.
Jun dan Sakura berdiri di depan meja kasir, menanti seseorang yang katanya akan menanyakan stok Broken Memories di cabang lain. Ini sudah ketiga kalinya wanita itu menelepon, dan lagi-lagi belum ada.
Sebenarnya di toko itu tersisa satu. Tetapi, yang mereka butuhkan kan dua. Satu untuk Sakura dan satu untuk Jun.
Tadinya Sakura sempat mengusulkan album itu untuk Jun saja, karena dia sendiri cuma tertarik pada Haru no Nioi, dia kan sudah bilang aliran musik yang disukainya itu J-pop dan R&B. Makanya Jun lebih pantas memilikinya.
Jun yang terlihat cerdas itu langsung meminta penjaga kasir menanyakan stok album itu ke cabang lain, ide yang tak terpikirkan oleh Sakura.
"Albumnya masih ada dua di cabang Oto," kata wanita penjaga kasir sambil menjauhkan gagang telepon dari telinganya. "Jika mau kalian harus menanggung ongkos kirimnya," tambah wanita itu.
"Aku ambil," kata Jun terdengar tegas. Sakura sedikit terkesan dengan sikap anak lelaki di sebelahnya yang terlihat dewasa itu. "Sakura, berikan alamat rumahmu padanya."
Sakura melangkah mundur. Dia terkejut. Suara itu. Cara Jun menyebut namanya seperti dia pernah mendengarnya di suatu tempat, dan seingatnya dia belum memberitahukan namanya pada Jun.
"Kenapa diam?" tanya Jun.
Mungkin Sakura sudah memperkenalkan dirinya, tetapi melupakan itu. "Maaf," katanya pelan. Sakura segera menuliskan alamatnya di atas kertas yang disediakan penjaga kasir untuknya, beserta nomor telepon rumahnya. "Jun," kata Sakura ketika ide sinting melintas di benaknya. "Boleh aku … menuliskan nomor teleponmu di sini?" Sakura menunjuk secarik kertas yang dia dapat dengan menyobek kertas milik penjaga kasir, dia yakin Jun mengerti maksudnya walau Jun tidak bisa melihatnya.
Sakura penasaran setengah mati. Ekspresi macam apa yang bersembunyi di balik kacamata hitam dan masker Jun? Meminta nomor telepon anak lelaki itu sungguh memalukan. Bagaimana tanggapan Jun mengenai dirinya yang terlewat berani? Ah, kenapa Sakura menjadi malu-malu begini, dengan Sasuke saja dia tidak begitu.
Dulu sekali, Sakura terang-terangan merayu Sasuke agar dia mendapatkan nomor telepon kediaman Uchiha, tidak ada rasa malu yang singgah.
"Maksudku, kalau aku membutuhkan sesuatu dari Cina, aku bisa meneleponmu," kata Sakura terburu-buru, berpikir itu bisa menepis apa yang dia pikir dipikirkan oleh Jun.
Tatapan tajam Sasuke mengarah kepada gadis bodoh yang baru saja datang bersama ibunya. Setan Sialan itu pandai sekali membuat orang cemas. Siang tadi, sepulang dari sekolah, dia langsung disambut berita menghilangnya Hinata dari satpam mereka. Hal itu jelas membuatnya kelimpungan, mencari-cari seperti orang dungu.
Sasuke bahkan sempat menduga seseorang menunggu Hinata di sekolah kemudian menculiknya. Bayangan tentang orang asing yang menyakiti Kelinci Idiot itu membuat dadanya bergemuruh.
Beberapa menit lalu, ketika ayahnya bilang ibunya menemukan Hinata berdiri di depan toko kaset untuk mendengar musik klasik yang diputar di sana, kepalanya mendadak panas. Semua orang kerepotan karenanya. Ayahnya sekarang sedang menyusul Itachi yang belum tahu Hinata sudah ditemukan. Dan yang dilakukan Hinata?
"Apa yang kaupikirkan, hah?" kata Sasuke membentak Hinata. "Berkeliaran di luar seolah kau he—"
"Sasuke," perkataan Sasuke terpotong oleh bentakan Mikoto.
"Kau membuat semua orang mencari-carimu seperti idiot." Seakan tidak mendengar ibunya, Sasuke melanjutkan makiannya. "Kau idiot, tapi tidak usah ajak orang lain menjadi idiot sepertimu."
Mikoto bersiap menampar Sasuke yang tidak bisa diam. Namun, suara putri tersayangnya menghentikannya.
"Aku idiot. Aku idiot. Aku idiot." Hinata terduduk di dekat kaki Sasuke, mengulang kalimat yang sama sambil menangis, kemudian gadis kecil itu memeluk kaki Sasuke. Tangisannya pun semakin kencang. "Ma-maafkan aku, nii-chan karena a-aku anak yang buruk."
Orang sering memanggilnya Uchiha Idiot. Hinata tidak tahu arti kata yang sering dia dengar itu, dari teman-temannya dan Sasuke. Tetapi, siang itu, sepulang sekolah, salah satu temannya yang diakui guru paling pintar di kelasnya mengajaknya pergi untuk memberitahunya perbedaan idiot dan jenius.
Kimimaro, anak laki-laki berambut putih yang kepintarannya di atas rata-rata, menunjukkan seorang remaja lelaki berambut oranye. Mata coklat gelapnya seperti nyaris keluar, besar dan melotot. Tatapan pemuda oranye itu tidak lurus. Dia terus-terusan melihat ke kanan walau kayu yang sedang dia haluskan permukaannya berada tepat di depannya.
Kimimaro mendekati pemuda itu lalu mengucapkan salam. Dia berbasa-basi, menanyakan tentang meja belajar yang terbuat dari kayu paling berkualitas. Saat berbicara pemuda oranye itu tidak memandang wajah Kimimaro, lagi-lagi pandangannya mendarat ke tempat lain, tepatnya ke tumpukan kayu yang ada di pelataran toko mebel itu. Cara berbicaranya tak beraturan dan sering mengulang kalimat yang sama.
"Kau lihat?" kata Kimimaro setelah dia menyelesaikan basa-basinya dengan pemuda oranye itu—yang kembali melakukan pekerjaannya. "Itu yang disebut idiot. Persis sepertimu."
Teman-temannya menertawakannya, tetapi dia malah ikut senang. Dia tidak tahu bahwa itu sebenarnya buruk untuknya. Hinata pikir temannya yang tertawa itu menandakan mereka bahagia.
Sekarang dia tahu. Pemuda berambut oranye itu sangat buruk jika dibandingkan dengan Kimimaro yang cerdas. Dia pun bicaranya tidak lancar. Idiot yang dimaksud selama ini bukan kata yang baik. Itu untuk menunjuk sesuatu yang tidak sempurna, seperti dirinya. Lalu kenapa teman-temannya tertawa, terlihat bahagia sekali karena hal buruk itu?
Dia tidak paham. Yang dia paham sekarang dia adalah anak yang buruk.
"Hinata-chan, kau tidak begitu. Kau anak yang baik." Mikoto ikut terduduk di lantai. Perlahan dia menarik Hinata ke dalam dekapannya. "Kau anak terbaik yeng pernah hidup di dunia ini."
Sasuke tidak tahu harus bicara apa dan berbuat apa. Emosinya sedang tidak stabil saat ini. Ah, dia memang tidak pernah stabil jika itu tentang Hinata. Dia pergi meninggalkan ibunya yang mencoba menyenangkan Hinata dengan kata-kata pujian.
Hinata belum bisa menulis dengan huruf romaji yang diajarkan Itachi padanya. Hinata baru mengenal A sampai O, lebih sering dia menyebutnya tidak berurutan. Sasuke sudah mencoba berbagai metode pembelajaran, tetapi hanya itulah hasilnya. Hinata tidak tahu harus apa bila berhubungan dengan angka. Sekeras apa pun Sasuke berusaha mengajari Hinata hasilnya tetap sama. Hari ini Hinata bisa berhitung satu sampai dua puluh, keesokannya semua hilang. Hinata tidak tahu makna satu sampai dua puluh, kecuali sekelompok kata yang harus dihafalkannya. Dia bisa bermain piano, tetapi kesulitan mempelajari not balok, lebih sulit lagi not angka.
Padahal nyaris sebulan ini Sasuke tidak pernah main dengan teman-temannya karena fokus memperbaiki kebodohan Hinata. Bahkan dia sering bolos dari kegiatan klub supaya dia bisa mengajari Hinata.
Dia tidak marah karena hal merepotkan itu. Menghabiskan lebih banyak waktu bersama Hinata terdengar lebih baik daripada bermain dengan teman-temannya. Dan dia sangat menyukainya.
20 Mei 2004
Huang Ho datang ke Jepang untuk melihat sesuatu secara langsung. Surat wasiat lain dari Hyuuga Hiroki baru saja ditemukan, wasiat yang sudah lama dicari, terkubur di bawah sebuah pohon di kebun bunga Hyuuga.
Isinya perintah pembangunan rumah sakit bebas biaya di atas tanah yang sempat dibeli Hiroki sebelum kematiannya. Lokasi tanah itu tidak jauh dari sebuah panti asuhan yang kerap dikunjungi Hiroki, kata Yamato, menyampaikan apa yang sering disampaikan ayahnya.
Sekali lagi, Ho memandangi selembar kertas—yang penuh dengan noda darah di setiap sudutnya—dengan kening mengerut dalam. Di bagian belakangnya terdapat cap tangan Hiroki yang waktu itu dipastikan berlumur darah.
Bayangan ayahnya yang panik karena di kejar-kejar kematian berputar dalam pikirannya. Lelaki tua itu tergesa-gesa pergi ke kebun bunga Hyuuga, mendatangi surat wasiatnya hanya untuk menambahkan selembar kertas bertuliskan kata keramat, "Yurushite." Ditulis dengan aksara Hiragana, bukan gaya ayahnya yang lebih senang menggunakan Kanji.
Ho memikirkan kesalahan sebesar apa yang dilakukan ayahnya. Hiroki begitu keras terhadap orang-orang di sekitarnya, bahkan pada dirinya sendiri. Dia selalu menghitungnya ketika kata itu diucapkan ayahnya. Itu yang kedua kalinya.
"Yamato!" teriakannya memenuhi ruang keluarga Mansion Sarutobi, tempat teraman untuk menginap satu atau dua malam selama dia berada di Jepang.
"Ya, Tuan," sahut Yamato dengan mulutnya yang terisi oleh makanan. Pria itu sedang melangsungkan acara sarapan ketika teriakan tuannya terdengar.
"Tunda kepulangan kita ke Cina."
Yamato yang baru menelan sisa makanan dalam mulutnya melotot marah. "Tuan," Yamato menyebut tuannya dengan nada khawatir. "Penundaan bisa berbahaya untuk Anda dan Jun-sama."
"Aku harus memeriksa sesuatu."
"Kalian pulang saja dulu. Biar—"
"Yamato," potong Ho dengan penuh penekanan, mengingatkan sopirnya itu bahwa hal yang ingin diperiksanya bukan hal sembarangan.
"Baiklah."
22 Mei 2004
Sabtu pagi, sekitar pukul sembilan, Ho dan sopirnya mengunjungi sebuah panti asuhan, lalu berjalan-jalan mengelilingi tempat itu. Kemarin, sehari penuh dihabiskan Ho membaca beberapa lembar kertas berisi informasi tentang Happy Places, panti asuhan yang didirikan pada tahun 1903. Dia yakin, ada sesuatu di sana. Kalau tidak ayahnya yang keras itu tidak mungkin bertindak di luar batas karakternya.
Hiroki, diam-diam sering mengunjungi tempat itu seorang diri. Entah apa yang dilakukan ayahnya di sana. Anehnya lagi, Hiroki setiap bulan mengucurkan dana berkali-kali lipat lebih besar dari biasanya, berlangsung sejak tahun 1998 sampai saat ini.
Tembok yang memagari panti itu telah diruntuhkan. Terlihat di kejauhan tanah yang hendak dijadikan lahan proyek pembangunan rumah sakit bebas biaya yang akan disahkan sebagai bagian dari panti. Pada 1992, tahun pertama dan terakhir dia mampir ke panti itu, lahannya tidak seluas saat ini dan bangunannya juga tidak sebagus sekarang.
Sejauh mata memandang tidak ada hal aneh, seperti teka-teki yang disembunyikan di dalam dinding yang beberapa bata penyusunnya bisa dicopot. Dia pikir perasaanya sedikit berlebihan.
Lantaran tak menemukan hal janggal yang dia pikir bisa dia temukan di panti itu, Ho berdiri dari bangku taman yang dia duduki karena kelelahan usai berkeliling, kemudian dia melangkah menuju parkiran, di mana Yamato sedang menunggunya.
"TUAN, TOLONG LEMPARKAN BOLA ITU!"
Ho berhenti, lalu menoleh ke kiri. Anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun berlari sambil berteriak padanya, mengulang kalimat yang sama beberapa kali. Ho menurunkan pandangannya ke permukaan tanah. Dia sedikit tersenyum mendapati bola bisbol menggelinding pelan ke kakinya.
Ah, dia teringat masa mudanya yang gemilang bersama bisbol. Ho mengambil bola itu, sebentar dia perhatikan. Itu bukan bola bisbol seperti dugaannya, tetapi bola sofbol. Kemudian Ho melemparnya kepada anak yang beteriak tadi.
"TERIMAKASIH, TUAN!" anak itu berteriak, lalu berlari ke lapangan di mana teman-temannya menanti.
"Jadi, bagaimana, Tuan?" tanya Yamato ketika dia sampai di parkiran, terdengar sangat penasaran.
Ho tidak menanggapinya. Pria itu hendak membuka pintu mobil, tetapi Yamato memotongnya dengan gerakan cepat.
Yamato tidak berani mengulang pertanyaannya. Dia segera menyalakan mesin mobil sambil berharap tuannya itu dengan sukarela menjawab pertanyaannya.
Alih-alih mengingat pertanyaanya, tuannya malah sibuk memerhatikan mobil sedan hitam yang baru berpapasan dengan mereka ketika mobil yang dikendarainya itu sudah jalan sejauh seratus meter dari panti. Mobil sedan hitam itu memag bagus, tetapi mana mungkin tuannya mendamba mobil itu.
"Berhenti," mendadak Ho memerintah sopirnya. Yamato menengok ke belakang setelah dia berhasil menghentikan mobil, untuk mencari tahu apa yang terjadi pada tuannya itu. "Kau tahu siapa itu tadi?" Jangan-jangan Tuan memang berniat memiliki mobil itu, pikir Yamato.
Yamato tidak tahu tepatnya siapa, karena mobilnya begitu tertutup, hanya sebuah simbol kipas yang cukup akrab dalam penglihatannya. "Kalau dilihat dari aksesoris di bagian bumper depan mobilnya, mereka Uchiha, Tuan," jawab Yamato pada akhirnya.
Pandangan Ho melewati kaca bagian belakang mobil. Mobil yang baru saja berpapasan dengan mereka berbelok ke kiri, masuk ke panti asuhan yang baru saja ditinggalkannya. Dia memutar tubuhnya hingga kembali ke posisinya semula. Sejenak dia berpikir tentang sebuah perasaan yang tiba-tiba menawannya, menuntutnya kembali ke panti.
"Lanjutkan," katanya, tak menuruti nalurinya.
To be continued ….
