09 September 2006
Akatsuki Investigation, selepas SMA, berkumpul kembali dalam acara kemah yang disarankan oleh Uchiha Obito di lapangan umum dekat dengan SMP Konoha, tempat mereka bermain sepulang sekolah, sejak SD sampai SMA.
Klub yang dipimpin oleh Yahiko itu, berawal dari kegemaran mereka terhadap kisah misteri. Memecahkan kasus-kasus kecil semasa SMA adalah kegiatan menyenangkan yang mereka pilih untuk mengisi masa muda. Penyebaran fitnah di sekolah merupakan kasus yang paling sering mereka tangani. Tidak jarang, mereka juga menangi kasus kehilangan.
Tujuan utama pertemuan mereka bukan untuk sebuah kasus, cuma reuni sekaligus bertemu dengan Si Kecil Hinata. Sulit bertemu gadis itu karena Sasuke selalu menjaganya dengan ketat. Beruntung sekali Itachi berhasil menculik dan membawanya ke kemah mereka. Kata Itachi beberapa saat lalu, "Sasuke belum pulang dari Distrik Uchiha, kemungkinan dia menginap di sana."
Dulu, mereka biasa berkumpul di rumah salah satu anggota, tinggal di sebuah ruangan yang cuma diterangi cahaya mungil dari lilin paling kecil yang pernah diproduksi. Konan bilang untuk menambah kesan misterius.
Kali ini pun sama, mereka membuat api unggun super kecil di depan tenda, yang tak sanggup menyinari wajah kesebelas anggota. Mereka membiarkan Hinata duduk dekat dengan api unggun, agar mendapatkan cahaya dan kehangatan sebanyak mungkin.
"Motifnya pasti iri," ujar Obito bersemangat. "Persentase saham Klan Fuuma di Uzumaki Group naik drastis sekitar tujuh bulan lalu. Entah apa yang mereka lakukan. Yang pasti jika Uzumaki tidak cepat bertindak, maka perusahaan mereka cuma tinggal catatan sejarah."
"Tersangka 1," balas Yahiko pelan, tak begitu tersinggung walau dia punya seorang bibi dari Klan Uzumaki.
Semakin lama pembicaraan mereka semakin dalam.
Ternyata memang benar. Tidak peduli sekeras apa pun mereka berusaha menjadikan acara malam ini ringan—hanya berisi obrolan-obrolan tentang kegiatan masing-masing selepas SMA—tetap saja mereka berakhir dalam sebuah kasus. Kebiasaan memang sulit diubah.
Hampir setengah tahun ini berita di tv dipenuhi kasus pembunuhan. Dimulai sejak 21 Maret hingga hari ini. Dua minggu sekali ditemukan korban baru. Persamaan yang dimiliki para korban adalah mereka sama-sama berasal dari Klan Fuuma.
"Dari lima pulau besar di Jepang, satu-satunya kasus yang memberimu petunjuk cuma di Kumo. Tubuh pemimpin Klan Fuuma ditemukan di tepi jalan tepat di tempat pemimpin Klan Hyuuga dan keluarga inti mengalami kecelakaan pada 21 Maret 2002, dini hari. Hari dan bulan ditemukannya pun sama. Bukankah itu perlu dipertanyakan? Hantu Hyuuga akhirnya balas dendam. Kematian mereka saja aneh. Bisa saja Fuuma dalang di balik kematian Hyuuga, kemudian hantu Hyuuga menuntut balas dengan bantuan Dewa Jashin." Hidan menjelaskan dengan penuh percaya diri. Sambil memasang wajah seram dia mengangkat kedua tangannya, siap mencengkeram.
Anggota lainnya mendengus. "Misteri dan mistis merupakan dua hal yang tak terpisahkan," kata mereka kompak, kecuali Itachi. Kalimat itu sering diucapkan Hidan setiap kali dia mengaitkan sebuah kasus dengan hantu.
"Itu cuma kebetulan," kata Itachi serius. Sebetulnya, kemungkinan itu ada, tetapi bukan hantu, melainkan seseorang dari Klan Hyuuga mungkin saja masih hidup. Tetapi, dia punya dugaan yang lebih masuk akal. "Aku pikir pelakunya justru salah seorang dari klan itu sendiri. Selain Konoha City, ada tiga tempat yang padat penduduk di Konoha ini, Fuuma, Shitoku dan Nara. Mereka lenyap di tempat-tempat berpenduduk padat, tetapi tak satu pun di Distrik Fuuma. Bahkan di pulau besar lain, Iwa, Kumo, Kiri dan Suna, bukan di tempat sepi, tetapi tepat di pusat ibu kota." Itachi berbicara sambil menusuk marshmallow dengan sumpit bambu, kemudian memberikannya pada Hinata yang baru selesai memakan marshmallow bakar.
"Jangan-jangan malah Uchiha pelakunya." Kuro Zetsu mulai memanas-manasi suasana. "Kudengar, sebelum kematiannya, pemimpin Fuuma sempat bersitegang dengan ayahmu, Itachi. Mereka berebut tanah panti asuhan yang tidak memiliki surat sah."
"Ayahku tidak punya alasan, karena kenyataannya dia menang dalam pertikaian itu," balas Itachi santai.
Chapter 10
©Rosetta Halim
©Masashi Kishimoto
Based on Aelona Betsy's story January was My December
09 September 2006
Mikoto dan Fugaku masih terjaga di depan televisi ketika Sasuke pulang ke rumah pukul sebelas malam. Anak itu berlari-lari ke lantai dua. Mikoto tak ambil pusing dan terus mendengar berita malam dengan saksama.
Tak lama setelahnya, langkah Sasuke, yang memenuhi seluruh rumah, mengganggu pendengaran Fugaku, langsung saja dia menarik remot dari tangan istrinya, kemudian menambah volume suara televisi.
—gi orang biasa, sangat sulit menembus Distrik Hyuuga. Ditemukannya Fuuma Arashi di tepi sungai dekat Kebun Bunga Hyuuga pasti akan memunculkan dugaan baru. Kerumitan kasus ini, yang sampai ke pulau lain, menarik minat beberapa detektif swa—
Suara halus perempuan pembawa berita terpotong oleh pertanyaan tajam Sasuke. "Kaa-san, mana Rakun Jorok?" Fugaku menatap Sasuke dengan tajam. Putra bungsunya bertanya sambil terengah-engah.
"Em …" Mikoto melirik wajah sangar Fugaku. Konflik ayah-anak yang baru berlalu siang tadi menyisakan kerutan jengkel di kening suaminya. Sasuke pun tak kalah kerasnya. Sang putra mengabaikan keberadaan Fugaku. "Ita—"
—cara Sarutobi telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Suara Mikoto dibenamkan oleh suara televisi yang mendadak meluncur ke volume paling keras. Dia yakin itu terdengar sampai luar. Desahan keras sengaja diciptakan Mikoto untuk mengingatkan suaminya.
"Sebaiknya aku tidur." Fugaku segera mematikan televisi. Sebelum pergi ke kamar dia sempat melempar tatapan mematikan pada Sasuke. Badannya nyaris serupa pria dewasa, lagaknya masih seperti anak kecil, pikirnya kesal, lantaran kembali mendapati wajah Sasuke yang hampir sejajar dengan wajahnya.
"Itachi-kun membawanya ke kemah Akatsuki."
"APA?!"
Itachi memang sudah gila. Membawa seekor kelinci ke perkemahan serigala? Perbuatan yang tidak bisa diampuni. Sasuke memindahkan senter kecil di tangan kirinya ke mulut, lalu menggigit senter itu dengan erat. Kedua tangannya harus berada di setang, supaya dia bisa mempercepat laju sepeda yang dikendarainya.
Ide menarik rambut Itachi yang telah dipikirkan Sasuke sedari tadi hilang ketika dia mulai memasuki area lapangan umum. Menginap bersama mereka mungkin lebih baik daripada kembali ke rumah, pikir Sasuke sambil terus mengayuh sepeda ke tengah lapangan.
Api unggun mereka yang tampak hampir mati membuat Sasuke kesulitan memastikan keberadaan tenda. Sasuke mengutuk awan tebal yang bergerak menghalangi sinar bulan. Dia harus bersabar, tujuan kedatangannya telah berubah beberapa detik lalu.
Sasuke menggeram saat dia melihat Hinata tertidur di dalam kantong tidur kebesaran yang tergeletak pasrah di dekat api unggun. Itachi dan teman-temannya tidak tahu bagaimana memperlakukan gadis kecil yang rapuh. Mereka sanggup meletakkan peta Konoha di atas tubuh Hinata, berkumpul di sana, mendiskusikan sesuatu seolah Hinata adalah meja.
"Korban lain baru saja ditemukan," kata Sasuke cukup keras, berharap itu bisa menekan kekesalannya, sekaligus memastikan Akatsuki tidak mengusirnya. Sekumpulan serigala sialan itu terlalu fokus sampai tak menyadari kedatangannya. Ban sepeda yang hampir megenai punggung Itachi tak cukup membuat kakaknya itu waspada.
"Eh?!" mereka berteriak kompak, kecuali Itachi, mengakibatkan satu-satunya orang yang tidur terbangun. Langsung saja mereka mengarahkan penglihatan kepada Sasuke.
"Siapa? Di mana? Pukul berapa?" pertanyaan beruntun itu dilontarkan oleh Sasori.
Sasuke memundurkan sepedanya, lalu menidurkannya. Dia berjalan dengan mantap, menghampiri Hinata yang tengah mengerjapkan mata sambil menggumamkan nama anjing peliharaannya, memutar-mutar bola mata, kemudian kembali tidur.
Tanpa aba-aba, Sasuke merampas pena merah dari tangan Konan. Dia memberikan tanda silang pada peta Konoha, tepat di Beech Tree Street, Distrik Hyuuga. "Fuuma Arashi, sejam lalu," katanya setengah berbisik.
Kali ini Itachi ikut terkejut seperti yang lainnya. Mereka terdiam, namun pikiran bekerja maksimal. Dugaan-dugaan baru berdatangan dengan cepat.
Selagi mereka tenggelam dalam pikiran, Sasuke membawa Hinata dari sana, lalu memasukkannya ke dalam tenda yang sekarang terlihat jelas di matanya.
Distrik Hyuuga merupakan distrik paling luas di Konoha, jika dipecah bisa membentuk tujuh distrik, hampir setara dengan dua subprefektur. Namun, jumlah penduduk di sana paling sedikit, terdiri dari Hyuuga dan orang-orang yang bekerja di sana. Bahkan, awalnya lebih luas dari itu.
Hyuuga membangun tembok dua lapis untuk melindungi tanah mereka. Pekerja tinggal di dalam tembok bagian luar, sementara Klan Hyuuga tinggal di dalam tembok bagian dalam. Semasa hidup, Hyuuga tidak melarang siapa pun dari luar klan berkunjung ke wilayah luar, bahkan di hari-hari tertentu wilayah dalam dibuka untuk umum. Namun, setelah kematian mereka, Distrik Hyuuga ditutup untuk umum. Para pekerja yang masih tinggal di dalamnya dilarang membawa orang luar masuk. Wilayah dalam cuma bisa dimasuki oleh Sarutobi Hiruzen dan orang-orang yang mendapatkan izin darinya.
Selain itu, Hyuuga merupakan satu-satunya wilayah di Konoha yang memiliki hukum khusus, yang biasa disebut Hukum Hyuuga. Polisi yang bekerja di sana pun berbeda dengan polisi Konoha. Mereka merupakan orang-orang pilihan yang sulit diterobos.
Dengan semua kenyataan itu, mustahil seseorang keluar dan masuk tanpa diketahui.
"Pembunuh profesional," Itachi berkomentar. "Ini luar biasa." Nafsu memecahkan kasus ini semakin berkembang. "Sekarang, siapa saja yang kaya, mungkin menjadi tersangka."
"Tentu saja," sahut Sasuke, yang kembali lagi ke api unggun setelah memastikan Hinata tidur dengan nyaman di dalam tenda. "Tidak ada yang mau melakukan pekerjaan seperti itu tanpa bayaran tinggi."
"Ini jelas ulah hantu Hyuuga," Hidan tak mau mengubah dugaannya. "Siapa lagi yang bisa masuk ke sana? Apa kalian ingat, seorang pembunuh bayaran pernah tertangkap di sana?"
"Hantu itu tidak ada, Hidan," Shiro Zetsu menanggapi dengan tenang. "Mungkin pekerja Hyuuga terlibat."
"Itu benar," timpal Deidara. "Yang penting jumlah tersangka semakin banyak, dan tidak ada hantu di antaranya."
"Orang bodoh memang suka percaya pada sesuatu yang tak perlu dipikirkan," sindir Kakuzu.
11 September 2006
Mereka dipisah saat memasuki kelas tiga. Buku yang digunakan dalam proses belajar-mengajar untuk anak tunanetra berbeda dengan anak yang bisa melihat. Sasuke tersenyum puas ketika hari itu tiba. Bagaimanapun, anak lelaki bernama Toneri itu harus dijauhkan dari Hinata. Kalau tidak, entah apa lagi yang akan dia lakukan, mengingat Kamis lalu dia berani memeluk Hinata. Kala itu, sambil memeluk Hinata, dia bilang, "Besok aku mau ke rumah bibiku di Suna. Dia minta aku menginap di sana selama dua malam. Aku pasti akan merindukanmu," dengan keras.
Sasuke cuma bisa menggeram sambil pura-pura tidak melihat.
"Aku juga, Toni-kun." Sungguh, jawaban polos Hinata tidak berarti masa depan hubungan Toneri dan Hinata akan cerah. Tetapi, pikiran Sasuke telanjur terisi oleh hal-hal negatif yang dianggap positif oleh Nenek Kaguya.
Sejak kapan, ya, wanita tua itu memberi label "cucu menantu" pada Hinata?
Ah, iya, sejak hari itu, hari di mana dia diceramahi oleh seorang guru untuk pertama kalinya.
"Kalau kamu terus mengikuti adikmu, bagaimana dia bisa berteman dengan yang lain? Dengar, Sasuke, saya tahu kamu selalu mengkhawatirkannya, tetapi menjaganya sepanjang waktu hanya akan mengakibatkan ketergantungan. Kamu mengerti itu, 'kan?"
Sasuke tidak bisa lagi bersikap sesuka hati terhadap Hinata.
Kedekatan Toneri dan Hinata serta ceramah Iruka-sensei, menghasilkan penguntit Sasuke. Selama jam istirahat Sasuke tidak diperbolehkan menjauhkan Hinata dari sekawanan anak SD (teman-teman Hinata), ditambah dia harus berusaha akrab dengan teman-temannya. Kalau dia tidak menuruti Iruka-sensei, dia tahu akibatnya.
Pria itu tahu betul bagaimana caranya mengadu. Perselisihannya dengan sang ayah kemarin pun terjadi berkat aduan Iruka-sensei.
Sasuke berdiri di bawah pohon dengan punggung bersandar ke batang pohon, membaca komik sambil mengawasi sekumpulan anak SD yang duduk di atas tikar, memakan bekal masing-masing sembari bercakap-cakap. Hinata begitu bahagia berkumpul dengan teman-temannya. Sering sekali dia menyuapkan makanan ke mulut Toneri yang katanya tidak bisa makan tanpa bantuan. Di mata Sasuke, anak itu tak pernah terlihat menyenangkan.
Seharusnya dia bisa merasa aman karena mereka tidak sekelas lagi, tetapi ternyata saat istirahat dimanfaatkan Toneri dengan baik. Ini atau itu, hasilnya sama saja.
"Aku salah makan," kata Toneri, berlagak polos. Dia mulai beraksi. Sasuke masih bisa menahan diri, karena itu cuma jari.
"Yah, aku salah makan lagi," kata Toneri, kembali berlagak polos.
Kali ini Sasuke tidak bisa menahan diri. Tadi bibir Toneri jelas menempel di pipi merona Hinata, mana mungkin salah makan. Meskipun buta, Toneri tidak bodoh. Kecerdasannya hampir setara dengan orang dewasa. Sikap Toneri yang kejam, tetapi terarah membuatnya terlihat tegas. Dia tahu bagaimana berbicara dengan Hinata dan tahu bagaimana memainkan tipu muslihat.
"Tidak apa-apa, To—" ujaran Hinata terpotong oleh tarikan Sasuke di lengan kecilnya. Lelaki itu meninggalkan komik tergeletak di atas akar pohon yang menyembul ke permukaan. Hinata tidak tahu sedang ditipu, dia menganggap itu hal biasa. Setiap manusia yang tak sengaja melakukan kesalahan pantas dimaafkan. Didikan ibu mereka terlalu naif. Sasuke harus memperbaikinya.
"Dengar," Sasuke berkata ketika dia dan Hinata sudah cukup jauh dari sekumpulan anak SD yang tidak begitu peduli dengan masalah kakak-beradik, Sasuke terlalu sering melakukan itu, kewajaran. "Orang yang melakukan kesalahan tanpa sengaja memang pantas dimaafkan. Tetapi, ada beberapa orang di dunia ini yang senang berpura-pura tidak sengaja. Kau tidak boleh memaafkan orang seperti itu. Kau perlu bertindak tegas."
Mulut Hinata menganga dengan kepala yang agak miring ke kanan. Matanya berkedip-kedip dengan perlahan. Desahan putus asa khas Sasuke tak bisa ditahan lagi. Paling tidak, butuh waktu dua sampai tiga bulan untuk menanamkan didikan baru di kepala Hinata.
"Otakmu memang payah," bisik Sasuke.
Bukan cuma otak. Pertumbuhan Hinata pun amat lamban. Anak perempuan, di masa sekolah dasar, biasanya tumbuh lebih tinggi daripada anak laki-laki. Tetapi, Hinata bahkan lebih pendek daripada Sai yang seumuran dengannya.
"Abaikan perkataanku. Sana, kembali kepada teman-temanmu!"
Hinata tidak bergerak dari tempatnya. "Bukannya Nii-chan mengatakan sesuatu?"
"Aku bilang, abaikan saja!"
Pukul sembilan malam, usai mengerjakan tugas sekolah, Sasuke dan Hinata biasanya duduk di depan piano yang ada di kamar Hinata. Belajar memahami not balok tak pernah usai bagi Hinata. Tidak banyak yang dicapai selama dua tahun.
"Kenapa sulit sekali membuatmu paham?" Sasuke mengacak rambutnya dengan kesal. "Lihat!" teriaknya sambil menunjuk selembar kertas. "Di bagian kiri ini, ada empat pagar, artinya empat kres. Do-nya bukan lagi C, tetapi E. Empat kres juga berarti ada empat nada yang naik setengah, F, G, C dan D."
Kesabaran Sasuke juga ada batasnya. Sebanyak apa pun yang dia katakan, Hinata tidak akan paham. "Begini saja," kata Sasuke. "Sial! Aku tidak tahu harus apa!"
Meskipun Sasuke telah sampai pada titik di mana dia merasa frustrasi, Hinata tampak tak peduli. Masalah itu tak sedikit pun mengganggu, cepat sekali otaknya menghilangkan rasa sakit akibat kebodohan. Kalau dipikir-pikir, itu karena Hinata tipe yang pandai bersyukur. Tukang ejek di luar sana sulit mendapatkan perhatian (dia tidak berniat membuktikan diri), tetapi anjing yang tak berbicara dengan gampangnya menyita seluruh perhatian gadis itu.
Daripada makian Sasuke, anjing peliharaan mereka—yang sekarang sedang berbaring di tempat tidur sambil melihat mereka—lebih menarik bagi Hinata. Matanya terus berada di sana. "Seharusnya aku tak pernah membawa anjing itu pulang."
Selanjutnya, anjing malang yang tidak tahu-menahu tentang kerja keras Sasuke, diusir dari kamar itu. "Kau boleh ketemu Moko kalau ini sudah selesai."
Hari ini senyum begitu akrab dengan Fugaku. Tak henti-henti bibir pria paruh baya itu melengkung, membentuk senyum tipis tanda dari lonjakan kebahagiaan. Sekretaris yang duduk di sebelahnya pun ikut tersenyum. Keduanya sama-sama tahu apa yang terjadi baru ini.
Urusan bisnis di Oto tak begitu lancar. Hanya saja, dalam perjalanan kembali ke Shitoku dengan kereta api (tentu saja kelas bisnis), Fugaku bertemu dengan kepala sekolah Oto Music Academy. Pria tua itu tertarik pada suara piano yang terdengar dari laptopnya. Saat itu Fugaku memang tengah menonton rekaman Hinata bermain piano.
"Apa dia ikut kompetisi Oto Music Academy?" Pria itu tiba-tiba sudah berdiri di belakang kursinya. Fugaku menengok ke belakang, kemudian berpikir apa mungkin dia mengenal orang itu. "Maaf. Perkenalkan, aku Ootsutsuki Hamura, Kepala Sekolah Oto Music Academy cabang Konoha."
"Aa, aku Uchiha Fugaku, ayah gadis ini," balas Fugaku sambil menunjuk Hinata yang ada dalam laptop. "Dia tidak ikut."
"Hah? Dia berbakat, kenapa tidak ikut?"
"Dia tidak bisa …" Fugaku ragu, sekali lagi dia menengok ke belakang, meneliti wajah keriput Hamura. "… membaca not balok," lanjutnya berbisik.
"Ah, sayang sekali!" Hamura berujar kecewa. "Ada seorang wanita yang mungkin bisa mengajarinya not balok. Dia pianis nomor dua di angkatan Hikari. Cobalah minta padanya."
"Guren?"
"Tepat," jawab Hamura cepat. "Kalau kau tahu Yukimaru, penguasa alat musik tiup, awalnya juga tak tahu membaca not balok, Guren yang mengajarinya."
"Kurasa tidak akan semudah itu."
"Kalau dia lihat putrimu, tak perlu waktu lama untuk sepakat." Hamura terkekeh. Dia kembali ke tempat duduknya, lalu berbicara pada perempuan muda di sebelahnya. "Ambilah ini." Hamura sudah kembali berdiri. Dia menyodorkan sebuah undangan—berwarna oranye lembut, di depannya tertulis, unexpected guest, dengan tinta putih—melewati bahu Fugaku.
Fugaku memutar lehernya, dia menatap Hamura tak percaya. Dia kenal dengan undangan yang sampai di tangannya itu. "Apa ini lelucon?" Cuma sedikit orang yang bisa mendapatkannya. Fugaku sulit percaya Hinata akan menjadi salah satu dari orang-orang beruntung itu.
Hamura tertawa hambar, menanggapi reaksi seorang ayah di depannya itu. "Aku memang sedang mencari kejutan. Di Oto tidak ketemu. Kurasa dia cocok dijadikan kejutan di acara itu, sekaligus menunjukkannya pada Guren kalau nanti dia menolakmu."
Sekali lagi, Fugaku menatap undangan itu. Dia tak sabar. Rasanya ingin cepat sampai rumah. Pertama-tama, dia akan menemui Sasuke, kalau sudah tidur dia akan paksa bangun. Sasuke lah orang yang paling bersemangat tentang karier Hinata, sedang Hinata sendiri tidak mengerti soal begituan, yang dia tahu cuma bermain piano itu menyenangkan.
Mungkin, di saat itu pula, Fugaku menyampaikan persetujuannya. Berat sekali memang, membiarkan seorang anak menolak jalan yang dia pilih dan memilih jalan sendiri. Itachi juga berjanji, asal Sasuke diizinkan kuliah kedokteran, seluruh bisnis Uchiha akan dia tangani.
Sepulang dari urusan bisnis di luar Konoha, dari stasiun atau bandar udara, Fugaku selalu meminta sopir mengantar sekretarisnya lebih dulu. Kali ini tidak. Biar saja sekretarisnya pulang belakangan.
"Kosongkan jadwalku untuk besok," Fugaku berkata pada sekretaris ketika mobil berhenti di depan kediamannya.
"Ini sama dengan yang tadi. Tetapi, aku memainkannya di tangga nada empat kres." Sasuke mengomentari permainannya yang telah berlangsung selama dua menit. "Apa kau paham?" Jari-jarinya berhenti menekan tuts lantaran tak mendapati jawaban Hinata.
Sasuke mendesah. Kepala Hinata―dibungkus topi tidur kepala kodok―bersandar ke lengannya. Napas gadis itu terdengar jelas sejak suara piano tak lagi mengisi kamar. Sasuke mengucek-ucek matanya, lalu menguap kecil. Kantuknya mulai menjadi-jadi. Pantas Hinata ketiduran.
Perlahan, Sasuke menggeser kepala Hinata. Dia menahan kepala serta bahu Hinata sambil berdiri. Sasuke menyelipkan kedua tangannya ke bawah ketiak Hinata, mengangkat gadis itu, lalu mendekapnya.
Tubuh itu begitu kecil dalam dekapan Sasuke. Keduanya mengalami pertumbuhan yang kian memperpanjang jarak. Sebagai lelaki, di masa SMA, pertumbuhan Sasuke sangat cepat, sedang Hinata kebalikannya. Tak heran jika gadis itu akhirnya terasa semakin kecil.
Usai membaringkan Hinata di atas tempat tidur, Sasuke memandangi wajah itu sejenak. Lalu dia berpikir siang tadi Toneri berani menempelkan bibirnya di pipi itu. Besok-besok mungkin, si bocah tidak akan segan me―
"Sial," bisik Sasuke. Kegusaran memaksa kakinya bergerak ke sana ke mari. Coba pikirkan kembali. Toneri melakukan lebih banyak dari yang bisa diperbuat Sasuke. Tak pernah dia mengecup pipi, kening atau semacamnya. Paling jauh cuma menyentil jidat, mengacak rambut dengan gemas, menjitak atau mencubiti pipinya. Itu pun, kalau Mikoto tahu, dia segera diomeli.
Mumpung tidak seorang pun yang akan melihat, termasuk Hinata, Sasuke ragu-ragu menunduk, lalu pelan-pelan menempelkan bibirnya di pipi Hinata. Di sini si kurang ajar Toneri mendaratkan bibirnya yang kotor itu, pikir Sasuke.
Puas dengan perbuatanya, Sasuke melangkahkan kaki, hendak berbaring di sebelah Hinata, seperti yang selalu dia lakukan, yang selalu dianggap Fugaku dan Mikoto sebagai bentuk kasih sayang seorang kakak. "Kakak?" Sasuke berbisik sembari membaringkan tubuhnya. "Dia cuma menumpang di sini."
Selama beberapa tahun, berpikir demikian jauh lebih mudah ketimbang memikirkan peran tak berguna sebagai seorang kakak yang dia pikul.
Pelupuk Sasuke hampir tertutup ketika pemikiran negatif tentang si kurang ajar Toneri melintas di benaknya, selayak badai yang datang mendadak. Anak itu, dengan alasan idiot "salah makan" bakal mudah bikin bibirnya menempel di mana-mana selama jam makan siang, termasuk bi―
Oniks Sasuke segera melotot. Dia duduk dengan gelisah. Kembali dia pandangi wajah tidur Hinata. Walau enggan, dia mengaku khawatir dengan bibir mungil yang sedikit menganga itu. Kalau siang tadi pipi, besok mungkin pindah tempat.
"Sial," Sasuke mendesis. Dia tak mau kalau sampai yang itu pun disalip pula.
Mendapati senyum terukir di wajah kaku Fugaku di kala bisnis tak berjalan lancar, bagi Mikoto merupakan salah satu keajaiban dunia. Mata pria itu pun ikut mendukung kesenangannya. Padahal beberapa saat lalu, dengan suara yang nyaris terdengar seperti pengemis, Fugaku bercerita padanya tentang kegagalan mendapat lahan di Oto, proyek pembangunan komplek perumahan yang secara otomatis terhenti, dan pengkhianat yang hampir menjerumuskan perusahaan ke dalam situasi sulit.
"Kukira kau sedang … terluka," kata Mikoto.
"Lihat ini!" Fugaku menunjukkan sebuah undangan padanya.
"Dari siapa?"
"Penyelenggara kompetisi Oto Music Academy."
Tak sempat Mikoto menanyakan untuk apa, Fugaku menerobos masuk sambil berkata, "Ini berita bagus untuk Sasuke. Hari ini banyak berita bagus untuk Sasuke."
Mikoto tersenyum sambil menatap Fugaku yang tengah menapakkan kakinya di atas anak tangga. "Beri tahu aku setelah dia," katanya, cukup keras. Entah apa pun itu, dia yakin Sasuke akan senang mendengarnya. Ah, bukan cuma Sasuke, semua orang senang kalau Fugaku bilang ada kabar gembira.
Gagang pintu menerima tekanan perlahan. Dia mendorong pintu dengan pelan, lalu mengintip sesaat, memerika apa Hinata masih terjaga atau sudah lelap. Bagaimanapun, dia cuma boleh mengganggu tidur Sasuke.
Rasa kehidupan yang paling pahit adalah ketika dia menyaksikan istrinya nyaris sinting sehabis kehilangan bayi. Sering dia lihat Mikoto berbisik-bisik di dalam kamar yang sengaja dipersiapkan untuk bayi perempuan mereka. Mungkin tak akan separah itu bila tidak kehilangan rahim di saat yang sama.
Ketika Hinata datang, dan istrinya menjadi lebih riang dan bersinar, seperti pertama kali dia mengenalnya, dia merasa tidak akan ada rasa pahit serupa itu yang menantinya di masa depan.
Uchiha Fugaku salah besar.
Kelopak mata Hinata membuka menutup. Gadis itu antara sadar dan tidak. Sementara Sasuke―entah di mana otak putranya itu sekarang―tengah mencium bibir adiknya. Bukan sekadar mengecup, lebih tepat disebut mengulum.
Itu … ratusan kali lebih pahit. Adegan yang dia lihat itu, tentu saja, bukan semacam yang selama ini dipikirkan Fugaku.
"Sasuke," Fugaku setengah berbisik.
Tubuh yang hampir serupa miliknya itu membeku.
Bibir Sasuke berhenti bergerak. Perlahan dia menjauh dari Hinata. Sial, dia mengumpat dalam hati sambil menutup rapat matanya. Kemudian Sasuke duduk di atas ranjang, melirik-lirik Fugaku dengan wajah tertunduk malu. Dia sedikit penasaran apa yang membuat Fugaku begitu berbeda. Pria itu masih mengenakan sepatu kerja, di lengan kirinya tersampir jas dan dasi. Kemeja biru pucat yang dikenakannya berantakan. Tas kerja, yang biasanya diambil Mikoto di pintu depan, masih berada dalam genggaman, bersama sebuah benda berwarna oranye.
"Sejak kapan?"
Sasuke bungkam.
"Sejak kapan, Uchiha Sasuke?" Fugaku bertanya dengan nada geram. Kalau tidak ada Hinata di sana, barang tentu dia berteriak.
"Ini yang pertama," jawab Sasuke akhirnya. Walau cuma gumaman, masih bisa didengar.
Fugaku sadar, putranya sama sekali tidak mengerti ke mana pertanyaannya mengarah. Bukan sejak kapan Sasuke mulai mencium adiknya, tetapi sejak kapan Sasuke mulai memiliki perasaan tak wajar itu.
"Kau …" Fugaku kembali menatap undangan yang tak lepas dari tangannya. Perasaan bahagia yang timbul berkat undangan itu kini entah ke mana. "… pergi ke asrama besok."
"Aku tidak―"
"Dan jangan beri tahu ibumu soal ini." Fugaku berbalik, kemudian berkata, "Tidur di kamarmu sendiri." Dia pergi tanpa menutup pintu.
12 September 2006
"Barang-barangmu sudah sampai di sana." Fugaku berkata sembari memasukkan ponsel ke saku celana. Sasuke meliriknya sekilas, kemudian masuk ke mobil.
Itachi tersenyum menyambutnya. Mikoto, yang duduk di depan bersama Fugaku, langsung berkata, "Ke stasiun tidak sampai satu jam. Kita akan cepat berpisah."
Sekolah baru Sasuke itu merupakan sekolah terbaik di Konoha. SMA Inubuna atau lebih dikenal dengan sebutan Beech Tree High School. Sekolah itu didirikan tepat di pusat pemerintahan Konoha—di bawah patung wajah pemimpin Konoha yang diukir di tebing—oleh Klan Hyuuga. Sekolah yang sejak SD diidam-idamkan Sasuke, namun tidak lagi, saat dia harus menemani Hinata ke Yayasan Umino.
Butuh dua jam perjalanan untuk sampai ke sana dari Stasiun Kurobuna, stasiun khusus di Konoha City, dekat dengan perbatasan antara Konoha City dan Distrik Shitoku. Kereta di stasiun itu cuma satu kali berhenti, di Stasiun Inubuna.
"Kau masuk di waktu yang tepat," Itachi berkomentar ketika mobil melaju pelan, meninggalkan halaman. "Sebentar lagi akan dilakukan seleksi musim gugur di Inubuna untuk memilih pemain-pemain yang akan mewakili Inubuna dalam kejuaraan bisbol tingkat SMA se-Konoha."
"Aku tidak butuh hiburan, Itachi," balas Sasuke, pelan dan dingin.
"Paling tidak di dekat Inubuna ada Universitas Konoha, yang dikenal memiliki fakultas kedokteran terbaik di Jepang."
"ITACHI, BERHENTILAH MENCOBA!"
Mikoto tersentak, kaget karena teriakan Sasuke barusan, begitu keras, sampai dia berpikir itu suara paling keras yang bisa dikeluarkan Sasuke. Dia menengok ke belakang, memerhatikan wajah Sasuke yang tidak menunjukkan kegembiraan, tidak seperti yang dikatakan Fugaku. "Sasu-chan, kau kenapa?" tanyanya setengah berbisik.
"Bukan apa-apa."
Komentar-komentar ketus Sasuke yang biasa ditujukan untuk Naruto tak terdengar sejak pagi tadi. Naruto pun bilang ada yang aneh dengan Sasuke. Dia seperti terpaksa mengatakan bahwa dia ingin pindah. Suaminya bilang, sebenarnya Sasuke tak mau meninggalkan Hinata, hanya saja demi mendidik Hinata menjadi gadis mandiri dia harus jauh-jauh.
Bukan Sasuke sekali, Naruto berkomentar. Kalau memang begitu, seharusnya tidak mendadak begini. Naruto tak lama berada di rumah mereka, bahkan walau dia ingin ikut mengantar Sasuke, dia tidak bisa. Sore ini ada pertandingan futsal yang tak boleh dia tinggalkan.
Mikoto menjadi semakin risih berkat ujaran Naruto. Dia setuju ketika Fugaku bilang Hinata harus diajari mandiri, dan itu ide yang diusulkan Sasuke―yang tak begitu suka melihat sifat manja Hinata. Tetapi, kenapa mendadak?
Dia tidak akan mendapat jawaban. Wajah ketiga pria yang sedang bersamanya selalu datar, Uchiha. Sikap mereka yang seperti itu kadang membuat Mikoto merasa diasingkan. "Inilah kenapa aku butuh anak perempuan."
Protes tak langsung yang dilontarkan Mikoto itu membuat Sasuke mengepalkan kedua tangannya yang berada di masing-masing pahanya. Itachi, yang duduk di sebelah Sasuke, tentu dapat melihat reaksi itu.
"Semua akan baik-baik saja," Itachi berbisik menenangkan Sasuke.
To be continued …
Telat kan ya?
Aduh, maaf deh, saya sibuk.
