Disclaimer:
Naruto: Masashi Kishimoto
A Silent Voice: Kyoto Animation
.
.
.
Lagu yang digunakan author saat menulis cerita ini:
Endless Tears by Maiko Nakamura feat. CLIFF EDGE
Maboroshi by Ikimonogakari
Fly High Ost. Haikyuu by Burnout Syndromes
Best Friends By Kana Nishino
.
.
.
Hidden
By Hikayasa Hikari
.
.
.
Chapter 10. Sahabat sejati
.
.
.
"Halo," kata Naruto melebarkan mata, "eh? Asuma-Sensei. Maaf, aku lupa mengabarkanmu, soal aku yang sudah sampai di kota Yuki ini."
"Kau melupakan saya karena sudah bertemu dengan Shinimiya-san, 'kan?" tanya Asuma bermuka sewot, di seberang sana.
"Sekali lagi maaf. Oh ya, kabar Sensei bagaimana sekarang?"
"Saya baik-baik saja. Kalau keadaanmu bagaimana sekarang?"
"Aku juga baik-baik saja."
"Syukurlah. Apa kau sudah masuk sekolah di sana?"
"Sudah. Tapi, ada sedikit masalah di sini. Nanti aku menelepon Sensei lagi."
Naruto menurunkan handphone-nya. Menghentikan langkah sejenak karena bertemu dengan beberapa laki-laki yang sekelas dengannya di tengah jalan lebar. Naruto tidak sendirian, melainkan bersama Shouko.
Banyak pohon pinus yang berada di sisi-sisi jalanan bersalju. Keadaan sepi. Tidak ada kendaraan yang lewat.
"Kalian?" tanya Naruto menggenggam tangan Shouko erat sekali, "mengapa kalian menghadang kami?"
Seorang laki-laki berambut hitam dengan tato segitiga merah terbalik di dua pipinya, maju mendekati Naruto. "Hei, kau sudah berani melawan kami di depan kelas tadi pagi. Memangnya kau itu siapa? Kau hanya murid baru yang sok keren dan tebar senyum sana-sini. Padahal kau itu manusia penghisap darah, vampire!"
"Aku bukan vampire!"
"Teman-teman, lepaskan mantel dan sarung tangannya itu!"
Semua laki-laki yang menjadi anak buah laki-laki berambut hitam, mengangguk kompak. Setengah dari mereka, menarik Shouko dari Naruto. Shouko seolah berteriak memanggil Naruto, tetapi tidak bersuara. Tidak bisa bergerak karena kedua tangannya digenggam kuat oleh dua laki-laki.
"Hei, lepaskan Shouko!" seru Naruto melotot. Kedua tangannya berhasil ditangkap oleh dua laki-laki. Satu pemuda lagi, melingkari pinggangnya dari belakang. Kemudian satu lelaki lainnya melepaskan mantel dan sarung tangan dari Naruto.
Saat itu, jam menunjukkan pukul setengah lima sore. Matahari masih bersinar panas, tetapi tidak mencairkan salju yang ada di kota Yuki. Sebab salju di kota itu bersifat abadi.
"He ... hei, kembalikan mantel dan sarung tanganku!" teriak Naruto. Suaranya terbata-bata.
Tiba-tiba, semua mata membulat sempurna kecuali Naruto. Pasalnya, wajah dan punggung tangan Naruto, mulai memerah. Naruto merasakan kulit wajah dan punggung tangannya terasa gatal. Menyebabkannya jatuh berlutut seraya menggaruk-garuk wajah dan punggung tangannya. Tas yang tergantung di bahu kanannya, turut tersungkur di sampingnya.
Naruto! Batin Shouko.
Shouko memberontak, berusaha melepaskan pegangan dua laki-laki dari dua tangannya. Akhirnya, dia bisa melepaskan diri. Segera berlari menghampiri Naruto.
Shouko menahan Naruto sebelum Naruto terkapar di permukaan salju. Melihat mulut Naruto terbuka-tertutup, menandakan napas Naruto sesak. Mata Naruto juga semakin sayu.
"Ternyata benar. Kulitnya mengalami kemerahan."
"Gawat! Kalau begini, kita bisa membunuhnya!"
"Hei, kita kabur saja!"
"Ayo!"
"Hei, tunggu aku!"
Semua murid bandel itu berlari tunggang langgang. Meninggalkan Shouko yang menangis, berusaha mencari bantuan. Dia menyembunyikan wajah Naruto ke bahu kirinya. Memegang kepala Naruto dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya sibuk mencari handphone di saku mantelnya.
Untung, muncul seorang laki-laki berambut raven yang datang dari arah pohon pinus. Dia memungut mantel dan sarung tangan milik Naruto. Berjalan mendekati Naruto dan Shouko.
"Apa yang terjadi pada Naruto?" tanya laki-laki berambut raven, berlutut satu kaki di depan Naruto dan Shouko.
Naruto dan Shouko melebarkan mata. Mengetahui siapa yang ada di dekat mereka. Terutama Naruto, hanya bisa tersenyum lemah saat laki-laki berambut raven memakai mantel dan sarung tangan padanya.
Shouko menulis cepat di aplikasi memo di smartphone-nya. Memperlihatkannya pada laki-laki berambut raven itu.
Naruto mengidap Solar Urticaria atau alergi matahari. Barusan ada teman-teman sekelas kami yang membuka mantel dan sarung tangannya. Jadi, bawa saja Naruto ke rumahku. Karena kebetulan nenekku itu mantan perawat.
Sasuke terkejut setelah membaca isi memo itu. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit terbuka. Kemudian menggendong Naruto dengan gaya bridal.
"Baiklah. Tunjukkan jalan menuju rumahmu, Shou-chan," kata Sasuke menyadari ada sesuatu yang terpasang di dua telinga Shouko. Mengetahui Shouko bisa mendengar karena sesuatu itu.
Shouko mengangguk. Dia mengambil tas dan handphone Naruto -- handphone Naruto sempat terjatuh saat tangannya digenggam oleh laki-laki nakal tadi. Sasuke dan Shouko berlari beriringan menuju rumah nenek Shouko.
.
.
.
Sasuke membantu membaringkan Naruto di kasur gulung yang ada di kamar Shouko. Hatinya sangat mencemaskan keadaan mantan sahabatnya itu. Kemudian melihat Shouko mendekati Naruto.
"Shou-chan, ada lotion dari dokter di tasku. Tolong ambilkan itu!" pinta Naruto menunjuk tasnya yang terletak di atas meja berkaki rendah. Meja yang ada di tengah ruangan.
Shouko mengangguk. Berjalan dan mencari lotion yang ditunjuk Naruto. Shouko menemukan benda putih berbentuk bulat kecil dengan tutup di atas. Ada tulisan lotion tertera di label resep dokter. Lotion yang berfungsi menghilangkan gatal dan ruam merah.
Shouko menunjukkan benda yang diduga lotion itu pada Naruto. Apa ini lotionnya?
Giliran Naruto yang mengangguk. "Ya."
Biar aku yang mengolesi lotion ini di wajah dan punggung tanganmu.
Shouko kembali mendekati Naruto. Bersimpuh di sisi kiri Naruto. Memutar tutup lotion, kemudian mengolesi tipis krim berwarna putih ke wajah dan punggung tangan Naruto.
Naruto memperhatikan Shouko yang sibuk mengobatinya. Senyum lembut terpatri di wajahnya. Tapi, tidak menyadari ekspresi Sasuke yang tampak menyedihkan.
"Naruto, mengapa kau tidak bilang dari dulu, kau itu alergi matahari?" tanya Sasuke berlutut satu kaki di sisi kanan Naruto.
"Maaf, aku tidak mengatakannya padamu karena aku tidak mau merepotkanmu, Sasuke," jawab Naruto meredupkan mata.
"Apanya yang merepotkan? Kalau aku sudah tahu dari dulu soal penyakitmu, tentu kita tidak bermusuhan seperti ini!"
Sasuke membentak Naruto. Matanya melotot. Alisnya menukik.
Sunyi. Naruto dan Shouko terpaku. Baru melihat Sasuke yang sangat marah. Perlahan suara Naruto yang memecahkan keheningan itu.
"Kau sudah tahu penyakitku sekarang. Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Naruto mengerutkan kening.
"Aku mau ... kita bersahabat lagi seperti dulu," jawab Sasuke tetap menukikkan alis.
"Hah? Kau yakin mau berteman dengan orang tidak sempurna sepertiku?"
"Yakin. Jadi, jangan banyak bertanya lagi, payah!"
Sasuke bermuka sewot. Alisnya kembali naik. Tiba-tiba, Naruto tertawa. Membuat Sasuke dan Shouko tercengang.
"Hei, mengapa kau malah tertawa?" tanya Sasuke bertampang datar.
"Sasuke yang kaku, bisa juga berteriak marah seperti tadi," jawab Naruto tersenyum.
"Huh, lupakan soal itu."
"Baiklah. Oh ya, mengapa kau juga tiba di sini?"
"Hah? Itu..."
Sasuke tersentak, memutuskan ucapannya. Melihat ke arah lain. Menyembunyikan wajahnya yang merona merah. Merasakan hatinya cemburu saat melihat kedekatan Naruto dan Shouko.
"Jangan bilang kau menyusul ke sini karena ingin mengejar Shou-chan?" tanya Naruto menyipitkan mata.
"Bu ... bukan!" jawab Sasuke tergagap. Suaranya cukup meninggi.
"Terus apa?"
"Aku hanya ingin bersembunyi dari kejaran Karin. Karin itu teman sekelasku, terlalu terobsesi ingin memilikiku."
"Oh, begitu. Aku pikir kau menyukai Shou-chan dan menyusulnya agar kau menyatakan cintamu itu padanya."
"Apa yang kau pikirkan? Nishimiya-san milikmu. Tidak mungkin aku merebutnya darimu."
Sasuke menukikkan alis lagi. Wajahnya mencerminkan keseriusan. Tapi, terbanding terbalik di hatinya.
Sejujurnya, aku iuga menyukai Nishimiya-san karena Nishimiya-san itu berbeda, batin Sasuke.
"Aku percaya kau tidak akan merebut Shou-chan dariku," ucap Naruto tersenyum, meraih tangan Shouko, "kalau Naruko tidak mempertemukan aku dengan Shouko. Mungkin aku tetap tinggal di apartemenku dan tidak mengenal apa itu cinta."
"Kau beruntung memiliki gadis istimewa seperti Nishimiya-san. Jadi, cepatlah sembuh agar kau bisa menjaga Nishimiya-san dari orang-orang yang menyakitinya," balas Sasuke turut tersenyum.
"Ya. Aku akan sembuh. Doakan saja."
"Aku doakan. Tapi, sebaiknya kau beristirahat, Naruto."
Naruto dan Sasuke melihat Shouko menunjukkan tulisan di buku catatan. Mereka membaca kompak, di dalam hati.
Naruto, kau menginap saja di rumahku untuk beberapa hari. Jadi, aku dan nenekku bisa merawatmu sampai sembuh. Lalu Uchiha-san, terima kasih karena kau sudah menolong kami.
Sasuke tersenyum, mengangguk. Matanya melembut. Kemudian berdiri dan membungkukkan badan.
"Kalau begitu, aku harus pergi sekarang juga," ucap Sasuke menegakkan badan.
"Kau mau pergi kemana, Sasuke?" tanya Naruto mengerutkan kening.
"Pergi ke penginapan. Oh ya, aku akan masuk sekolah ke tempat kalian, tetapi berbeda kelas."
Sasuke berjalan santai keluar dari kamar. Pamit pada Ito yang ditemuinya di ruang keluarga.
Keheningan yang menemani Naruto dan Shouko. Kemudian Shouko melepaskan tangan Naruto dari tangannya. Mengambil selimut yang tergeletak di bawah kaki Naruto. Menarik selimut hingga sebatas perut Naruto.
"Terima kasih, Shou-chan," kata Naruto melembutkan mata, "oh ya, jangan beritahu ibu atau adikku dulu, soal keadaanku sekarang. Aku tidak membuat mereka cemas."
Shouko mengangguk, turut melembutkan mata. Membelai rambut Naruto. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Naruto. Membuat jantung Naruto berdebar keras. Menginginkan Shouko menciumnya.
Apa yang kupikirkan sekarang? Naruto, kau itu sedang sakit.
Naruto bermonolog. Hati dan pikirannya seakan sedang berperang. Menyadari Shouko sudah pergi dan menutup pintu kamar.
Naruto terpaku, lalu menghela napas. Mencoba bersabar. Mengambil handphone yang tergeletak di sampingnya. Mengirim pesan lewat Whatsapp pada Shoya.
.
.
.
Selama Naruto tidak masuk sekolah karena sakit, Shoya yang menjaga Shouko. Shoya menemani Shouko pergi kemana saja, termasuk ke toilet. Dia melakukan itu atas permintaan Naruto yang meneleponnya.
Setiap hari, Shoya dan Sasuke datang untuk menjenguk Naruto setelah pulang sekolah. Mereka mengkhawatirkan keadaan Naruto. Berharap Naruto cepat sembuh dan kembali sekolah seperti biasa.
Perlahan ruam merah dan gatal yang terasa di wajah dan punggung tangan Naruto, hilang setelah beberapa hari. Naruto menghabiskan waktunya di kamar Shouko, seperti tidur, makan, menulis catatan pelajaran yang diberikan Shouko ke buku catatannya, dan melakukan kegiatan lain untuk mengusir kebosanan.
"Shou-chan, bagaimana keadaanmu di sekolah tadi?" tanya Naruto duduk menghadap Shouko, dibatasi meja berkaki rendah.
Shouko sedang mengerjakan PR Matematika di dekat meja, tersenyum. Kemudian menulis di buku catatannya. Menyerahkan buku catatan itu pada Naruto.
Tidak ada yang berani menggangguku. Lalu orang-orang yang mengganggu kita waktu itu, sudah dikeluarkan dari sekolah. Aku mengetahuinya dari Shoya.
Naruto tersenyum. Matanya melembut. Melipat tangan di atas meja.
"Syukurlah. Dengan begitu, kita bisa bersekolah dengan aman. Sebelumnya ... aku sempat berpikir akan menyerah dan kembali menjalani pendidikan Home Schooling," ungkap Naruto sedikit menundukkan kepala.
Shouko melebarkan mata. Mukanya kusam. Lantas dia bangkit berdiri, berjalan menghampiri Naruto. Menggenggam kedua tangan Naruto. Menatap lekat-lekat mata biru Naruto.
Aku juga sempat berpikiran sama denganmu, Naruto, batin Shouko.
Shouko ingin mengatakan apa yang dirasakannya itu pada Naruto. Tapi, dia tidak ingin Naruto berhenti di tengah jalan. Naruto harus tetap bersemangat untuk menjalani sekolah umum. Karena itu, Shouko akan berusaha kuat demi Naruto.
Shouko tersentak saat hidung Naruto menyentuh hidungnya. Matanya melebar. Kemudian buru-buru memundurkan wajahnya.
Shouko melepaskan tangannya dari tangan Naruto. Berdiri, ingin berjalan, tetapi tangannya berhasil ditahan Naruto. Shouko menoleh ke arah Naruto.
Naruto memegang kedua pipi Shouko erat sekali. Sehingga wajah Shouko mendongak ke wajahnya. Jantung Shouko berdebar keras saat bibir Naruto menempel di bibirnya.
Mata Naruto dan Shouko terpejam. Mereka saling berciuman lembut selama beberapa saat. Kemudian Naruto melepaskan ciumannya dan menatap wajah Shouko yang sudah memerah.
"Aku sudah menunggu ini beberapa hari yang lalu," ungkap Naruto mengelus pipi kiri Shouko, "itu bukti aku mencintaimu, Shou-chan."
Shouko terpana. Perasaan Naruto yang menyukainya, sudah meningkat menjadi mencintainya. Hatinya bergelora bahagia.
Aku juga mencintaimu, Naruto, batin Shouko.
Shouko langsung membelit pinggang Naruto. Tersenyum lebar. Merasakan Naruto juga memeluknya dan mengelus rambutnya.
"Wah, wah, ternyata kau di sini, Naruto!" seru wanita berambut merah panjang berkacak pinggang, berdiri di ambang pintu kamar yang sudah terbuka lebar.
"Hah? Oka-san, Naruko, dan semuanya?" tanya Naruto melebarkan mata, spontan menjauh dari Shouko.
"Aku rindu Nii-chan!" teriak Naruko berlari dan langsung mendekap pinggang Naruto.
"Shou-chan! Kami merindukanmu!" teriak Hinata, Sakura, Ino, dan Ten Ten memeluk Shouko sekaligus.
Naruto dan Shouko kewalahan menghadapi orang-orang terdekat yang sangat mengkhawatirkan mereka. Adegan itu membuat Kushina yang bersisian dengan Ito, tersenyum haru.
"Selama Naruto sakit, saya dan Shou-chan yang merawatnya sampai sembuh," tutur Ito melirik Kushina, sudah menceritakan apa yang terjadi dengan Naruto saat diganggu kelompok murid nakal.
"Terima kasih atas bantuannya, Obaa-san. Tapi, Naruto tidak merepotkan kalian, 'kan?" tanya Kushina mengangguk.
"Tidak."
"Oka-san, mengapa Oka-san dan semuanya juga menyusul ke sini? Aku sudah bilang biar aku saja yang tinggal di sini," sela Naruto yang masih dipeluk Naruko.
"Oka-san mengkhawatirkanmu, Naruto, makanya Oka-san datang ke sini." Kushina bermuka kusut.
"Aaah, alasan Oka-san saja." Naruto mengembuskan napas. Pasrah dengan keadaannya yang sekarang, cukup membingungkannya.
Naruko dan semua gadis menarik Shouko keluar dari kamar. Entah apa yang mereka bicarakan. Melewati Kushina dan Ito.
"Naruto, ayo! Kita bicara dengan Ito-Obaa-san di ruang tamu!" ajak Kushina memandang Naruto.
"Ya," sahut Naruto mengangguk. Dia keluar kamar, mengikuti Kushina dan Ito.
Shouko dan teman-temannya berjalan di depan rumah. Mereka bisa menyaksikan keindahan malam yang penuh bintang-bintang. Naruko yang antusias, berteriak keras saat menunjuk sesuatu ke langit.
"Lihat! Ada bintang jatuh! Katanya, kalau kita mengucapkan permohonan saat ada bintang jatuh, maka permohonan kita akan terkabulkan!" Mata Naruko berbinar-binar.
"Kau masih percaya itu, Naruko?" tanya Ten Ten bermuka datar.
"Ya. Aku percaya sekali."
"Itu hanya mitos. Jadi, jangan dipercaya."
"Jangan begitu, Ten Ten."
"Hei, ayo, kita buat permohonan bersama!" Hinata mulai memejamkan mata. Mengatupkan jari-jari tangannya.
"Hah? Hinata dan semuanya juga percaya?" Ten Ten ternganga.
Shouko dan semua gadis mengatupkan mata kecuali Ten Ten. Mereka mengatakan permohonan di hati masing-masing. Berharap permohonan mereka dikabulkan Tuhan, bukan dikabulkan oleh bintang jatuh.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
A/N:
Chapter 10 up.
Lihat aja endingnya sad atau happy. Itu tergantung gimana arah ceritanya berjalan. Terus saya berterima kasih banyak karena kalian selalu memberi review setiap chapter. Itu membuat saya bersemangat untuk menulis cerita ini sampai tamat.
Sekian dari saya dan selamat menunggu chapter selanjutnya.
Dari Hikayasa Hikari
Senin, 5 September 2022
