13 September 2004

Suara ribut memenuhi setiap sudut ruang kelas 1A. Yugao mengelus dadanya. Dia tidak yakin apa bisa bertahan di sini.

Keraguan itu telah berulang kali mampir di benaknya, padahal baru seminggu yang lalu dia diterima sebagai tenaga pengajar, menggantikan wanita tua yang pensiun.

Yugao menatap kasihan anak itu, yang duduk tepat berhadapan dengan papan tulis. Dia diam, tidak marah atau menangis, karena dia tidak mengerti apa yang sedang diributkan teman-temannya.

"Kidoumaru dan Kimimaro, kalian bertukar tempat sekarang," perintah Yugao dengan suaranya yang rendah dan jernih.

"Aku tidak mau, Sensei," kata Jiroubou yang sedari tadi anteng. Anak lelaki bertubuh besar itu mengerutkan keningnya marah. Dia sudah senang dengan Kimimaro, tidak masalah jika orang bilang dia bersama bocah berambut putih itu lantaran dia bodoh. "Kidoumaru suka memukul kepala," Jiroubou menambahkan alasannya menolak tukar tempat.

Kimimaro tidak peduli dengan keributan di sekitarnya. Baginya, siapa pun yang menjadi teman sekelompoknya, tidak akan mengubah apa pun. Dia akan memastikan tugasnya yang paling sempurna.

Yugao hendak berkata tegas, bahwa keputusan itu final, namun secepat dia ingin mengatakannya, secepat itu pula suara yang terdengar selembut eskrim menginterupsinya.

"Sensei," anak lelaki berambut klimis itu memanggilnya sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Yugao menatapnya penuh perhatian. "Aku mau dengan Hinata," katanya, membuat semua murid kaget, termasuk teman sekelompoknya.

Shizuka begitu senang dipasangkan dengan Sai untuk tugas kelompok ini. Mendengar permintaan Sai, dia merasa ditolak. Bibirnya sekilas mengerut. Dia membuang tatapannya ke buku tulis di mejanya, lalu berpura-pura menulis.

Dulu Sai, dengan enteng, bilang dia suka Hinata karena gadis itu tidak berisik. Tetapi, sekarang dia begitu jengkel terhadap Hinata.

Orangtuanya memindahkannya ke SD Konoha yang berjarak lima kilometer dari rumahnya. Terlebih lagi dia harus meninggalkan SD Shitoku, sekolah yang diidam-idamkannya sejak lama, tempat idolanya—Shimura Danzo, seorang pelukis terkenal—menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.

Kalau Sai berada di kelas yang sama dengan Hinata-chan, dia bisa menjaganya.

Bibinya, Uchiha Mikoto, bilang begitu lima hari setelah dia bersekolah di SD Shitoku, dengan wajah memohon. Orangtuanya, dengan senyum kaku, menyetujui rencana tidak menguntungkan itu.

Sai membencinya.

Sepedanya sekarang tidak berguna.

Dengan mobil pun, lima kilometer itu menerkam waktunya sebanyak dua puluh menit, lengkap dengan padatnya lalu lintas.

Dan dia harus menemani Hinata sepanjang dia di sekolah. Menjaganya seperti putri kerajaan yang tidak boleh terluka, baik hati maupun tubuhnya. Jika terjadi sesuatu, dia harus melapor, nyaris seperti satpam.


Chapter 9

©Rosetta Halim

©Masashi Kishimoto

Based on Aelona Betsy's story January was My December


14 September 2004

Kemarin malam, nyaris tengah malam, tanpa sengaja dia mendengar percakapan kedua orangtuanya saat dia ingin ke dapur mengambil segelas air. Mereka membicarakan tentang memindahkan Hinata ke sekolah ABK yang paling dekat dari rumah mereka.

Paling dekat dari rumah.

Nyatanya itu tidak sedekat yang dibayangkan Sasuke.

Sekolah ABK itu berada di distrik Shikkotsu. Dia naik kereta komuter ke sana, salah satu pinggiran di Konoha, hanya empat puluh persennya dihuni manusia, sisanya disebut sebagai Hutan Shikkotsu, yang telah ditetapkan pemerintah Konoha sebagai hutan lindung.

Sasuke harus tahu calon sekolah Hinata itu seperti apa. Ya, dia hanya ingin tahu. Hinata tidak boleh sekolah di sana kalau sekolah itu sama jahatnya seperti SD Konoha.

Alasan yang dia gunakan agar diizinkan libur sekolah dan berpergian seorang diri adalah, "Bulan depan Naruto berulang tahun. Tiga hari lewat dia menangis meratapi kematian Gamabunta. Aku ingin pergi ke Myouboku. Kudengar katak di sana bagus-bagus."

Persahabatan yang luar biasa. Mikoto dan pikirannya yang lurus mempercayai Sasuke dan akalnya yang berliku-liku.

Sasuke menutup buku berjudul Piano untuk Pemula yang sedari tadi dibacanya, kemudian mengucapkan pengakuan dosa di dalam hatinya yang kotor, dan memohon ampunan Kami-sama. Bagaimana pun dia telah berbohong, pada ibunya. Kata orang-orang tua zaman dulu, "Jika kau berbohong pada orangtuamu, kau akan mendapatkan masalah." Kata-kata itu bekerja dengan cara yang ajaib dalam hidupnya.

Ah, tetapi Sasuke tidak sepenuhnya berbohong. Kereta yang ditumpanginya berhenti di Stasiun Myouboku. Lima menit Sasuke akan terbuang, menunggu penumpang yang turun dan yang naik. Walau demikian, dia tetap pergi ke Myouboku seperti yang diakuinya pada Mikoto.

Ketika Sasuke melihat peron melalui jendela yang tepat berada di sampingnya, Sasuke sedikit heran. Penumpang Myouboku-Shikkotsu terbilang banyak.

Dari sekian orang, Sasuke tertarik pada anak lelaki berambut putih yang memegang tongkat. Tangannya digandeng oleh wanita tua yang terlihat bersemangat.

Murid di Yayasan Umino, tebak Sasuke.


Jalur kereta hanya mencapai Distrik Myouboku pada tahun 1998. Pada tahun 2000, proyek pembangunan jalur kereta komuter ke distrik Shikkotsu selesai. Stasiun mungil di sana diresmikan dua minggu setelah itu.

Siapa pun yang membangun jalur kereta ke Shikkotsu pastilah orang yang siap merugi. Dan orang yang merugi itu adalah Hyuuga. Mereka benar-benar menghabiskan banyak uang untuk hal yang tak menguntungkan bisnis mereka. Perubahan Hyuuga yang manis dan tak terhapuskan walau kematian menghentikan setiap rencana kebaikan mereka yang belum diwujudkan.

Sasuke bersyukur. Dia tidak perlu turun di Stasiun Myouboku, menyambung dengan bis untuk mencapai Yayasan Umino, yang berjarak seratus meter dari stasiun Shikkotsu, berdasarkan informasi yang dibagi Nenek Kaguya, nenek yang mengantarkan cucu laki-lakinya yang buta ke sekolah anak-anak berkebutuhan khusus.

"Aku harus mengantarkan Toneri ke kelasnya. Apa kau mau ikut?" Kaguya bertanya karena dia lihat Sasuke terdiam di depan gerbang yayasan itu, memandang penuh perhatian bangunan yayasan.

Ada empat buah gedung yang berdiri di sana. Tiga gedung yang bentuk dan ukurannya sama nyaris membentuk persegi, hanya perlu menambahkan satu lagi gedung dengan bentuk dan ukuran yang sama di bagian depan.

Gedung di bagian depan berbeda dengan yang lainnya. Sasuke yakin itu gedung yang dikhususkan untuk seseorang yang memiliki jabatan tinggi di sekolah itu.

Sasuke menggeleng, "Duluan saja, aku ingin melihat-lihat," katanya kemudian.

Melihat-lihat bisa dilakukan lain kali. Sasuke punya pertanyaan di kepalanya.

Sasuke mendekati pos satpam yang berada tidak jauh dari gerbang.

Satpam itu adalah pria yang nyaris tua. Dia sedang menikmati sarapannya sambil mengawasi gerbang dan sekitarnya. Sasuke mengernyitkan kening, bingung, ketika satpam itu meletakkan sumpitnya di meja, lalu buru-buru mengambil pena dan buku tulis.

Satpam itu keluar dari pos, kemudian menunjukkan buku tulisnya pada Sasuke sambil tersenyum. Sasuke semakin kebingungan. Ragu-ragu dia melihat buku itu. Ada yang bisa kubantu?

Hah?! Sasuke berseru dengan keterkejutan luar biasa dalam hatinya. Satu yang dicatat dalam pikirannya: sekolah ini buruk.

Bagaimana mungkin mereka memperkerjakan satpam bisu? Apa yang akan dilakukannya jika terjadi masalah yang tidak bisa ditanganinya seorang diri? Berteriak? Kau bercanda, 'kan?

Pertanyaan yang ada di dalam kepalanya sekarang benar-benar harus dijawab sesuai keinginannya.

"Aku perlu bertemu dengan Kepala Yayasan atau Kepala Sekolah SMP pun jadi," jawab Sasuke akhirnya.

Si satpam menutup bukunya, lalu menarik tangan Sasuke, isyarat agar Sasuke mengikutinya saja dengan pasrah.


Di kantor Kepala Yayasan, Sasuke mendapati seorang pria separuh baya dengan bekas luka yang melintang dari bawah mata kanannya melewati batang hidung sampai ke bawah mata kirinya. Walau terlihat tidak berkarisma, tidak tampan juga, tetapi pria itu tampak bersahabat dan meyakinkan sebagai pepimpin bagi anak-anak pengidap kelainan.

Umino Iruka, seorang veteran yang dihentikan oleh amputasi kaki saat usianya masih sangat muda dan juga saat namanya mulai dikenal berkat aksi heroiknya, menatap Sasuke. Tatapannya dibarengi pertanyaan: Apa yang dilakukan anak yang terlihat tidak memiliki kebutuhan khusus itu di sini?

Berhenti menjadi prajurit, Iruka memutuskan memulai pekerjaan baru. Lantaran dia ingat adik perempuannya yang pintar tetapi tuli, dan semua kerja keras yang harus mereka tempuh untuk membuatnya menjadi gadis berpendidikan, Iruka dan adik perempuannya mendirikan yayasan perguruan khusus anak-anak berkebutuhan khusus.

Keheranannya semakin besar kala remaja tanggung di hadapannya itu—dengan wajah datar dan sikap yang dingin—mengaku bernama Uchiha Sasuke.

"Saya ke sini …. Saya ingin bertanya," Sasuke berujar dengan keraguan yang terdengar sangat jelas di telinga Iruka. Saking ragunya, anak itu bahkan tidak bertanya apa dia boleh duduk atau menunggu Iruka mempersilakannya duduk. Anak yang tidak suka bertele-tele, pikir Iruka.

"Tanya saja," balas Iruka, berpura-pura tidak sadar bahwa tamunya masih berdiri di belakang kursi khusus untuk tamu. Lagipula, Iruka tahu anak itu tidak membutuhkan kesadarannya akan hal kecil itu.

"Apa orang normal boleh sekolah di sini?" Sasuke melontarkan pertanyaan itu dengan yakin. Iruka yakin dalam suaranya teselip nada menuntut.

Iruka tersenyum puas. Dengan wajah datar dan sikap dingin begitu, dia tidak menyangka Sasuke adalah salah satu dari sedikit orang normal yang mau masuk ke sekolah ABK. Tidak perlu dipertanyakan alasannya. Dia tahu, karena dia pernah melakukan hal yang sama: menempuh pendidikan di sekolah ABK agar dia bisa menemani adiknya yang tuli.

"Kakak atau adik?" kata Iruka balik bertanya.

Dengan kecerdasan seorang Uchiha, tak butuh waktu lama bagi Sasuke untuk mengerti. "Anda akan tahu saat dia datang ke sini. Jadi, bagaimana?"

"Boleh."


Brosur sekolah ABK yang belum sempat diambil ke Shikkotsu kini ada di tangan Fugaku. Dia pikir besok dia akan pergi ke sana untuk melihat secara langsung, sekalin mengambil brosur, lalu sekali lagi mendiskusikan pemindahan Hinata dengan Mikoto.

Fugaku melihat-lihat brosur itu dengan saksama, terutama visi dan misi. Kemudian dia menengok Sasuke yang duduk di sebelahnya—menantinya penuh harap. "Untuk apa ini?" tanya Fugaku.

Kukira kita harus memindahkan Si Idiot itu ke sana. Jawaban ketus Sasuke yang diduganya.

"Aku mau pindah ke sana," kata Sasuke, tenang dan serius, membantah dugaan Fugaku.

"Bercandamu meyakinkan sekali," balas Fugaku, lalu terkekeh. Siapa yang percaya? Uchiha Sasuke, anaknya yang sok paling berkelas? Ditambah lagi Sasuke akan lulus SMP musim semi tahun depan. Mungkin Fugaku akan sedikit percaya kalau Sasuke bilang dia mau meneruskan sekolah ke sana.

"Aku serius, Tou-san."

Sejenak Fugaku menatap putra bungsunya lekat-lekat, menengok ke dalam mata pekatnya. "Aku serius," ulang Sasuke.

"Berita bagus!" seru Fugaku gembira. "Panggil ibumu!" Saking gembiranya, Fugaku sampai lupa menanyakan alasan Sasuke ingin pindah ke sana.

Ketika Sasuke pergi dari sana, Fugaku tak henti-hentinya tersenyum. Oh, rutinitas kesayangannya tidak akan berubah.

Saat dia membicarakan pemindahan Hinata ke sekolah ABK, mereka tak lupa membahas transportasi dan siapa yang akan mengantarkan Hinata ke sana. Mikoto begitu keras kepala, dia bilang dia akan menemani Hinata setiap hari. Ke sekolah yang jauh, dengan kereta komuter yang hanya ada pagi hari dan sore hari?

Kemewahan makan siang Fugaku yang selalu diantar Mikoto ke kantor tepat saat jam makan siang terancam dengan semua ide wanita itu. Dan kini, Fugaku melihat Sasuke sebagai malaikat penyelamat makan siangnya.

Tentang Sasuke yang mengambil keputusan besar itu untuk masa depannya, Fugaku tidak mencemaskannya, karena sebagai seorang ayah, dia memiliki kepercayaan yang besar pada putranya. Putranya akan belajar sebaik orang-orang yang bersekolah di tempat normal. Lagipula, apa yang harus dicemaskan? Di masa depan, bagaimana pun ceritanya Sasuke akan menjadi salah satu penerusnya.


Kereta komuter Shikkotsu-Shitoku atau Shitoku-Shikkotsu hanya dua kali beroperasi dalam sehari, pagi dan sore. Hinata akan hilang dari pandangannya pagi-pagi sekali dan kembali sore sekali. Malam hari Si Idiot itu—setelah perjalanannya yang panjang dan aktivitas melelahkan—pasti langsung tidur usai membersihkan diri dan makan malam, tidak ada waktu untuk Sasuke. Dan itu adalah bencana bagi Sasuke.

Selama ini Sasuke telah berusaha membuat ratusan alasan agar dia bisa menguasai Hinata. Mengajarinya, alasan klasik Sasuke yang belakangan sangat berhasil. Itachi yang sibuk dengan kuliahnya—yang datang lebih cepat berkat program akselerasi—tidak memiliki waktu lain yang bisa dia bagi pada Hinata.

Ada begitu banyak materi yang dikuasai Sasuke atau katakanlah Sasuke mempelajarinya agar bisa dijadikan alasan masuk akal yang bisa diterima Mikoto, pesaing terberatnya. Seperti Piano untuk Pemula yang dua hari lalu dibelinya dari toko buku. Hinata payah membaca not balok, dia hanya bisa diajari jika langsung mempraktikkannya, kalau tidak, apa pun itu, tidak akan masuk ke kepalanya yang kelihatnnya saja lembek, tetapi kerasnya sama seperti besi padat.

Untunglah Yugi—atau siapalah itu, tidak memiliki kemampuan mumpuni dalam mengajari anak terbelakang.

Sasuke tersenyum licik. Dia melihat buku musiknya, lebih serius lagi. Dasar-dasar piano tidak sulit, teorinya tidak sulit, itulah yang dipikirkan Sasuke. Prakteknya yang terasa sulit bagi Sasuke. Herannya Si Bodoh Hinata itu justru lebih bagus dalam praktek.

Hinata tak pernah memerlukan buku untuk semua komposisi yang dimainkannya. Setelah selesai mendengar satu komposisi dari koleksi ayahnya, Hinata pergi ke piano, meraba-rabanya, menekan-nekannya seperti mencoba-coba, lalu tak lama kemudian, dia memainkannya secara penuh. Peniruan sempurna.

Tetapi, seseorang disebut profesional jika dia berhenti meniru, dan mulai menegaskan identitasnya dalam karya-karyanya, bekerja dengan caranya sendiri, cara yang original. Dengan begitu dia akan berhenti menjadi duplikat orang lain.

Hikari kedua.

Cih, Sasuke benci dengan kalimat itu. Walau ayahnya yang mengatakannya.

Hinata itu, ya, Hinata. Dia bukan Hikari dan tidak akan menjadi Hikari kedua walau Hikari itu memang seorang legenda. Hinata tidak akan pernah melampaui Hikari jika dia hanya menirunya atau sekalipun membuat musiknya lebih bagus dengan mengaransemennya.

Seperti tak seorang pun bisa melampaui Chopin walau bisa membuat karya-karya Chopin lebih baik dari versi originalnya. Sungguh merupakan kesombongan jika ada yang mengaku melampaui Chopin hanya karena dia melakukan itu.

Itu terdengar seperti, Tuhan menciptakan pohon, lalu manusia—yang berhasil membuat pohon itu menjadi meja, kursi, membangun rumah, dan sebagainya—mengatakan bahwa mereka melampaui Tuhan.

Sasuke akan melakukan apa saja agar Hinata lepas dari citra dan warna musik Hikari.

Pertama, Sasuke akan mengajari Hinata berimprovisasi dengan musik. Setelah itu berhasil, Hinata harus lepas dari musik orang lain dan mulai membuat musiknya sendiri yang mencerminkan kepribadiannya.

Sasuke tak sabar menantikan itu. Saat orang-orang yang memandang Hinata sebelah mata, yang sok pintar, berakhir menjadi pecundang yang sesungguhnya.

Tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang boleh menyebut Hinata bodoh, kecuali Uchiha Sasuke.


17 September 2004

Loker bernomor 330901 terkunci dengan baik. Barang-barang yang tadi tersimpan di dalamnya menumpuk di lantai.

Sasuke memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak kardus yang sengaja dia bawa dari rumah. Terkadang Sasuke mengeluarkan satu atau dua barang yang telah masuk, karena sususannya salah. Semuanya harus bisa masuk ke dalam satu kotak.

"Sasuke, kau mau pindah ke sekolah mana sih?" tanya Naruto, untuk yang keseratus kalinya hari ini.

Remaja berkulit tan itu mengambil satu buku berjudul, Buku Saku Dokter dan mengambil beberapa buku lagi yang isinya sama, tentang dunia medis. Rahasia lain Sasuke yang baru terungkap. "Kotak itu tidak akan bisa menampung ini semua, bagaimana pun kau menyusunnya," kata Naruto sambil memasukkan buku-buku itu ke dalam ranselnya—yang sudah pasti lebih sering kosong daripada berisi.

Sasuke berhenti berusaha memaksakan sebuah buku bersampul ungu tua polos dengan judul, Neurologi Klinis Dasar, masuk ke dalam kotak kardusnya yang tampak menggembung. Kemudian dia melihat Naruto. "Itu tidak akan membuatku buka mulut soal sekolah baruku," balas Sasuke.

"Aku tidak sepertimu," sindir Naruto. "Berikan itu!"

"Aku bersyukur kau tidak sepertiku," Sasuke berujar sambil menyerahkan buku itu pada Naruto. "Kalau kau begitu penasaran, kau bisa menguntitku."

"Masa bodoh. Nanti kutanyakan ibumu."

Sasuke tidak membalasnya lagi.

Tak sampai satu menit mereka diam, Naruto mulai lagi. Lelaki pirang itu selalu punya cara memancing kata-kata Sasuke yang irit bicara. Hal sekecil tungir (tungau) pun bisa menjadi bahan pembicaran menggemparkan bagi Naruto.

Naruto itu seperti musibah sekaligus kegembiraan dalam hidupnya.

Dulu Sasuke tidak punya teman di sekolah. Para pria lebih sering mencibir dirinya karena kecerdasannya, sikap tenangnya yang dianggap keren oleh para gadis. Dia dianggap setinggi gunung, sehingga nyaris semua anak lelaki tidak mau berteman dengannya atau takut ditolak, kecuali Naruto.

Sementara para gadis? Walau mereka mau berteman dengannya mereka tidak akan mengerti dunia laki-laki. Masa, iya, Sasuke berteman dengan para gadis yang mainan pasti tidak jauh-jauh dari boneka?

"Kau membuat para gadis patah hati," kata Naruto, tiba-tiba mengganti bahan cerita. Sebelumnya dia menuduh Sasuke sebagai pelaku dalam kasus kematian Gamabunta. Sasuke marah-marah karena tuduhan itu. Karena lelah menghadapi kemarahan Sasuke, Naruto yang melihat gadis-gadis menangis histeris—melihat pangeran tercinta mereka bakal pindah sekolah—mendapatkan ide cerita.

"Kau harus berterimakasih padaku, sekarang kau bisa memiliki mereka."

"Kau restui aku dengan Hinata-chan, makaaku bersumpah akan berterimakasih padamu setiap pagi."

"Kau idiot, kau tidak pantas untuknya," ketus Sasuke.

"Jadi, maksudmu Si Merah Sabaku itu yang pantas?" balas Naruto, kembali menaikkan nada suaranya.

"Dia panda liar. Hewan ganas seperti itu tidak boleh mendekatinya."

"Hahahahaha, kau pikir ular sepertimu sangat wajar berada di sekitar Hinata?"

"Urusee, Dobe!"


Sabaku Gaara berdiri di depan gerbang sekolah dengan gaya tenangnya—kedua tangan di saku. Baju lelaki berambut merah itu masih serapi pagi tadi. Tetapi, hatinya tidak demikian.

Gaara membuang napasnya dengan bosan. Dia semakin jengkel saat melihat Sasuke berjalan ke gerbang dengan gadis-gadis mengekor di belakangnya. Sebagian besar gadis menangis tersedu-sedu.

"Akhirnya sekolah ini bisa memberikan ketenangan," sindir Gaara ketika Sasuke melintas di depannya, sementara gadis-gadis yang tadi mengekorinya kembali ke gedung sekolah, mengambil tas yang tidak sempat mereka ambil karena berita kepindahan Sasuke membuat mereka syok sampai lupa pada tas mereka masing-masing.

Sasuke berhenti, kemudian mundur satu langkah ke belakang. Tanpa menolehkan pandangannya ke kanan, kepada Gaara, Sasuke berkata, "Kau akan menyesal telah mengatakan itu." Sasuke menyeringai, lalu pergi.


"Pokoknya tidak bisa!" Minato mengatakan keputusan terakhirnya sekeras mungkin, supaya terdengar jelas di telinga putranya.

"Tou-san, ayolah! Aku pasti bisa belajar di rumah." Orangtua Naruto tidak tersentuh sedikit pun walau Naruto telah menampilkan wajah paling mengenaskan miliknya yang belum pernah dia tunjukkan pada siapa pun.

"Naruto," Kushina menyebut nama anak lelakinya dengan penuh penekanan. "Kau tidak akan diizinkan masuk ke sana," kata Kushina.

"Tapi Sasu—"

"Itu karena dia kakaknya," Minato memotong bantahan Naruto. Dia tidak habis pikir apa yang membuat putranya berpikir bahwa sekolah ABK bisa berubah menjadi sekolah anak-anak normal.

"Tapi, aku juga—"

"Sayang," kali ini Kushina yang memotong perkataan Naruto. "Kami bisa mengadopsi adik perempuan kalau kau memang begitu kesepian."

"Lakukan apa yang kalian suka," gumam Naruto—ekspresi wajahnya menunjukkan dia sangat kecewa—kemudian meninggalkan kedua orangtuanya.

Minato dan Kushina saling menatap, lalu mereka mendesah bersamaan.


18 September 2004

Menyesal, 'kan?

Uchiha Sasuke hari ini menang dengan telak darinya. Dia tidak menyangka Si Sinting itu bersedia melakukan hal seperti itu.

Neneknya telah menginformasikan bahwa Hinata dipindahkan ke sekolah ABK, dan Sasuke mengikutinya ke sana, menjadi murid di Yayasan Umino.

Dari panti ada beberapa anak difabel yang dimasukkan ke Yayasan Umino, namun mereka semua tinggal di asrama yayasan. Itulah kenapa Hinata tidak memiliki siapa pun menemaninya pergi ke sekolah.

Mikoto mau saja pindah ke Shikkotsu, di sana banyak tanah kosong yang harganya sepuluh kali lipat lebih murah daripada tanah di perkotaan. Masalahnya pekerjaan suaminya di kota tidak bisa ditinggalkan. Keterbatasan transportasi menjadi penghambat utama mereka.

Uchiha bisa saja membeli kereta pribadi, membayar uang bulanan kepada perusahaan penyedia layanan transportasi publik agar bebas memakai rel ke Shikkotsu, atau sekalian membangun rel pribadi, jadi mereka tidak bergantung pada jadwal keberangkatan kereta publik. Tetapi, Fugaku menolaknya dengan alasan pemborosan.

"Kau tidak akan ke mana pun," kata Rei penuh penekanan.

Gaara berdiri di depan ruang kerja ayahnya sambil mengumpat. Dengan langkah keras—supaya ayahnya bisa mendengar—Gaara turun ke lantai satu. Tepat di depan televisi, Temari sedang melotot melihat film laga lawas yang biasa tayang pada sabtu malam.

"Damn!" teriakan kesal Kankuro terdengar dari arah kamar kakak laki-lakinya itu. Kankuro pasti sedang asyik bermain game, kegiatan rutin malam minggu, lantaran tidak ada PR yang harus dikumpulkan keesokkannya.

Dalam hati Gaara berharap, Temari atau Kankuro secara mendadak menjadi penyandang difabel atau mungkin terlewat imajinatif, sehingga perlu penanganan khusus atau sekalian saja dia yang—

Sialan, Sasuke.

Gaara tidak mungkin berpura-pura bodoh, gila atau apalah. Bukan ke sekolah ABK dia akan dikirim, dengan sifat ayahnya yang keras seperti itu, sudah pasti dia dikirim ke sekolah asrama khusus laki-laki untuk didisiplinkan. Ancaman itu selalu berhasil menjinakkan Kankuro, begitu juga dengan dirinya.


20 September 2004

Belasan kali Sasuke bilang Mikoto tidak perlu menemani mereka. Sasuke bisa mengatasi situasi ini. Sasuke sudah lima belas tahun, nyaris lulus SMP, cerdas dan sangat tahu caranya mencapai Yayasan Umino.

Aku harus memastikan Sasu-chan tidak lupa memberinya vitamin.

Fugaku yang setuju dengan Sasuke mau tidak mau mendengar alasan-alasan Mikoto yang terdengar dipaksakan.

"Aku tidak akan makan siang ini."

Itachi, yang tadi pagi, begitu terburu-buru, sempat terbahak-bahak karena ayahnya mengancam dengan cara konyol seperti itu. Tawanya semakin menjadi ketika ibunya tampak tidak peduli suaminya mau makan siang ini atau tidak.

Mikoto, dengan begitu semangat, melenggang pergi ke depan sambil menggandeng Hinata yang tampak sama senangnya.

"SASU-CHAN, KAU TIDAK MAU TERLAMBAT DI HARI PERTAMAMU, 'KAN?!"

Mikoto berteriak dari luar rumah lantaran Sasuke tidak muncul-muncul, betah bertahan di dekat rak sepatu sambil merutuki hari pertamanya yang suram. Kalau begini, Sasuke jadi malas pergi ke sekolah.

Entah sudah berapa kali Sasuke mendesah bosan. Hinata duduk di atas pangkuan Mikoto, bukan di pangkuannya. Si Idiot itu terus-terusan menengok ke luar, Sasuke seperti tiada arti.

Senyum sumringah mengembang di wajah bulat Hinata yang berseri ketika kereta melaju di distrik Kusa, distrik yang penuh dengan hamparan rumput dengan bunga-bunga kecil berwarna merah.

Senyumnya itu, selalu bisa membuat kekesalan Sasuke lenyap, digantikan oleh rasa damai yang tak terkira. Sasuke berdiri, kemudian berbalik. Meletakkan lututnya di atas kursi, sementara tangannya mendarat di bahu kursi, menahan berat tubuh bagian atasnya. Sasuke menunduk, menyejajarkan diri dengan Hinata yang duduk di pangkuan Mikoto.

"Kau mau tinggal di sana, suatu hari?"

Hinata menengok Sasuke sebentar sambil tersenyum, lalu kembali menatap rumah mungil yang jauh di sana, di tengah-tengah hamparan rumput. Kemudian dia mengangguk.

"Kalau kubilang di sana banyak ular, kau masih mau?" tanya Sasuke lagi, berniat menjahili Hinata.

"Sasu-chan, hentikan itu. Kenapa sih, kau senang sekali merusak kebahagiaannya." Mikoto berbicara dengan marah. Dia mengelus-elus punggung Hinata yang sekarang menyembunyikan wajahnya di dada Mikoto sambil menggeleng. "Sayang, Sasuke-nii-chan cuma bercanda, kok. Kalau pun di sana ada ular, nanti Itachi-nii akan …" Mikoto berpkir kata apa yang bisa dimengerti Hinata. Membunuh? Hinata tidak mengerti itu. Menyingkirkan? Ini juga sama saja.

"Itachi -nii akan mengurungnya," kata Sasuke tiba-tiba, seakan mengerti Mikoto sedang membutuhkan bantuan. Sasuke yang mengajari Hinata selama ini, jadi dia tahu betul kata apa yang tidak dan yang dimengerti Hinata. "Jadi, dia tidak akan mendekatimu."


Dinding-dinding kelas Hinata dihias dengan cara yang unik. Bukan sebuah lukisan dalam bingkai atau foto tokoh berpengaruh yang dipajang di sana. Dinding-dindingnya dihias dengan lukisan empat dimensi, begitu pun langit-langit.

Rasanya Mikoto seperti berada di lahan yang asri dengan langit musim panas yang biru dan cerah. Saking terpesonanya, Mikoto tidak sadar, gadis kecil berambut biru mendekati Hinata.

"Gaunmu cantik sekali," kata gadis berambut biru itu antusias. Dia terlihat sangat macho karena memiliki kulit yang coklat. Namun, komentarnya itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa bagian dalamnya pun sama machonya. "Di mana kau mendapatkannya?" tanyanya sambil menyentuh gaun Hinata, gaun sewarna langit biru dengan gambar burung yang sedang melebarkan sayapnya di bagian depannya.

"Fuu, Sayang, kembalilah ke tempatmu, ya," perintah Han, pria tua bijak yang mengabdikan dirinya di Yayasan Umino, tanpa menerima bayaran.

"Anak-anak, hari ini ada malaikat lain yang turun ke bumi," kata Han ketika Fuu duduk di tempatnya, seperti yang dia katakan selalu saat memperkenalkan murid baru. "Mikoto-san, bisakah …." Mikoto mengangguk, lalu membimbing Hinata memperkenalkan dirinya.

"Ha-halo, teman-teman, a-aku Hinata, Uchiha Hinata," kata Hinata, mengikuti apa yang dibisikkan ibunya. "Mo-mohon bantuannya," tambah Hinata, kemudian membungkukkan tubuhnya.

"Halo, Hinata, kau cantik sekali," kata mereka kompak.

Pipi Hinata merona. Walau sering mendapatkan pujian seperti itu, tetapi yang ini terdengar berbeda. Hinata tidak tahu kenapa, yang dia tahu, itu terasa hangat dan lembut di hatinya.

Itu adalah kalimat yang diajarkan di sekolah itu selama bertahun-tahun ketika mereka menyambut murid baru, cantik untuk perempuan dan tampan untuk laki-laki, tidak peduli sekali pun murid yang datang jauh dari cantik atau tampan.

"Nah, Hinata-chan, kamu boleh duduk di dekat Toneri. Kamu boleh bertanya Toneri itu ada di mana pada siapa pun di sini. Siapa pun, tetapi kamu tidak boleh bertanya pada Bapak atau pun ibumu." Han menjelaskannya dengan perlahan-lahan, sangat perlahan, sampai mengatakannya butuh waktu tiga menit.

Mikoto melihat ke seluruh kelas, mengira-ngira siapa yang disebut Toneri itu. Di sana ada sekitar dua puluhan murid. Tempat duduk mereka tidak seperti tempat duduk di sekolah umum. Mereka duduk di lantai dengan meja-meja bundar yang diisi masing-masing empat orang.

Yang paling unik, tidak semua anak duduk manis. Ada anak perempuan yang mengeluarkan kakinya dari kolong meja. Gadis itu menidurkan boneka anak perempuan yang tidak terlalu besar serta bergaun merah muda di atas kakinya. Anak yang lain duduk dengan posisi kesukaan mereka masing-masing dan bahkan ada yang tidur tengkurap, bertopang dagu dan menggoyang-goyangkan kakinya naik dan turun.

Ini menyenangkan untuk anak-anak seperti mereka.

"Nyonya!" ujar Han, sedikit lebih keras dari volume suaranya sebelum ini. "Anda melamun."

"Maaf, Pak," balas Mikoto penuh penyesalan.

"Tidak apa, 'kan, kalau saya melakukan itu?"

"Oh, tentu. Itu ide bagus."

Iya, sangat bagus malah. Hinata, dengan gaya khasnya—meremas-remas tangannya sambil tersenyum gugup—menghampiri salah satu dari mereka dan bertanya di mana Toneri itu berada. Orang yang ditanyanya menjawab tidak tahu dan memintanya bertanya pada yang lain. Untuk orang normal itu adalah tindakan membodoh-bodohi, namun bagi mereka itu cara mereka mengakrabkan diri dengan anak baru.


Tawa keluarganya dan sahabat pirangnya meledak-ledak bak ratusan ranjau di bawah permukaan tanah yang baru saja dijalani oleh orang idiot. Wajah cemberut Sasuke malah menambah kebisingan.

Mereka bilang Sasuke pasti kakak yang baik. Masih keukeuh menemani Hinata walau hari ini, hari pertama Sasuke sekolah di Yayasan Umino, Sasuke mendapat sial. Di jam istirahat kedua, seorang gadis yang usianya nyaris sama dengan Itachi, tetapi idiotnya melebihi Hinata, memuntahkan telur dadar, yang dia telan di jam istirahat pertama, tepat ke wajah Sasuke. Gadis itu melakukannya, karena menurutnya, daripada seperti malaikat (cara mereka menyebut diri mereka dan siapa pun yang baru datang), Sasuke lebih serupa iblis yang naik dari neraka. Mungkin kejadian itu adalah kesialan yang dikirim Kami-sama untuk membalasnya yang membohongi ibunya waktu itu.

Sampai sore baju yang Sasuke kenakan dijajah oleh bau tak sedap, tidak hilang walau dia membersihkannya dengan air. Tetapi, dia tidak sepenuhnya sial. Atas perintah Mikoto, Hinata datang padanya, duduk di dekatnya sepanjang perjalanan pulang, menghiburnya dengan mengelus-elus punggung tangannya penuh kasih sayang. Gadis itu sempat naik ke pangkuannya, lalu dengan kedua jempol mungilnya dia menarik kedua sudut bibir Sasuke, meminta Sasuke tersenyum.

"Aku sudah bilang, 'kan. Aku melakukan itu untuk membersihkan nama Uchiha dari …." Sasuke tak meneruskan apa yang dia katakan. Itachi, Naruto—yang memutuskan menginap di rumahnya, dan orangtuanya, memberikan tatapan garang padanya.

"Aku tahu kau bohong," kata Naruto. Dia satu-satunya yang tahu buku-buku yang disembunyikan Sasuke di kamarnya. Dia juga yang tahu bagaimana Sasuke sering mendatangi rumah Sakura untuk meminjam buku kesehatan yang disimpan oleh ibu Sakura atau menanyakan beberapa materi yang tidak dimengertinya. Dan Naruto tidak boleh bilang pada siapa pun tentang itu.

"Aku mengantuk." Sasuke berpura-pura menguap. Itu adalah tanda agar Naruto berhenti berbicara saat itu juga, karena kalau tidak, maka tidak ada yang menjamin Naruto bisa menjaga janjinya. Dia naik ke lantai dua, singgah di kamar Hinata, yang malam ini tidak bisa dia pindahkan ke kamarnya karena Naruto akan tidur di kamarnya, seperti yang selalu dilakukan sahabatnya itu.


To be continued ...


Cttn: Di Yayasan Umino, murid-murid di sana tidak memakai seragam, mereka mengenakan pakaian bebas. Untuk kelas 1 SD, kegiatan mereka masih didominasi oleh pelajaran tentang cara-cara hidup bermasyarakat.

Kunjungi saya di wattpad, RosettaHalim (Baru buat), tny2 bleh (krn trnyta di sana ngobrolny lebih mudah. Kok kedengarannya saya ky kudet gtu).Thanks buat yg review, fav dan foll. Maaf ga sempat bles review. Soalny d sini repot.