Dance of The Flower.
Chapter 3
Inoichi pulang ke rumah dengan mendung menaunginya. Percuma saja dia meminggit Ino selama ini, kalau ujung-ujungnya dia harus mengirimkan putrinya ke istana. Pejabat-pejabat lain pastinya akan semakin iri padanya mendengar berita ini sebab pernikahan akan semakin menegaskan dukungan keluarga Kaisar pada klan Yamanaka.
Yang menjadi masalah, bagaimana bila ada orang yang iri dan berusaha mencelakai putrinya? Sang perdana mentri jadi sakit kepala. Putrinya terlalu polos dan naif untuk bisa menghadapi intrik dalam istana, tapi belum terlambat untuk mengajarkan Ino satu atau dua hal agar bisa bertahan. Dalam hidupnya, Inoichi menjadi saksi bagaimana selir dieksekusi, bayi dan anak-anak yang meninggal. Jika ada sosok wanita yang dengan bangga yang berdiri di samping kaisar, wanita itu pastinya telah menghancurkan wanita-wanita lainnya. Intrik dalam harem begitu kejam, dan jika ia ingin Ino tinggal dengan selamat dalam istana maka dia pun harus mengotori tangannya. Menjegal sebelum terjegal.
Saat ini ayah dan putrinya sedang makan malam berdua. Ino memperhatikan sang ayah hanya mempermainkan sumpitnya.
"Ayah, Makanlah bebek ini." Ino meletakkan seiris daging bebek yang dipangang dalam sekam di piring Inoichi. "Bolehkah putrimu mengetahui apa yang membuat ayah begitu khawatir hingga tidak ingin makan?"
Inoichi meletakkan sumpitnya. "Kaisar mengajakku berbicara pagi ini."
"Apa beliau yang akan memutuskan perjodohanku?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Putra mahkota memberitahuku. Tadi siang beliau mampir untuk menemuimu."
"Mencariku? Aneh, tadi pagi aku sudah bertemu dengan putra mahkota saat kaisar melaksanakan audiensi. Apa beliau memberitahu kenapa ingin menemuiku?"
Ino terdiam, apa pangeran Itachi sengaja mampir ke mari hanya untuk melihatnya? Untuk apa?
"Oh, Beliau tak berkata apa pun."
"Aku merasa gagal menjadi ayahmu, Ino. Aku ingin melindungimu dari politik, tapi tidak bisa."
"Ayah, Jangan merasa seperti itu. Tak masalah buatku untuk menikah dengan siapa. Aku tak ingin ayah melawan kaisar dan membahayakan keselamatan seluruh anggota klan untukku."
"Kaisar belum memutusakan kau akan menikah dengan siapa, tapi mengingat Pangeran Itachi telah menikah, kemungkinan besar kau akan dinikahkan dengan pangeran Sasuke dan aku rasa aku akan lebih tenang bila kau menjadi istri pertama ketimbang selir."
"Apa pendapat ayah tentang pangeran Sasuke?"
"Dia tak kurang bakat dari pangeran Itachi, tapi kaisar tak menyayanginya. Meski begitu pangeran Sasuke selalu loyal pada kakaknya dan selama aku bekerja untuk kekaisaran aku tak pernah melihat hubungan persaudaraan yang begitu erat."
"Jadi menurut ayah pengeran Sasuke tak punya ambisi untuk menjadi kaisar?"
"Dia tak pernah tertarik, dan selain itu nampaknya semua pejabat sertuju dengan pilihan Yang Mulia."
" Kalau memang tak punya ambisi mengapa pangeran Sasuke mempertaruhkan nyawa di medan perang. Bukankah ia sedang mengumpulkan jasa dan dukungan?"
"Putriku, tak pernahkah terpikir olehmu, sebagai putra bangsa apalagi putra kaisar dia hanya ingin membela negara."
"Tentu ayah lebih mengenalnya dari pada putrimu yang sama sekali tak pernah berjumpa dengannya."
"Jika kau harus menikahi pangeran Sasuke, Aku harap kalian akan bisa saling mencintai."
Ino menggengam tangan sang ayah. " Tidak semua pernikahan bangsawan seindah pernikahanmu ayah."
Inoichi menghela nafas. "Aku masih merasa sedih. Mengapa ibumu pergi terlalu cepat. Kau bahkan tak mengingat wajahnya."
"Meski ibu sudah tiada ayah tetap mencintainya kan? Ayah bahkan menolak untuk menikah lagi, padahal keluarga kita butuh anak laki-laki untuk membawa nama Yamanaka."
"Aku merasa bersama wanita lain akan mengkhianati kenanganku bersama ibumu."
"Ayah, Aku selalu berharap menemukan pria yang mencintaiku seperti Ibu mencintai ayah, tapi cinta macam itu sulit ditemukan."
"Ah, Putriku…Apa yang harus aku lakukan sekarang? Meski Kaisar berjanji akan menyayangimu aku masih khawatir, sebab semakin tinggi kau berdiri semakin kencang juga angin yang menerpa. Ketika kau di dalam istana aku tak akan sanggup melindungimu."
"Sebab itu ayah, biarkan aku menjadi kuat sehingga aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Gunung selatan tidak jauh. Lewat empat belas hari aku akan kembali."
"Berat hatiku membiarkan mu pergi, tapi kau memang benar. Niatku untuk menjagamu malah membatasi ruang gerakmu. Rasanya aku tak ikhlas melihatmu menjadi dewasa."
"Ayah, tak usah khawatir. Berapa pun usia ku. Aku tetap akan menjadi putri kecilmu."
"Ino kau boleh pergi dengan membawa kepala pengawal. Jika sesuatu terjadi gunakan ini." Inoichi menyerahkan potongan giok yang merupakan penanda status perdana menteri. Tentara kerajaan dan pejabat daerah wajib mematuhi siapapun yang membawa segel itu.
"Ini benda yang sangat penting ayah, kau tak bisa memberikannya padaku."
"Keselamatanmu lebih penting daripada apapun."
Dua hari kemudian Ino berangkat. Ia bersikeras untuk melakukan perjalanan ini sesederhana mungkin. Mengenakan pakaian rakyat jelata, Ino menaiki kereta kayu yang cukup nyaman tapi tidak terlihat mewah. Dia ditemani Shion dan empat orang pengawal yang pura-pura menjadi. saudaranya.
Setelah dua hari perjalanan yang panjang. Ino tiba di sebuah kota. Begitu memasuki gerbang ia disajikan dengan keramaian pasar, terdengar teriakan para penjual dan anak-anak yang berlarian di pinggir jalan. Suasananya begitu hidup dan gadis berambut pirang itu ingin meregangkan kakinya yang telah duduk berjam-jam dalam kereta.
"Shion, Beritahu mereka aku ingin berhenti di sini."
Tanpa bantahan, pengawal Ino menurut dan gadis itu lantas pergi menyusuri pasar. Ia dan Shion duduk di sebuah kedai menikmati teh dan kudapan. Kumpulan orang-orang dan teriakan-teriakan yang terdengar memancing keingintahuan Ino.
"Ada apa di sana, Pengawal Yu?"
"Sepertinya ada perdagangan budak, Nona."
"Aku ingin melihat."
"Tapi hal tersebut tak pantas untuk anda."
"Pengawal Yu, Aku hanya akan melihat. Tidak akan ada masalah."
Ino berjalan dan merangsek kerumunan. Hatinya sedih melihat orang-orang ini di lelang, ada juga wanita dan anak-anak. Mengapa Kaisar masih mengizinkan perdagangan manusia yang sama sekali tak manusiawi? Apa karena banyak bangsawan yang diuntungkan. Ino melihat wajah, wajah lusuh yang putus asa. Ingin rasanya ia membantu mereka, tapi ia tak mau terlihat mencolok. Di antara barisan manusia yang terikat rantai Ino terkejut menemukan wajah yamg pernah ia lihat di istana di kehidupan sebelumnya.
Berdiri di sana dengan tubuh penuh luka dan pakaian lusuh, seorang pria yang tampak berbeda dari yang lainnya. Kulitnya begitu pucat, sewarna bulan yang terlihat di kala senja.
Pria itu adalah pengawal setia Danzo. Konon katanya ilmu beladirinya begitu hebat, seorang Asasin yang menjalankan tugas dari majikannya dari balik kegelapan. Mereka menjuluki pria itu sebagai Anjing, karena dia begitu patuh. Setiap kali Ino melihatnya. Pria itu selalu berdiri tak jauh dari Danzo. Ia diam seperti batu dan tak memiliki ekspresi. Selalu mengikuti majikannya seperti bayangan.
Pelelangan masih berlangsung. Ino memutuskan untuk membeli pria itu. Jika dia begitu setia pada Danzo, Mungkin ia juga akan setia pada Ino. Dia butuh pengawal pribadi.
"Hey tuan, Aku mau membeli pria itu."
"Ah, Yang itu harganya spesial. Anda lihat sendiri penampilannya berbeda?"
"Dia terlihat sakit dimataku."
"Tapi dia…"
Ino tak mau tawar menawar, Ia mengeluarkan dua keping emas. Jumlah yang sanggup untuk membayar selusin budak.
"Ah, Baiklah Nona. Lelaki pucat itu milikmu." Tak lama kemudian Sang pedagang manusia membawa pria lusuh dan pucat itu ke hadapan Ino. "Nona ini sudah membelimu. Berterimakasih lah."
Sai yang tangannya masih terbelenggu mengamati gadis di depannya, ia menduga gadis itu bukan gadis biasa meski dia berpakaian sederhana. Apa mungkin putri seorang saudagar?
"Siapa namamu?" Ino bertanya setelah di sekeliling mereka cukup sepi. Hanya Shion yang bisa mendengar percakapan mereka.
Sai menolak untuk bicara. Orang-orang kaya memperlakukan budak seenak hati mereka. Dia ingin menguji bagaimana reaksi gadis ini jika dia tak mau menurut. Apa ia akan dihukum, dipukul atau akan di cambuk?
"Apa kau bisu?" tanya Ino lagi.
Sai tidak mengangguk, tidak menggeleng dia diam bak patung. Shion yang berdiri di samping Ino mulai kesal.
"Kau tahu, Nonaku membelimu seharga dua keping emas dan kau malah bersikap seperti ini. Dasar tak tahu terima kasih."
Ino menghela nafas. Apa memang orang ini selalu membisu. "Shion lepaskan ikatan tangannya."
"Loh, Mengapa Nona. Harusnya kau meminta uang mu kembali."
"Jangan bertanya. Ikuti perintahku."
Shion bersungut-sungut membuka tali yang mengikat tangan si budak pucat.
"Pergilah!" Ucap Ino singkat kemudian berbalik mencari pengawal dan kereta kuda nya.
"Tunggu? Kau melepaskanku begitu saja?" Sai terheran-heran.
Ino tersenyum tapi pria itu tak melihat ekspresinya. "Aku tak bisa memaksa seseorang melayaniku bila tak mau."
"…tapi bukankah kau sudah membeliku?"
"Anggap saja aku beramal, lagipula aku tak bisa memaksakan kesetiaan, aku tak memerlukan pelayan yang tak berniat melayaniku."
Sai merasa Nona ini baik hati. Bagi dia yang sudah tak punya apa-apa lagi. Mengikuti Nona ini mungkin bukan pilihan buruk. Dia telah kehilangan segalanya, tak ada harta, tujuan dan keluarga. Shin, satu-satunya yang dia anggap penting di dunia tewas terbunuh dan Sai bersumpah akan menemukan pelakunya.
"Nona, Namaku Sai. Izinkan aku mengabdi padamu."
"Ikutlah denganku."
Pengawal Ino terkejut menemukan Nona muda mereka kembali dengan membawa pemuda lusuh.
"Nona, Siapa dia?"
"Namanya Sai. Dia akan menjadi pengawal pribadiku."
"Bagaimana anda bisa memilih pengawal pribadi sembarangan? Anda bahkan tak tahu pemuda ini bisa bela diri atau tidak atau darimana dia berasal."
"Sai, Apa kau menguasai ilmu beladiri."
Pemuda itu mengangguk.
"…Dia tidak akan sanggup menjaga anda Nona."
"Karena itu, Begitu kita kembali aku ingin Sai dilatih dengan benar. Pengawal Yu. Kita akan melanjutkan perjalanan besok pagi. Sekarang cari kamar di penginapan terbaik."
Ino memanggil tabib dan menyuruh Sai membersihkan diri. Setelah itu mereka bicara. Ino duduk di bangku dan Sai berdiri menjaga jarak. Nona dan pelayan tidak boleh duduk di meja yang sama.
"Namamu Sai. Apa kau punya marga?"
"Tidak aku seorang yatim piatu dan dibesarkan di biara."
"Ah, karena itu kau bisa bela diri. Apa kau bisa membaca Sai?"
"Saya bisa. Pendeta mengajarkan saya membaca sutra."
"Lalu mengapa kau bisa dijual menjadi budak?"
Sai tak ingin mengingat tragedi yang terjadi padanya dua minggu yang lalu, tapi pada akhirnya ia tetap berbicara pada Ino. "Saya dan saudara saya pergi berkelana. Kami mencari uang dengan memburu buronan. Akan tetapi dua minggu yang lalu kami diserang oleh sekelompok orang yang kami kira perampok, tapi kemampuan mereka tak seperti perampok biasa. Kami dibuat tak berdaya. Mereka membunuh Shin dan melukaiku, tapi saya berhasil lari hanya untuk ditangkap oleh penjual budak."
"Aku turut berduka atas apa yang terjadi Sai. Jika kau ingin menginvestigasi orang-orang yang menyerangmu. Aku akan membantu."
"Saya berutang banyak pada Nona. Bagaimana saya bisa membalasnya?"
"Dengan menjaga keselamatanku. Kedepannya aku akan menjalani hidup yang berbahaya dan mungkin kau akan kehilangan nyawamu dalam pekerjaan ini. Apa kau masih mau mengikutiku?"
"Mengapa Nona harus menjalani hidup yang berbahaya?"
"Sebab aku harus membalas orang-orang yang menyakitiku, Sai. Balas dendam bukan hal yang mudah."
"Saya paham, dan biarkan saya menjadi ujung pedang anda." Sai berlutut di hadapan majikannya.
"Berdirilah Sai, tapi aku tak bisa mempercayaimu begitu saja."
"Silakan Nona menguji saya."
"Kau punya banyak waktu untuk membuktikan diri. Bagaimana kondisimu?"
"Tabib telah mengobati luka luar saya, tapi saya masih belum bisa menggunakan tenaga dalam." Sai curiga para perampok itu sepertinya menggunakaan racun untuk memblock meridiannya. Sehingga aliran chi nya jadi kacau.
"Aku dalam perjalanan mencari Tabib gunung selatan. Mungkin beliau bisa menyembuhkanmu. Beristirahatlah, besok pagi kita akan melanjutkan perjalanan.
.
.
"Kakak, apa yang membawamu kemari?" Sasuke meletakkan pedang yang sedang dia bersihkan di meja.
"Apa aku tak boleh mengunjungimu? Sudah lama kau kembali ke Ibu kota tapi kau tak pernah meluangkan waktu untuk berjumpa denganku."
"Aku takut mengganggu kakak yang sibuk dengan tugas sebagai putra mahkota."
"Sasuke jangan berpikir begitu. Aku selalu punya waktu untukmu."
Mereka berdua duduk di meja. Itachi mengangkat pedang yang tadi di bersihkan oleh Sasuke.
"Ini pedang bagus." Itachi mengagumi bilah pedang yang berwarna hitam dengan gagang emas. Terukir huruf asing pada mata pedangnya.
"Pendeta kerajaan memberikannya padaku. Katanya pedang ini milik seorang maharaja kerala."
"Hanya sekedar saran adikku, Jangan terlalu dekat dengan Orochimaru."
"Mengapa kau tak menyukainya? Dia telah banyak membantu ayah selama ini."
"Niat Orochimaru tak bisa ditebak."
"Kakak, selama ini dia telah menjadi guru yang baik untukku. Ayah sendiri yang menunjuk Orochimaru dan mempercayainya. Apa kakak beranggapan penilaian kaisar salah?"
"Aku tak bilang begitu, aku hanya ingin kau lebih waspada dengan orang-orang yang berada di sekelilingmu. Mereka mungkin teman yang menginginkan sesuatu darimu." Itachi kembali meletakkan pedang itu.
"Apa itu artinya orang-orang disekitar kakak memanfaatkanmu juga, atau kakak yang memanfaatkan mereka?"
Itachi tersenyum. "Kau sudah tahu jawabannya."
"Lalu mengapa kakak mencegahku terlibat dalam politik?"
"Karena politik itu membosankan. Kau bisa mencari hobi lain yang lebih menarik."
"Hal seperti itu harusnya aku sendiri yang memutuskan."
"Apa kau marah padaku Sasuke?"
"Tidak, bagaimana aku marah dengan orang yang menjagaku selama ini."
Itachi dan segala nasehatnya membuat Sasuke bosan. Bukan kali pertama sang kakak mengomentari orang-orang yang dia ajak bekerja sama. Di samping itu Itachi juga tak suka dia menjalin koneksi dengan orang-orang penting di pemerintahan. Mengapa ia seakan dikekang untuk membuat lebih banyak prestasi? Sengaja membuat dirinya tidak berguna. Apa Itachi takut dia akan jadi lebih bersinar dan menjadi ancaman bagi kedudukannya sebagai putra mahkota?
"Berhubung kakak berada di sini, bagaimana kalau kita minum dan bersulang." Sasuke menuangkan Sake yang ada di meja.
"Aku belum memberi selamat atas kemenanganmu. Aku masih tak percaya kau memutuskan menginfiltrasi markas mereka."
"Tak hanya aku, ada Juugo dan Suigetsu juga. Musuh akan lemah bila pimpinannya mati, jadi kami memutuskan untuk menyelinap dan membunuh jendral mereka. Sebelum pasukan menggempur perkemahan musuh."
"Berkat dirimu sekarang perbatasan di barat sudah aman."
"Jangan salah kak, masih besar kemungkinan Amegakure akan menyerang kita lagi. Sebab itu kita harus menambah kekuatan Militer."
"Hal yang sulit di lakukan, Kau tahu kan kas kerajaan hampir kosong, Negeri kita terus menerus terkena bencana. Ketimbang berperang aku meminta ayah untuk fokus mengatasi krisis pangan. Jika rakyat miskin bagaimana kita bisa menarik pajak."
"Apa ada solusi cepat untuk mengisi kekosongan kas?" tanya Sasuke.
"Keluarga Yamanaka, mereka sangat kaya. Ayah ingin keluarga perdana menteri menjadi bagian dari kita. Bayangkan saja berapa mas kawin yang akan di bawa Ino Yamanaka. Aku rasa mereka tak akan keberatan bila uang itu dipakai membiayai program sosial."
"Bukankah itu berbahaya, Jika nama Yamanaka jadi terlalu besar, Klan kita akan tenggelam."
Itachi tertawa. "Inoichi tak punya pewaris, hanya seorang putri. Aku yakin dia tak punya niat untuk menggulingkan kita seperti yang kakek Madara lakukan pada klan senju. Pernikahan ini hanya untuk memastikan mereka tak akan menentang kita. Apa kau sudah melihat gadis itu?"
"Tidak, Aku belum pernah berjumpa dengan Nona muda keluarga Yamanaka. Apa ini artinya kau akan menikah lagi?"
"Ayah belum memutuskan, tapi Inoichi berkata padaku ia tak ingin putrinya menjadi selir. Aku mengerti mengapa, posisi Izumi tak bisa di rubah. Dia yang berasal dari klan Uchiha akan menjadi permaisuri. Gadis itu akan tersia-siakan bila menjadi istriku, lagipula Ino Yamanaka tak tertarik pada gelar. Lebih baik gadis itu menikah denganmu." Itachi menyandarkan punggungnya dan mendesah. "Kau beruntung adikku, Kau bisa memiliki satu istri saja. Sementara begitu aku naik tahkta aku harus memenuhi istana dengan wanita-wanita yang mungkin aku tak suka sama sekali."
"Jika kakak merasa terbebani, biar aku saja yang menjadi putra mahkota."
Itachi tertawa, "Kau bercanda kan?"
Sasuke tersenyum. "Tentu saja aku bercanda, siapa lagi yang lebih layak dari kakak untuk memimpin negeri ini."
"Sasuke, saat bulan purnama. Aku dan Izumi mengadakan pesta di tempat kami. Aku harap kau bisa datang."
"Tentu saja, bila tak ada halangan. Aku akan ke sana. Aku juga ingin memberikan hadiah pada istrimu."
Ketika malam menjelang larut, Sasuke mengantar kakaknya hingga ke gerbang. Meski terlihat akur dan akrab, dalam diri Sasuke terdapat bara amarah yang terpendam tiap kali melihat sang kakak. Ia lelah hidup hanya untuk menjadi bayangan Itachi. Bahkan ayah mereka sendiri dengan jelas menunjukkan siapa anak emas dalam keluarga ini. Lalu Klan Yamanaka, Mereka adalah bidak penting dalam strateginya. Dia mendengar putri Inoichi begitu naif dan terlindungi. Gadis yang lemah dan rapuh akan mudah dimanipulasi. Dia akan memenangkan gadis itu dan merebut semua hal yang sekarang jadi milik Itachi.
.
.
Jauh diluar tembok istana, di rumah seorang pejabat militer kerajaan. Sosok berjubah hitam memasuki pekarangan dengan melompati tembok yang tinggi. Meski terlihat seperti penyusup, para pengawal yang berada di sana tidak bergerak, seakan tak melihat sosok yang melewati mereka.
Langkah kakinya tanpa suara, hanya satu ruangan dengan lampu menyala sang penyusup menuju ke sana. Ia membuka pintu dan tiba-tiba sebilah belati terbang menancap tepat di daun pintu.
Penyusup itu tertawa. "Kemampuanmu masih lumayan, pak tua."
Danzo membakar surat rahasia yang baru dia terima. "Aku sudah memberitahumu untuk tidak muncul di rumahku. Jangan sampai ada yang tahu kita bersekongkol."
"Tak ada yang melihatku kemari pak tua." Sosok itu dengan santai duduk di atas meja Danzo, seakan tempat itu miliknya. Pupil matanya yang serupa ular berkilat dalam pendaran lilin.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku?" Tanya Danzo dengan nada kesal.
"Hanya ingin tahu apa yang sedang kau rencanakan."
"Aku tak menyembunyikan apa-apa. Hanya saja aku butuh boneka cadangan jika kau benar-benar menginginkan dia untuk percobaanmu."
"Apa kau sudah menemukannya?."
"Anak itu lolos dan mereka sedang melacaknya. Bagaimana denganmu? aku harap kau mengurus Sasuke dengan baik."
"Bocah itu tak perlu banyak dorongan. Dia ambisius. kita berdua harus mendukungnya, tapi sebelumnya kita harus mencari cara menjatuhkan reputasi putra Mahkota."
Danzo mengetuk-ngetukkan jari di meja. "Aku punya rencana."
"Lebih baik jika rencana mu ini berguna Danzo." Orochimaru menyeringai.
