Episode 23 – What You See is What You See

"Jerashii kamo... Setsunai."

Ada satu saksi lagi kejadian penembakan di kedai kopi yang di kunjungi Mac tadi pagi. Selain Mac saksinya, Stella hendak bertanya pada saksi yang satu ini. Sekarang si saksi pertama sudah bersiap-siap menjadi tim investigasi yang akan menyelidiki kasus penembakan tersebut.

Wanita itu duduk di salah satu jok mobil polisi yang terbuka pintunya, mendapat perlindungan dari apa yang telah ia lihat barusan. Stella menghampirinya, lalu mulai bertanya akan kesaksiannya pada kasus tersebut.

"Anda melihat pelakunya?" tanya Stella, mencoba mengambil detail.

"Tidak, selama disitu saya tidak memperhatikan apa-apa," jawabnya, "Saya terfokus untuk berbicar pada seseorang."

"Boleh saya tahu orang yang Anda ajak bicara?"

Wanita itu menunjuk kearah lokasi yang diplester garis polisi, "Pria itu, yang memakai kaos putih."

Mac.

"Terima kasih." Jawab Stella, lalu wanita itu pamit darinya.

Stella mengamatinya, ia berjalan ke arah Mac. Lalu wanita itu seperti yang melanjutkan pembicaraannya dengan Mac.

Terfokus untuk berbicara pada Pria itu, sehingga ia tidak memperhatikan apa-apa...

Stella senang, akhirnya Mac bisa menemukan wanita yang sepertinya bisa diajak untuk memeliki hubungan khusus. Dari tatapan wanita itu, cara ia mennjuk Mac, terlihatlah bahwa sepertinya wanita ini tertarik padanya. Stella tersenyum, mungkin wanita ini bisa menggantikan posisi Claire, mendiang Istri Mac yang terbunuh pada 9/11. Ia bahagia, bahagia yang tulus, bahagia sebagaimana melihat temanmu bahagia.

Tapi jauh ada terbesit sebuah perasaan, perasaan aneh yang sepertinya menahan senyumnya. Perasaan aneh yang memotong setengah kebahagiaannya. Entah apa, tapi rasanya tidak enak, rasanya melelahkan, dan rasanya mengekang. Stella ingin bebas dari perasaan ini tapi sepertinya ia tak kuasa. Entah apa itu, mungkin ia pernah merasakannya tapi ia tidak tahu apa.

Dari senyum yang setengah itu, Stella mengangkat kedua tangannya, menaruhnya di dadanya. Ia tahu ada yang tidak beres di dalam jantungnya, hatinya mungkin. Tapi ia ingin menghilangkan rasa itu. Ia ingin bahagia! Ia ingin bahagia karena Mac pasti bahagia.

Stella memejamkan matanya, mencoba merasakan apa yang ada di hatinya dan mulai merasakan sakit itu. Entah apa ini tapi pikirannya menolak, ingin menghindari. Dilema kuat itu berlangsung beberapa saat sampai akhirnya Stella mencoba bangkit dan menata ulang pikirannya.

Ia pun meninggalkan tempat itu, menghampiri timnya untuk kembali pada perkerjaannya. Tapi sampai saat itu ia masih belum mengerti rasa sakit apakah yang tiba-tiba muncul tadi.