13 September 2006
Cat abu-abu gelap meluruh, lepas dengan cepat dari dinding lorong menuju Ruang Peradilan di Gedung C, SMA Inubuna. Genangan cat di lantai seakan berubah menjadi pasir hisap yang siap menelan Sasuke. Ruang Peradilan merupakan tempat terburuk di SMA Inubuna. Bagian terburuknya bukan dihakimi Kepala Sekolah, namun bertemu dengan Uchiha Fugaku.
Ketika pintu bercat coklat gelap Ruang Peradilan terbuka lebar, mata Sasuke langsung terpaku pada sosok Itachi, yang tersenyum lembut, seolah mengatakan, "Tenanglah, aku di sini." Kemudian dia melirik wajah garang ayahnya, dan segera menunduk, menyembunyikan wajahnya yang penuh dengan bekas perkelahian.
Kemarin sore, saat dia masuk ke kamarnya di asrama, Sabaku Gaara terkekeh, mengejek nasib Sasuke, mengatakan banyak hal menjengkelkan tentang keluarganya. Dia sama sekali tidak menyangka, lelaki berkepala merah itu merupakan teman sekamarnya bersama lelaki dari klan Inuzuka dan Nara. Menurut kabar yang dia dengar, Sabaku senior telah merencanakan pendidikan putra bungsunya sejak lama. Gaara dimasukkan ke sekolah itu walaupun dia tidak ingin.
Sasuke menyusun barang-barangnya ke dalam lemari tinggi dan besar dengan empat pintu. Mereka memiliki masing-masing satu pintu. Dia tetap diam sampai akhirnya Gaara berhenti setelah lelaki Inuzuka dan Nara berpamitan untuk mengikuti kegiatan klub, kemudian berbaring di ranjang dengan kasur berseprai putih.
Di kamar itu, sepertinya Sasuke yang paling sial, dia mendapatkan ranjang yang berhadapan langsung dengan jendela kamar. Kabar terburuknya, Gaara bakal tidur di ranjang sebelah. Sasuke mendecih. Dia menyingkirkan bantal dan selimut terlipat dari ranjangnya, kemudian menarik seprai, menggantinya dengan seprai biru tua yang dia bawa dari rumah. Hal itu juga dia lakukan pada bantal dan selimut.
"Manis sekali," Gaara berbisik saat Sasuke hampir selesai dengan kegiatannya, kemudian duduk bersila di ranjang, tepat menghadap Sasuke. "Takdir tahu betul apa yang kita butuhkan," katanya sedikit lebih keras. "Sebagai calon Kakak-Adik Ipar, kita membutuhkan kebersamaan ini." Gaara menganggap itu pernyataan damai yang tepat.
Sasuke yang hendak membungkuk untuk mengambil selimut, seprai dan sarung bantal putih yang tergeletak di lantai, kembali menegakkan tubuhnya, kemudian menatap Gaara dengan mantap. Apa yang baru saja diucapkan lelaki berambut merah itu, dia anggap sebagai pernyataan perang tersirat. "Aku di sini karena semalam ayahku memergokiku mencium bibir adik perempuanku," katanya tanpa ragu.
"KAU, APA?!" Gaara turun dari ranjang. Wajah senangnya berubah drastis. Dia naik ke ranjang Sasuke, kemudian menerjang rivalnya itu.
Perkelahian antar lelaki remaja berlangsung sore itu, bahkan sebelum Sasuke sempat membuka buku pertamanya di SMA Inubuna, ayahnya mendapatkan panggilan. Tidak heran bila Fugaku menatapnya garang.
Ruang Peradilan itu, tentu saja, dengan cara yang apik, ditata layaknya pengadilan sungguhan. Di tempat itu semua masalah diselesaikan, antara guru dan murid, murid dan murid, serta guru dan guru.
Sasuke memilih duduk di sebelah kakaknya, mencari perlindungan, meskipun seharusnya dia duduk di sebelah ayahnya. Di lain pihak Gaara cuma ditemani ayahnya.
"Uchiha-san, Sabaku-san, langsung ke pokok persoalan," Kepala Sekolah berkata dengan tegas. Pria itu tidak lebih tua dari wakil kedua pihak, tetapi dia tidak takut dengan siapa yang dihadapinya. Dia putra bungsu Sarutobi Hiruzen, seseorang yang dipercaya mengurus sekolah yang ditinggal Hyuuga. "Sekolah ini milik Hyuuga dan kalian tahu Hyuuga tidak tunduk pada siapa pun. Jadi, tolong dimengerti bahwa kekuasaan yang kalian miliki tidak berguna di sini. Kalau kalian pikir sekolah ini bisa dimanfaatkan untuk menampung putra kalian yang brutal, kalian salah. Sore itu, pertama dan terakhir mereka melakukannya di sini."
Persoalan itu telah usai kemarin malam. Siswa-siswa Inubuna yang mengenal mereka di bangku SD dan SMP, bersaksi bahwa mereka berdua adalah sepasang rival yang memang suka berkelahi, bahkan untuk masalah sepele. Kepala Sekolah memutuskan keduanya tidak boleh tinggal di kamar yang sama dan belajar di kelas yang sama. Karena keributan itu, Sasuke dan Gaara dijatuhi hukuman paling berat di sekolah, yaitu jaga malam, tentu di wilayah yang berbeda.
Orang tua mereka dipanggil untuk diingatkan, agar suatu hari nanti, saat putra mereka dikeluarkan, mereka tidak terkejut, dan juga menasihati putra mereka.
Chapter 11
Our December ©2016 Rosetta Halim
Naruto ©1997 Masashi Kishimoto
Based on Aelona Betsy's story January was My December (2013)
13 September 2006
Di restoran tradisional yang tak jauh dari SMA Inubuna, Fugaku dan kedua putranya berdiam diri. Setelah dia mendengarkan semua keluhan Kepala Sekolah, dia sempat berdiskusi dengan Sabaku Rei mengenai perkelahian itu. Semua orang tahu, putra bungsu Sabaku tertarik pada satu-satunya putri Uchiha. Dia, akhirnya mengerti di mana letak kebodohan Sasuke dan Gaara.
Udon yang dipesan Fugaku masih utuh sejak sampai di meja mereka. Sasuke duduk bersila di hadapannya tanpa bantal duduk. Tidak ada satu pun di antara mereka yang berselera ketika Sasuke mengatakan dia tidak ingin makan. Kedua pipinya yang bengkak memberikan alasan masuk akal yang jelas runtuh karena restoran itu menyediakan bubur. Namun, Fugaku memesan agar mereka punya tempat untuk bicara.
"Tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu," kata Fugaku, mengakhiri ketegangan di antara mereka bertiga. "Ibumu tidak akan memberikan alasan untuk mengajukan gugatan pembantalan adopsi."
Sasuke memandang ayahnya dalam-dalam. Di sana, jauh di dalam lubang hitam milik ayahnya, Sasuke menemukan sosoknya yang mungil, jauh di masa lalu, yang selalu mencari perhatian dari semua orang.
"Lupakan, Sasuke." Bisikan itu seolah meyakinkan Sasuke bahwa ayahnya saat ini berharap waktu bergerak mundur, agar mereka semua dapat memperbaiki yang telah terjadi. "Kau tidak perlu pulang ke rumah. Tetaplah di sini, sampai perasaanmu membaik."
"Kau bisa melakukannya," Itachi menyemangatinya. Kakaknya itu telah berulang kali menasihatinya, tetapi tak pernah dia ikuti. Dia harus membiarkan Hinata sendiri dan Itachi yakin dia mampu melewati masa sulit ini, yang seharusnya dia jalani sejak ….
Entah kenapa, daripada memikirkan itu, dia lebih suka merencanakan kematian palsu yang sempat terpikirkan dua bulan lalu. Sangat gila memang. Tetapi, tidak ada cara yang lebih masuk akal daripada membunuh Uchiha Sasuke dan menciptakan sosok baru yang tidak memiliki hubungan kakak-adik dengan wanita masa depannya.
"Aku akan mencobanya."
22 Desember 2006
Gigi Mikoto rasanya hampir copot. Biskuit buatan Hinata yang dia kunyah keras seperti es. Itu percobaan yang kedua puluh, mulai awal Desember. Putrinya sangat bersemangat tentang membuat biskuit untuk Sasuke dan memberikannya saat perayaan Natal atau beberapa hari sebelum itu, sekaligus menujukkan pada Sasuke betapa Hinata sangat hebat sekarang, Mikoto atau siapa pun tidak perlu khawatir lagi membiarkan Hinata pergi seorang diri, dia tahu harus apa saat tersesat.
Dia sempat berniat menggantinya dengan biskuit yang lebih layak tanpa sepengetahuan Hinata. Tetapi, dia pikir memamerkan sesuatu yang bukan usahamu lalu mengakuinya sebagai usahamu bukanlah cara yang baik dalam menjalani hidup. Sasuke juga pasti tidak menyukai Hinata yang seperti itu.
Mikoto tertawa kecil. Walau demikian, dia lebih menyukai biskuit Hinata daripada biskuit kalengan. Kau tahu kenapa? Karena Mikoto mengenal dan sangat mencintai si pembuat biskuit. Dia sangat yakin ini pasti akan menjadi biskuit terbaik yang pernah digigit Sasuke.
Mikoto memasangkan flat shoes ungu pucat dengan pita berwarna lavender ke kaki Hinata, yang mengenakan gaun terbaiknya, berwarna putih dengan bordiran bunga lavender di sekeliling ujungnya. Sementara gadis itu asyik mengoceh tentang pertama kali bertemu Sasuke dengan bando putih berpita lavender tersemat di kepalanya.
"Sasuke-nii tidak akan mengenaliku karena bando ini," katanya, terdengar semakin riang. "Kurasa aku sudah lebih cantik dari Sakura-nee, dan tidak cengeng. Dan pandai. Aku akan mengejutkannya."
"Tentu saja," balas Mikoto setelah selesai memasangkan sepatu. Kemudian dia mengambil ransel merah muda bergambar anime favorit Hinata, Momoko's Castle. Di dalamnya, ada baju hangat dan pakaian ganti, viatamin, catatan, ponsel dan tentu saja satu stoples biskuit buatan Hinata serta sebotol saus tomat kesukaan Sasuke. "Kau harus melakukannya seperti yang Kaa-chan bilang, oke?"
Hinata mengangguk patuh.
"Coba katakan apa itu!"
"Kepada satpam, aku bilang mau ketemu kepala asrama. Kepada kepala asrama, aku bilang mau ketemu Uchiha Sasuke. Aku harus menambahkan bukan Hinata yang mau ketemu, tetapi Uchiha Fugaku."
"Bagus."
Saat kepala asrama bilang Uchiha Fugaku ingin menemuinya, Sasuke pikir ayahnya cuma melarikan diri dari ibunya, seperti selalu.
Seminggu sekali, Mikoto biasa meminta suaminya pergi ke Inubuna untuk menjemput Sasuke yang dia pikir berlagak sibuk dengan latihan bisbol, sampai tiba libur musim dingin pun Sasuke enggan pulang. Dia tak tahan mendengar Hinata menanyakan kapan Sasuke pulang setiap hari. Padahal hanya butuh dua jam lebih untuk sampai di rumah.
Tak terhitung berapa kali Sasuke menerima telepon dari rumah. Dia akan berbicara jika itu ibunya, namun langsung menutup telepon saat dia mendengar, "Ha-halo, Nii-chan." Sapaan berikutnya terdengar lebih mantap, tak ada kegugupan. Beberapa kali Sasuke tak langsung menutup, mendengar suara manis gadis itu sambil menghindari tatapan nyalang wanita penerima telepon, yang tidak terlalu suka padanya karena sering mendapatkan telepon dari rumah.
Tamu yang mengunjunginya, bukan ayah, tetapi Si Gadis, yang segera tersenyum manis saat dia tiba di bawah beech tree yang dimaksud kepala asrama. Sasuke terdiam. Entah senang, entah sedih, dia tidak tahu rasa apa yang mengalir di darahnya, hingga terasa mendidih.
Hinata segera bangkit dari kursi taman, berlari-lari kecil. Kedua lengan mungilnya menempel erat di sekeliling pinggang Sasuke. Sama sekali tidak terganggu dengan bau keringat yang menguar dari tubuh berbalut seragam bisbol milik Sasuke.
Mata Sasuke bergerak ke sana ke mari, mencari-cari orang yang datang membawa bencana besar yang tengah mendekapnya itu.
"Datang dengan siapa?" tanya Sasuke, karena tak menemukan siapa pun.
Dengan semangat, Hinata melepas dekapannya, dia memandang Sasuke dengan mantap. Kebanggaan yang langka berkilau di kedua permata ungu pucat miliknya. "Datang sendiri," dia menjawab tanpa ragu. "Aku sudah pandai," tambahnya cepat-cepat.
"APA?!" Sasuke berteriak tak percaya. "Terkutuk mereka semua! Uchiha Brengsek! Bagaimana mungkin mereka membiarkan bencana ini datang ke sini tanpa siapa pun?"
Ucapan Sasuke sama sekali tidak dimengerti Hinata. Suhu tengah hari di awal musim dingin masih terasa sejuk. Belum ada bencana. Ah, Sasuke memang tipe yang sulit bersyukur.
Ketika Sasuke sedang mengatainya pembohong, Hinata menurunkan ransel dari punggungnya, meletakkannya di atas rumput taman, kemudian mengambil stoples biskuit spesial dan saus tomat.
"Untuk Nii-chan," Hinata berkata seraya menyodorkan biskuit itu pada Sasuke. "Aku membuatnya sendiri."
Tanpa aba-aba, hati Sasuke menghangat. Hinata tidak begitu pandai mengingat, tetapi jika itu tentangnya, entah bagaimana tak satu pun terlupakan. Sasuke benci biskuit, dia menyukainya jika dipadukan dengan saus tomat atau selai nanas. Hinata tahu. Ulang tahun siapa yang diingat Hinata dengan benar? Tidak satu pun, kecuali ulang tahunnya.
Kenapa bencana satu ini sangat merepotkan? Sasuke bertanya dalam hati. Dia memutuskan akan mencoba menyingkirkan persaan terlarang itu jauh-jauh. Namun, bencana itu kemudian datang, seolah bersorak-sorai mendudukung rencana pembunuhan Uchiha Sasuke, kemudian menciptakan identitas baru.
"KAU SIALAN!" Sasuke membentak dengan cara yang aneh. Keras, namun tidak terdengar marah, malah sebaliknya, bentakan itu bak teriakan bahagia.
Alih-alih melapor pada ayahnya, Sasuke membawa Hinata jalan-jalan ke pusat perbelanjaan Inubuna. Banyak orang asing yang dengan tepat menebak mereka sebagai pasangan kakak-adik, bukan kekasih.
Hati Sasuke panas mendengar ocehan-ocehan orang tidak dikenal tentang sepasang kakak-adik yang tampan dan cantik. Dia buru-buru menyeret Hinata ke depan sebuah butik, di mana dia bisa bercermin pada dinding kaca.
"Bukan seperti itu," gumam Sasuke sambil memerhatikan dirinya dan Hinata. Ini hanya persoalan waktu. Hinata yang belum tumbuh akan cocok menjadi adik siapa saja yang seusia dengannya. Mereka akan mengatakan itu walau Hinata jalan dengan Gaara atau Naruto. Saat dia menjadi gadis remaja, maka tidak ada lelaki yang cocok dengannya selain aku.
Tidak ada yang salah. Sasuke cuma menghibur dirinya sendiri dengan asumsi-asumsi itu.
"Nii-chan, shinamon rouru!" tiba-tiba Hinata berseru sambil menunjuk sebuah toko roti dan kue berjarak tiga toko dari tempat mereka.
Hebat. Hinata tahu di sana ada cinnamon roll, bahkan sebelum mereka masuk ke sana. Sasuke tersenyum singkat. Selain penciuman dan pendengarannya yang tajam, Hinata seakan punya perut ajaib, yang segera membakar habis makanan yang masuk ke sana. Sejak tengah hari tadi, dia sudah memakan semua yang populer di musim Natal, terutama ayam goreng dengan saus asam manis dan makanan manis. Sasuke sendiri, puas menguyah biskuit keras buatan Hinata dengan beberapa cangkir kopi panas untuk membantu biskut itu sedikit lebih lunak.
Pesan itu ditulis dengan huruf hiragana, waktu diterima pukul tujuh malam tadi, tepat ketika dia dan Hinata membeli cinnamon roll. Isi kepala Sasuke tentang keluarganya tidak pernah baik, karena cuma itu yang bisa membuatnya mendapatkan perhatian penuh dari Hinata. Ponsel mungil yang diberikan pada Hinata untuk berjaga-jaga dinonaktifkan Sasuke. Dia tidak mau apa pun yang dikatakan ayahnya lewat telepon berhasil memengaruhi Hinata, akibatnya minta cepat pulang.
Moko sakit. Ayahnya terlalu percaya kalau itu cukup membuat Hinata pulang.
Sasuke kembali menyalakan ponsel itu karena Hinata sekarang tertidur di atas ranjang hotel. Sasuke tidak mau mengajak adiknya itu menginap di asrama, walaupun sebenarnya diizinkan pada masa libur. Bisa-bisa Gaara mencari masalah setelah libur jika mendengar berita tak sedap itu.
"Kau di mana? Tou-san di asrama." Suara di ujung telepon milik ayahnya. Dia memang sengaja menelepon ayahnya untuk menyelesaikan masalah hari ini, dan sama sekali tidak terkejut karena fakta yang baru dia dengar.
"Aku ikut program akselerasi," kata Sasuke pelan. "Tahun depan tamat. Sekolah menyediakan beasiswa ke luar negeri untuk lima puluh lulusan terbaik setiap tahun, dan aku pasti mengambil salah satunya. Biarkan dia bersamaku sampai besok sore."
Sasuke langsung memutus sambungan dan kembali menonaktifkan ponsel mungil itu. Dia mengalihkan perhatian pada sosok mungil yang tengah lelap. Bando putih berpita lavender itu masih tersemat di sana. Hinata pikir itu sangat cantik, dan dia terlihat lebih cantik dari Sakura-nee, jadi enggan melepasnya. Penampilan Hinata, yang menurut Sasuke terlalu ramai, pada akhirnya tak cukup membuat Sasuke bosan memandanginya.
Setelah sore besok berakhir, Hinata akan pulang dengan kereta, dan Sasuke bersumpah itu akan menjadi Desember terakhir untuk mereka berdua. Berikutnya, kalau Hinata mengerti keinginannya dan menginginkan hal itu pula, Sasuke akan melakukan apa pun, agar setiap Desember yang datang akan mereka miliki, termasuk rencana pembunuhan Uchiha Sasuke.
YA. JIKA HINATA MENGINGINKAN APA YANG DIA INGINKAN
10 April 2007
Oto no Paresu atau Oto Palace, pusat suara di Jepang, surga untuk pemusik dari berbagai genre. Di sanalah puncak kompetisi Oto Music Academy diadakan. Hinata akan tampil sebagai penutup.
Panggung yang luas di depan sana, dan piano yang indah itu, di mata Mikoto, cuma disiapkan untuk Hinata seorang. "Panggung itu milik putriku!" seru Mikoto bangga.
Seorang ibu muda, yang duduk di dekat mereka, berdeham beberapa kali. Mikoto tak ambil pusing. Saat putriku main nanti, kau akan kehilangan suaramu, Mikoto menyumpahi wanita itu di dalam hati.
Lambat laun, kursi penonton pun penuh. Ada satu kursi kosong di sekitar keluarga Uchiha, untuk Sasuke. Katanya mau datang, tetapi Itachi dan Fugaku yakin anak itu tidak akan datang, kalaupun datang pasti tidak menunjukkan wajah. Itulah kenapa keduanya celingukan, mencari Sasuke.
"Kalau ramai begini, bakal susah menemukan wajah kesal adik laki-lakiku," bisik Itachi, kemudian mendesah kecewa.
"Di sana," Fugaku berbisik pada Itachi, "di pojok paling kanan dan paling atas."
"Semoga dia bisa bertahan," kata Itachi seraya mengamati wajah adik laki-lakinya, yang cenderung tanpa ekspresi. Sasuke sesekali memaksa dirinya tersenyum kepada gadis remaja yang datang bersamanya.
Guren tercengang. Percaya atau tidak, seorang gadis kecil―bersama wanita dewasa yang duduk di sana―cuma sekadar menemani―sedang memainkan komposisi berjudul Snow Dance. Pertama dan terakhir dia mendengarnya dari keturunan Hyuuga paling jenius sepanjang sejarah, Hyuuga Neji.
Malam itu, awal Desember 1997, dia datang untuk menjenguk Hyuuga Hikari, yang mengalami kecelakaan pada September. Dia sempat kesulitan masuk ke komplek Hyuuga saat itu. Namun, dengan statusnya sebagai sahabat sekaligus rival Hikari di dunia musik klasik, Guren mendapatkan izin berkunjung.
Dentingan piano di aula pesta keluarga Hyuuga terdengar sangat lembut, seakan menyambut kedatangannya. Hikari berbaring di sofa empuk di dekat piano, sedang putra sulungnya serius bermain piano.
Suara yang lembut itu, kau bisa merasakan salju berjatuhan di musim dingin. Begitu tenang untuk permulaan. Namun, tiga menit kemudian, Guren merasa tubuhnya dihempas ke dalam pusaran badai salju di puncak musim dingin. Dia bahkan gemetaran.
Usai badai dahsyat itu, alunan piano, yang terdengar, perlahan kembali melembut. Bila awalnya lembut dan dingin, kali ini lembut dan hangat. Salju yang menari sebelum mendarat ke permukaan itu seakan berubah menjadi sakura musim semi. Tetapi, itu hanya salju yang memancarkan sinar merah muda yang melambangkan kehangatan.
Guren bertepuk tangan dengan meriah saat Neji selesai memainkan musiknya. Memang tak satu pun hal di dunia ini yang tidak bisa dilakukan oleh Si Hyuuga paling jenius sepanjang sejarah.
"Tidak sopan!" Neji berteriak marah waktu itu. "Kau tidak boleh ikut mendengar. Aku cuma bermain untuk adikku."
Itu yang Guren ingat. Jadi, tidak mungkin komposisi yang dibuat hanya untuk adik Neji yang belum lahir waktu itu sampai ke panggung Oto Palace. Kapan dan di mana anak itu mempelajarinya? Kalau memang kebetulan dia sendiri yang membuatnya, maka dia benar-benar berbakat.
Tadi mereka menyebut Uchiha. Ah, mungkinkah ….
Kudengar kau sangat pandai mengajarkan not balok.
Putriku tidak bisa membaca not balok.
Dia juga kesulitan belajar.
Tetapi, kalau mendengar permainan pianonya, kau pasti menyukainya.
"Maaf, aku sudah terlalu sibuk." Jawaban singkat yang dia berikan pada Uchiha Fugaku, yang datang secara langsung untuk memintanya menjadi guru bagi putrinya.
Sial!
Guren berdiri dari kursinya, kemudian mencari-cari jalan ke bagian depan. Deraian tepuk tangan mengiringi langkahnya. Ketika anak itu kembali ke bangku penonton bersama wanita yang dia duga ibunya dan pemuda berambut panjang yang membawa kamera, Guren terburu-buru mengikuti.
Senyum puas mengembang di wajah Guren. Lelaki Uchiha yang mendatanginya pada September lalu, kini tengah mengusap kepala gadis kecil yang mengganggumkan itu sambil berkata, "Kerja bagus." Guren melebarkan langkahnya.
"Uchiha-san," katanya.
"Kau?!" Fugaku tak menyangka orang itu akan menemuinya secepat ini. "Kupikir kau akan datang besok atau lusa."
"Aku tidak suka menunda."
"Bagus kalau begitu. Kau beruntung, kami belum mempekerjakan seorang guru."
"Kalau sudah pun, aku akan menyingkirkan guru itu."
"Apa yang kalian bicarakan?!" tanya Mikoto geram, kesal karena tidak dianggap. Sedari tadi dia mencoba menyalip percakapan mereka, tetapi tak digubris.
Kosong!
Rumah dalam keadaan sama seperti mereka meninggalkannya pagi tadi. Tanda kedatangan seseorang pun tidak ada. Itachi bilang … kakaknya bilang Sasuke pasti ada di rumah, menyiapkan kejutan, sebagai hadiah karena Hinata kini menjadi anak yang kuat. Dia tidak menangis selama Sasuke tidak bersamanya. Tak setetes pun air mata jatuh dari matanya. Itachi bilang Sasuke tidak mau pulang karena dia benci anak cengeng. Tetapi kenyataannya … kenapa sulit sekali mengerti keinginan Sasuke. Sebenarnya dia mau apa?
Kamar mandi, tempat terakhir yang dia harap sedang menyembunyikan Sasuke, tak memiliki apa pun untuk menghiburnya. Bak mandi di balik tirai krem yang baru disingkapkan melempar rasa sakit yang kemudian jatuh di jantungnya serupa bom. Air mata yang ia tahan selama setengah tahun perlahan membikin sungai dadakan di kedua pipi gembilnya.
Kalau kau sudah tahu artinya, datanglah padaku.
Otaknya tidak sanggup memikirkan apa pun. Lebih sakit lagi saat Sasuke bilang dia tidak boleh bertanya pada siapa pun, dan … dan … Sasuke bilang mereka tidak akan bertemu sampai Hinata memahami apa yang berlangsung pagi itu.
Kata-kata Sasuke, kata-kata Itachi, mereka semua berkata-kata, tetapi tidak melakukan apa pun. Hinata cuma ingin bertemu Sasuke. Kenapa tidak ada satu pun yang peduli tentang itu?
Hinata keluar dari kamar mandi dengan wajah tertunduk dan air mata yang masih menetes. Dia melewati ruang keluarga saat ayah dan ibunya terlibat dalam percakapan. Ketika dia akan menarik rok Mikoto, Fugaku berkata, "Dia ke London."
"Bagaimana bisa?" Mikoto bertanya dengan penuh tuntutan.
"Aku juga baru tahu."
"Apa sebenarnya yang dipikirkannya? Dia bersikap seolah tak punya kelu―" dugaan yang tiba-tiba melintas di benak Mikoto, membuatnya menatap Fugaku curiga. "Kalian bertengkar lagi?" tanyanya.
"Tentu saja tidak," jawab Fugaku mantap. Sulit sekali berpura-pura di depan orang yang paling mengenalnya. Fugaku mesti melakukan ini dengan benar, kalau perlu mulai besok dia harus ikut kelas sandiwara.
"Kau menyembunyikan sesuatu?" Kata-kata itu hampir terdengar seperti sebuah tuduhan tanpa ragu, bukan pertanyaan. Sudah lama Mikoto mencium bau ketidakberesan. Sejak mendengar teriakan Sasuke yang terdengar putus asa. Kini dia yakin, dia satu-satunya orang pintar yang bodoh di rumah itu. Apalagi, akhir Desember tahun lalu, Fugaku sempat terlihat marah saat tahu dia mengirim Hinata ke Inubuna.
"Tidak." Fugaku bertahan walau tengah terpojok.
"KATAKAN PADAKU APA YANG KAUSEMBUNYIKAN, UCHIHA FUGAKU!"
Pertengkaran sepasang suami-istri pun tidak dapat dihindari.
Hinata tidak mendengar apa pun lagi karena Itachi menariknya dari sana, kemudian membawanya naik ke atas. Mereka berdua berdiam di kamar hingga malam tiba.
11 April 2007
Kemarin malam, Mikoto kesulitan tidur, tak membantu walau dia pindah ke kamar Hinata. Dia tidak terima perlakuan Fugaku yang seolah kehilangan rasa percaya terhadap istrinya sendiri. Entah kenapa, para lelaki itu tidak memberi info apa pun. Sasuke sudah lama mengambil program akselerasi dan berencana mengambil beasiswa ke London, namun dia tidak tahu. Mereka mulai meremehkan posisinya sebagai seorang istri dan ibu.
Walau Fugaku tampak telah mengatakan semuanya, namun masih ada yang mengganjal. Mikoto merasa ada sesuatu yang masih disembunyikan oleh suami dan kedua putranya. Mereka jelas tidak normal.
Mikoto akan menyelidikinya nanti.
Dia keluar dari kamar setelah merapikan tempat tidur Hinata, berpikir gadis kecilnya sudah turun ke bawah, berlari-lari ke kamar mandi lantaran kebelet buang air kecil. Tetapi, keningnya mengerut kala mendapati anjing peliharaan mereka tergesa-gesa jalan di tempat sambil menggoyang-goyangkan ekor dengan girang. Anjing itu terbiasa menunggu Sasuke atau Hinata di depan tangga, tepat pukul enam setiap pagi, jadwal bangun tidur Hinata.
Mikoto terburu-buru kembali ke kamar Hinata, memeriksa perlengkapan bepergian yang biasa dibawa Hinata, dan benar saja dugaannya.
Aku pergi ke tempat Sasuke-nii.
Cuma secarik kertas berisi sebaris kalimat yang dia temukan, ditulis dengan huruf Hiragana dan Katakana untuk nama Sasuke (tidak, Hinata tidak paham Katakana, dia sekadar tahu begitu menulis nama Sasuke).
Mikoto jatuh terduduk di depan lemari nakas. Hatinya perih. Hinata sangat menyayangi Sasuke sampai dia berusaha keras menghafalkan cara menulis nama Sasuke dan sekarang pergi menyusul Sasuke yang dia pikir ada di asrama.
"Hinata-chan Sayang, bagaimana kaa-chan harus mengatakannya? Sasuke sudah terbang ke London, dan itu tempat yang jauh dari sini." Mikoto meremas pesan Hinata sambil memijat kepalanya yang terasa semakin berat. Kemudian dia memaksa matanya yang bengkak terbuka lebih lebar lagi dan bergegas menyusul Hinata.
Gaara khawatir ini akan sama seperti tahun 2004 lalu. Sasuke yang telah merencanakan kepergiannya, terasa seperti bahaya. Pemuda itu pasti menyembunyikan seribu satu maksud untuk menyingkirkan penghalang di jalan menuju takdir yang diinginkannya, dan dia telah menebak salah satunya.
Matanya menatap tajam Sasuke yang barjalan sembari menyeret koper. Untuk menanti pemuda itu Gaara sengaja menunggu di ujung lorong, tepat di sebelah pintu kamarnya. Mereka perlu berbicara.
"Aku harap kau tidak bermain-main dengan kematian, Kakak Ipar," Gaara berkata tegas, memberi penekanan pada panggilannya untuk Sasuke, agar pemuda itu ingat di mana posisinya.
Sasuke tak serius menanggapi keberadaan maupun perkataan Gaara. Pemuda merah itu, baginya, bukan lagi rival yang patut diperhitungkan, tetapi satu dari ratusan pengganggu kecil, tidak ada apa-apanya. "Selama itu kematianku, bukan urusanmu atau siapa pun," balas Sasuke datar, kemudian berbelok ke kanan, memasuki lobi asrama putra.
"Itu tidak akan berhasil!" Gaara berbalik, lalu berjalan sedikit ke mulut lorong, dia berteriak saat langkah kaki Sasuke tak mampu lagi dia dengar, telah berbaur bersama langkah kaki orang yang sibuk mondar-mandir di lobi. "Aku akan membongkar kedokmu."
Sasuke mendecih mendengar omong kosong itu. Siapa pula Uchiha Sasuke di dalam permata hijaunya yang membosankan? Pemuda itu benar-benar tidak mengenal Sasuke. Dia menggeleng tak percaya.
Paha Sasuke terasa geli berkat ponsel barunya yang bergetar. Dia merogoh saku celana panjangnya sambil memerhatikan beberapa keluarga yang duduk di lobi, menunggu putra mereka untuk dibawa pulang.
Sebelum Sasuke sempat menyapa dengan gumaman ambigu favoritnya, Fugaku menyerangnya dengan pertanyaan, "Kau masih di sana?"
"Hn." Dia bergumam tepat ketika gadis berusia sembilan tahun―mengingatkannya pada penggemar terbesar topi tidur―berkata tentang melihat lambang kebesaran Hyuuga di seluruh toko di pusat perbelanjaan Inubuna. Gadis itu menuntut dibawa ke sana saat abangnya datang nanti.
"Hinata menyusulmu."
Sasuke menutup rapat matanya, lalu memutus sambungan telepon. Dia menyeret kopernya terburu-buru. Semoga taksi yang menunggu di pelataran asrama dapat dia capai sebelum bencana itu menemuinya.
Sial!
Kaki-kaki kecil itu berlari, membawa si pemilik ke arahnya. Sasuke menggeram kala suara lembut Hinata berkata, "Nii-chan!" Kedua lengan mungilnya terjulur, segera mengurung pinggang Sasuke dalam dekapan erat. "Aku datang!"
Bukan. Sasuke tak memikirkan apa-apa, kecuali menyangkal apa yang dibisikkan suara-suara di sekelilingnya. "Adiknya datang menjemput, manis sekali."
"Aku mendapatkan tepuk tangan kemarin. Meriah sekali. Aku bawa kamera." Hinata tergesa-gesa menurunkan ransel Momoko-nya, kemudian mengeluarkan kamera milik Itachi dari sana "Itachi-nii memotretku. Tou-chan bilang aku sangat bagus. Nii-chan ju―"
"Kau sudah tahu jawabannya?"
Wajah Hinata tertunduk. Dia masukkan kembali kamera itu ke dalam ranselnya, lalu sambil menggeleng dia bergumam, "Belum."
Sasuke mendesah. Ini memang belum waktunya Hinata paham hal semacam itu. Dia sengaja membiarkannya mengambang dan menunggu Hinata cukup dewasa untuk mengerti. "Kalau begitu kau harus pulang dan cari jawabannya," katanya, pelan.
"Ajari aku! Beri tahu aku! Aku tidak akan pulang sebelum aku tahu."
"Kau harus menemukan jawabannya … sendiri."
Hinata tampak berpikir. Dia bergumam sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. "Kalau aku dapat, Nii-chan bersamaku selamanya. Janji?"
Sasuke mengiyakannya, agar ini cepat selesai. Kemudian Hinata memintanya bersumpah dengan menautkan kelingking mereka berdua. Sasuke menurutinya, semua yang diminta Hinata, termasuk meneleponnya atau mengirimi surat, seperti Nenek Kaguya yang sering berkirim surat dengan orang tua Toneri, jalan-jalan bersama di sepuluh hari terakhir bulan Desember. Dia berjanji walau yakin akan sulit menepatinya.
Hinata pasti belum tahu dia akan segera angkat kaki dari asrama, dari Konoha, dari Jepang dan dari Asia. Anak itu jelas tidak bisa bersikap kritis dan bertanya tentang koper yang dia bawa.
Terserah. Biar saja nanti ibunya yang menjelaskan. Yang penting, Sasuke harus jauh-jauh dari bencana itu dan menunggunya mengerti hubungan pria dan wanita.
"Satu lagi! Jangan dengar siapa pun yang mengajarimu berbohong."
To be continued …
Sebulan lebih juga, ya baru muncul chapter ini. Mohon dimaklumi, saya kebanyakan baca buku, ga enak dipotong-potong (tahu ga enak, tapi tega buat orang yang baca fic ini terpotong-potong. Hahahaha. Maaf, ya, semua).
Makin ke sini kok makin ga terkendali, ya ceritanya. Masih enak kan? Soalnya sudah terlalu beda dengan cerita aslinya.
