22 Desember 2013
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Sasuke masih belum menyelesaikan pekerjaannya, padahal hampir setiap malam dia terjaga. Proyek yang dia tangani kali ini benar-benar besar, menguras waktu dan energi. Dia tak bisa menyerahkannya kepada orang lain. Bagaimanapun dia sudah memulai, maka dia juga yang harus mengakhiri.
Proyek itu sebetulnya proyek tahunan yang bisa ditunda sepanjang pengerjaannya selesai tidak lewat dari tanggal jatuh tempo. Meski demikian Sasuke harus menyelesaikannya dalam waktu sesingkat mungkin, paling tidak untuk saat ini proposal harus sudah selesai. Karena dia ingin pulang ke Jepang sebelum Tahun Baru dan mengambil dua bulan libur.
Dengan sisa kekuatan yang Sasuke miliki, dia menekan pinggir meja kerjanya, hingga kursi yang ia duduki saat ini mundur. Gesekan kaki kursi dan lantai bahkan tak mampu lagi ia dengar. Seluruh inderanya ingin istirahat. Dia berdiri, mecondongkan badannya ke depan, melihat kalender yang tergantung di dinding. Kalender masih menunjukkan bulan November, Sasuke mengambilnya, membuka lembar berikutnya. Lantaran terlalu sibuk dia bahkan lupa sekarang tanggal berapa, hari apa, dia hanya ingat sekarang ini bulan Desember.
Lingkaran di sekitar matanya semakin hitam, kelopak matanya seperti mau menutup, tetapi Sasuke memaksanya tetap terbuka. Bibir yang biasa merah, lembut, kini berubah pucat, kasar, karena belakangan dia kurang memerhatikan asupan gizi. Dia lebih sering makan mi instan, atau kalau sempat dia membuat sandwich isi telur.
Kalender yang tidak begitu berguna dia lipat lalu menyelipkannya di rak buku. Kesadaran Sasuke lantas terusik oleh keberadaan deretan buku medis. Dia pernah begitu ingin menjadi dokter, tak begitu tahu dokter apa, cuma tahu ingin jadi dokter untuk menjaga Hinata tetap sehat. Lima semester di fakultas kedokteran, dia beralih ke bisnis. Waktu itu dia pikir dia harus melepaskan segala sesuatu yang mengghubungkannya pada Hinata. Mungkin itu persoalan asmara yang segera hilang ditelan jarak.
Perasaan tak pernah sederhana. Walau tahun-tahun berlalu, meski satu ikatan itu diabaikan dan membuat yang baru, tak ada perubahan. Umur Sasuke bergerak maju, tubuhnya berkembang, namun perasaannya masih di tempat yang sama, dalam genggaman bocah idiot yang tidak tahu apa yang dia genggam.
"Aku akan tetap pulang," dia berkata seakan pulang adalah hal paling menakutkan selama tahun-tahun terakhir ini.
Ponsel Sasuke tergeletak di atas ranjang, dia hendak melihat kalender di ponsel. Tak tahunya, baterai ponsel habis. Dia mendesah lelah, lalu mengambil charger. Dia baru sadar kamarnya berantakan, bantal dan selimut tergeletak di lantai, tiga cangkir kopinya berjejer di dekat rak buku. Pecahan stoples dan uang receh menemani cangkir-cangkir kopinya, dia ingat satu atau dua hari yang lalu dia tak sengaja menjatuhkan stoples—tempat Sasuke mengumpulkan uang receh—yang diletakkan di rak buku. Waktu itu dia hendak mengambil buku yang ia perlukan untuk menyusun proposal.
Setelah dia menyambungkan ponselnya dengan listrik, dia membersihkan kamarnya. Proposalnya hampir selesai, jadi tidak ada salahnya berbenah. Dia juga berencana membeli makanan sehat di restoran Asia yang letaknya lumayan jauh dari sini. Setidaknya dia pergi ke tempat itu seminggu sekali, menikmati masakan Jepang. Cukup memuaskan rasa rindu pada masakan ibunya.
Biasanya Sasuke cuma butuh sejam untuk beres-beres apartment-nya. Namun, sekarang dia baru selesai setelah tiga jam. Dia juga menyikat kamar mandi, setelah itu baru membersihkan tubuhnya. Bau badannya tidak tercium, karena sekarang sudah masuk musim dingin. Sasuke menebak-nebak tanggal berapa kiranya sekarang. Dia belum menyalakan ponsel meski baterainya telah penuh.
"Mungkin 20," gumam Sasuke.
Chapter 13
Our December ©2016 Rosetta Halim
Naruto ©1997 Masashi Kishimoto
Based on Aelona Betsy's story January was My December (2013)
Keadaan kota London saat ini sedikit bersalju, ini baru awal musim dingin. Sasuke telah melihat ponselnya ketika dia masuk taksi tadi. Rupanya sekarang tanggal 22 Desember, pantas saja, di sepanjang jalan toko-toko ramai. Masyarakat London pasti sedang memilih-milih hadiah Natal untuk orang tersayang.
Hampir dua minggu Sasuke tak keluar dari rumah, untuk keperluan makan pun dia menitipkan daftar belanjaan pada tetangga. Beruntung sekali dia tak tinggal lagi dengan Naruto, kalau tidak pasti dia diceramahi tentang segala sesuatu yang tak benar seolah Naruto memiliki hidup paling teroganisir.
Sasuke menatap keluar jendela sambil memikirkan bosnya. Mereka berhubungan lewat telepon. Bosnya bilang: "Kalau kau mau pulang, tak apa-apa. Kita baru memerlukan proposal itu bulan Maret tahun depan. Tak perlu memaksakan diri." Dia hampir saja memesan tiket ke Jepang dua minggu yang lalu. Tetapi, mengingat bulan Maret, dia jadi ingin menyelesaikan proposal itu cepat-cepat, menunda kepulangan, agar dia bisa tinggal di Jepang selama dua bulan ketika dia pulang nanti.
Ada sedikit rasa cemas yang bercokol dalam hati, yang membuatnya tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah sejak dia sampai di London. Jika dia kembali dan akhirnya Hinata memahaminya, namun tak menginginkannya seperti dia menginginkan Hinata, apa yang harus dia lakukan? Sementara dia tahu betul dia tidak akan pernah kembali lagi menjadi Sasuke kecil, sebelum Ibunya membawa Hinata pulang dan memperkenalkannya sebagai anak bungsu Uchiha. Tapi, kalau dia tidak pulang, Hinata yang akan menghampirinya, dan itu lebih buruk. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Dulu sekali ketika Hinata dikirim ke Inubuna, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencium bocah itu.
Taksi berhenti—secara bersamaan menghentikan pikiran Sasuke—di depan restoran Asia. Sasuke memberikan kartu kredit pada sopir. Dia tersenyum saat si sopir mengembalikan kartu kreditnya. Dia menatap restoran penuh nafsu, melupakan beban yang baru mampir di hati, lidahnya ingin segera mencecap makanan Jepang. Dengan langkah lebar akhirnya dia mencapai pintu masuk. Langsung menuju tempatnya biasa duduk. Di sudut, dekat dengan bunga sakura buatan.
Sasuke terkejut ketika melihat seorang pria menduduki tempatnya. Jantungnya berdegup kencang, "Impossible," ujarnya, dia bahkan merasakan getaran dalam suaranya. Dalam satu langkah lebar Sasuke kini berdiri di depan pria yang sedang menyuapkan onigiri ke mulut. "Neji, 'kan?" tanya Sasuke, takut-takut. Pria itu mendongak, menghentikan kunyahan, menatap Sasuke dalam-dalam.
Pria berambut cokelat gelap panjang, terpaku ketika dia tahu namanya disebutkan oleh orang yang tak terduga. "Uchiha?" katanya. Sasuke menarik kursi di depan Neji, duduk, kemudian menatap Neji lekat-lekat. Neji menyelesaikan kunyahannya yang terhenti dan menghabiskan semua makanan yang dia pesan.
"Kau datang ke sini bukan untuk melihatku makan, 'kan?" cetus Neji tak suka. Dia kemudian memanggilkan pelayan untuk Sasuke. "Aku traktir."
Ingin rasanya Neji memecah kepala Sasuke, bayangkan saja, Sasuke memesan banyak sekali. "Shusi, takoyaki, tonkatsu, okonomiyaki, cap cai, dan kimchi." Neji lega ketika Sasuke berhenti, namun saat pelayan hendak pergi, "Oh, ya, aku mau masing-masing menu porsinya yang super jumbo," tambah Sasuke. Neji syok. "Beberapa bulan ini aku tak makan." Sasuke terkikik.
"Bagaimana kabar Konoha?" tanya Neji, mengembalikan keseriusan di tengah-tengah mereka berdua.
"Seharusnya aku yang bertanya, bagaimana rasanya jadi orang mati?" kata Sasuke, dengan nada mengejek. Neji terbahak-bahak menanggapinya. "Bilang saja kau mau tahu kabar Sakura. Jujur saja aku sudah tinggal di sini sejak 2007. Kau sendiri di sini ada urusan apa?"
"Bisnis," jawabnya, singkat. Dia enggan menanggapi soal Sakura.
Sesaat mereka berdua membicarakan tentang bisnis. Sasuke memberitahukan Neji tentang proyek yang sedang dia kerjakan. Dia mengundang Neji untuk berinvestasi, dan bilang bahwa proposalnya hampir selesai. Kebetulan sekali Neji memang seorang investor yang tak memiliki catatan gagal investasi.
Pembicaraan mereka dipotong oleh kedatangan makanan Sasuke. Kini giliran Neji melihat Sasuke makan. Meja dipenuhi oleh makanan, Neji benar-benar heran, Sasuke sanggup menghabiskan semua makanan itu. Ketika hanya wadah makanan yang tinggal di atas meja, Neji benar-benar percaya bahwa Sasuke tak makan berbulan-bulan.
"Bagaimana kabar Sakura?" kata Neji akhirnya, penasaran apakah Sasuke masih berpotensi menjadi pesaing. "Apa kau berpacaran dengannya?"
"Bahkan dalam sepuluh kehidupan aku tak akan bersamanya." Sasuke kemudian menceritakan apa yang ingin diketahui Neji.
Enam belas tahun lalu entah untuk alasan apa Neji pindah sekolah. Sasuke dengar dia ikut home schooling. Dia sebenarnya tidak terlalu peduli, karena Neji selalu melayangkan tatapan membunuh padanya. Neji tak pernah mau main dengan yang lainnya kalau ada Sasuke. Ketika Neji menghilang, Sakura terlihat mencari-cari seseorang, Sasuke tahu betul itu Neji.
Sebulan setelah itu, Neji muncul, namun hanya sekali-sekali saja. Sikapnya berubah jadi dingin pada Sakura, tak lagi melontarkan ajakan-ajakan apa pun, padahal Sakura sangat ingin Neji mengajaknya ke festival kembang api. Sasuke menyadari hal itu.
Setelah Desember tahun itu berakhir, Neji bahkan tak pernah terlihat lagi. Sakura waktu itu sempat datang ke mansion Hyuuga, tapi dirinya diusir. Gadis itu sering datang walau tak pernah mendapat izin masuk. Pernah sekali Sasuke memergoki Sakura memanjat tombok tinggi untuk menyusup ke mansion. Dulu Sasuke hanya penasaran, Sakura tiba-tiba tidak mengejar-ngejarnya, jadi dia mengikuti Sakura.
Beberapa tahun kemudian, kebakaran terjadi di mansion Hyuuga, menewaskan seluruh Hyuuga, menurut berita. Bukan hanya itu, beberapa pabrik milik Hyuuga serta Hyuuga Hospital ikut terbakar di hari yang sama. Sakura menjadi amat murung, yang biasanya berisik, selalu meneriakkan nama Sasuke, dalam sehari sanggup tak mengeluarkan suara.
"Tak lama setelah itu dia kembali berperan sebagai gadis yang menggilaiku," ucap Sasuke, tidak mengatakan bahwa dia berteman baik dengan Sakura sebelum ke London dan sampai sekarang cukup sering bertukar kabar via telepon. Dia juga menyembunyikan fakta bahwa Sakura suka berbicara di telepon dan kelihatan jatuh cinta setengah mati dengan orang di seberang telepon. "Jadi, kemana kau selama ini?"
"Aku dan keluargaku kecelakaan. Aku mengalami amnesia ringan, baru pulih akhir November. Keluargaku membayar banyak orang untuk berjaga di mansion setelah kecelakaan itu, karena memang ada yang ingin menghabisi kami. Oleh sebab itulah, tak ada seorang pun yang diizinkan masuk ke mansion.
"Pada awal Februari tahun berikutnya, aku dan keluarga kecilku pindah ke Cina. Barulah empat tahun kemudian kebakaran itu terjadi. Kami bahkan tak menghadiri upacara pemakaman seluruh Hyuuga, kembali ke Jepang hanya untuk melihat secara sembunyi-sembunyi. Kalau kami muncul, pasti kami dibunuh juga. Ayahku meminta paman Nagato—pamannya Naruto, kau pasti tahu—untuk menyebarkan berita kematian kami. Cara itu terbukti berhasil mengelabui si pembunuh."
Sasuke bertopang dagu, menyimak cerita Neji. Dia kasihan pada Neji, menjadi orang kaya memang sulit, banyak saingan. "Jadi, apa Hyuuga terlibat pada kematian setiap anggota klan Fuuma?" tanyanya.
"Jawabannya tepat seperti yang kau pikirkan." Sasuke bergidik ngeri. Neji dapat melihat kengerian di wajah Sasuke. Entah siapa yang hendak disalahkan di sini, Sasuke tidak dekat dengan Neji, dan memang tidak ada yang ingin didekati Neji semasa kecil dulu, kecuali Sakura. Pantas saja Sasuke tak tahu kalau kebanyakan Hyuuga itu diam-diam menyeramkan.
Sasuke melirik ransel Neji dari kolong meja, besar dan terlihat penuh. "Kau sudah memesan kamar?" tanyanya.
"Dari sini aku langsung ke hotel terdekat."
"Di apartemenku ada kamar kosong, bekas Naruto. Kita bisa melanjutkan cerita di sana." Sasuke berujar, agak ragu. Karena ini pertama kalinya dia berbicara panjang lebar dengan Neji. Semasa sekolah dulu, cuma sedikit, itu pun untuk urusan tugas kelompok. "Dan kau bisa melihat proposalku yang hampir selesai."
Tawaran itu nyaris langsung ditolak, namun tanpa peringatan Gadis Uchiha, yang dianggap Sakura adik sendiri, melintas di benak Neji. Entah bagaimana, hatinya bergemuruh setiap kali mendengar suara gadis itu, bahkan sekalipun mereka tak saling bicara suaranya teringiang di telinga.
"Setuju." Neji akhirnya menyetujui tawaran Si Uchiha dengan maksud yang sama sekali berbeda dari kesepakatan. Dia tahu gadis itu diadopsi oleh keluarga Sasuke dan begitu ingin tahu asal usulnya, terutama orang yang memberi nama Hinata, bahkan sekalipun si gadis tak ingin tahu keluarga kandungnya, dia akan mencari jawabannya walau harus pergi ke belahan lain bumi ini, walau harus mengakrabkan diri dengan Uchiha.
Selama beberapa jam, Sasuke dan Neji membahas mengenai proposal. Neji memberikan masukan di beberapa bagian, Sasuke langsung memperbaikinya. Neji menjelaskan apa-apa saja yang membuat investor tertarik menanamkan modal mereka, selain keuntungan. Sampai tengah malam tiba Neji malah terjaga untuk membantu Sasuke menyelesaikan proposalnya.
Mata mereka berdua terkunci di laptop Sasuke. Di layar terlihat skema perencanaan proyek. Neji menyunting skema itu sambil menjelaskan, dia menekan minimize, hendak membuka layanan internet. Dia melotot ketika dia melihat desktop background Sasuke. Gadis dalam foto itu bak ibunya versi remaja. Ada sepuluh foto, Sasuke menjadikannya satu. "Mustahil!" seru Neji.
"Ada apa?" tanya Sasuke, dia bingung melihat Neji yang tiba-tiba berhenti dan terlihat kaget.
"Siapa?"
Sasuke masih bingung, dia melihat ke layar dan mengerti seketika. "Ah, foto itu?"
"Dia adik angkatmu?"
Pada titik ini Sasuke tidak mengerti itu pertanyaan atau pernyataan dan dia tak ingin mengerti. "Aku tidak ingin membahasnya. Bisa kita teruskan?"
Neji mengerutkan kening, menatap Sasuke sambil memproses setiap hal yang terekam dalam ingatannya, dari percakapannya dengan Sakura dan Sasuke, dan yang paling penting dengan Hinata.
"Tidak," balas Neji akhirnya, "Aku tidak akan bisa melanjutkan apa pun saat tahu adikku masih hidup."
Sasuke menatap Neji tak percaya. "Tunggu!" serunya, lalu menatap layar dan Neji secara bergantian. Dia mengobrak-abrik informasi yang tersisa di kepalanya tentang Hyuuga. "Aku tidak mengerti. Hanya karena dia mirip dengan ibumu, bukan berarti dia adikmu, 'kan?"
Tentu saja dia tak akan percaya semudah itu, pikir Neji. Tak ada orang tahu tentang duka mereka yang satu itu. Orang cuma tahu mereka semua mati dalam tragedi kebakaran. "Ceritanya cukup panjang, tapi aku yakin aku tidak salah mengenali adikku," Neji akhirnya berkata.
Untuk sesaat Sasuke berpikir. Memang, Si Idiot itu makin usianya bertambah makin mirip dengan Hyuuga Hikari. Banyak orang yang mengatakan hal serupa. Tapi berpikir dia salah satu Hyuuga? Tidak. Meyakinkan orang lain dia anggota Uchiha saja susah sekali, apalagi Hyuuga. Yang dibaas ini Hyuuga? Kecerdasan pelayan mereka bahkan setara dengan Uchiha kalangan menengah atas.
"Kalau memang benar, apa yang akan kau lakukan?"
Ketika malam makin larut, Hinata pun makin larut dalam pikiran tak menentu dengan mata terbuka lebar mengarah ke langit-langit kamar. Sejak hari dia bertanya pada Sakura, dia terus memikirkan kemungkinan mendapat jawaban dari ibunya. Sering kali dia nyaris menanyakan hal yang seharusnya dia cari tahu sendiri pada ibunya.
Tidur tak teratur dan kerinduan yang nyaris meledak ditambah kondisi tubuh yang sejak dulu tidak sehat, akhirnya membuat Hinata lebih sering masuk rumah sakit. Ibunya sering memberi peringatan tentang mengenali kebutuhan tubuh dan kesehatan mental. Tapi, dia tidak bisa berhenti memikirkannya, tidak sampai dia bertemu Sasuke, bukan cuma mengobrol lewat telepon, lalu diputus setiap kali dia mengatakan dia belum mengerti atau mendapat balasan singkat dari surel panjang yang dia kirim pada Sasuke.
Sudah nyaris tujuh tahun sejak terakhir kali dia melihat Sasuke. Kalau lebih lama lagi, dia mungkin akan segera mati, bukan karena sakit, tapi karena kebodohan. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya.
Hinata bangkit dari tempat tidur, berlari secepat mungkin ke kamar ayah dan ibunya, kemudian terburu-buru mengetuk pintu. Dia mungkin segera berubah pikiran. "Kaa-chan!"
Jika bertanya pada Ibunya berarti dia mengkhianati Sasuke. Dia akan dibenci. "Kaa-chan!"
Aku tidak peduli. Hinata telah memutuskan dia tidak akan berubah pikiran kali ini. Dibenci sekalipun tidak masalah. Itu tidak lebih menyusahkan daripada tidak bisa bertemu sampai mati. "Kaa-chan!"
Begitu pintu terbuka, Hinata segera menarik lengan Mikoto, menjauh dari kamar sambil mengabaikan tanya cemas Mikoto, sampai akhirnya keduanya berada di dapur yang gelap. Alih-alih menyalakan lampu, Hinata segera melontarkan, "Saat bibir Kaa-chan dan Tou-chan saling menempel, apa artinya itu?"
Mikoto mengambil langkah mundur, tak menyangka akhirnya Hinata mananyakan hal itu. Apa akhirnya Hinata jatuh cinta? Kalau dia tidak salah ingat sejak Sasuke pindah ke Inubuna, Hinata mulai menepis sentuhan orang yang bukan keluarga. Saat dia tanya, "Nii-chan melarang," begitu jawabnya. Tapi, sekarang Hinata yang selalu menghindari setuhan dari orang lain itu, bertanya tentang ciuman.
Baiklah, Mikoto! Kau akan segera tahu. Lakukanlah dengan perlahan, atau dia akan menutup diri.
"Itu artinya Kaa-chan dan Tou-chan saling mencintai. Kau tahu cinta?" Mikoto berhenti sejenak, berpikir bagaimana membuat penjelasan ringkas, namun tidak akan disalahpahami. "Itu terjadi saat kau ingin hidup berdua dengan orang itu sampai mati."
Lantaran gelap, Mikoto tak dapat melihat reaksi Hinata. Ingin rasanya segera bertanya tentang lelaki yang mencuri hati putrinya. Pasti ada, 'kan? Kalau tidak Hinata tidak akan mengajukan pertanyaan itu. Kalau Hinata cuma ingin tahu, seharusnya dia sudah bertanya sejak lama, karena dia dan suaminya cukup sering berciuman di depan anak-anak.
Jika bibir saling menempel adalah tanda saling mencintai, maka, ya, dia dan Sasuke dapat disebut saling mencintai. Apakah itu cukup? Ingin hidup berdua sampai mati? Hinata menginginkan itu dengan Sasuke. Tidak perlu dipikirkan lama-lama. Jika dia harus hidup berdua saja, maka dia ingin yang satunya Sasuke. Itu cinta? Dia cinta Sasuke. Bagaimana jika Sasuke tidak ingin hidup berdua dengannya?
"Bagaimana kalau cuma aku yang ingin hidup berdua?"
Mikoto mulai tak sabar. Daripada menjawab, dia malah bertanya balik, "Jadi, Sayang, sebenarnya dengan bibir siapa bibirmu menempel?" Sama sekali tak merasakan bencana yang akan datang bersama jawaban dari pertanyaannya.
"Sa ... suke-nii," Hinata berbisik.
Walaupun cuma bisikan, Mikoto yakin dia tak salah mendengarnya. Tapi, dia tak ingin mempercayainya. Tak pernah sekalipun dia bermimpi bahwa bisikan kecil itu akan meruntuhkan dunianya, segera menghajar kewarasannya. Dia jatuh terduduk, kemudian membungkam mulut dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain memegangi paha Hinata.
Kapan? Inubuna? Karena itu dia melarikan diri ke London? Tidak pulang selama nyaris tujuh tahun? Tidak. Apa itu sejak dia mulai memusuhi semua orang?
Apa aku melakukan kesalahan? Hinata tak mengerti apa yang membuat ibunya seperti itu. Satu-satunya orang yang dia curangi adalah Sasuke. Dia mengkhianati janji yang dia buat dengan Sasuke. Lalu kenapa Ibunya seakan tak sanggup bernapas? Tidak ada tanggapan meskipun dia mengatakan, "Jangan bilang-bilang Nii-chan, ya, Kaa-chan," berulang kali.
"SESEORANG, TOLONG KATAKAN! SEJAK KAPAN AKU KEHILANGAN PUTRAKU?"
23 Desember 2013
Di sisi ranjang rumah sakit, Mikoto termenung. Saking banyaknya hal yang menyita pikirannya, dia tak tahu lagi mesti memikirkan apa. Teriakan putus asa, yang meluncur begitu saja malam tadi, memengaruhi kesehatan Hinata sampai ke tahap kritis. Gadis itu tak sadarkan diri hingga detik ini.
Makan, minum, bahkan bernapas, Mikoto seakan menganggap semua itu tak penting. Suaminya masih menanti di sana, menanti amarah Mikoto.
Rasa kehilangan itu persis seperti kehilangan bayinya dulu. Saat seorang anak mulai menutup diri, walau saling berbicara, saling bertemu bahkan saling memeluk, saat itu orang tua telah kehilangan dia. Mikoto nyaris merasakannya sebelum Sasuke pindah ke Inubuna dan sebelum pindah ke London. Namun, Sasuke selalu berhasil meyakinkan Mikoto, bahwa dia tidak kehilangan apa pun. Sasuke menelepon, mengirimi hadiah, mengatakan bahwa dia ingin mengelilingi dunia dan menunjukkan kedewasaan yang kian bertambah, namun gaya bicaranya yang ketus sama sekali tak berubah.
"Apa aku sungguh kehilangan putraku?"
Fugaku yang duduk di seberang Mikoto segera menghampirinya sambil berkata, "Tidak, tidak, tentu tidak." Dia memeluk Mikoto yang tak bergerak sedikit pun. "Kau tidak akan kehilangan siapa pun, putra atau putri. Jika memang begitu, aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkan mereka kembali."
"Berhentilah membual, Fugaku." Mikoto melepas paksa kedua lengan Fugaku yang mendekap tubuhnya, kemudian berdiri dan melayangkan tatapan galak. "Kau! Kaulah orang yang memaksa Sasuke pindah tanpa bertanya padaku. Kau tidak membicarakan apa yang kau lihat padaku. Jika saja kau mengatakannya–"
"Apa?! Kita mengenalkan Hinata sebagai putri kita pada semua orang. Kau ingin setelah semua itu kita mengenalkannya sebagai calon istri Sasuke?"
"Aku tidak peduli! Rasa malu, dosa, kebencian, penghinaan, apa pun. Aku bisa menerima apa pun, tapi aku tidak terima anak-anakku terluka. Apa kau tidak mengerti? Apa sebenarnya kau mencemaskan reputasimu?"
"Aku hanya tidak ingin kau kehilangan seorang putri. Kau ingat? Dulu sebelum putri kita meninggal, kau bilang suatu saat aku harus menyeleksi calon suaminya dan harus kupastikan pria itu lebih hebat daripada aku. Kupikir kau pasti sangat ingin melihatku melotot pada pria asing yang mencoba mengajak putri kita berkencan. Saat dia menikah, aku akan mengiringi langkahnya ke altar."
Tatapan Mikoto kian melembut. Kenangan manis mereka selagi membicarakan pertumbuhan putri mereka sampai ke pernikahan. Kemudian kebahagiaan yang mereka nanti lenyap seketika. Bertahun-tahun mencari hingga akhirnya mereka bertemu dengan Hinata. Kebahagiaan yang membuncah saat itu, bukan hanya milik Mikoto, suaminya pun ikut merasakan. Dia ingat setiap kali Fugaku berseru, "Itu putriku!"dengan bangga. Mendapati kedua anaknya seperti itu, tentu sebagai ayah Fugaku pun terluka.
"Lupakan! Kita tidak akan sengsara jika semua yang ingin kita lakukan tidak bisa kita lakukan, tapi mereka berdua, jika terus dibiarkan begini–" Mikoto terisak, tak mampu lagi menahan sesak di dada. Nyaris tujuh tahun, mereka berdua terombang-ambing dalam perasaan yang tidak memiliki masa depan, setidaknya Sasuke menganggap demikian, sedang Hinata justru menyimpan luka karena ketidaktahuan.
Fugaku mendekap Mikoto yang tak henti terisak, mengelus punggung wanita itu, lalu menatap Hinata yang masih bergeming. Sasuke menginginkan Hinata, dia tahu itu. Tapi, Hinata? Fugaku tidak bisa memastikan apa yang diinginkan putrinya. Bahkan saat usia Hinata telah mencapai masa puber, dia belum mengerti perbedaan setiap hubungan yang dia jalin dengan keluarganya. Waktu yang dia perlukan akan sangat lama, Sasuke mungkin berubah.
Fugaku terus memikirkan berbagai macam kemungkinan. Sampai tahun-tahun berlalu Sasuke justru makin sulit mengendalikan diri. Luarnya mungkin terlihat tanpa masalah, berkeliaran ke sana ke mari, betulan mengelilingi dunia. Tapi, dia cukup sering tertangkap mata-mata bayaran Fugaku mengunjungi psikiater. Fugaku yakin bukan karena mengalami gangguan, cuma kunjungan rutin untuk mengatasi lelah mental. Anak itu terlalu sering nyaris pulang ke Konoha. Saat akan transit, dia malah kembali ke London. Sekitar dua tahun lalu, Sasuke sudah mendarat di Konoha International Airport, hampir naik kereta menuju Distrik Uchiha. Namun, akhirnya menginap di Bandara, kemudian terbang ke negara lain.
23 Desember 2013
Ketika dia bertanya apa yang akan dilakukan Neji, tak pernah terpikir dia akan dibawa terbang dengan jet pribadi, malam itu juga, hingga malam ini mereka tiba di kediaman Hyuuga di Cina. Dari cerita Neji di sepanjang penerbangan, Sasuke tahu hanya ada empat orang Hyuuga yang masih hidup, dan mugkin lima, karena tak peduli sekalipun alur cerita Neji sangat masuk akal, dia hanya akan percaya setelah ada bukti nyata.
"Apa kau berteman dekat dengan Nii-san?" tanya seorang remaja tanggung yang menemaninya di ruang tamu sedari tadi, selagi menanti Neji menjemput kedua orang tuanya dari rumah tetangga dan satu orang lagi, yang, menurut cerita Neji, bertanggung jawab atas pemalsuan kematian adiknya.
"Tidak," jawab Sasuke tak berminat.
"Kakakku tidak pernah membawa orang asing ke rumah, kau tahu. Melihatmu di sini, kukira kalian berkawan baik. Kalau memang tidak, artinya aku tidak bertanggung jawab untuk membuatmu merasa nyaman." Anak itu kemudian menghilang di balik salah satu pintu kamar.
"Tipikal Hyuuga," kata Sasuke, lalu mendengus, tak paham bahwa sebetulnya sikap kurang ajar anak itu bermula dari jawaban tak acuhnya.
Keluarga seperti ini, apa mungkin Si Idiot itu salah satunya? Jika saja dulu ceritanya berbeda, Hinata tetap menjadi bagian dari mereka, apa perilakunya seperti anak tadi? Tidak. Sasuke tak ingin membayangkannya. Sebaiknya dia tidur.
Seandainya Sasuke ingat ponselnya masih dalam mode pesawat, mungkin dia tidak akan bisa tidur.
To be continued ...
Saya selalu merasa saya terlalu sibuk, sampai ga sempat nulis. Sebetulnya karena ga saya jadikan prioritas, dan saya juga ga berharap cerita ini masih ditunggu. Sebab kalau ditanya kapan chapter selanjutnya dibuat saya juga ga tahu. Bayangkan saja, untuk menulis satu chapter ini, saya kesampingkan hal-hal yang jadi prioritas belakangan (kerja, olahraga, mengurus keperluan hidup dan membaca). Sampai sore ini saya masih harus mencuci dan menyetrika seragam kerja, besok sudah senin soalnya.
Intinya, next chapter ga tahu kapan, jadi jangan tanya. Bila ada pertanyaan (ga berkaitan dengan cerita) silakan kirim PM, kalau sempat saya jawab, kalau ga mohon maaf.
Sekian dan terima kasih.
30 Januari 2022
