11 September 2013

Saat Tsunade mengirimnya ke Cina untuk belajar ilmu pengobatan tradisional, Sakura begitu bersemangat. Dia pikir dia bisa bertemu dengan Huang Jun. Apa mau dikata? Pria itu terbang ke Jerman sebelum pesawat yang ditumpangi Sakura mendarat. Sialnya, Jun melakukan perjalanan ke berbagai negara di Eropa sana, paling tidak selama setahun, sementara dia berada di Cina enam bulan saja.

Apa yang dikerjakan pria itu masih samar baginya. Jadi, dia cuma berpikir Jun sedang liburan atau mencari-cari orang yang bisa menyembuhkan kebutaan yang menimpa dirinya. Jun memang tampak keras kepala, tidak gampang menyerah walau puluhan dokter telah meyakinkannya bahwa dia buta permanen.

Ah, seharusnya dia menjadi dokter mata saja. Kalau dia yang mengatakan mungkin Jun percaya.

"Sudah?" Sakura berkata ketika matanya yang sedari tadi menatap pintu masuk toilet mendapati Hinata yang tersenyum lega.

Hinata mengangguk, dan itu alasan yang pantas untuk menghentikan pikirannya tentang Jun. "Nee-chan, kita nonton film horor yang lagi populer itu, ya."

Sakura seorang dokter penyakit dalam dan dia diberi izin oleh Mikoto mengajak Hinata jalan-jalan hari ini dan menginap di rumahnya karena profesinya itu. Film horor sangat buruk untuk Hinata. Dia tahu cerita tentang Hinata yang pernah nyaris mati karena ketakutan.

"Ayolah, Sayang. Nee-chan tidak suka itu, mengerikan. Kita lihat Anjing Putih dan Kucing Hitam saja. Sejak di Cina, Nee-chan ingin sekali menontonnya. Bukankah anjing putihnya manis, kita harus melihatnya."

"Nee-chan penakut," sesal Hinata.


Chapter 12

Our December ©2016 Rosetta Halim

Naruto ©1997 Masashi Kishimoto

Based on Aelona Betsy's story January was My December (2013)


11 September 2013

Hari ini aku berkencan dengan Hinata.

Jun tak pernah meminta agar perempuan itu selalu mengabarinya. Dia tidak bertingkah layaknya lelaki posesif atau overprotektif, bukan pula pencemburu. Walaupun jauh di dalam hatinya dia ingin memiliki perempuan itu untuk dirinya sendiri, tetapi dia tidak bisa bersikap kekanak-kanakan.

Perempuan itu bertindak atas kemauannya sendiri. Setiap ada hal yang penting dia pasti mengirimkan pesan suara. Saat terbangun dari tidur, seperti saat ini, suara perempuan itu sering menjadi suara pertama yang dia dengarkan.

Seseorang di sini bilang dia menyukaiku. Kau tak perlu cemas, aku sudah menolaknya.

Hubungan mereka bukan sepasang kekasih, tetapi Sakura memperlakukannya selayak kekasih. Seolah Sakura mengenalnya dengan baik. Mungkin memang begitu atau memang begitulah adanya.

Karena semua alasan itu, kapan pun dan di mana pun Jun berada, bila ada perempuan yang berusaha menarik perhatiannya, dia akan mengatakan, "Aku sudah punya kekasih dan tak berniat memiliki selingkuhan," dengan tegas.

Kenapa menurutmu ada perempuan yang berusaha menarik perhatian pria buta? Salah satunya pastilah kebohongan. Dalam kasus Jun, buta adalah kebohongan dan kenyataanya adalah terlalu banyak perempuan yang mendambakan kemewahan. Huang Jun satu dari sedikit pria muda yang dipandang para perempuan sebagai wujud dari kemewahan sejati. Jika Jun memiliki kekurangan, cuma satu, kenyataan bahwa pria itu sangat sulit didekati, bahkan untuk sekadar bermain-main.

Aku terlalu sering berbicara tentang Hinata padamu dan sebaliknya. Tetapi, kalian tidak pernah mengobrol. Bagaimana kalau hari ini kalian saling berbicara? Hinata sangat antusias tentang itu. Katakan kapan kau ada waktu?

Pesan suara lain masuk lagi. Jun bangkit dari tempat tidur sambil berpikir. Ini masih pukul sepuluh pagi waktu setempat. Dia baru tidur tiga jam setelah menyelesaikan urusan yang sangat mendesak dan masih kelelahan. Waktu Berlin tujuh jam lebih lambat daripada Konoha.

"Oke, baiklah. Kurasa tiga jam lagi bisa," Jun bergumam sambil mengetik pesan singkat di ponselnya. "Ah, hampir saja."

20:00 waktu Konoha.

Yamato mengetikkan itu untukku.


"Jadi, kapan aku bisa ke London?"

Hinata hari ini nyaris sama dengan Hinata enam tahun lalu. Yang berubah darinya cuma kemampuan bermain pianonya yang meningkat drastis. Pertanyaan yang baru saja diajukan entah sudah berapa kali dia jawab. Gadis itu terus bertanya karena lupa pada jawabannya, tak lupa sambil memandangi penampakan London di selembar foto yang dirawat dengan baik.

Sedikit banyak, Sakura mengerti dengan masalah apa dia terlibat. Mikoto tidak bisa menjelaskan keadaan Hinata yang sebenarnya karena gadis itu pasti tidak akan mengerti, jadi dia pun harus berbohong setiap kali Hinata bertanya. Lagipula, dia seorang dokter, apa yang dilakukan Mikoto dialah orang yang paling mengerti.

Yang tidak dia mengerti, Itachi memintanya tidak bilang pada Sasuke, sedang Sasuke setiap saat meneleponnya, meminta berita terbaru mengenai Hinata. Dan yang paling membingungkan, Hinata selalu bertanya padanya tentang apa pun yang berkaitan dengan Sasuke.

Pada akhirnya, Sakura memilih percaya pada Itachi. Ada sesuatu di antara keluarga Uchiha yang tidak bisa dijelaskan secara gamblang kepada orang luar seperti dirinya. Ya, dia tetap saja orang luar walaupun dia menganggap Hinata adik perempuannya. Paling tidak dia akan menguasai Hinata setiap hari rabu, hari yang dia pilih menggantikan hari minggu. Hubungan yang dekat itu, tidak berarti dia tahu segalanya tentang gadis itu.

"Saat kau lulus SMA."

"Kenapa harus begitu?"

Sakura mendengus. Berapa lama lagi aku harus berbohong? "Kau butuh paspor untuk ke luar negeri, dan pemerintah tidak bisa mengeluarkan paspor untuk para pelajar." Semoga saja dia tidak kenal remaja seusianya yang punya cerita perjalanan ke luar negeri.

"Nee-chan," Hinata membisikkan namanya sambil mengeluarkan sesuatu dari kantung piama satinnya. "Untuk apa mereka melakukan itu?" Hinata menunjuk gambar poster kusut yang lipatannya baru saja terbuka. Gambar sepasang kekasih yang berciuman di sana membuat wajahnya bersemu merah. Poster film yang populer beberapa bulan lalu.

"Kau menonton film itu?"

Hinata mengangguk polos. "Di rumah Toni-kun."

Si Brengsek itu! Sakura tak bisa menahan diri, dia mengepalkan kedua tangannya sambil menggeram. "Dia bilang apa saja?"

"Entahlah. Aku tidak ingat banyak. Cuma dia memintaku mengatakan apa pun yang kulihat."

Sepertinya dia memang tidak kenal menyerah. Awas saja kau nanti! "Jadi, kenapa kau ingin tahu?"

Tidak, tidak. Hinata tidak bisa bilang pada Sakura apa yang dia pikirkan.

"Apa … seseorang melakukan itu padamu?" desak Sakura, semakin curiga.

Iya. Sasuke-nii melakukannya padaku dan dia memintaku mencari tahu maknanya. Sebanyak apa pun aku berpikir aku tidak mengerti. Aku butuh bantuan. Kalau tidak … kalau tidak, Sasuke-nii tidak mau bertemu denganku.

"Ti-tidak. Aku cuma ingin tahu. Soalnya … soalnya, aku sering lihat Kaa-chan dan Tou-chan melakukan itu."

Bagaimana ini? Kalau sudah begini Sakura tak bisa mengatakan apa-apa.

"Itu sesuatu yang …" kedua pipi Sakura kembali memerah, terlihat sangat jelas di bawah lampu neon yang menempel di langit-langi kamarnya. "… harus kau tanyakan pada ibumu. Ini hampir jam delapan, kau harus bersiap, sebentar lagi Jun akan menelepon."

"Eh! Iyakah?" mendadak Hinata panik sendiri, dia terburu-buru turun dari ranjang Sakura, merapikan piamanya, kemudian rambut. Berbicara dengan orang yang baru dia kenal, selalu saja sulit bagi Hinata. "Apa yang harus kukatakan, ya?" tanyanya cemas.

Kekehan Sakura pun lolos begitu saja. "Berbicara lewat telepon, Hinata-chan, dan dia sama seperti Toni-kun."


Hubungan antara Huang Jun dan Haruno Sakura tidak akan pernah berkembang ke arah pernikahan bila saja keluarga Hyuuga masih ada. Calon istri Jun sejak lama sudah ditentukan oleh para Tetua Hyuuga. Namun, Jun boleh merasakan sesuatu yang mereka sebut "kesenangan masa muda." Dia boleh berpacaran dengan siapa saja asal tidak meninggalkan "jejak."

Saat Jun melihat pemakaman para Hyuuga, bahkan kakek yang menyayanginya dan kesuraman yang menguar di seluruh negeri, Jun melihat setitik cahaya yang membimbingnya pada masa depan hubungannya dengan perempuan yang bukan Hyuuga. Dia merasa berdosa karena bersyukur, tersenyum di antara ratusan tetes air mata. Dia jahat, benar-benar jahat.

"Aku menantikan hari itu," Jun berbisik pada Yamato, seseorang yang selalu melihat ketololannya saat berurusan dengan cinta. Bukan karena dia ingin begitu, ayahnya memerintahkan Yamato mengawasinya sepanjang waktu. Sekarang pun begitu, dia sudah mencoba melarikan diri ke atap hotel tempatnya menginap, agar bisa bicara bebas dengan calon adik iparnya (dia pun harus menganggap Hinata itu adiknya karena Sakura sangat menyayanginya). Namun, si Yamato, sopir pribadi sekaligus pengawal yang setia itu, menemukannya dengan mudah.

"Kapan pun kalian kembali ke muka publik, Sakura-san tidak akan ke mana-mana. Tuan benar-benar sudah mengikat hatinya. Walaupun itu jelas masih misteri."

"Misteri?"

"Maksudku, Sakura-san tidak tertarik sedikit pun pada Hyuuga Neji yang tampan, jenius dan kaya raya. Tetapi, saat Huang Jun yang buta dan tampak butuh perlindungan muncul di depannya, dia malah jatuh cinta setengah mati. Bukankah itu bisa disebut misteri?"

"Dia jatuh cinta pada keduanya," jawab Jun mantap. "Karena selain nama, tak ada yang berubah dariku."

"Itu hal yang bisa dipastikan beberapa bulan lagi." Yamato mengakhiri pembicaraan dengan satu kalimat yang memiliki makna dalam yang cuma bisa diselami oleh Hyuuga yang tersisa. "Sudah waktunya menelepon. Ayo turun! Berada di sini terlalu lama hanya mempermudah penembak jitu membidik kepala Anda."

"Yamato, kau ada di sini, itu cukup. Ayahku memberimu tugas ini karena dia tahu kau melihat lebih baik dari siapa pun."

"Baiklah, Yang Mulia, bicaralah selama yang kaumau, aku akan di sini menjagamu," ujar Yamato bercanda, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum geli. Apanya yang tidak berubah? Kau berubah, Neji-sama. Setidaknya, di mataku kau berubah.

Jun merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel kecil yang batrainya terisi penuh, untuk obrolan lama. Pria itu menekan tombol satu dan menahannya; perintah panggilan cepat. Kemudian ponsel itu akan menempel di telinganya untuk waktu yang lama.

"Ha-halo, Jun-nii-san, ini Hinata."

Angin di puncak hotel memang cukup kencang. Tetapi, kenapa saat mendengar suara itu, anginnya terasa lebih tenang dan hangat, seperti angin musim semi di halaman belakang mansion Hyuuga. Bersamanya aroma lembut dan dingin white lilac hadir menghasilkan suasana yang paling disukai pria itu.

Jun tidak memiliki penjelasan tentang ini. Seorang jenius tidak mengerti bagaimana itu mungkin hanya karena suara gadis yang hampir berusia enam belas tahun. Untuk sesaat jantungnya berdetak lebih cepat.

"Nii-Nii-san, kau mendengarku?"

"Ini hangat," Jun berbisik sambil memegangi dadanya.

"Jun, Huang Jun, kau baik-baik saja?!" Sakura di seberang sana berseru-seru dengan cemas.

Ah, dia hampir tidak bisa kembali kepada yang nyata. "Maaf. Aku tadi mendengar sesuatu yang aneh di kejauhan."

"Kau membuatku takut. Kau baik-baik saja, 'kan?"

"Hn. Terlalu baik."

"Kalau begitu, bicaralah dengan Hinata-ku."

Kedua orang itu saling berbicara untuk pertama kalinya. Balasan gugup dari gadis kecil dan pria dewasa bermulut pedas yang mendadak berbicara dengan nada lembut dan manis. Yamato yang berada di sana sampai terheran-heran dibuatnya. Namun, tak lama kemudian, segalanya menjadi tak menguntungkan untuk si pria.

"Jun-nii-san, apa … apa aku boleh melihat wajahmu?"

Jun tahu betul kalau itu bukan permintaan Hinata. Perempuan satunya pasti sedang mengambil keuntungan dari situasi ini. Sembilan tahun saling berbicara, Sakura tak pernah meminta foto ataupun panggilan video, padahal itu bukan perkara besar. Sakura benar-benar berusaha keras menjaga perasaannya, walaupun seharusnya tidak perlu.

"Maaf, ya, Hinata, Nii-san sendiri di taman. Yamato pergi mengurus beberapa masalah." Jawaban Jun yang tenang dianggap lucu oleh Yamato karena dia di sana, tetapi ditiadakan.

"Kau bisa meminta seseorang me―"

Benar, 'kan? Sakura langsung menyambar percakapan mereka setelah Jun menolak. "Sakura, ponsel yang kupakai tidak punya kamera."

Kali ini Tuan Muda-nya tidak berbohong, namun tidak jujur juga. Sebagai seorang investor paling berjaya di abad dua puluh satu tidak mungkin Jun tidak memiliki ponsel canggih. Yamato cekikikan sambil melihat cetakan ponsel yang terlihat di bagian luar saku celana Jun. Kau benar-benar penuh dosa, Hyuuga Neji-sama.


12 September 2013

Dua hari lalu Gamaken mati, hari ini Gamabunta yunior menyusul. Sepertinya besok Naruto harus pergi ke Myouboku untuk mencari teman Gamakichi yang menatap sedih jasad Gamabunta.

"Kenapa usia katak tidak bisa sepanjang usia anjing Sasuke yang nakal itu?" Naruto bertanya-tanya seraya mengeluarkan jasad Gamabunta dari kotak kaca yang sangat besar, lebih besar dari aquarium ikan hias ibunya.

"Belilah katak yang cantik dan nikahkan dengan Moko, lalu akan terlahir katak yang usianya sepanjang anjing."

Naruto tertawa, terbahak-bahak. Ibunya memang paling tahu cara menghiburnya. "Ular juga punya usia yang panjang. Aku akan mencari ular betina untuk dinikahkan dengan Gamakichi."

"Pamanmu sedang menunggu di telepon," kata Kushina. "Biar Kaa-chan yang menguburkannya." Dengan cepat Kushina mengambil jasad Gamabunta.

"Hah?" Naruto mendesah, lalu mengacah-acak surai pirangnya dengan jengkel. Dia meminta kembali jasad katak yang baru saja pindah ke tangan Kushina. "Katakan aku sedang melayat."

"Tapi, Kaa-chan sudah telanjur bilang kau di rumah."

Naruto mendesah kasar, merelakan penguburan Gamabunta pada ibunya, lalu pergi ke ruang keluarga. Dia mengempaskan tubuhnya ke atas sofa, menyandarkan punggung dengan malas, kemudian mengambil gagang telepon yang diletakkan terbalik di atas meja kecil di sebelah sofa.

"Apa?" kata Naruto kasar.

"Aku punya kejutan!" Paman Uzumaki berseru girang di seberang sana. "Kau tahu, bi"

"Paman, kau tidak usah mengatakan itu kejutan." Naruto memotong dengan jengkel. "Aku tahu apa yang kaumaksud kejutan itu. Bibi sudah melahirkan dan anaknya laki-laki, dan kau akan bilang 'berbahagialah Naruto-chan, akhirnya kau punya sepupu laki-laki' Paman, aku sungguh senang bila kau senang. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku. Aku sayang padamu. Jaa!" Naruto berbicara dengan kecepatan yang luar biasa, hingga mungkin lebih cepat daripada kereta cepat.

"Tunggu!" terdengar Paman Uzumaki berteriak di seberang sana. Naruto segera kembali menempelkan telepon tadi ke telinganya dan mendengarkan ocehan pamannya. "Aku tahu, sekarang kau sudah pintar. Tapi, bukan hanya itu yang ingin kukatakan. Naruto, sebenarnya, Paman ingin kau ke sini. Tidakkah kau merindukan paman dan bibimu, Mina, dan juga, tidakkah kau ingin melihat sepupumu yang baru lahir? Paman dan bibi belum punya nama yang cocok untuknya, kami sepakat kau yang harus memberinya nama. Datanglah kemari, Naruto."

"Paman, aku berkunjung ke Cina sekitar tiga bulan yang lalu. Waktu itu kau memintaku melihat sepupuku yang belum lahir dan berdoa supaya dia lahir sebagai laki-laki. Apakah Paman belum tahu bahwa Bibi dan aku sudah tahu kalau sepupuku itu akan lahir sebagai laki-laki? Kami sudah periksa ke rumah sakit, Paman. Aku membohongimu. Paman sendiri yang tidak mau tahu sebelum dia lahir, kata Paman biar jadi kejutan.

"Lain halnya dengan Bibi yang secara diam-diam melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan untuk mengetahui jenis kelamin bayinya. Paman, kau tidak pernah mengejutkanku, malah Paman yang sepertinya selalu terkejut. Tahun ini aku tidak mau ke Cina. Aku akan ke sana musim semi tahun depan. Dan masalah nama, aku akan memilihkan nama yang bagus. Nanti kalau sudah kutemukan, aku akan menelepon Paman. Jaa!" Naruto langsung menutup teleponnya tanpa memberikan kesempatan pada pamannya untuk bicara.


"Lain halnya dengan Bibi yang secara diam-diam melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan untuk mengetahui jenis kelamin bayinya. Paman, kau tidak pernah mengejutkanku, malah Paman yang sepertinya selalu terkejut. Tahun ini aku tidak mau ke Cina. Aku akan ke sana musim semi tahun depan. Dan masalah nama, aku akan memilihkan nama yang bagus. Nanti kalau sudah kutemukan, aku akan menelepon Paman. Jaa!"

"Naruto!" Uzumaki Nagato benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Naruto. Apalagi dengan apa yang barusan Naruto katakan. Periksa ke rumah sakit? Bibi juga tahu? Jadi selama ini berapa harga dirinya di mata mereka berdua? Dia harus menanyakan ini pada istrinya.

"Uzumaki Mei?!" Ini pertama kalinya Nagato memanggil istrinya dengan menyertakan nama keluarga mereka. Artinya sedang ada hal yang mengganjal di hatinya. Dulu sewaktu pacaran pun seperti itu. Bedanya hanya terletak di marganya saja, dulu Nagato memanggilnya "Huang Mei." Nagato harus bertanya soal pemeriksaan yang dilakukan istrinya itu.

"I-iya, suamiku?" kata Mei yang duduk bersantai bersama anak bungsu dalam gendongannya dan anak sulung yang sibuk memerhatikan adik barunya. Ibu muda itu terdengar agak ketakutan.

Nagato meninggalkan meja telepon, lalu menghampiri istrinya. "Katakan padaku apa ma―"

"Selamat pagi, Paman!"

Mei mendesah lega, merasa terselamatkan dari hewan buas.

"Ada perubahan jadwal?" tanya Nagato, sedikit tajam, akibat dari mood-nya yang buruk.

"Ti-tidak ada, Pa-paman," jawab tamu yang kedatangannya menginterupsi pertengkaran suami-istri itu. Dia gadis tanggung berseragam sekolah yang tinggal di komplek yang sama dengan keluarga Uzumaki. "Aku hanya ingin mengantarkan ini," gadis itu berkata sambil mengangkat tas plastik yang dia tenteng. "Kemarin ibu membelikan beberapa pasang baju untuk adik kecil."

Ibu gadis itu adalah wanita yang sangat dihormati oleh Nagato. Mendengarnya disebut-sebut, mood Nagato segera membaik. Dia mengambil tas plastik itu sambil tersenyum, kemudian mengacak rambut cokelat gelap si tamu, dan berkata, "Terima kasih, Sayang."

Si tamu mengangguk. Merasa situasi sudah lebih baik, dia pun bertanya, "Paman, apa si kecil sudah diberi nama?"

Tampang Nagato malah kembali seperti semula. "Kau tahu Naruto, kan? Dia bersikeras memberikan nama untuk si kecil."

"Oh." Si Gadis tidak ingin menanggapi lebih lanjut lagi. Mood pria itu sedang buruk. "Aku pergi sekolah dulu, ya, Paman, Bibi." Dia beralih kepada Mei untuk sesaat, melihat perempuan itu menggeleng-geleng, seolah memohon padanya agar tidak kabur sendiri. "Sepulang sekolah nanti aku singgah."


Pasangan suami-istri Uzumaki tak henti merasa takjub. Bayi laki-laki mereka berada dalam gendongan seorang tetangga yang tidak biasa. Wanita itu Huang Lin. Rambut panjang sewarna langit malam yang diikat rendah membuatnya tampak seperti ratu dari masa lalu. Kedua matanya yang pucat tersenyum bersama tawa lembut yang tak mungkin bisa ditiru siapa pun.

Bayi mereka menggerak-gerakkan kedua tangan girang, menggapai-gapai wajah anggun si wanita. Uzumaki Mina, kakak si kecil, berdiri di sofa, di sebelah wanita itu duduk, memandangi wajah adiknya yang bergembira.

"Persis seperti Nagato-kun." Wanita itu berkata pelan, menatap Nagato sekilas.

"Tentu saja, aku ayahnya." Nagato membalas dengan bangga.

"Kami harus memiliki satu lagi, dan harus mirip denganku," kata Mei menuntut.

"Nagato, ini waktunya." Huang Ho, suami Lin, yang ikut berkunjung memotong pembicaraan ringan dan hangat itu. Jika istri mememiliki aura yang hangat dan lembut, aura yang membungkus tubuh jangkung si suami dingin dan penuh intimidasi. Wajahnya seakan tidak ditakdirkan untuk tersenyum.

Nagato mengangguk, kemudian pergi dari ruang keluarga. Dia memimpin Ho menuju ruang kerjanya yang sederhana dengan sebuah rak buku, meja, kursi dan sofa yang terletak di salah satu sisi ruangan. Nagato mempersilakan Ho duduk di sofa, menunggu dokumen-dokumen yang harus dia serahkan.

Dari laci meja Nagato mengambil sekeping CD dan dokumen yang tersimpan dalam map cokelat. "Bulan ini lebih lancar dari bulan yang lalu," katanya sambil berjalan ke sofa, kemudian duduk bersebelahan dengan Ho. "Akan semakin sulit menangani kekayaan sebanyak itu dari persembunyian."

"Hn. Aku akan segera menanganinya secara langsung."

"Kuharap tidak ada yang mati karena serangan jantung."


To be Continued


Hai (nyengir dulu)

Sebenernya ini sudah lama selesai, tapi saya pengen lanjut lebih panjang lagi sebelum publis. Alih-alih makin panjang, malah stuck sampe di sini. Jadi, untuk sekarang biar ini saja dulu kalian baca. Selanjutnya akan saya pikirkan bagaimana. Yang penting saya masih memikirkan cerita ini dan kalian. Saya benar-benar masih pengen ngelanjutin cerita ini, cuma kemarin ada hal penting yang harus saya capai. Hal itu sudah tercapai, jadi sekarang sudah bisa membagi-bagi perhatian.

Mohon maaf dan terimakasih.

Sampai jumpa lagi