Dance of The Flower
Part 17
Perbatasan Timur
Naruto merasa lega. Benteng timur sudah terlihat menjulang dari tempatnya berada. Ia pun memacu kudanya agar berlari lebih cepat. Derap tapal kuda membuat tanah terangkat dari permukaan. Meninggalkan jejak jelas di atas jalan setapak yang lembap. Binatang malang itu lelah, tapi dia tak bisa mengabaikan perintah sang penunggang yang kini mengayunkan cambuk dengan putus asa.
Naruto mengernyit, Luka terlihat di beberapa bagian tubuhnya tapi ia tetap bertahan hingga berhasil tiba di pintu masuk benteng. Pasukan kerajaan bukan milik pangeran Sasuke. Mereka adalah prajurit yang ditugaskan untuk melindungi Konoha dan Kaisar. Jadi dia berharap bila ia melaporkan niat jendral Sasuke untuk memberontak, mungkin Kepala benteng akan bersedia melindunginya.
Naruto sadar Sasuke menyimpan ambisi dan dendam. Atasannya juga sedikit paranoid, tapi betapa buruknya Sasuke ingin membunuhnya hanya bermodal dugaan. Bukankah mereka teman? Atau mungkin hanya dia saja yang menganggap hubungan mereka sebagai persahabatan? Naruto tertawa getir menyadari betapa bodohnya dia. Mana mungkin seorang pangeran sudi berteman dengan anak yatim piatu dari kalangan rendah.
Kuda itu berhenti berderap di depan pintu kayu yang tertutup. Aneh sekali tak ada yang berjaga di pintu depan. Di atas tembok tinggi menjulang, Mata biru Naruto menangkap sosok prajurit bersenjatakan tombak berjaga mengamati keadaan.
"Buka pintunya!, Naruto Uzumaki Ajudan Jendral Sasuke meminta perlindungan. Aku baru saja diserang!"
Prajurit berseragam kerajaan membukakan pintu, Dia tak menyadari mata prajurit-prajurit itu mengawasinya. Naruto buru-buru masuk. Ia lantas merasa mual, Apa yang biasa dia lihat di penjara tak bisa dibandingkan dengan pemandangan di hadapannya. Ratusan mayat prajurit kerajaan Konoha tergeletak di setiap sudut dengan wajah membiru dan buih di mulut. Mereka sepertinya mati karena diracuni.
Ini brutal. Baru sore tadi prajurit-prajurit ini asyik menikmati makan malam sambil bersenda gurau sekarang mereka mati tanpa perlawanan. Ini hanya bisa terjadi jika ada pengkhianat. Apa itu alasan Sasuke menyuruh dia menemaninya makan dan tidak ikut makan di dapur umum seperti yang lainnya.
Naruto menangis dan berteriak, Ini sangat kejam. Prajurit-prajurit ini mati tanpa alasan. Apa Pangeran Sasuke membunuh mereka semua? Pantas saja Pangeran Sasuke tak membawa satu pun mantan anggota Susano mau pun pasukan amaterasu yang jelas-jelas punya pengalaman bertempur melawan pasukan Otogakure. Mereka yang terbunuh adalah pengikut kaisar.
Otak Naruto yang meski tak selalu cemerlang langsung tahu Pangeran Sasuke memanfaatkan posisinya sebagai jendral utama untuk melemahkan Itachi Uchiha. Kalau begitu apa kakeknya bekerja untuk Kaisar? Apakah Kaisar sudah mencurigai adiknya atau jangan-jangan ada pihak ke tiga yang ingin menumbangkan klan Uchiha sepenuhnya dengan mengadu domba Kaisar dan Jendral Sasuke?
Naruto yang tak mengerti politik merasa geram. Bagaimana mungkin sang kakek yang seorang penulis novel mesum ternyata punya hubungan dengan orang-orang istana? Dia tak pernah setuju menjadi mata-mata dan dia tak pernah mengatakan apa pun tentang kegiatan pribadi Sasuke. Ia bahkan tak kenal dengan dua lelaki asing yang memanggil atasannya sebagai pemimpin dan entah rahasia macam apa lagi yang dimiliki atasannya itu.
Naruto salah menganggap dirinya paling dekat dengan Pangeran Sasuke. Dia sama sekali tak tahu apa-apa. Bahkan tak pernah dilibatkan selain urusan remeh. Benar dia hannyalah pesuruh sang Jendral.
Lelaki pirang itu membalikkan kuda. Dia ingin pergi jauh-jauh dan bersembunyi saja. Jika dia sampai ke kota timur ia bisa meminta perlindungan Shikaku Nara, tapi ia terlambat. Di ujung gerbang Sasuke dan dua orang yang tadi menyerangnya berdiri menghadang.
"Naruto, Apa kau berpikir melaporkan tindakanku pada Kaisar?"
"Pangeran Sasuke, saya merasa anda telah kehilangan akal. Bagaimana anda bisa melakukan semua ini?"
"Naruto, Selama berada di sampingku. Apa kau tak melihat penderitaanku? Aku hanya berniat mengambil apa yang telah direbut dariku. Jika kau memberitahuku pada siapa kau bercerita aku akan memaafkanmu dan kau bisa jadi tangan kananku lagi."
"Jendral anda telah salah paham. Saya tak pernah bicara satu kata pun soal hubungan anda dengan permaisuri. Di istana banyak mata dan telinga. Bisa jadi kediaman anda telah disusupi kenapa malah menuduh saya. Selain saya ada dua orang yang tahu hubungan kalian. Sakura Haruno dan tentu saja pelayan pribadi Ino. Saya bersumpah tidak mengkhianati anda pangeran."
Sasuke lupa dia tak mengawasi keberadaan Sakura Haruno. Dia berpikir gadis dari kelas rendah tak akan punya kesempatan untuk mendekati orang-orang istana. Mungkin saja Ibu suri menyelidiki Ino dan menemukan fakta Sakura Haruno adalah mantan orang terdekat permaisuri dan menggali informasi darinya. Gadis itu tak menyukai Ino dan ibu suri juga tak menyukai Ino. Ibu suri pasti merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Ino dari posisinya.
Hal tersebut mungkin saja terjadi dan Sasuke tak bisa membiarkannya. Dia memerlukan Ino di samping Itachi untuk mengalihkan perhatian kakaknya dari segala kegiatan yang diam-diam dia kerjakan.
"Aku tetap saja tak bisa mempercayaimu. Jugo, Lempar orang ini ke penjara."
Tak butuh waktu lama bagi dua orang itu untuk menangkap Naruto yang sudah terluka parah. Terjatuh dari kuda yang dibuat mengamuk kaki lelaki pirang itu patah. Ia terkapar di tanah dan merasakan sakit yang luar biasa. Pedang Suigetsu menusuk telapak tangannya. Seluruh tubuh Naruto berlumuran darah dan dia merasa akan mati.
"Sekarang kau tak bisa lari."
"Berhentilah menyiksanya, Suigetsu. Pemimpin ingin dia tetap hidup."
"Ya sudah kau seret dia ke penjara."
Dengan santai Jugo menarik kaki Naruto yang patah dan menyeretnya sepanjang jalan. Teriakan lelaki pirang itu berbaur dengan kematian di sekelilingnya.
Di tengah-tengah bau darah dan mayat. Sasuke dengan tenang menulis surat. Ia menyampaikan pada Itachi perbatasan timur telah jatuh. Mereka mendapatkan serangan mendadak dari Otogakure dan telah diracuni oleh Kepala benteng Timur yang ternyata berkhianat. Dia dan sisa pasukannya yang masih selamat mundur ke kota timur dan meminta istana mengirimkan pasukan tambahan. Satu surat lagi dia kirimkan pada kepala keluarga Nara yang menjadi pemimpin sementara. Ia meminta seluruh prajurit bangsawan timur bersiaga karena mungkin saja Tentara Otogakure menyerang. Sasuke ingin memanfaatkan drama ini untuk menyingkirkan Shikaku Nara, sekaligus merangkul sisa kekuatan Klan Otsutsuki dan menjadikan wilayah timur sebagai miliknya.
Jugo dan Suigetsu kembali ke sisi pemimpin mereka.
"Apa yang sekarang kita lakukan?" tanya Jugo.
"Bawa orang-orang kita ke ibukota dan singkirkan tiga orang jendral yang mengepalai pasukan kerajaan Yamato, Gui dan Azuma. Pastikan kalian membuat pembunuhan itu seolah dilakukan oleh kelompok Hebi. Sisa pasukan kita akan menyamar menjadi pasukan kerajaan. Sementara aku akan tinggal di kota timur."
"Apa anda ingin membuat pembunuhan ini diprakarsai oleh Danzo? Kelompok Hebi didirikan olehnya. Apa anda pikir guru akan setuju dengan rencana ini? Kita mengorbankan salah satu sekutu kita."
"Kalian dari tim Taka bekerja untuk Danzo atau untukku? Pendapat guru tidak penting di sini. Danzo mau membantuku hanya karena Itachi tidak bisa dia dikontrol. Pak tua itu sangat naif jika berpikir aku akan menurutinya begitu saja. Orang seperti itu lebih berguna dijadikan tumbal saja. Kaisar akan terlalu sibuk mengurus kelompok Hebi sementara aku pura-pura berperang di sini. Begitu aku kembali ke ibu kota, Pasukan kerajaan akan sepenuhnya berada di bawah penguasaanku. Lalu kita bisa melakukan kudeta. Kalian harus berhasil membunuh ketiga orang jendral itu. Jangan sampai ada yang lolos."
"Kami mengerti. Kalau begitu kita akan bertemu di Ibukota."
"Jugo, Suigetsu. Jangan lupa singkirkan keluarga Haruno juga."
"Siap pemimpin."
Sasuke tersenyum dengan dingin melihat kehancuran di sekelilingnya. Satu demi satu rencananya terwujud. Sekutu tak ubahnya bidak catur yang dia gerakan untuk menjalankan strateginya. Ino Yamanaka berkata akan melakukan sesuatu, tapi Sasuke tak akan menunggu. Wanita itu punya kesempatan untuk membunuh Itachi kapan saja, tapi masih tetap belum melakukan tindakan apa-apa. Malah belakangan ini dia merasa Itachi semakin waspada. Kalau begini ia lebih baik membereskan pekerjaannya sendiri. Dia hanya perlu orang yang bisa digunakan untuk menutupi jejak kejahatannya.
Sasuke menaiki tangga untuk naik ke puncak benteng. Ia mengamati sisa pasukan Susano dan Amaterasu yang dengan paksa dibubarkan oleh Itachi berbaris memasuki benteng timur dengan membawa atribut kerajaan Otogakure. Lelaki itu terlihat puas. Dari balik bayangan gelap Sasuke merasakan pergerakan.
"Aku tahu kau di sana, Keluarlah."
Sosok berpakaian gelap dengan topeng spiral muncul. "Sasuke, Apa kau sadar kau baru saja membuat rencana tanpa melibatkan Orochimaru? Menyingkirkan Danzo dan Geng hebinya sama saja dengan memutus rantai finansial yang menyokong dirimu dan pasukanmu."
"Tobi, Apa kau pikir Danzo membiayai guru untuk menciptakan pasukan bayangan itu demi diriku? Dia bukan manusia yang murah hati. Apa kau akan mengadukanku pada guru?"
Tobi mengangkat bahunya, "Entahlah."
"Kau diminta guru untuk mengawasiku bukan? Laporkan saja yang apa yang kau lihat. Aku ragu guru akan mencoba menghentikanku dan Tobi, Aku biarkan kau berada di sekitarku karena aku menghormati guru, tapi jika kau terlalu ikut campur. Aku tak akan segan membunuhmu." Setelah mengucapkan kalimat itu Sasuke kembali turun. Ia harus memilih beberapa ratus orang untuk di bawa ke kota timur.
Tobi pun melompat dari atas benteng dan melepas topengnya, Menampilkan wajah Obito Uchiha. Tak ada yang tahu lelaki itu memiliki dua identitas, Sebagai Tobi. Ketua kelompok organisasi Akatsuki yang merupakan sekelompok prajurit bayaran yang juga dia gunakan sebagai sumber informasi dan Obito Uchiha, Mata-mata Senior kerajaan Konoha. Tobi berutang pada Orochimaru yang menyembuhkannya sebab itu dia setuju untuk mengawal Sasuke. Di sisi lain, Bisa-bisanya Kaisar meminta dirinya mengawasi Sasuke, Ternyata Itachi Uchiha tak sebodoh yang Obito kira.
Tapi yang membuat dia heran adalah perhatian Orochimaru terhadap Pangeran Sasuke cukup berlebihan. Sampai saat ini pun dia ia masih belum sanggup menguak motivasi Sage itu untuk membantu.
"Apa aku harus memberitahu Itachi?" Lelaki itu menggaruk kepala. "Nah, Aku tak berniat berpihak pada siapa pun dalam pertempuran ini. Biarkan saja Klan Uchiha dan Konoha hancur. Mereka pantas mendapatkannya."
Obito tak peduli lagi pada klannya atau pun Konoha. Dia sendiri punya dendam pada Fugaku yang tak memberikan pengampunan pada Rin yang diam-diam menyelamatkan bayi laki-laki yang juga adik putri Izumi. Entah di mana anak itu sekarang. Lebih baik dia tak pernah tahu kalau dia memiliki darah Uchiha.
.
.
Istana Naga.
Prajurit yang berjaga sangat terkejut melihat permaisuri muncul di istana kaisar malam-malam begini.
Kasim yang bertugas mengatur kediaman Itachi pun datang dengan tergopoh-gopoh menyambut tamu yang tidak diundang ini.
"Salam permaisuri, Semoga bulan selalu menyinari tanah Konoha dengan kemakmuran."
"Apakah Yang mulia ada di istana? Permaisuri ingin berjumpa." Shion bertanya untuk majikannya.
"Yang mulia baru saja kembali dan beliau bersama selir Haruno. Hamba akan memberitahu yang mulia jika permaisuri datang."
Mendengar nama Sakura, Ino jadi geram. "Aku tak mau menunggu, Aku akan mencari kaisar sendiri."
"Permaisuri tunggu." Kasim mencoba mencegah Ino, tapi ia tak dapat melakukan apa-apa karena dia tak diperkenankan menyentuh dan menatap anggota keluarga kerajaan. Ia hanya bisa pasrah mengikuti permaisuri berjalan dengan cepat sepanjang koridor.
Ino menemukan ruang tidur Itachi yang terlihat terang oleh cahaya lilin. Gadis itu tak peduli jika Yang mulia akan murka ia datang tanpa izin, tapi lebih penting bagi Ino untuk tahu mengapa lelaki itu mendadak menghindarinya dan dia juga perlu memberikan tamparan keras pada Sakura.
Tadi pagi dia tak sempat berkata apa-apa karena tak ingin memulai konflik dengan ibu suri, tapi sekarang Sakura adalah anggota harem. Yang artinya Ino bebas melakukan apa pun pada selir yang statusnya lebih rendah bahkan membunuhnya sekalipun.
Ino ingin sekali menendang si rambut merah jambu dari istana. Nasib sungguh mengherankan, Ketika ia menjadi permaisuri bagi Sasuke, Sakura menempati posisi selir. Sekarang ia tetap menjadi permaisuri dan wanita itu dengan cara yang aneh juga menjadi selir kaisar. Apa pada akhirnya dia dan Itachi juga akan mati terbunuh pada kehidupan ini? dan ternyata takdir tak bisa diubah. Lalu untuk apa dewa memutar waktu.
Dengan kasar ia mendorong pintu hanya untuk menemukan Sang kaisar tengah berendam sendirian dengan santai dalam bak kayu besar. Posisinya membelakangi pintu, Ino hanya bisa melihat bahu dan rambut hitamnya saja. Dahi Ino lantas mengernyit, melihat Kaisar bahkan tak mencoba berpaling untuk melihat siapa yang datang.
"Yang mulia, Anda terlalu santai. Bagaimana jika yang mendobrak pintu anda adalah penyusup?" Ucap Ino.
"Aku tak merasakan aura membunuh darimu, Apa yang membawamu ke istana naga malam-malam begini." Itachi sudah setengah jam berusaha menyingkirkan efek asap yang membuat pikirannya berkabut. Beruntung tadi dia masih cukup sadar untuk menyiram tungku dengan teh, lalu mengusir Sakura Haruno. Jika ia mencium asap itu lebih lama lagi, wanita licik itu pasti akan mengambil keuntungan darinya.
Itachi akan menggunakan obat afrodisiak itu sebagai alasan untuk protes pada ibunya. Belum juga setahun ia mengangkat Ino sebagai selir, Ibunya sudah mengirim gadis-gadis untuk dia buat hamil. Ini keterlaluan. Sepertinya Ibu suri hanya berniat membuat Ino kesal.
"Ke mana Selir Haruno?" Ino mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Mungkin saja rubah betina itu bersembunyi.
"Apa kau kemari karena mengkhawatirkan temanmu? Setelah selesai berurusan dengannya aku menyuruhnya pergi." Itachi memunggungi Ino sembari menutup mata berkonsentrasi mencoba mengenyahkan sisa efek afrodisiak dengan tenaga dalam.
"Mengapa tak ada seorang pelayan pun membantu yang mulia mandi?"
"Aku bisa melakukannya sendiri, tapi karena permaisuri telah di sini. Kenapa kau tak membantuku? Apa permaisuri keberatan?"
Ino nyaris tak percaya dengan apa yang dia dengar, tapi Ino menurut. Sebab secara hierarki posisinya memang di bawah kaisar. Dia pun berjalan semakin dekat menuju sosok yang duduk dengan telanjang di dalam air. Ino meraih lap yang terletak di meja dan melumurinya dengan sabun. Entah mengapa dia merasa deg-degan. Ini pekerjaan mudah, hanya menggosok punggung saja.
Mendadak sang kaisar berbalik. "Maaf Ino, Aku hanya bercanda." Ucapnya dengan senyum.
Ino secara refleks melemparkan lap tangannya ke lantai.
"Ini tidak lucu, Yang mulia." Ino merengut.
"Apa kau baru saja berusaha menyerangku, Tsk... Permaisuri hari ini kau membuat banyak kesalahan."
"Saya terpaksa datang karena sudah tiga hari ini anda tak menjawab pesan saya, Apa anda akan menghukum saya hanya karena hal yang begitu remeh?"
"Tidak jika kau mau berbaik hati mengambilkan handuk dan jubahku. Airnya mulai dingin."
Ino pun membawakan lelaki itu semua benda yang dia minta. Dirinya tak siap untuk melihat Itachi keluar dari bak mandi begitu saja. Lelaki itu tak berusaha menutupi ketelanjangannya dari mata Ino.
Ino sangat terkejut dan buru-menunduk, tapi dia sudah terlanjur melihat meski sedikit. Mengapa dia yang merasa malu? Itachi pasti sudah terbiasa seperti ini di depan orang-orang yang melayaninya. Apa Itachi tak bisa membedakan antara dirinya yang wanita dan para kasim?
"Permaisuri, Kenapa kau menunduk begitu. Kau bukan pelayan."
"Bagaimana saya bisa menatap anda, Jika anda telanjang?"
"Aku sudah selesai."
Ino pun mengangkat pandangannya. Nafas yang dia tahan dari tadi akhirnya dihembuskan. Pipinya merona. Dia jadi memikirkan percakapan dengan putri Izumi tadi pagi. Kenapa dia jadi fokus pada barang yang tak sengaja dia lihat padahal dia datang ke mari untuk urusan penting.
"Yang mulia, apa anda sedang menghindari saya?"
"Menghindar? Tidak Ino, Aku hanya sibuk."
"Benarkah? Begitu sibuk hingga tidak membalas pesan-pesan saya. Padahal ada rencana yang ingin saya diskusikan. Apa benar saya tidak berbuat kesalahan?"
"Sebenarnya aku lah yang membuat kesalahan."
Mereka berdua berdiri berhadapan di ruang tidur kaisar yang diterangi temaram lilin. Ino mencium wangi segar dari sekujur tubuh Itachi yang baru saja menyelesaikan mandinya, dia pun menyadari lelaki itu belum mengeringkan rambut. Ino meraih handuk dari tangan kaisar.
"Menunduklah, Anda bisa sakit tidur dengan rambut basah seperti ini."
Itachi menurut. Ia pun membungkukkan badan agar Ino bisa menjangkau kepalanya dan wanita itu menengadah untuk menyelesaikan pekerjaannya. Mereka berdiri begitu dekat dan saat itu Itachi sadar ia melakukan satu kesalahan lainnya.
"Kesalahan apa yang anda lakukan? Biasanya anda selalu memperhitungkan segala hal sebelum bertindak." Ino lanjut bertanya sembari menggosok rambut hitam yang basah itu dengan handuk.
Itachi menatap Ino, pandangannya jatuh pada bibir berwarna pink pucat, setengah terbuka. Ia terhipnotis.
"Aku lupa memperhitungkan kalau aku hanya lelaki normal."
"Maksud anda?" Ino menghentikan gerakan tangannya menyadari Kaisar menatapnya dengan aneh.
Itachi mengangkat tangan kanannya, menggosokkan ibu jari di bibir bawah Ino. "Sejujurnya aku memang menghindarimu karena sepertinya aku menginginkanmu. Bahkan sekarang pun aku tak bisa berhenti memikirkan hal-hal tak pantas. Bagaimana aku bisa menghadapimu dengan memiliki niat buruk."
Ino membeku, Tak pernah menduga akan ada pengakuan seperti ini antara dirinya dan Itachi. "Yang mulia..?"
Pertanyaan Ino terbungkam oleh bibir Itachi yang menyentuh bibirnya. Ino melepas handuk dalam genggamannya untuk merangkul lelaki itu dan menemukan kembali keseimbangannya. Semuanya terjadi begitu cepat. Ino tak bisa melepaskan diri dari bibir yang memagut dirinya dengan lembut. Mereka telah berciuman beberapa kali di depan orang-orang, tapi Itachi tak menciumnya seperti ini. Terlalu intim,
Lidahnya menyelinap dan membuat kaki Ino melemah, Seandainya Itachi tak memeluknya dia pasti sudah jatuh. Ino terheran kenapa dia tak kunjung melepaskan diri? Ia malah terus mendekat dan membiarkan dirinya dibuai oleh lelaki yang tak pernah dia harapkan.
Niat buruk yang Itachi katakan malah membuatnya merasakan kehangatan dan Ino yang melewati sepuluh tahun sisa hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian merasa tak tak ingin melewatkannya.
Dia selalu berpikir luka hati dan penderitaannya telah membuat dirinya menjadi sebuah balok es yang memiliki pandangan miring pada setiap laki-laki. Nyatanya dia masih seorang manusia yang memiliki hasrat terhadap lawan jenis. Kebutuhan akan sentuhan fisik ternyata tak pernah padam.
Ino sempat bimbang, tapi kebimbangan itu hanyut ketika Kaisar mencumbunya semakin dalam. Menyalakan api yang Ino pikir tak lagi ada. Sejujurnya, tak ada yang indah dalam hal ini. Ciuman Kaisar bukanlah tanda cinta atau sayang. Sentuhan ini tak mengandung janji dan harapan. Hanya hasrat yang terbentuk karena situasi. Hal yang primitif dan sederhana. Sebuah ketertarikan fisik antara laki-laki dan perempuan yang tak bisa mereka dihindari karena selalu bersama. Mereka bahkan tidur di ranjang yang sama.
Ino mencoba hidup dengan mengasumsikan tak mungkin ada sesuatu di antara mereka. Ternyata mereka selama ini mereka berdua memendam hasrat hingga ketegangan seksual meledak tanpa bisa dikendalikan seperti ini. Dia tak menyalahkan Itachi. Berapa lama lelaki itu bertahan sebelum akhirnya menyerah pada kelemahannya.
Ino tahu cepat atau lambat peristiwa ini akan terjadi. Mereka telah melewati batas itu saat Ino dengan berani meminta Itachi membantunya. Garis itu kian samar dan sepertinya sudah terlambat untuk menarik batas kembali. Dia pun tidak peduli, Jika telah terjadi kenapa ia tidak menikmatinya saja. Semua orang berhak merasakan kesenangan dan di istana ini tak banyak kesenangan yang bisa didapatkan.
Bagi Itachi, Memeluk Ino adalah pilihan, tapi bagi Ino menerima Kaisar adalah kewajiban. Pemikiran itu membuat Itachi segera sadar jika saat ini ia tengah memaksakan keinginan pada permaisurinya. Ino tak pernah berkata iya atau mau. Meski gadis itu balas menciumnya.
Itachi melepaskan Ino dengan nafas terengah. "Aku memiliki janji padamu dan ini bukan kesepakatan kita. Pergilah Ino. Jika kau tak pergi sekarang aku tak tahu apa aku masih bisa menahan diri." Itachi berusaha dengan keras untuk mengontrol nafsunya dan terasa lebih buruk karena pengaruh afrodisiak itu tak kunjung hilang. Ia tak bisa seperti ini. Memaksakan diri pada wanita yang tak menginginkannya. Biar saja hasrat ini membakarnya hingga ia merasakan neraka, tapi ia tak ingin menyeret Ino hanya demi keegoisannya.
Ino melihat pintu dan kembali menatap Itachi. Hal yang bijak untuk dilakukan adalah lari secepatnya keluar dari ruangan ini sebelum semakin runyam, tapi kaki Ino berat untuk melangkah. Ia tak suka melihat ekspresi sang Kaisar, seakan menginginkan Ino adalah sebuah dosa besar. Jika dipikirkan lagi mengapa Itachi harus berpikir seperti itu. Dia adalah wanita milik kaisar. Jika Kaisar berkehendak ia bahkan bisa memerintahkan Ino untuk mati. Di sinilah Ino semakin yakin, Itachi tak akan pernah memanfaatkan kekuasaan absolutnya dengan semena-mena. Dia bisa mendapatkan apa pun, tapi dia memilih untuk mendengar keputusannya. Hal itu membuat Ino merasa Kaisar menghargainya.
"Sungguh Itachi kau terlalu baik. Apa kau perlu memikirkan aku sampai seperti ini? Wanita ini hanya objek yang kebebasannya telah diserahkan padamu."
Itu kali pertama Ino memanggilnya tanpa embel-embel gelar. Hanya sebuah nama. Ino akhirnya melihat Itachi bukan sebagai Kaisar, bukan sebagai junjungannya. Hanya sebagai pria. Pria yang menginginkannya dan juga mengingkari keinginan itu demi menghormati dirinya.
"Ino pergilah, Jika kau tak mau aku akan baik-baik saja."
Ino tersentuh, Apa jadinya jika ia menghindar? Bisa jadi Itachi tak akan menemuinya hingga ia bisa memadamkan hasratnya sendiri. Ino tak mau itu terjadi. Tiga hari tidak bertemu membuat Ino merindukannya sebab kaisar satu-satunya orang yang bisa dia percaya dengan rahasia dan pikirannya.
Kali ini Ino juga ingin mempercayakan tubuhnya pada Itachi.
"Kita lakukan saja."
"Apa kau yakin?" Itachi sangat terkejut Ino memberikan semacam persetujuan.
Ino menempelkan jari telunjuknya di bibir lelaki itu.
"Jangan bertanya lagi, Aku tak akan pernah berpikiran buruk tentangmu. Bahkan hingga detik ini pun kau tetap membiarkanku membuat keputusan. Sesuatu yang tak akan pernah ada dalam budaya kerajaan kita yang patriarki ini. Jadi inilah keputusanku"
"Aku tak ingin kau menyesalinya."
"Aku hanya akan menyesal bila kau ternyata tak bisa memuaskanku."
"Permaisuri selalu mencoba mengolokku." Itachi pun melumat bibir Ino, mencoba menghapus dahaga yang entah mulai kapan muncul dalam dirinya dan Ia mulai khawatir, bagaimana jika dia tak bisa menghentikan kegilaan ini?
.
.
Bersambung.
