Disclaimer:

Naruto: Masashi Kishimoto

A Silent Voice: Kyoto Animation

.

.

Lagu yang digunakan author saat menulis cerita ini:

Endless Tears by Maiko Nakamura feat. CLIFF EDGE

Maboroshi by Ikimonogakari

Fly High Ost. Haikyuu by Burnout Syndromes

.

.

.

Hidden

By Hikayasa Hikari

.

.

.

Chapter 8. Janji

.

.

.

Shouko bahagia sudah bisa mendengar lagi karena alat bantu dengar yang diciptakan Naruto. Tetap berpelukan dengan Naruto di tengah cuaca yang cukup dingin. Naruto dan Shouko saling berlutut di atas hamparan salju.

Angin sore bertiup lembut, menerpa rambut dan pakaian Naruto serta Shouko. Pepohonan pinus bergemerisik keras. Seluruh alam turut merayakan hubungan cinta Naruto dan Shouko yang baru saja dimulai.

Naruto melonggarkan pelukannya, menatap wajah Shouko yang mengarah pada wajahnya. "Aku senang kau juga menyukaiku. Dengan begitu, aku bisa menjagamu lagi, Shou-chan."

Shouko mengangguk pelan. Pipi kirinya dielus lembut oleh Naruto. Senyum menawan terpatri di wajahnya yang merona merah.

"Oh ya, aku akan tinggal di sini dan bersekolah juga di tempatmu. Apa di sini ada rumah yang bisa disewakan?" tanya Naruto melembutkan mata.

Shouko melebarkan mata, kemudian menggeleng. Menulis di buku catatannya dan memperlihatkannya pada Naruto.

Aku tidak tahu. Kau bisa bertanya pada nenekku.

Naruto tersenyum lagi usai membacanya. Berdiri, lalu membantu Shouko berdiri. Memegang kedua tangan Shouko erat sekali.

"Aku sudah bertanya pada nenekmu. Tapi, nenekmu juga tidak tahu," ungkap Naruto bermuka serius, "kalau begitu, aku harus pergi untuk mencari tempat tinggal sebelum malam tiba."

Shouko menulis cepat di buku catatannya, menampakkan tulisannya pada Naruto. Aku mau ikut denganmu.

"Tidak usah. Aku bisa sendiri."

Aku ini pacarmu. Jadi, aku harus menemanimu.

"Aaah, baiklah. Kau boleh ikut, Shou-chan."

Naruto menghela napas, pasrah. Kemudian Shouko tersenyum, membelit lengan kiri Naruto dengan kedua tangannya. Tindakannya ini, sungguh membuat Naruto semakin senang. Kaki mereka mulai terayun, menapaki salju.

Shouko tidak membawa tasnya. Tas itu tergeletak tak berdaya di dekat meja. Ito yang mengambil tas itu, dan melihat kepergian Naruto serta Shouko di ambang pintu.

Naruto dan Shouko berjalan, menghampiri orang-orang ditemui di jalanan. Naruto yang bertanya soal keberadaan rumah yang bisa disewakan. Beberapa orang tidak tahu, tetapi akhirnya ada satu orang yang membawa Naruto dan Shouko ke rumah kayu minimalis kembar bercerobong asap. Rumah tidak berpagar yang terletak tak jauh dari rumah Shouko.

"Ini bayarannya selama tiga tahun," ujar Naruto setelah bernegosiasi dengan pemilik rumah. Memberikan sejumlah uang kertas pada pemilik rumah.

Pemilik rumah, seorang pria berambut hitam menerima uang dari Naruto. "Terima kasih. Semoga anda betah tinggal di sini."

Naruto mengangguk, bersisian dengan Shouko. Menyandang tas di punggung. Tangan kirinya menjinjing koper besar. Kemudian bergegas mendekati pintu rumah, bertepatan pemilik rumah yang disewakan tadi, sudah pergi.

Naruto membuka pintu. Memasuki ruangan yang cukup luas tanpa ada perabotan. Keadaan ruangannya bersih karena rajin dibersihkan oleh pemilik rumah.

Ada dua pintu di ruangan itu. Pintu kamar dan pintu dapur. Tidak ada ruangan selain itu.

"Aku suka tempat ini. Ya, meskipun belum ada perabotannya." Naruto tersenyum lebar, menatap Shouko di sampingnya. Suaranya yang keras, menggema di tempat itu.

Shouko mengangguk. Berpikir Naruto akan tidur di lantai tanpa ada tempat tidur. Kekhawatiran muncul di hatinya saat menyadari jendela tidak tertutupi gorden. Ingin melakukan sesuatu untuk melindungi Naruto.

Shouko menarik beberapa kali lengan jaket Naruto sehingga Naruto menoleh lagi ke arahnya. Menulis dan memberikan buku catatannya pada Naruto.

Kau tunggu di sini. Aku akan segera kembali.

Naruto terperanjat saat Shouko langsung berlari keluar. "Shou-chan, kau mau kemana?"

Shouko sudah menjauh di ujung jalan sana. Naruto yang hendak mengejarnya, hanya bisa terpaku di ambang pintu. Menunggu kedatangan Shouko dengan sabar.

Selama menunggu Shouko, Naruto mengeluarkan beberapa pakaian dan perlengkapan lainnya dari tas. Berpikir ingin membeli beberapa barang yang diperlukan.

Shouko tiba lagi di tempat Naruto setelah satu jam berlalu. Dia membawakan kasur gulung, bantal, selimut tebal, dan beberapa gorden yang diikat dengan tali tambang. Meletakkan semua itu di dekat pakaian Naruto yang tergeletak di lantai kayu.

"Apa ini, Shou-chan?" tanya Naruto mengerutkan kening.

Shouko menulis di buku catatannya, memperlihatkannya pada Naruto. Kata nenek, semua barang ini boleh kau pakai selama kau tinggal di sini. Terus, kau harus tolong bantu aku memasang gorden-gorden ini di jendela supaya tidak ada sinar matahari yang masuk ke rumah.

Naruto mengangguk. Membuka ikatan tali tambang dari tumpukan barang. Mengambil satu gorden hijau, lalu memasangkan gorden itu pada gantungan gorden yang ada di bawah ventilasi. Karena badannya tinggi bisa mencapai gantungan gorden itu.

Naruto memasang gorden satu persatu. Akhirnya pekerjaannya itu selesai. Menyisakan senyuman di wajah Shouko.

"Dengan begini, aku bisa terlindungi dari sinar matahari," kata Naruto turut tersenyum, melirik Shouko yang tak jauh darinya, "terima kasih, Shou-chan. Kau perhatian sekali padaku."

Naruto berjalan pelan mendekati Shouko. Mengelus kedua pipi Shouko. Mata Naruto melembut.

Shouko terpaku karena merasa Naruto sungguh menyayanginya. Ada ketulusan tercermin di mata Naruto. Hatinya tersentuh dengan perlakuan Naruto padanya. Menarik air mata berjatuhan lagi di dua pipinya.

Naruto sedikit membeliakkan mata. "Mengapa kau malah menangis lagi?"

Shouko menggeleng, menyembunyikan wajahnya ke dada Naruto. Mendekap pinggang Naruto erat sekali. Naruto merangkul pundaknya, meredupkan mata. Ikut merasakan apa yang dirasakan Shouko.

Naruto dan Shouko berpelukan cukup lama. Mereka menyadari suasana mulai gelap. Kemudian melepaskan dekapan masing-masing.

Naruto membantu menyeka sisa-sisa air mata yang masih melekat di dua pipi Shouko. Gadis berambut cokelat kemerah-merahan itu tersenyum. Menulis lagi dan memperlihatkan tulisannya yang tertera di buku catatan.

Oh ya, Naruto. Bagaimana kalau kita makan malam di rumah nenekku? Pasti kau lapar sekarang, 'kan?

Naruto mengangguk usai membaca tulisan Shouko. Menampilkan senyum yang memikat. Tangannya digenggam erat oleh tangan Shouko. Mengayunkan langkah bersama keluar dari rumah. Tidak lupa menghidupkan lampu agar menerangi rumah selama ditinggalkan.

.

.

.

Kushina sedang menancapkan beberapa bunga anggrek ungu ke pot baru. Dia berdiri di dekat meja persegi panjang. Tiba-tiba, dirinya teringat dengan Naruto.

"Haku, Zabuza," panggil Kushina menoleh ke arah dua asisten kepercayaannya.

Momochi Zabuza dan Momochi Haku -- adik angkat Zabuza -- menghentikan kegiatan masing-masing. Mereka berdiri di dekat meja panjang. Melihat Kushina yang datang mendekati mereka.

"Apa kalian bisa menjaga toko bunga ini selama aku pergi untuk menemui Naruto?" tanya Kushina tersenyum.

"Bisa saja, Kushina-sama. Tapi, anda pergi selama apa?" Haku yang balik bertanya, mengerutkan kening.

"Sampai Naruto menamatkan sekolahnya."

"Lama sekali itu, Kushina-sama. Bisa dua tahun lagi."

"Tidak apa-apa, Haku. Kita berdua saja yang mengurus toko, itu tidak masalah," sela Zabuza tersenyum, "Naruto-san harus membutuhkan biaya yang sangat besar demi kesembuhannya. Karena itu, kita harus bekerja keras untuk mengumpulkan biaya pengobatan Naruto."

"Kalau Zabuza-nii sudah mengatakan itu, aku ikut saja."

Haku mengembuskan napas untuk menenangkan hatinya. Zabuza menepuk pelan pucuk laki-laki cantik itu. Tersenyum.

Kushina juga tersenyum. "Terima kasih atas pengertian kalian. Nanti kalian bisa tinggal sementara di rumahku. Ya, sekalian menjaga rumahku."

Haku mengangguk. "Siap, Kushina-sama. Kalau perlu, kami akan selalu membersihkan rumah anda setiap hari."

"Itu bagus. Sekali lagi terima kasih."

Kushina tersenyum lagi. Jiwanya bahagia karena memiliki dua asisten yang bisa dipercaya. Dengan begitu, dia tenang meninggalkan toko bunga dan rumahnya.

Malam sudah menguasai kota Konoha. Semua orang masih sibuk beraktivitas di berbagai sudut kota, termasuk Naruko dan teman-teman yang ada di mobil milik Hinata.

"Beberapa hari lagi, aku akan pindah sekolah ke kota Yuki, teman-teman," ungkap Naruko duduk di kabin belakang. Menarik perhatian semua orang ke arahnya.

"Hah? Kau akan ikut dengan ibumu ke kota Yuki?" tanya Hinata yang mendadak mengerem mobil di dekat sebuah tiang listrik.

"Ya. Aku dan ibu harus menemani kakak yang memutuskan tinggal di sana."

"Kalau Naruko pindah, bagaimana dengan klub Sastra kita? Kita tidak akan bisa membuat novel bersama," kata Ino meredupkan mata.

"Bagaimana kalau kita juga pindah sekolah ke kota Yuuki?" tanya Sakura mengacungkan telunjuk ke atas.

"Boleh juga. Orang tuaku sudah pasti mengizinkan aku," jawab Ten Ten mengedipkan mata.

"Aku juga." Hinata mengangguk.

Semua gadis ribut sekali kecuali Naruko. Mata Naruko melebar. Kemudian senyuman terukir di wajahnya.

"Kita harus mengurus kepindahan kita itu besok, bagaimana?" tanya Sakura tersenyum.

"Ya. Kalian juga harus memberitahukan ini pada orang tua masing-masing," jawab Ino menukikkan alis.

"Siap!" balas semua gadis mengangguk kecuali Naruko.

Hinata menjalankan mobil lagi. Dia tersenyum bersama teman-teman terbaiknya sejak SD. Fokus melihat ujung jalan.

.

.

.

Naruto makan malam bersama Shouko dan Ito di ruang tamu. Duduk bersimpuh mengelilingi meja. Beralaskan bantal. Menikmati hidangan yang menghangatkan jiwa.

"Bagaimana rasanya, Namikaze-kun?" tanya Ito tersenyum, menghadap Naruto. Shouko duduk bersisian dengannya.

"Enak sekali," jawab Naruto tersenyum, "tidak kusangka Shou-chan bisa memasak semua makanan ini. Dia memang pantas menjadi calon istriku."

Shouko tercengang. Matanya membesar. Kedua pipinya memanas. Karena ucapan Naruto tadi, membuatnya tersedak makanan. Kemudian Shouko buru-buru meminum air bening sampai tandas.

"Shou-chan, kau tidak apa-apa?" tanya Naruto dan Ito kompak. Kemudian Ito menepuk-nepuk pelan punggung Shouko.

Shouko menggeleng. Bahasa tubuhnya membuat Ito terkesiap. Mata Ito sedikit melebar.

"Shou-chan, kau bisa mendengar ucapan Obaa-san?" tanya Ito mengerutkan kening.

Shouko mengangguk. Senyum menyerupai garis kurva terpatri di mukanya yang cerah. Menunjuk Naruto sehingga Ito menatap Naruto.

"Namikaze-kun? Apa hubungannya dengan Namikaze-kun, sehingga kau bisa mendengar, Shou-chan?" tanya Ito ternganga.

"Oh, itu," jawab Naruto menaruh mangkuk kecil dan sumpit di atas meja, "aku membuat alat bantu dengar untuk Shou-chan. Alat itu mampu menangkap gelombang suara dan mengirim sinyal gelombang itu ke gendang telinga. Tapi, aku penasaran, apa yang menyebabkan Shou-chan tuli dan bisu?"

"Itu disebabkan kelainan bawaan sejak lahir. Dokter mengatakan Shou-chan mengidap Tuli Sensorineurial. Dia bisa saja berbicara, tetapi tidak jelas apa dikatakannya pada kita."

"Begitu, ya? Aku ingin sekali Shouko berbicara. Tapi, apa aku bisa menciptakan alat yang bisa membuat Shouko bersuara?"

Naruto memandang Shouko. Matanya sayu. Menggigit bibir.

"Kau cerdas sekali, Namikaze-kun. Karena kau bisa membuat alat bantu dengar itu sendiri," kata Ito tersenyum.

"Aku belajar dari Otou-san, Obaa-san. Karena kebetulan, Otou-san suka membuat alat-alat aneh. Tapi, di samping itu, dia juga punya usaha toko bunga," balas Naruto bersikap serius.

"Wah, Otou-san-mu hebat!"

"Ya. Begitulah."

Naruto tersenyum lebar. Menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. Merasa malu.

Sunyi. Naruto, Shouko, dan Ito meneruskan kegiatan makan yang tertunda. Hingga acara makan malam selesai, Naruto membantu Shouko untuk mengangkat peralatan makan yang kotor. Sementara Ito membereskan meja.

Naruto meletakkan semua peralatan makan di dekat wastafel. Shouko yang bertugas mencuci piring. Naruto yang ada di sampingnya, memperhatikannya lama sekali.

Shou-chan, meskipun dia memiliki kekurangan karena tuli dan bisu, tetapi dia juga rajin bekerja, batin Naruto.

Perlahan senyum lembut tercetak di muka Naruto yang cerah. Otaknya sedang membayangkan masa depan jika menikah dengan Shouko. Pasti kehidupan pernikahannya diwarnai kebahagiaan.

Aaah, apa yang kupikirkan sekarang? Batin Naruto lagi.

Shouko menyadari Naruto bertingkah aneh. Menghentikan cuciannya. Mengibaskan tangan kanan beberapa kali di depan wajah Naruto.

Shouko mengernyitkan dahi. Ada apa, Naruto?

Naruto tersenyum, salah tingkah. "Tidak ada apa-apa, Shou-chan. Kau lanjutkan lagi cucianmu. Aku menunggumu di ruang tamu."

Naruto berjalan kaku seperti langkah robot. Gelagatnya membuat Shouko tertawa. Tapi, suara Shouko tidak terdengar.

Naruto, kau lucu sekali. Dasar! Batin Shouko.

Naruto berhenti di ambang pintu dapur. Melihat Shouko memunggunginya. Pelan-pelan, dia tersenyum. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu.

"Namikaze-kun, duduklah di sini," pinta Ito duduk di dekat meja di ruang tamu, melihat Naruto masuk ke ruang tamu. Menepuk lantai yang ada di sampingnya.

Naruto mengangguk, duduk di sisi kanan Ito. "Ya, ada apa, Obaa-san?"

Kening Naruto mengerut. Perasaan penasaran menyelimuti hatinya. Ito meraih tangannya dan menggenggam erat tangannya.

"Namikaze-kun, apa kau benar-benar serius menyukai Shou-chan?" tanya Ito bertampang kusut.

"Ya. Aku serius, Obaa-san," jawab Naruto mengangguk.

"Obaa-san bisa lihat kau memang membuktikan cintamu dengan mendatangi Shou-chan sampai di sini. Tapi, Obaa-san takut pikiranmu akan berubah jika menemukan gadis yang lebih sempurna dari Shou-chan. Kau akan tertarik dengan gadis sempurna itu dan meninggalkan Shou-chan seperti yang dilakukan ayah Shou-chan."

Mata Ito berkaca-kaca. Membayangkan ayah Shouko yang memilih bercerai dengan ibu Shouko karena malu memiliki anak seperti Shouko. Itu terjadi saat ibu Shouko mengandung adik Shouko. Terlebih ternyata ayah Shouko memiliki hubungan gelap dengan wanita janda beranak satu. Hal itu membuat hati ibu Shouko sangat sakit.

Ito menceritakan semua tentang keluarga Nishimiya. Naruto yang mendengarkan, meredupkan mata. Hatinya terenyuh karena Shouko tidak memiliki ayah lagi.

"Obaa-san mau kau tetap menyayangi Shouko hingga akhir hayatmu. Kau mau melakukannya, Namikaze-kun?" lanjut Ito menangis.

"Aku mau, Obaa-san. Aku menyukai Shou-chan karena kekurangannya. Dia gadis pertama yang dekat denganku selain adik perempuanku. Tentu aku tidak akan meninggalkannya," balas Naruto tersenyum lembut.

"Janji?"

"Janji."

Naruto mengaitkan kelingkingnya yang besar ke kelingking Ito. Mereka tersenyum bersama, lalu membicarakan topik lain hingga Shouko datang mendekati mereka.

"Shou-chan, kau sudah selesai mencuci piring?" tanya Ito menatap Shouko.

Shouko mengangguk, berdiri di sisi kanan Naruto. Kedua tangannya bersembunyi di belakang. Ito bangkit dan berjalan menghampiri Shouko.

"Kau beruntung memiliki orang yang mencintaimu, Shou-chan. Jagalah dia sampai benar-benar sembuh total dari penyakitnya," bisik Ito ke telinga Shouko. Kemudian berjalan lambat menuju kamarnya.

Shouko merasakan tangan kirinya dipegang Naruto. Dia menoleh ke arah Naruto yang sudah berdiri. Naruto sedikit membungkuk dan menatap intens wajahnya.

"Sudah jam sembilan malam. Aku pulang dulu. Besok, kita bertemu lagi," ucap Naruto bernada lembut, mengelus pelan pipi kiri Shouko.

Shouko mengangguk. Menggandeng tangan Naruto. Berjalan bersama Naruto hingga keluar rumah. Tapi, Shouko tidak ingin Naruto pergi, menguatkan genggaman tangannya pada Naruto.

"Shou-chan, ada apa?" tanya Naruto merasa Shouko gelisah. Sedikit membungkuk dan menatap muka Shouko lagi.

Shouko menyelami mata biru Naruto sedalam mungkin. Naruto, aku tidak ingin kau pergi sendirian malam ini. Kalau bisa, kau menginap di sini saja dulu.

Shouko ingin mengatakan itu, tetapi lupa membawa pena dan buku catatan. Tapi, tiba-tiba, matanya membesar karena bibir Naruto melekat di bibirnya. Kedua tangan Naruto juga memegang kedua pipinya.

Shouko mematung. Membiarkan Naruto menciumnya. Perlahan hatinya tenang hingga matanya terpejam. Merasakan lembutnya ciuman Naruto.

"Kau tenang saja. Tidak akan ada yang terjadi apapun denganku. Asalkan kau membuka pemblokiran itu, kita bisa berkomunikasi lewat video call saat aku tiba di rumah," ucap Naruto tersenyum usai mencium Shouko.

Shouko mengangguk. Memeluk Naruto sebentar. Naruko juga merangkulnya seraya mengelus rambutnya.

"Ya, sudah. Aku pulang dulu," kata Naruto melepaskan pelukan, menjauh dari Shouko. Berjalan cepat menyusuri keheningan di tengah dingin yang menyergap.

Shouko tetap berdiri di ambang pintu. Memastikan Naruto baik-baik saja hingga sampai di rumah. Tanpa sepengetahuannya, ada yang mengintipnya dari balik pohon pinus. Pohon yang tak jauh dari depan rumah Shouko.

"Ternyata benar. Mereka berpacaran," bisik orang misterius itu. Tubuhnya terselimuti kegelapan.

.

.

.

Bersambung

.

.

.

A/N:

Chapter 8 up!

Ada yang tau siapa nama ayah Shouko nggak? Saya cek di bagian artikel fandom A Silent Voice, tentang Nishimiya Shouko, cuma nemu nama ibu, adik, dan nenek Shouko. Nama ayahnya nggak tertera di sana.

Oh ya, terima kasih bagi kalian yang mendoakan saya sehat terus dan rajin menulis cerita ini tiap hari -- itu kalau nggak ada kendala. Terus, ada yang sepertinya ngasih saran buat saya untuk mendownload lagu Fly High Haikyuu, karena cocok buat suasana cerita ini. Terima kasih ya buat saran lagunya. Lagunya ceria banget dan cocok didengerin saat menulis bagian happy scene.

Pasti kalian penasaran di bagian akhir chapter ini, ada yang mengintip Shouko. Ayo, tebak siapa orangnya!

Oke, sekian dari saya. Sampai jumpa lagi dan selamat menunggu kelanjutan chapter lain besok hari.

Tertanda, Hikayasa Hikari

Sabtu, 3 September 2022