Episode 15 – 'Til Deaths Do We Apart

"How Cute..."

Flack sebenarnya sama sekali tidak menyukai tempat ini. Sebuah biara tua tak terurus, becek, gelap, terabaikan, tempat ditemukannya sebuah mayat yang terpisah dari tangan kanannya. Yang lebih buruk lagi—sebuah alasan utama mengapa ia tidak mau masuk ke tempat ini adalah kabar yang mengatakan bahwa ada suara-suara aneh yang terdengar dari gedung ini tanpa sumber yang pasti.

Terdengar memang bodoh dan ia tahu ini adalah kelemahan yang mampu merusak image-nya menjadi pecahan gelas yang berantakan. Ia tidak mau ini diketahui orang lain yang menyangkut pekerjaannya selain dirinya. Yah, paling tidak selain Aiden dan Stella yang sudah terlanjur menghabisinya sebelum mereka masuk ke biara ini tadi. Dan ia amat mebenci hal itu, harga dirinya rusak di depan makhluk bermulut besar berjudul wanita.

Ia terus menahan bulu kuduknya, ia tidak mau kejadian tadi terulang lagi.

"Aiden, kurasa kau lebih baik menggandeng tangannya Flack."

Dengan sakrasme pedas andalannya, Flack menjawab pernyataan Stella tadi, "Oh, manis sekali..."

Lalu Stella masuk ke biara tua duluan dan meninggalkan Aiden dan Flack di depan. Entah apa maksudnya, Aiden senyum-senyum kearahnya dengan senyum yang berarti macam-macam yang membuat Flack—sebenarnya sebal setengah mati.

"Wantia duluan." Ujarnya pedas menutupi ketidakinginannya masuk ke biara itu. Lalu Aiden, masih sambil tersenyum lucu masuk mendahului Flack.

Tapi mau tak mau, toh akhirnya ia masuk juga ke biara itu.

Suara sepatu mereka bergema dan berdecik menggesek lumpur becek. Suara-suara itu tiba-tiba jadi mengerikan. Entah kenapa bagi Flack suara-suara itu membuatnya semakin tidak nyaman dan ingin buru-buru keluar dan menyelesaikan tugasnya.

Ia jadi teringat akan cerita-cerita masa kecilnya. Cerita-cerita yang membuatnya tidak bisa tidur dan kerap menumpang perlindungan di kamar ayah dan ibunya. Ia teringat akan cerita nenek-nenek yang minta digendong dan akan mengejar kita dengan merangkak cepat kalau kita membiarkannya. Ia ingat cerita hantu toilet yang membuat dia selalu takut ke toilet sendirian. Ia teringat cerita suara-suara mistis yang datang dari sebuah boneka biru yang suka memakan jiwa anak kecil. Ia teringat cerita hantu kucing jadi-jadian yang suka makan anak penakut dan Flack benci sekali dengan yang namanya kucing.

Tiba-tiba seekor tikus melesat dan berdecit tepat di depan sepatunya. Flack terperanjat, walau dia tahan benar-benar supaya tidak keluar ekspresi dari hal tersebut.

Ia benar-benar tidak tahan. Ia kesepian. Ia memang seorang detektif muda dengan prestasi membanggakan, yang bisa dipuja-puja seluruh keluarganya yang dari dulu memang polisi, dengan pembawaannya yang selalu menjadi penjahat para penjahat. Tapi sebenarnya ia sangat takut pada hantu. Sekali-sekali ia ingin terbebas dari perasaan itu. Perasaan yang mengekung dirinya, perasaan yang sama seperti ia ingin minta ditemani ke toilet waktu masih berusia 7 tahun.

Ia ingin dilindungi dari ketakutannya.

Seketika, Flack memejamkan matanya, mempercepat langkahnya, dan dengan penuh kesepian dan ketakutan meraih tangan orang yang berjalan di depannya, berharap mengerti apa yang ia maksud.

Dan Aiden terkejut, merasa ada sesuatu yang menarik tangannya sehingga ia menoleh kebelakang.

Dilihatnya seorang pria yang gagah dalam balutan jaketnya, tinggi, berambut hitam, tapi menunduduk dan tidak meperlihatkan wajahnya. Aiden bingung apa yang terjadi pada teman penakutnya yang satu ini sampai-sampai ia akhirnya melaksanakan juga apa yang dikatakan Stella. Tapi ketika tangan yang digandengnya bergetar, tangan Aiden sedikit-sedikit ikut bergetar juga.

Aiden mengerti. Ia tersenyum—sebuah senyum yang cukup ia rasakan sendiri. Ia genggam kembali tangan itu walau ia tahu, tangannya kalah besar dari tangan yang ia genggam. Dengan lembut ia menuntun Flack yang dimatanya berubah menjadi seorang bocah kecil yang kesepian dan ketakutan, bocah kecil yang butuh perlindungan. Ia tahu ini dapat merusak image Flack, tapi bagaimanapun seseorang yang ketakutan dan kesepian harus dilindungi.

Ini cukup antara mereka berdua saja. Aiden sama sekali menutup mulutnya pada Stella yang berjalan di depannya.

"Hey, kau lihat itu? Itu mayatnya." Sahut Stella ketika ia menyenteri jalan ke depan.

Aiden melepas perlahan genggamannya lalu menghampiri Stella yang sudah menghampiri mayat itu duluan seolah tidak terjadi apa-apa. Dan ketika genggaman itu lepas, semua ketakutan kanak-kanak Flack hilang dan baru kali ini ia merasa dihargai atas kelemahannya. Hatinya perlahan menenang. Ia merasa lega dan terlindungi, merasa tidak sendirian, merasa masih memiliki orang yang peduli padanya.

Ia pun tersenyum—sebuah senyum yang cukup ia rasakan sendiri.

Manis sekali.