Dance of Flower
Part 5
Ketika malam semakin larut dan bulan semakin tinggi perjamuan pun berakhir. Ino lega ia tak perlu bercakap dengan pangeran Sasuke setelah perkenalan dan basa-basi mereka. Merasa lelah Ino memohon diri lebih dulu dari yang lainnya.
"Nona Yamanaka, bisa aku bicara denganmu?"
Suara yang memanggil namanya membuat langkah gadis itu terhenti. "Apa yang pangeran perlukan dariku?"
"Apa kau dengan sengaja mengabaikanku sepanjang malam?"
Nada geram dan angkuh melapisi tuduhan yang ditujukan pada Ino.
Langkah kaki mendekat terdengar, gadis itu serta merta membalikkan tubuhnya untuk menghadapi sang pembawa mimpi buruk. Wajah Sasuke masih sama seperti yang dia ingat, tampan dengan sepasang mata onyx yang dingin, tiada tersenyum.
Lucu. Dulu tanpa perlu berkata sepatah kata pun Sasuke bisa membuat jantungnya berdebar dan salah tingkah, Sekarang ia bisa menghadapinya dengan cukup tenang, meski darah dalam nadinya mendidih dengan dendam. Lelaki ini tak punya nurani, keberadaannya bak Pisau yang terbalut dalam lapisan beludru. Tak lagi berguna dia akan menyingkirkanmu.
"Hamba mana berani mengabaikan pangeran."
Mereka berdiri amat dekat, membuat bulu kuduk Ino meremang meski angin musim semi bertiup hangat.
"Aku merasa sangat aneh. Kau sama sekali tidak mengomentari pembicaraanku, Sepanjang malam mencoba menghindari tatapanku, padahal kau tidak canggung bercakap-cakap dengan Kakakku dan putri Izumi. Bukankah itu bentuk pengabaian?"
"Anda salah paham. Hamba tak berani ikut berkomentar karena hamba takut kurangnya pengetahuan hamba akan membuat pangeran tersinggung. Pangeran sendiri tak secara langsung melemparkan pertanyaan pada hamba, jadi hamba merasa tak perlu menyela hanya untuk membuat pangeran mendengar pendapat hamba dan amat tidak sopan bagi hamba untuk menatap langsung pada keturunan dewa."
"Kau seperti yang mereka bilang. Seorang gadis bangsawan yang sopan dan patuh pada tata krama, tapi kau tidak perlu menjadi begitu sopan pada calon suamimu."
"Hamba belum mendengar kepastian dari hal tersebut. Sebelum ada dekrit kaisar. Sangat tidak layak bagi hamba untuk berakrab-akrab dengan pangeran."
Wajah Sasuke menggelap dengan kesinisan. "…, tapi kau merasa wajar untuk mendekati putra mahkota? Apa posisi selir raja tampak lebih menggiurkan daripada apa yang bisa kuberikan? Apa klan Yamanaka berniat untuk memanjangkan taringnya?"
"Tuduhan pangeran sangat menyudutkan. Klan Yamanaka selalu menjadi abdi setia bagi siapa pun yang menduduki Tahkta. Pernikahan antara saya sebagai putri perdana menteri dan salah seorang pangeran tak akan mengubah peta kekuasaan. Mengapa anda khawatir? Apa pun pilihan saya tak ada artinya. Jika bisa memilih saya lebih suka tidak terlibat dalam urusan kerajaan."
"Apa artinya kau tak punya niat untuk mengecap kekuasaan? "
Ino menggeleng dan menunduk dengan malu. " Apa yang menyebabkan pangeran berpikir hamba ingin kekuasaan? Hamba hanyalah wanita sederhana yang suka menyulam dan bermain musik. Impian hamba pun sangat sederhana. Hamba merasa kehidupan di istana akan membuat hamba tertekan."
Sasuke meraih tangan Ino dan menggengamnya. " Menikah denganku akan memberikan banyak keuntungan bagimu. Aku bisa memberikan sesuatu yang seorang kaisar tak bisa berikan padamu."
"Apa itu?" Ino pura-pura bingung.
"Kau juga tahu Kaisar harus memenuhi istana dalam dengan paling tidak tiga orang selir lagi dan tujuh puluh delapan wanita lainnya. Apa kau akan bahagia hidup terkurung dan terlupakan dalam istana ini?"
"Tentu tidak, Tapi apa bedanya bila hamba menjadi istri pangeran?"
"Aku berjanji Kau akan menjadi satu-satunya istriku dan Bukankah itu terdengar lebih baik? Kau juga tak perlu berurusan dengan keluarga kerajaan atau mengatur istana karena aku hanya pangeran yang tak memiliki kedudukan dan kekuasaan."
"Anda tak bisa berjanji seperti itu."
"Mengapa tidak? Jika kau tak yakin dengan kata-kataku. Aku akan meminta pada Kaisar untuk menuliskan janji ini dalam dokumen pernikahan. Tak masalah untukku bila hanya memiliki seorang istri."
"Mengapa pangeran sampai menjanjikan hal ini pada hamba?"
"Karena aku menyukaimu nona Yamanaka."
Ino menatap mata onyx itu dari dekat. Meski mulut Sasuke berkata begitu, tapi matanya tidak. Itu hanya bualan sang pangeran untuk meluluhkannya.
"Ah, Hamba tak tahu harus berkata apa." Ino kembali menunduk. Menunjukkan sifat malu-malu nya.
Dari sini keadaan sudah berbeda dari masa lalu, di mana dulu dialah yang berusaha mencari perhatian Sasuke dan sekarang lelaki itu yang mencari perhatiannya, Mungkin ini disebabkan oleh pertemuannya dengan Itachi. Sasuke merasa terancam dengan putra mahkota yang memperlakukan Ino dengan cukup istimewa.
"Tak perlu menjawab, Aku hanya ingin kau tahu. Jika kau menikah denganku aku akan membuatmu bahagia."
"…tapi pangeran tak mencintai hamba."
"Nona Yamanaka, Aku tak pernah bisa mengerti apa yang namanya cinta atau merasakan apa itu cinta, Konsep cinta begitu abstrak dan asing bagiku, Bila kau menunjukkannya padaku. Mungkin aku bisa belajar menjadi suami yang baik untukmu."
"Cinta itu masalah hati, Pangeran. Kita tak bisa memutuskan untuk memberikan hati kita pada siapa."
"Apakah itu berarti kau telah memiliki seseorang dihatimu?"
"Tidak pangeran, Hamba diperlakukan bagai burung dalam sangkar. Ayah hamba tak memperkenankan lelaki mana pun untuk mendekati Hamba."
Kalimat Ino membuat Sasuke terlihat lega.
"Aku rasa ayahmu bermaksud baik. Nona Ino Yamanaka, Izinkan aku menggunakan kesempatan ini untuk membuktikan aku lebih layak jadi pendampingmu."
"Pangeran tak perlu membuktikan apa-apa. Keputusan itu tidak ada ditangan hamba atau ayah hamba."
".. tapi aku harus membuktikan diri di hadapan Kaisar. Jika aku kembali dengan kemenangan, Aku akan meminta ayahhanda menikahkanmu padaku. Kau tidak keberatan kan?"
"Tentu saja tidak Pangeran. Sebuah kehormatan menjadi pendamping anda. Malam telah larut dan kereta Hamba sudah menunggu. Izinkan saya untuk mohon diri pangeran."
Sasuke melepaskan tangan Ino. "Tentu saja, Lain kali kau juga harus menunjukkan wajah mu padaku."
Ino tersenyum di balik cadar, dalam hati menertawakan bualan Sasuke. Jika Ino tidak tahu, dia pasti sudah goyah dengan kata-kata manis dan janji palsu.
"Baiklah, Hamba permisi." Ia melangkah keluar dari pintu utama kediaman putra mahkota.
Setelah Ino pergi, Sasuke menghembuskan nafas panjang. Ia mual dengan kata-katanya sendiri. Pria sepertinya harus merayu wanita? Sungguh menjijikan sekali, tapi ia tak bisa mengancam wanita itu untuk mendapatkan simpati. Ia terpaksa mendekati Ino lantaran gerak-gerik Itachi cukup mencurigakan. Meski kakaknya berkata setuju bila putri perdana mentri dinikahkan dengannya, tapi hari ini dia menyaksikan sendiri ketertarikan tersirat Itachi pada gadis itu. Entah hanya sekedar rasa ingin tahu atau kekaguman. Sasuke merasa tak boleh mengabaikan sedikitpun faktor yang bisa mempengaruhi peluang kesuksesan nya.
Itachi tak pernah memuji gadis mana pun selain Izumi, tapi Sasuke mendengar Kakaknya memuji Ino beberapa kali dan itu membuatnya resah, karena Yamanaka Ino adalah bagian penting dari rencananya.
Meski Itachi jarang bertindak sembrono dan mengikuti emosinya, Sasuke tetap saja harus merasa khawatir. Tidak ada salahnya ia berusaha membuat Yamanaka Ino jatuh ke pelukannnya dan sepertinya gadis polos itu sudah terjebak dengan bualannya.
Shion dan Sakura telah duduk menunggu di dalam kereta.
"Apa yang membuatmu begitu lama?" tanya Sakura sedikit sebal. Malam ini berjalan begitu buruk baginya, Bukannya mendapatkan pengakuan ia malah menerima hinaan bertubi-tubi. Seharusnya Ino mencegahnya ikut. Ini semua salah Ino, dia yang lebih tahu aturan istana harusnya mencoba melarang sahabatnya mempermalukan diri.
"Pangeran Sasuke mencegatku."
"Orang bilang pangeran Sasuke menakutkan, Nona." Ujar Shion yang tak pernah melihat rupa sang pangeran dan mendengar cukup banyak rumor di jalanan kota.
"Benar Shion. Dia adalah sosok yang menakutkan, tapi dia baru saja mengatakan dia menyukaiku."
"Siapa yang tak akan menyukai nona Anda begitu cantik, sopan dan pandai." Celoteh sang dayang memuji Nona-nya.
Sakura diam meremas rok-nya dengan geram. ' Mengapa harus selalu dia.'
Rasa iri-nya pada Ino semakin membuncah. Ino mendapatkan perlakuan istimewa dan menjadi pusat perhatian hanya karena dia putri perdana menteri. Dari penampilan dan ketrampilan Sakura tak merasa kurang dari Ino, tapi ia tak pernah dipandang, tak pernah disegani, diremehkan dan kondisinya hanya jadi sedikit lebih baik takala ia menjadi benalu pada bangsawan tinggi. Diam-diam Sakura membenci Ino atas segala keberuntungannya. Dia juga ingin menjadi seorang puteri.
.
.
Di dalam kamar putra mahkota Izumi membantu suaminya berganti pakaian.
"Izumi, kau tak perlu melakukan ini. Biar pelayan saja yang melakukannya. Beristirahatlah." Ujar Itachi pada istrinya.
"Aku ingin berterima kasih padamu atas jamuan ini, gadis-gadis itu sopan dan menyenangkan."
"Bila kau suka, undang saja mereka ke istana. Kau juga butuh teman bicara kan?"
"Kau semakin sibuk untuk bercengkrama denganku."
"Izumi ada apa denganmu? Kau terdengar seperti merajuk. Aku mengerti kau kesepian, tapi aku punya tanggung jawab."
Izumi meletakkan jubah sutra Itachi dengan hati-hati di tiang penyangga. Hari ini dia banyak pikiran, terutama tentang masa depannya. Izumi memang dibesarkan oleh Mikoto dan Fugaku, tapi ia tak bisa melupakan kenyataan ayahnya dieksekusi akibat permintaan sang paman. Meski dia terus menerus diberitahu ayah kandung nya seorang tiran yang jahat. Izumi tak ingin percaya, sebab memori masa kecilnya diwarnai kehangatan seorang ayah. Dia sendiri tak pernah berani membicarakan almarhum ayahnya, sebab hal itu akan mendatangkan hukuman baginya dan mungkin saja alasan sang paman menjadikannya putri hanya untuk melanjutkan tradisi darah murni Uchiha. Sebagai seorang wanita dengan gelar putri Utama dan Istri dari putra mahkota dia sama sekali tak diberikan keleluasaan untuk mengurusi istana dalam. Seakan dia hanya boneka pajangan. Di tempat ini, hanya Itachi yang bersikap cukup baik dan melindunginya, Bagi Izumi pria itu adalah segalanya dan meskipun ia mencoba siap dan mengerti posisi dan pilihan suaminya, hatinya tetap merasa terancam. Tanpa sokongan Itachi, Izumi yang bergelar putri tetaplah hanya seorang wanita tanpa daya di dalam istana.
"Itachi, Apa kau menyadari sikap penghuni istana padaku? Aku ini keponakan kaisar tapi satu-satunya yang menghargaiku di istana ini hanya dirimu. Apa mereka semua membenciku karena aku putri seorang pembunuh?"
"Izumi, apa yang paman lakukan tak ada hubungannya denganmu. Kita bahkan terlalu kecil untuk mengingat hal itu."
"Aku sampai sekarang tak paham mengapa ayahku yang seorang putra mahkota membunuh permaisuri yang mengakibatkan gelarnya dicabut dan dieksekusi. Bukankah itu hal bodoh?"
"Mengapa sampai saat ini kau masih memikirkan hal itu Izumi? Ayahmu terbukti bersalah menjadi dalang pembunuhan nenekku. Kau tahu saat itu ayahmu didukung kaisar untuk menggantikannya, tapi seluruh bangsawan dan pejabat memilih ayahku. Persaingan antara mereka tak terelakkan. Mungkin paman berpikir menyingkirkan permaisuri yang juga nenek kandungku akan mengurangi kekuatan ayah. Izumi kau beruntung tak perlu menanggung dosa ayahmu."
"…tapi, semua saudaraku meninggal, termasuk adik laki-laki ku yang masih bayi. Katakan padaku sejujurnya Itachi. Apa benar mereka mati karena wabah? atau paman Fugaku mengeksekusi mereka semua dan menyisakan aku yang tak bisa menjadi ancaman."
"Izumi, berhenti memikirkan itu. Bila ayahku tak berhati lapang. Mengapa ia memintaku menikahimu ketika kau akan lebih berguna dinikahkan dengan bangsawan lain. Ayah bahkan memintamu menjadi permaisuri berikutnya."
"Kau pikir aku bahagia dengan itu? Siapa yang menjamin posisiku dalam istana ini tak tergantikan? Aku tidak bodoh untuk menyadari paman membiarkanku hidup untuk meneruskan tradisi darah murni klan Uchiha dan bila Kaisar mendengar Aku tak bisa memiliki anak apa yang akan terjadi padaku? Kau bisa memiliki seribu wanita lainnya, tapi akankah kau tetap punya perasaan untuk memikirkan nasibku?"
"Izumi, Mengapa kau jadi histeris begini?" Itachi memeluk wanita berambut hitam yang mulai terisak. "Apakah aku suami yang buruk? Aku sudah berjanji untuk menjagamu dan aku akan melakukannya."
"Aku hanya takut. Kau satu-satu nya yang aku miliki, satu-satunya tempat untuk bernaung. Mereka menghormatiku hanya karena mereka memandangmu. Jika kau tiba-tiba melabuhkan hati pada wanita lain dan melupakan kata-katamu. Aku harus bagaimana? Tanpa adanya anak posisiku sangat rapuh"
"Sebaiknya kita tak membahas hal ini sekarang. Penobatanku masih sangat lama."
"Apa kau tak mendengar kata tabib istana? Kondisi kesehatan paman sudah menurun."
"Aku yakin ayahanda akan sembuh." Itachi kemudian menepuk pundak Izumi. "Sebaiknya kau tidur dan minta pelayan menyiapkan teh bunga chamomile untuk menenangkan dirimu. Kau biasanya begitu tenang. Apa yang sebenarnya membuatmu merasa tersudutkan?"
"Kau menaruh minat pada gadis Yamanaka itu."
Itachi terdiam, Kedua alisnya terpaut nampak kebingungan. "Itu tidak benar. Aku hanya kagum pada bakat seninya. Kau salah paham Izumi. Aku bahkan sudah memohon pada ayah untuk menikahkan gadis itu pada Sasuke. Perdana menteri sangat dekat denganku dan dia berkata kalau bisa tak ingin putrinya dijadikan selir dan aku setuju. Kehidupan dan persaingan di Istana dalam tak akan cocok bagi gadis yang seperti teratai putih. Jika aku harus mengangkat selir saat penobatan nanti, aku akan memilih seorang gadis seperti Sabaku Temari yang sepertinya sanggup menghadapi konflik dalam istana. Apakah kau akan selalu panik seperti ini bila saat itu tiba? Berhentilah khawatir Izumi. Kau tahu aku menyayangimu sebagai teman masa kecil dan bila aku harus punya lebih banyak selir sudah jelas itu tak akan jadi keputusan pribadiku. Aku akan berusaha untuk bersikap adil."
"Meski kau berkata begitu hatiku masih resah. Itachi, Apa kau akan mengizinkanku menghabiskan malam di sini?" Tanya Izumi pada sang suami.
Itachi duduk di tepi ranjang. " Aku sangat lelah, Izumi. Tidurlah di ruanganmu."
Izumi terlihat kecewa, tapi ia menurut dan kembali ke kamarnya, Suaminya tak punya kewajiban untuk mencintainya seperti yang dia inginkan, Suaminya bahkan tak punya kewajiban untuk setia padanya. Kadang dia berpikir bagaimana wanita-wanita dalam istana menemukan kebahagiaan? Meski berusaha untuk Ikhlas dan menerima takdirnya. Dia masih tak bisa berlapang dada jika suatu hari ia harus berbagi suami dengan wanita-wanita lainnya.
Bagi Itachi yang besar dan tumbuh bersama Izumi. Wanita itu telah dianggapnya sebagai saudari dan ia tak bisa melihat istrinya sebagai hal lain. Tentu dia tetap menjalankan kewajibannya dengan menghabiskan dua malam bersama istrinya setiap bulan di masa subur, bagaimana pun mereka dituntut untuk mendapatkan keturunan. Bukannya dia pria tanpa gairah, tapi belajar dari sejarah urusan asmara hanya akan menjadi batu sandungan bagi kepemimpinannya. Berapa dinasti yang jatuh hanya karena kaisar terlalu fokus pada seorang wanita? Hati seorang kaisar hanya untuk negeri dan rakyatnya, tidak untuk dimonopoli seorang wanita, tapi malam itu Itachi bermimpi mendengarkan lantunan Sitar Ino Yamanaka di bawah pohon willow. Bersamaan dengan melodi yang sendu, Dia melihat gadis itu menangis.
Ketika ia terbangun di tengah malam dan menyadari mimpinya. Itachi tertegun. Mengapa ia sampai memimpikan gadis itu? Aneh sangat aneh. Terutama bagi seseorang yang tak pernah bermimpi.
.
.
Begitu fajar menyingsing, Para pelayan di kediaman pangeran ke dua tampak sibuk. Peti-peti kayu bertumpuk di atas pedati dan sarapan pagi terhidang di atas meja. Kuda Sasuke telah dikeluarkan dari istal dan bersiap menempuh perjalanan jauh.
Sang pangeran tampak sibuk mengencangkan baju zirahnya. Hari ini ia akan memulai perjalanan ke perbatasan timur, membawa pasukan tambahan untuk menghentikan invasi dari kerajaan tetangga.
Seorang pelayan mengetuk pintu dan membungkuk.
"Pangeran, Hamba menghadap."
Sasuke menyerahkan sebuah kotak pada pelayan itu didalamnya terdapat sebuah pendant dari batu giok. "Berikan ini pada Sakura Haruno. Katakan padanya ini hadiah dariku, tapi minta dia merahasiakannya."
"Baik pangeran." Pelayan itu pun undur diri.
Pangeran Sasuke kembali melanjutkan persiapannya, memilah-milah senjata yang akan dia bawa. Orang-orang disekitarnya sama seperti pedang dan belati ini, mereka bisa melukai lawan bila tahu cara yang efektif untuk mengunakannya. Sakura Haruno, gadis yang sepanjang malam tanpa malu menatapnya dengan penuh damba bisa dia gunakan untuk memata-matai dan mempengaruhi Ino. Dia mengenali rasa iri dan ketamakan yang dipancarakan oleh gadis berambut merah jambu itu. Dibalik keakraban yang tersaji tersimpan muatan kebencian dan kecemburuan.
Sasuke menyusurkan ibu jarinya pada mata pedang yang tajam dan bersinar. Merasa cukup senang dengan pilihannya. Sakura Haruno adalah gadis bermuka dua. Gadis tamak yang bisa melakukan apa saja untuk status dan kekayaan. Sementara Yamanaka Ino adalah gadis yang naif. Gadis malang itu tentunya tak berpikir kalau dia akan mengawasi semua gerak geriknya.
"Sasuke kau akan berangkat sekarang?"
Kehadiran Itachi membuat konsentrasi Sasuke buyar. Dia menyarungkan kembali pedang berwarna hitam itu dan menyelipkannya dipinggang.
"Iya, Aku senang kakak muncul untuk mengantarku."
"Aku tak pernah suka melihatmu pergi menuju bahaya."
Sasuke tersenyum "Apa kakak saja yang terjun ke garis depan, dan mengharumkan nama negeri Konoha ini?"
"Jika aku bisa aku yang akan pergi, tapi aku ternyata dibutuhkan ditempat lain dan ayah mengirimkanmu. Aku tak paham mengapa ayah selalu membiarkanmu ke tempat yang berbahaya?"
" Apa tak terpikir olehmu mungkin saja ayah menginginkan aku mati. Semua orang beranggapan aku ini hanya batu sandungan bagimu."
"Sasuke, Jangan dengarkan kata orang. Bila suatu hal buruk terjadi padamu aku akan sangat sedih. Kita memang berbeda ibu tapi kau tetap saudaraku. Aku tak pernah melihatmu sebagai ancaman. Lupakan omong kosong itu."
"Kalau begitu jangan lah cemas. Aku bukan lagi anak kecil yang harus kau lindungi. Bagaimana kau akan jadi kaisar bila kau masih lemah hati."
"Aku tidak lemah hati, hanya peduli pada keluargaku. Sasuke pulanglah dengan selamat."
Pangeran berambut raven itu tersenyum dan menepuk pundak sang Kakak. "Kau juga kak, berhati-hatilah, sebab wabah juga bisa membunuh."
"Kau sudah dengar ya? Saat ini negara kita dilanda banyak masalah dan lagi kesehatan ayahanda semakin memburuk. Aku merasa tak siap bila aku harus memiminpin dalam waktu dekat."
"Mengapa tidak siap? Bukankah kakak dari lahir sudah diajarkan untuk menjadi seorang kaisar. Semua orang berkata kau memiliki segala hal yang dibutuhkan seorang pemimpin. Mari kita fokus saja pada tugas kita untuk mengurus negara ini."
"Kau benar, Mungkin belakangan ini aku berpikir terlalu banyak."
"Apa yang harus kau pikirkan? Semua pejabat dan bangsawan berdiri dibelakangmu. Begitu pula aku, kau tak memiliki oposisi. Pemerintahanmu akan berjalan mulus."
"Sasuke aku berjanji, bila ayah meninggal. Aku akan mempercayakan seluruh kekuatan militer kerajaan padamu. Menurutku tak ada orang lain yang lebih pantas mengisi posisi ini."
"Para pejabat yang mendukungmu tak akan pernah setuju. Bagi mereka aku yang putra selir ke dua adalah ancaman buatmu dan kau memberikanku wewenang untuk mengatur ratusan ribu prajurit kekaisaran. Aku sudah puas menjadi jendral benteng timur."
"Aku akan meyakinkan mereka Sasuke, Sebagai saudara kita telah melewati banyak rintangan bersama dan kau selalu berada dibelakangku. Akan jadi kesalahan besar bila aku tak bisa menghargai jerih payahmu. Aku sadar ayah telah memperlakukanmu dengan sangat tidak adil, karena itu bila aku menjadi kaisar semua jasamu untuk negeri ini akan dicatat dan kau akan dianugrahi gelar yang pantas."
Dalam hati Sasuke tersenyum. Dia tak ingin mengobarkan perang saudara yang akan meluluhlantakkan negeri dan menghabiskan banyak uang. Yang dia perlukan hanya menyuruh seseorang membunuh Itachi dan mencari kambing hitam, tapi yang terpenting baginya, membangun opini positif dimasyarakat dan menjatuhkan reputasi kakaknya dengan begitu tahkta akan diwariskan padanya. Satu per satu pion nya telah bergerak. Sisanya menjadi urusan pejabat Danzo Shimura dan ia mempercayakan Ino pada Sakura Haruno, gadis itu tak akan menolak penawarannya. Oh, mungkin dia juga bisa membisikan bibit kontroversi pada Izumi yang pastinya resah. Dia sudah tahu cara untuk menjatuhkan seseorang lebih cepat adalah dengan menyerang kaki-kakinya terlebih dahulu.
.
.
Sakura dengan girang membuka kiriman yang dibawa oleh pria yang mengaku dari istana. Dalam kamarnya dia membuka dengan hati-hati peti kayu berlapis beludru yang kelihatannya begitu mewah. Gadis bersurai merah jambu itu memekik senang. Sebuah gelang giok hijau dengan hiasan emas terpampang dihadapannya. Ini benda paling mahal yang pernah dia lihat.
Buru-buru dia memakai gelang yang terlihat pas sekali dipergelangan tangannya. Sakura merasa ia memang pantas memakai barang-barang mewah seperti gadis-gadis bangsawan lainnya. Menjadi bangsawan kecil, ia tak memiliki kemewahan bahkan seorang pelayan pribadi. Senyumnya semakin lebar tatkala menyadari siapa pengirim hadiah itu. Tak sia-sia dia mempermalukan diri untuk datang ke istana, ternyata kecantikannya menarik perhatian seseorang. Orang yang bahkan tidak ia duga.
Sakura tak pernah mendengar kisah asmara pengeran Sasuke atau reputasi bermain wanita. Seperti halnya putra mahkota, Pangeran Sasuke selalu menjaga sikap dan martabat. Mengirimkan hadiah diam-diam padanya. Sakura langsung berasumsi pangeran Sasuke memiliki niat serius.
Ia membaca surat itu diatas tempat tidur dengan perasaan berbunga-bunga. Sebagai gadis yang cukup cantik ia menerima banyak perhatian dari lelaki, bahkan beberapa telah mengajukan lamaran pada ayahnya, tapi tak satu pun dari mereka yang berstatus tinggi jadi Sakura menolaknya. Ia merasa sanggup untuk mencapi hal yang levih tinggi dan ketertarikan seorang pangeran membuat hati Sakura bergetar. Ia tak akan melepaskan kesempatan ini.
Kalimat pertama membuat Sakura terhanyut. Pangeran Sasuke yang tampak dingin ternyata cukup romantis.
Nona Haruno, Gelang giok ini mengingatkanku dengan warna matamu dan aku terpesona dengan wajah cantikmu. Maaf bila aku tak bisa menyapamu secara langsung, Yang mulia kaisar memerintahkanku untuk tidak terlihat dekat dengan gadis selain Yamanaka Ino agar tidak menyinggung perdana mentri. Aku hanyalah seorang putra yang wajib mengikuti perintah ayahandanya dan kau juga tahu keluarga Yamanaka memegang posisi penting. karena itu aku berharap kau tak marah dan menolak pendekatanku yang diam-diam seperti ini.
Nona Haruno, Sementara ini aku tak memiliki apa-apa untuk aku tawarkan padamu. Sebelum posisi dan martabatku meningkat di mata Kaisar aku tak dapat menunjukan afeksi padamu. Saat ini aku juga tak tahu apa kau memiliki perasaan yang sama denganku. Bila kau mengizinkan aku mengenalmu balas lah surat ini dan berikan pada penjaga kedai Ichiraku.
Sasuke Uchiha.
Tolong bakar surat ini begitu kau selesai membacanya karena aku akan berada dalam bahaya jika ada yang tahu.
Sakura tak mempercayai keberuntungannya. Dia berhasil mengaet pangeran. Pangeran Sasuke yang sudah lama menarik perhatiannya. Sakura membakar surat itu sambil tertawa. Apa jadinya bila pangeran Sasuke menikahi Ino dan lelaki itu menyukainya? Hidup Ino akan menderita dan Sakura, gadis yang jelata ini akan memiliki suatu hal lebih dari Ino. Cinta pangeran Sasuke.
Segera Sakura menggosok tinta menuliskan balasan. Memberitahu sang pangeran betapa dia merasa terhormat seseorang yang begitu penting menaruh perhatian padanya. Sakura tak tahu jelas politik di dalam istana tapi dari ayahnya, ia mendengar pangeran Sasuke tak difavoritkan kaisar dan untuk memperbaiki posisi itu pangeran Sasuke berusaha keras agar bisa diakui. Sakura merasa senasib dengan sang pangeran. Yang mereka inginkan sebuah pengakuan, posisi yang penting hingga tak perlu dipandang sebelah mata. Bagi Sakura menjadi selir pangeran sudah bisa menaikkan derajatnya sepuluh kali lipat. Ia tak bisa melewatkan kesempatan ini dan dia juga pada akhirnya punya kesempatan membuat Yamanaka Ino merasa iri padanya. Begitu banyak gadis bangsawan yang tinggal di ibukota, Sakura hampir membenci mereka semua, tapi yang paling dia benci adalah Ino karena ia bisa melihat kehidupan gadis itu dari dekat. Karena mereka adalah teman. Kadang berdiri disamping Ino membuat Sakura merasa dibandingkan, membuat dunianya terlihat begitu sempit dan menyedihkan. Sekarang dia memang bukan siapa-siapa, tapi suatu hari nanti ia akan menjadi lebih dari mereka dan Sakura tak peduli akan jalan yang dia tempuh. Ia ingin berada diatas orang lain.
Dari isi surat itu sudah jelas pangeran Sasuke hanya akan menjadikan Ino sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kepercayaan kaisar dan ia tak merasa keberatan. Bagaimanapun kesuksesan membutuhkan tumbal. Bila pangeran Sasuke memiliki lebih banyak kekuasaan maka dia juga yang akan mencicipinya. Sakura tidak tahu berapa lama pangeran akan tertarik padanya, tapi dia sangat tahu perasaan lelaki selalu berubah-ubah. Lihatlah ayahnya sendiri yang memiliki begitu banyak istri. Hanya yang paling disayang bisa hidup dengan tenang dan Ibunya adalah salah satu istri yang terlupakan. Mengetahui sifat pangeran Sasuke dan dirinya yang hampir mirip, satu-satunya cara agar tetap menarik di matanya hanya dengan menjadi berguna dan penting baginya.
Sakura menggoreskan kuasnya.
Hamba menyukai pangeran, bila ada hal yang dapat hamba kerjakan untuk memperlancar hubungan ini, hamba tak akan segan melakukannya. Hamba akan merahasiakan gelang pemberian pangeran dan menutup mulut hamba rapat-rapat.
Sakura melipatnya ke dalam amplop dan berjalan menuju kedai Ichiraku. Ia menyerahkan surat itu pada pemuda berambut kuning yang sibuk membersihkan meja.
.
.
Ino menemukan masalah, ia tak kunjung bisa mengumpulkan bahan pangan. Benar kata ayahnya, persediaan di Ibu kota sudah menyusut. Dia harus mencari ke wilayah lain. Ino mengetuk-ngetukkan jari, di selatan sedang ada bencana, di timur ada konflik wilayah. Daerah utara terlalu jauh. Bantuan logistiknya tak akan sampai tepat waktu. Satu-satunya area yang bisa dia tuju hanya wilayah barat. Siapa yang bisa membantunya mengumpulkan begitu banyak beras di tempat itu. Lalu Ino teringat pada Temari.
Temari ada putri jendral Sabaku di barat. Mereka dihormati dan dicintai lebih dari kaisar oleh penduduk setempat. Jika Temari membantunya mungkin Ino bisa mendapatkan kemudahan, tapi memikirkan untuk berbicara dengan gadis itu saja membuat Ino agak resah. Temari dikenal dengan sikapnya yang blak-blakan dan berbicara tanpa pandang bulu. Gadis itu meski baru datang ke Ibukota langsung tak menyukainya, tapi jamuan malam di istana berjalan dengan lancar tanpa ada yang berusaha menyudutkannya. Apa mungkin gadis-gadis itu sudah berubah hati? ia tak punya pilihan selain mencoba mendekati Temari, sebab menyelamatkan reputasi putra mahkota menjadi misi yang tak boleh gagal.
Dari luar pintu ruang studinya Ino mendengar suara-suara percakapan. Sepertinya rumah ini kedatangan tamu.
"Shion, cari tahu siapa yang datang!"
Shion mengintip dari ambang jendela. "Tuan Muda Nara, sepertinya sedang berjalan ke kolam dengan tuan besar."
Shikamaru Nara adalah teman masa kecil Ino. Mereka seusia dan ayah mereka sangat akrab. Sebelum masa pingitan Ino dimulai ada banyak hari-hari yang dia habiskan dengan putra keluarga Nara. Sayang sekali persahabatan mereka tak berlangsung selamanya. Begitu usia mereka bertambah perbedaan gender membuat mereka wajib menjaga jarak. Sudah beberapa tahun ia tak melihat Shikamaru, ia tentunya sudah bukan lagi bocah malas yang kerjanya hanya tiduran dan menatap langit. Ayah Ino sering membahas kecerdasan Shikamaru. Bagaimana pemuda itu lulus ujian negara dengan nilai tertinggi. Yang Ino tahu, Shikamaru seorang negosiator ulung dan mungkin kemampuannya akan membantu Ino membuat kesepakatan dengan Temari.
Gadis pirang itu bangkit dan keluar. Mengingat hubungan keluarga dan masa kecil mereka Mungkin Shikamaru mau membantunya bernegosiasi dengan Temari.
Ino menunggu hingga tuan muda Nara berjalan sendirian dan ia mencegat pemuda yang hendak keluar dari pintu halaman rumahnya.
"Shikamaru Nara. Berhenti."
Pemuda itu terkejut. "Eh, Ino. Ada apa kau mencegatku? Aku mau pulang urusanku dengan paman sudah selesai."
"Aku hanya ingin memberi salam padamu. Mau minum teh denganku?" tanya gadis pirang itu.
"Apa kau ingin paman Inoichi membunuhku. Kau tahu sendiri sejak kau beranjak dewasa aku tak diizinkan dekat-dekat denganmu."
"Tak usah khawatir, akan ada Shion dan pelayan lainnya. Apa yang bisa kita lakukan ditempat terbuka?"
Shikamaru mengikuti Ino menuju pavilliun di tengah taman.
"Kau mengajakku ke sini pasti bukan untuk nostalgia masa kecil kita kan?"
"Benar Shika. Kita memang sudah tak sedekat dulu, tapi kau adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa aku percaya. Aku perlu bantuanmu."
Pemuda dengan rambut kuncir itu menelan teh-nya. "Aku tak akan melalukan hal yang merepotkan meski kau teman masa kecilku, Ino. Minta saja bantuan orang lain."
"Oh begitu? Apa kau ingin seluruh kota tahu Nara Shikamaru yang jenius ketakutan hingga pipis di celana melihat katak? Atau Shikamaru diam-diam suka mencoba pakaian wanita. Aku tahu semua aibmu."
Shikamaru menyemburkan teh yang dia telan. "Hey, Waktu itu aku masih kecil."
"Hm.. Para gadis bangsawan itu suka gossip. Apa kau mau jadi tertawaan di jamuan istana berikutnya atau digosiplan warga sekota?"
"Ha..h, Baiklah apa yang kau inginkan?"
"Kau harus membantuku bernegosiasi dengan seseorang."
"Soal apa?"
"Aku membutuhkan koneksi ke wilayah barat. Jadi kita akan menjumpai putri keluarga Sabaku. Apa kau sudah pernah berjumpa dengannya?"
Shikamaru menggeleng. "Untuk apa kau butuh koneksi. Bukankah gadis-gadis bangsawan hanya tertarik pada pakaian, perhiasaan dan produk kecantikan terbaru?"
"Kau pasti mendengar dari ayahmu Ibukota akan kekurangan pangan dalam waktu dekat. Aku hanya ingin tahu apa mungkin kita mendapatkan beras diluar perbatasan? Aku dengar wilayah barat jadi begitu makmur belakangan ini karena influx pedagang dari negeri Sunagakure. Sepertinya jendral barat diam-diam membuat perjanjian dengan negara tetangga. Sesuatu yang kaisar tak pernah pikirkan."
"Wilayah barat merupakan daerah otonomi, dari segi geografis dan budaya orang-orang barat lebih dekat dengan negeri Suna ketimbang konoha, begitu pula dengan watak mereka. Keluarga Sabaku tak akan peduli padahal yang terjadi di ibu kota, aku ragu mereka akan membantu."
"..tapi mereka tak akan menolak uang kan? Aku sedang menegosiasikan rencana bisnis."
"Ino, Keluarga Yamanaka sudah kaya."
"Shika kau harus bicara dengan menyakinkan. Hingga Temari mau membantuku. Ini bukan hanya menyangkut uang, tapi juga ketersediaan pangan di Ibukota. Kita harus mencegah bencana kelaparan. Aku tak paham kenapa istana tak mencari solusi lain untuk mengisi kembali lumbung istana."
"Istana enggan memohon pada keluarga Sabaku. Separuh dari wilayah barat dulunya adalah bagian dari Sunagakure. Perang saudara membuat negara itu pecah dan klan Sabaku memilih untuk berafilliasi dengan Negeri Konoha ketimbang membuat kerajaan sendiri sebab itu wilayah barat mendapatkan otonomi Khusus. Bahkan aku dengar rakyat di daerah barat tak menganggap klan Uchiha sebagi pemimpin mereka. Terlebih lagi istana takut akan kekuatan pasukan keluarga Sabaku yang bisa menandingi kerajaan."
"Apa kau mau bilang hubungan istana dan klan Sabaku cukup buruk? Karena itu istana tak meminta batuan?" tanya Ino pada Shikamaru.
"Bagaimana aku harus menjelaskannya, Istana dan Klan Sabaku berada di level yang sama. Jika saja mereka kesal dan memberontak, memobilisasi pasukan mereka kemungkinan Ibu kota bisa jatuh. Maka dari itu Kaisar tak pernah mengusik mereka begitu pula sebaliknya. Mereka tak ikut campur urusan politik yang tak menyingung kepentingan mereka."
Sekarang Ino paham benar, mengapa dikehidupan masa lalu nya ia tak pernah berhubungan dengan orang-orang klan Sabaku, atau mengapa saat Sasuke memerintah dia mengabaikan sepenuhnya provensi barat. Bahkan ia pernah bersikeras menjadikan Temari selir, tapi wanita itu menolak. Apa yang Sasuke inginkan sebuah hubungan kekerabatan dengan klan Sabaku, sesuatu yang menjamin kelanggengan pemerintahannya dan kekuasaan untuk mengerakkan ratusan ribu tentara wilayah barat.
"Hm…jadi selama ini konstribusi wilayah barat hanya berupa pajak dan mereka juga secara geografis menjadi benteng pertahanan Konoha?"
"Namanya juga daerah otonomi khusus. Istana tak bisa mengatur mereka. Itu syarat klan Sabaku sebelum bergabung dengan kita."
Bicara tentang keluarga itu, Ino mau tak mau memikirkan Sabaku Gaara, sosok yang sama sekali tidak pernah ia lihat bahkan hingga kematiannya. Dia tak pernah datang ke istana dan meninggalkan wilayahnya. Yang Ino sering dengar hanya kesuksesan dan keberanian sang jendral muda, hingga dia mendapatkan julukan Harimau barat dan dia juga pimpinan yang arif. Beberapa kali Sasuke marah dan berniat membuat perang yang hanya karena sang jenderal menolak menjawab padanya, bersyukur para pejabat berotak dingin dan mampu meredam amarah Kaisar Sasuke. hingga perang tak terjadi.
"Shikamaru, pokoknya kau temani aku menemui Sabaku Temari. Aku agak takut dengannya dan ia juga tak begitu menyukaiku."
"Malang sekali nasibku. Jika hubungan kalian saja buruk, bagaimana aku harus menjelaskan niatmu?"
"Kau kan pintar merangkai kata Shikamaru. Gunakan otak jeniusmu itu."
"Merepotkan sekali." Gumam tuan Muda keluarga Nara itu.
.
.
Temari tengah sibuk berlatih pedang di tengah-tengah halaman rumahnya. Boneka-boneka jerami berserakan di tanah. Beberapa potong kayu telah patah dan gadis itu tampak masih tak puas. Kehidupan ibu kota begitu membosankan, dia merasa akan jadi berkarat bila tinggal di tempat ini lebih lama. Temari ingin menjambak rambutnya. Gaara telah mengingatkan bila ia tak pulang dengan suami, kemungkinan cepat atau lambat istana akan mengirimkan permohonan untuk menjadikannya selir. Menikah dengan bangsawan lokal serasa tak mungkin, sebab Temari tak sudi menikah dengan lelaki yang lebih lemah darinya. Dia berharap menemukan sesuatu di Ibu kota, tapi selain pangeran ke dua nan dingin dan angkuh. Sisanya hanya putra-putra bangsawan lembek yang hanya bisa bersenang-senang.
Gadis berkuncir empat itu mengusap keringat. Ia tak ingin nasibnya seperti Ino Yamanaka. Saat dia bertemu permaisuri Mikoto, beliau berkata ingin mendekatkan hubungan istana dan wilayah barat. Hal itu membuatnya bergidik. Ia sangat bahagia tinggal bersama saudara-saudaranya, Hidup di istana hanya akan membuatnya gila.
Keluarga Sabaku tak ikut campur urusan istana dan sebelum dirinya lahir, keluarga mereka hanya memiliki anak laki-laki, tapi Temari lebih dari tahu klan Uchiha menginginkan kekuatan militer keluarga mereka. Jika mereka merasa dirinya berguna mereka akan berusaha memanfaatkannya. Sebab itu istana memperlakukannya dengan baik, meski sikapnya kasar dan tal sesuai dengan norma yang berlaku di sini.
Para Uciha cukup licik dan Istana adalah tempat yang busuk, Temari juga tak ingin menjadi penghuninya. Ia ingin kembali ke barat. Di mana jika ia berdiri di atas dinding benteng ia bisa melihat gurun pasir yang membatasi wilayah mereka dan negeri Suna.
"Nona..Nona ada tamu." Seorang pelayan lari tergopoh.
"Siapa?"
"Katanya Nona Yamanaka."
Temari menyambut tamu nya tanpa merapikan diri. Apa yang diinginkan gadis itu sekarang?
"Perlakuan macam apa ini? Masa kita harus menunggu di luar hingga wanita itu datang. Apa budaya mereka seperti ini? "
"Shikamaru jangan mengeluh, kita datang ke sini tanpa undangan. Mungkin saja Temari tak mau menemui kita. Aku akan menunggu."
Sang pemuda bersandar di kereta. "Kenapa aku harus ikut susah seperti ini? Harusnya aku sekarang asyik makan dan minum bersama Choji."
"Kau kan temanku?"
"Ayah kita yang berteman, Aku tak berteman dengan wanita yang merepotkan."
Ino menggeleng. "Semua hal merepotkan bagimu. Apa bernafas juga merepotkan? Ayah bilang kau pintar tapi malas."
"Aku hanya ingin hidup tenang tahu."
Sepertinya Shikamaru tak ditakdirkan mendapat kedamaian hari ini. Mata pemuda itu melotot melihat sosok gadis yang keluar diiringi pelayan dari pintu gerbang.
Temari teringat dengan insiden di rumah judi. Ia tak lupa dengan rambut yang terikat serupa buah nanas itu. Mendadak dia menjadi geram
"Lelaki tengik!" Temari berkacak pinggang.
"Wanita bar-bar." Teriak Shikamaru.
Ino berada di tengah-tengah merasa akan terjadi hal buruk dengan cepat.
"Ino Yamanaka, Apa kau membawa lelaki ini kemari hanya untuk membuatku kesal?"
"Aku tak tahu kalian saling kenal." Jawab Ino lemah.
"Maaf Ino, Aku tak mengenal wanita bar-bar ini dan percuma juga menyuruhku berdiskusi. Dia tak punya kemampuan nalar."
Ucapan Shikamaru membuat urat-urat mencuat di kening Temari. Siapa laki-laki ini yang berpikir bisa menghinanya.
"Apa kau ingin aku mematahkan hidungmu lagi?"
"Aku tak membela diri karena aku tak memukul wanita."
"Katakan saja kau lemah. Beraninya kau menghina putri keluarga Sabaku. Kau akan menerima hukuman dariku."
Suara derap kaki kuda mendekat. Ino merasa jika ia tak melakukan sesuatu, akan ada darah yang tumpah. Ia harus membawa Shikamaru pergi segera, tapi terlambat Temari sudah melayangkan tinjunya.
"Kya…" Ino berteriak melihat Shikamaru mau dipukul. Masalah akan jadi besar jika Tuan Muda Nara pulang dengan wajah bonyok.
"Temari hentikan!" Suara penuh otoritas menghentikan gerakkan Temari.
Ino menahan napas dengan tegang.
"Aku tak menyangka begitu datang aku akan melihat keributan seperti ini. Kakak, Kau menakuti semua lelaki kalau begini."
"Aku tak berniat menikah." Tungkas Temari. "Dari pada aku, lebih baik kau saja yang menikah duluan."
"Bukan aku yang akan dipinang pihak istana di masa depan."
"Mengapa aku lahir sebagai wanita?"
"Hanya bentukmu saja yang seperti wanita." Shikamaru menyela kesal. Seumur-umur ia tak pernah berjumpa dengan wanita yang galak dan kasar seperti Ibunya.
"Jangan menghinaku, rambut Nanas. Aku juga heran mengapa Ibu kota dipenuhi lelaki tak berguna seperti dirimu."
Ino tertegun, Duduk di atas kuda seorang pemuda berambut merah dan bermata hijau. Wajah yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
"Siapa kalian?" tanya pemuda berambut merah itu.
Di bawah sorot mata yang tajam dan menyelidik, Ino sedikit merinding. Mau tak mau mulutnya bicara.
"Aku Nona Muda keluarga Yamanaka, datang kemari untuk membicarakan bisnis dengan keluarga Sabaku."
"Nona bangsawan dan bisnis. Aku tak pernah mendengar ini sebelumnya."
"Apa anda berminat mendengarkan saya, Jendral?" Ino mendengar pemuda itu memanggil Temari kakak, jika dia tak salah. Bisa jadi orang yang berdiri di depannya adalah Sabaku Gaara.
.
.
