Disclaimer : I don't own Harry Potter
Happy reading!
Chapter 7
Harry POV
Aku bangun terduduk dengan terengah-engah seakan habis berlari. Keringat membanjiri piyamaku. Bekas luka di dahiku, yang berbentuk sambaran kilat, terasa nyeri, seolah-olah seperti ada besi panas yang menekannya. Aku menyentuh bekas luka dengan salah satu tanganku, berharap dengan menyentuhnya rasa nyeri itu akan hilang, tanganku yang lain meraba-raba ke meja di samping tempat tidur mencari kacamata.
Setelah menemukan kacamataku, aku memakainya dan sekarang kamarku terlihat lebih jelas. Diterangi sedikit penerangan dari cahaya lampu jalan yang menembus tirai jendela kamar, aku bisa melihat di salah satu sudut ruangan tampak bertumpuk mainan bekas Dudley, sepupuku yang seorang muggle. Di sudut lain, koper sekolahku tampak terbuka, menampakan jubah-jubah hitam, kuali, sapu dan berbagai buku seperti buku pelajaran, hanya saja pelajarannya bukan pelajaran biasa, tapi pelajaran dari sekolah sihir.
Lagi-lagi mimpi buruk, pikirku sambil masih mengusap bekas luka yang rasa nyeri nya tidak kunjung hilang.
Aku bangkit menuju pintu kamarku dan membukanya, mengendap-endap berhati-hati agar tidak membangunkan keluarga Dursley. Aku menuju dapur untuk mengambil segelas air, kerongkonganku terasa sangat kering.
Setelah minum beberapa gelas air, kerongkonganku sekarang terasa lebih baik. Namun rasa nyeri di bekas lukaku belum juga hilang. Dengan mengendap-ngendap aku kembali menuju kamarku, berharap langkahku cukup pelan sehingga tidak membangunkan para Dursley.
Aku bisa bernafas lebih lega setelah sampai kembali di kamar tanpa membangunkan mereka. Aku menyimpan gelas air di meja dan duduk di tempat tidurku. Kembali mengusap bekas luka yang masih berdenyut sambil mengingat-ingat mimpi yang baru saja membangunkanku.
Mimpi tentang Voldermort dan Wormtail yang membunuh seorang muggle tua kembali terulang lagi malam ini. Wormtail sesungguhnya adalah Peter Pettigrew, salah satu dari sahabat ayahku, James Potter. Ia adalah pemegang kunci rahasia tempat persembunyian kami dulu, sampai ia mengkhianati kami, dengan memberikan informasi ini kepada Voldemort, yang akhirnya membuat kedua orangtuaku terbunuh. Selama ini Wormtail bersembunyi dengan menjadi seekor tikus – bentuk animagusnya, dan menjebak Sirius Black sehingga ia harus menghabiskan waktu 12 tahun di Azkaban.
Tentu saja semua akan percaya Sirius-lah pemegang kunci tempat persembunyian kami, karena ia adalah sahabat ayahku yang paling dekat. Namun tahun lalu kebenaran terungkap. Sirius melarikan diri dari Azkaban. Awalnya aku mengira ia memburuku, ternyata ia memburu tikus peliharaan Ron –scabbers, yang ternyata adalah Wormtail.
Aku bersama Hermione berhasil menyelamatkan Sirius dan Buckbeak di akhir tahun ajaran tahun lalu. Dan sekarang aku mengetahui kebenaran tentang pemegang kunci itu, lega rasanya karena ternyata Waliku bukanlah seorang pengkhianat. Namun karena Sirius masih seorang buronan, aku belum bisa tinggal dengannya, dan masih harus kembali tinggal bersama keluarga Dursley.
Aku menghela nafas yang tidak kusadari telah kutahan, kemudian menyalakan lampu meja sehingga cahaya yang menerangi kamarku tampak lebih terang, rasa nyeri masih terasa dari bekas lukaku.
Melihat kesekeliling kamar, aku menemukan album foto pemberian Hagrid di ujung kaki tempat tidur, aku memungutnya dan membukanya. Di halaman pertama tampak foto sebuah keluarga, Ayahku James Potter dan Ibuku Lily Potter, masing-masing mengendong bayi berusia sekitar 7 bulan, aku digendong oleh Ibuku, dan Jilian Potter kembaranku, digendong oleh Ayahku. Keempatnya tampak tertawa bahagia, dan melambai ke arahku.
Aku tidak bisa mengingat banyak tentang mereka. Memori tentang kedua orangtuaku, terutama Ibuku sering muncul dalam mimpiku, tapi itu adalah mimpi buruk, karena yang muncul adalah suara ibuku yang memohon agar aku tidak dibunuh, dan kemudian ibuku tergeletak tidak bernyawa, dan cahaya hijau yang menyilaukan dari kutukan pembunuh.
Aku membuka halaman-halaman berikutnya dan melihat fotoku bersama kembaranku. Foto-foto mulai dari saat kami dilahirkan, tumbuh bersama sampai usia 1 tahun dan kemudian tidak ada lagi. Tidak ada yang tau apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Sejarah menyebutkan bahwa ia ikut menjadi korban saat Voldemort membunuh kedua orangtuaku, tapi ada juga yang menyebutkan ia hilang begitu saja, karena jasadnya tidak pernah ditemukan. Bahkan Prof. Dumbledore dan Prof. Lupin juga tidak yakin apa yang terjadi kepadanya. Mereka menasehatiku untuk merelakannya. Tapi entah mengapa kadang aku merasa Jilian masih ada dan ia hidup di suatu tempat. Aku tidak tau apakah perasaan ini benar, atau aku hanya ingin ini menjadi benar, karena aku ingin sekali memiliki keluarga. Akupun mengusap air mata yang mengalir di pipiku.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa sekarang aku punya Sirius, ya ia pasti mengetahui sesuatu tentang Jilian. Aku sudah beberapa kali saling berkirim surat dengan Sirius musim panas ini, surat yang kuterima darinya tidak dikirim oleh burung hantu, tapi burung-burung lainya, mungkin untuk mengurangi kecurigaan. Aku mengambil perkamen dan pena buluku, lalu mulai menulis surat untuknya.
Dear Padfoot, (aku menggunakan nama samaran karena Sirius masih buron)
Bagaimana kabarmu ? Kuharap kau baik-baik saja. Burung terakhir yang kau pakai untuk mengirim surat sangat keren, bulunya warna-warni, sayang bukan burung yang rutin digunakan oleh para penyihir.
Kabarku baik, terutama setelah keluarga Dursley mengetahui tentang dirimu. Mereka sekarang lebih sering menghindariku, dan itu lebih nyaman untukku.
Yang kurang baik adalah aku lagi-lagi terbangun karena bermimpi buruk tentang Voldemort dan bekas lukaku terasa sakit lagi, seperti yang pernah aku ceritakan di suratku yang sebelumnya. Tapi aku tidak apa-apa, rasa nyeri itu berangsur-angsur berkurang. Maaf membuatmu khawatir.
Oh iya, setelah terbangun dari mimpi buruk, aku tidak bisa tidur lagi, kemudian aku membuka-buka album foto pemberian Hagrid. Aku melihat foto kedua orangtuaku dan Jilian. Aku tau menurut sejarah Jilian dikabarkan ikut menjadi korban saat kedua orangtuaku terbunuh, tapi ada yang menyebutkan ia hilang begitu saja, karena jasadnya tidak pernah ditemukan. Tapi entah mengapa kadang aku merasa ia masih ada dan hidup di suatu tempat. Uhm.. Apakah kau mengetahui sesuatu tentang Jilian? Benarkah ia sudah meninggal bersama dengan kedua orangtuaku?
Maafkan aku yang masih berharap salah satu anggota keluargaku masih ada. Kuharap kau bisa mengerti.
Terimakasih Padfoot, sampaikan salamku pada Buckbeak.
Harry P.
NB : Oh iya, sisa musim panas ini aku akan berada di rumah keluarga Weasley. Mereka mengajakku menonton Piala Dunia Quidditch. Aku berharap juga bisa segera bertemu denganmu.
Aku membaca ulang suratku untuk Sirius, semoga aku tidak tampak terlalu menyedihkan di surat itu, kemudian melipatnya, dan memasukannya kedalam amplop, aku menuliskan tujuan di amplop itu untuk Padfoot, dimanapun kau berada.
Hedwig memprotes karena aku bangunkan, "Maafkan aku, Hedwig, tapi kuharap kau mau mengantarkan surat ini sekarang", ucapku pada Hedwig, sambil mengikat surat di kakinya dan ia menjawab dengan suara 'hoot'. Lalu aku menyuapi Hedwig dengan makanan burung dan membelai kepalanya, sambil berkata "Oh iya, setelah kau selesai mengantarkan surat, kembalilah ke The Burrow, aku akan berada disana."
Hedwig mengepakan sayapnya, kemudian meluncur ke langit lewat jendela yang terbuka.
Sementara itu di salah satu penjuru Inggirs, tepatnya di sebuah rumah dekat daerah Ottery St. Catch-pole, sebuah kota kecil di Devon, Inggris, seorang anak perempuan seusia Harry juga terbangun dengan terengah-engah.
Jilian POV
Aku terbangun dari tidurku secara tiba-tiba dengan nafas yang terengah-engah. Aku mencoba melihat kesekeliling ruangan kemudian mengambil tongkat yang kusimpan di meja di samping tempat tidurku dan berkata 'lumos'. Cahaya dari tongkat sihirku menyinari ruangan yang kukenali sebagai kamarku.
Aku beranjak menuju meja rias dan melihat seorang gadis berambut merah gelap sepunggung menatap balik kepadaku di cermin dengan mata hazelnya. Aku bisa melihat air mata mengalir di pipiku, dan segera saja aku mengusapnya. Sekitar mataku dihiasi lingkaran hitam penanda aku tidak cukup tidur. Bagaimana tidak, mimpi-mimpi itu seperti menghantuiku belakangan ini, membuatku terbangun di malam hari dan seringkali aku tidak bisa tidur lagi.
Aku kembali duduk ke tempat tidur, memikirkan seseorang yang selalu muncul di mimpiku, wajahnya tidak jelas, dan kurasa ia anak laki-laki seusiaku. Dalam mimpiku kali ini, aku melihat ia terbangun juga dengan terengah-engah dan sepertinya kesakitan. Aku tidak tau apa yang ia impikan dan kenapa ia kesakitan, tapi aku seperti bisa merasakan ketakutannya, rasa kehilangan dan sedihnya. Aku juga bisa merasakannya kesepian, dan itu membuatku merasa sedih, sehingga aku selalu terbangun dengan air mata mengalir di pipiku.
Aku mengayunkan lagi tongkat sihirku lalu bergumam 'tempus' dan melihat waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Akhirnya aku memutuskan untuk bangun saja dan bersiap-siap. Draco akan menjemputku setelah sarapan, aku akan tinggal di Malfoy Manor sebelum berangkat untuk menonton Piala Dunia Quidditch bersama keluarga Malfoy, dan mungkin menghabiskan sisa liburan musim panasku bersama mereka.
Saat aku memasuki ruang makan, ketiga angota keluargaku, sudah mengitari meja makan. Dad berada di ujung meja, sambil membaca Daily Prophet. Mom berada di sisi kiri Dad sedang mengoles roti dengan selai jeruk kesukaannya, sambil mengobrol entah hal apa dengan Cedric. Ced berada di sisi kanan Dad, dengan menu 'english breakfast' favoritnya. Aku menghampiri mereka dan berkata "Selamat pagi semua," dengan nada ceria, melupakan bahwa aku baru saja bermimpi buruk, dan duduk di samping kiri Mom.
"Selamat pagi sweetheart," ucap Mom yang selalu menyapaku dengan kasih sayang.
"Pagi Jils," sapa Cedric sambil tersenyum.
"Ah.. Jilian..Putriku tersayang", Dad melipat korannya dan menyapaku dengan senyum lebar, kemudian berkata lagi, "Jadi bagaimana, kau sudah memutuskan akan pergi ke Piala Dunia Quidditch dengan siapa?"
Aku menghela nafas sebelum menjawab, "Seperti yang sudah aku bilang sejak minggu lalu Dad, Draco akan menjemputku hari ini setelah sarapan, dan besok aku akan berangkat ke Piala Dunia Quidditch bersama mereka."
Kemudian aku mulai memotong apple pancake yang baru saja Jingle –peri rumah keluargaku sajikan, sambil bergumam pelan, "Terimakasih Jingle."
"Hmm begitu ya.. apa tidak ada yang bisa mengubah pikiranmu?", tanya Dad masih belum menyerah.
"Aku bisa mengatur supaya aku ambil cuti hari ini jadi kita bisa berangkat bersama-sama", sambung Dad.
"Tidak perlu Dad, aku tau kau sangat sibuk di kantor belakangan ini", ucapku kepada Dad.
"Tenanglah Amos, semua akan baik-baik saja, ini tidak seperti Jilian akan dibawa oleh Draco dan tidak pernah kembali", Mom berkata membelaku sambil tersenyum, "Lagipula aku akan pergi bersama-sama dengan Jilian, dan Narcissa pun akan ada bersama kami", sambung Mom.
"Baiklah..", Dad berkata dengan menghela nafas namun masih tampak tidak rela. "Tapi Ced, kau berangkat bersamaku", Dad berkata lagi kemudian mulai memakan sarapannya, menu yang sama dengan Cedric, like father like son.
"Tentu saja Dad", jawab Cedric sambil tersenyum, mengerti kenapa Dad bersikap seperti ini.
"Aku akan senang sekali kalau kau sudah lulus ujian ber-Apparate Ced, kita tidak perlu menggunakan portkey", ucap Dad kemudian.
Belakangan ini Dad menjadi lebih overprotective terhadapku, sejak Draco memberiku 'promise bracelet' pada malam tahun baru yang lalu. Aku mengerti perasaanya, tapi kadang Dad jadi berlebihan. Lagipula tidak ada yang berubah dari hubunganku dengan Draco, sebatas sahabat seperti biasanya. Belum pernah lagi kami membahas soal 'promise bracelet' ini apalagi rencana kedepannya. Aku dan Draco seperti sama-sama mengerti supaya hal ini mengalir saja secara natural.
"Kita akan bertemu disana bukan?", Cedric tiba-tiba bertanya.
"Ya tentu saja Ced, tiket kita sama-sama untuk di box utama", jawabku pada Ced.
"Lalu kenapa kita tidak jadi menginap disana?", tanya Cedric lagi.
"Itu karena keesokan harinya Narcissa mengundang kita untuk jalan-jalan ke Itali, jadi kita akan langsung kembali ke Malfoy Manor setelah pertandingan, lagipula ayahmu sudah harus bertugas kembali setelah pertandingan selesai", Mom menjelaskan.
"Ya, mengingat akan ada sekitar seratus ribu penyihir berkumpul saat acara itu berlangsung, dan bukan tidak mungkin diantara mereka ada yang membawa magical creatures, aku perlu mengawasi dan mengontrolnya supaya tidak terjadi kekacauan, apalagi sampai terlihat oleh muggle", Dad ikut menjelaskan.
"Tapi aku tetap menyiapkan tenda atas nama keluarga kita, siapa tau kita perlu istirahat sebelum acara berlangsung, atau sebelum kalian pulang bersama keluarga Malfoy", sambung Dad.
"Terimakasih Amos, kau memang yang terbaik", ucap Mom sambil menggenggam tangan Dad.
Sebenarnya aku memiliki alasan lain kenapa aku menghindari pergi bersama Dad dan Cedric, dan lebih memilih pergi bersama Draco. Dad pernah mengatakan bahwa kementerian telah mengatur Portkey untuk keluarga penyihir yang tinggal di daerah sekitar Ottery St. Catch-pole, khusus demi kepentingan transportasi menuju lokasi piala dunia quidditch. Dan salah satu keluarga penyihir yang tinggal di sekitar sini dan akan berangkat menuju piala dunia quidditch adalah keluarga weasley. Aku rasa akan sangat canggung bila aku berangkat bersama-sama dengan Ron Weasley setelah kejadian di akhir tahun lalu.
Sarapan pun berlanjut dengan obrolan tentang keluarga, sekolah, quidditch, dan hal-hal ringan lainnya.
Harry POV
Langit masih gelap, bulan masih memancarkan sinarnya, namun aku sudah terjaga. Tidak, kali ini bukan karena mimpi buruk tapi Mrs. Weasley telah membangunkanku dan anak-anaknya untuk bersiap, karena kami akan berangkat menuju piala dunia quidditch. Rasa kantukku hilang karena bersemangat, selain karena quidditch adalah olahraga sihir favoritku, ini juga adalah momen pertamaku melihat event besar di dunia sihir. Bahkan aku akan menonton secara langsung.
Aku, Ron dan si kembar Fred dan George, berpakaian ala muggle, lalu kami menuju meja makan dimana Mr. Weasley telah menunggu, di hadapannya tampak tumpukan perkamen yang kurasa itu adalah tiket kami. Kami duduk mengitari meja makan, dan Mrs. Weasley membagikan teh madu hangat, bersamaan dengan itu Hermione dan Ginny turun dari lantai atas dan bergabung bersama kami di ruang makan.
"Semua sudah berkumpul Dad, ayo kita berangkat, huaaaamm..", Ron bersemangat tapi tidak bisa menahan untuk tidak menguap karena kantuk.
"Kita masih menunggu seseorang," ucapnya Mr. Weasley.
"Siapa yang kita tunggu Dad?", Ginny bertanya.
"Uhm.. seseorang, seharusnya ia sebentar lagi sampai", jawab Mr. Weasley sambil memandang ke arah jendela.
Sementara kami menunggu 'seseorang', waktu ini dimanfaatkan Mrs. Weasley untuk menggeledah saku Fred dan George, dan benar saja mereka berusaha membawa berbagai macam benda sihir sakti weasley, dan segera saja Mrs. Weasley menyitanya. Si kembar mengeluh kepada ibunya, namun sekilas aku bisa melihat mereka tersenyum penuh arti. Kurasa belum semua benda disita oleh Mrs. Weasley, dan si kembar cukup pintar untuk itu, kadang aku berpikir kenapa mereka tidak di Slytherin.
Tiba-tiba di luar rumah, terdengar suara mesin sebuah motor besar. Mr. Weasley bangkit dari duduknya dan berkata "Akhirnya datang juga", kemudian menuju pintu dan membukanya. Karena penasaran aku, Ron dan Hermione mengikuti Mr. Weasley keluar rumah. Fred dan George masih digeledah oleh Mrs. Weasley, dan Ginny tertidur di meja makan.
"Hagrid", sapa Mr. Weasley sambil menjabat tangannya. Ternyata inilah seseorang yang kami tunggu.
"Halo, Arthur", balas Hagrid.
"Hagrid!", aku berkata sambil berlari kecil menghampirinya, bersama Ron dan Hermione.
"Harry! Ron! Hermione!" Hagrid balas menyapa kami, "Bagaimana kabar kalian?"
"Kabar kami baik", aku menjawab pertanyaan Hagrid.
"Hanya sedikit mengaaaa...tuukkk..", sambung Ron sambil menguap.
"Jadi kau akan ikut bersama kami menonton piala dunia quidditch?", tanya Hermione kepada Hagrid.
"Oh tidak, aku masih ada urusan lain yang harus aku kerjakan dulu,, err.. Urusan Hogwarts. Ya Dumbledore memintaku untuk mengurus sesuatu", Hagrid menjelaskan, tapi tampak menutupi sesuatu.
"Dimana ia?", tanya Mr. Weasley tiba-tiba.
"Oh, ia disini ", kemudian Hagrid tampak membangunkan seseorang atau sesuatu yang tertidur di jok penumpang disisi motor besarnya. Di saat ini, Fred dan George yang tampaknya telah selesai digeledah, bergabung bersama kami, Mrs. Weasley berjalan di belakang mereka sambil merangkul Ginny.
Lalu kami melihat seekor anjing besar berbulu hitam dari dalam jok penumpang, dan ia menyalak riang kemudian melompat dan berlari ke arahku.
"Padfoot!", ucapku terkejut namun senang sekali, aku pun memeluk Padfoot dan membelai bulunya.
"Ini kan Si.. ", Hermione mengatakan sesuatu namun Mr. Weasley memotong perkataan nya dengan berkata, "Ini anjing Harry", ekspresi wajahnya menatap Aku, Ron dan Hermione penuh arti.
"Ya, ini anjingku, Padfoot!", aku membenarkan, sambil masih membelai bulunya.
"Sejak kapan kau punya anjing?", tanya Fred atau mungkin George.
"Sejak akhir tahun ajaran yang lalu", aku menjawab pertanyaan George atau mungkin itu Fred ya.
"Kau menamainya Padfoot?", Fred atau George berkata, "Seperti Padfoot dari marauders?", salah satu dari mereka berkata lagi.
"Ya", jawabku kepada mereka.
"Cool!" kali ini mereka berkata bersamaan.
"Kami menemukannya di dekat Hogsmead, dan Harry memutuskan untuk memeliharanya", Hermione membantu melengkapi cerita, dan yang Hermione katakan tidak sepenuhnya bohong, kami memang bertemu Sirius di Shrieking Shack, sebuah rumah terlantar di desa Hogsmead. Walaupun saat itu kami kira ia bermaksud melukai Ron, tapi ternyata ia mau menangkap Wormtail. Namun kejadian menjadi kacau saat Snape datang dan Prof. Lupin berubah menjadi manusia serigala. Wormtail akhirnya bisa meloloskan diri, dan akhirnya Sirius yang masih buron harus bersembunyi.
"Errr,, dan karena keluarga Muggle Harry tidak akan mau menerima kehadirannya, jadi sementara Harry menitipkan Padfoot pada Hagrid", Ron menambahkan.
"Baiklah, aku harus segera kembali,, err,, ada urusan yang harus kuselesaikan", Hagrid berkata dengan agak canggung.
"Sampai jumpa lagi lain waktu semuanya, selamat menikmati piala dunia quidditch", ucap Hagrid kepada kami semua.
Kami serentak mengucapkan, "Bye Hagrid", "Selamat tinggal", "Sampai jumpa", kemudian suara motor besar mulai terdengar dan kami melihat Hagrid mengendarainya menuju langit hitam.
"Ok, semua sudah lengkap sekarang", ujar Mr. Weasley, yang melihat tatapanku kemudian melanjutkan, "Anjingmu Padfoot boleh ikut, aku sudah mengurus perizinan membawa hewan peliharaan."
"Terimakasih Mr. Weasley ", ucapku kegirangan, dan Padfoot pun menyalak ikut gembira.
"Sama-sama Harry", ucapnya sambil tersenyum.
"Molly, kami berangkat dulu, sini berikan Ginny kepadaku", Mr. Weasley berbicara kepada istrinya. Mrs. Weasley mendorong pelan Ginny yang masih tampak mengantuk supaya berjalan dan menuju rangkulan ayahnya.
"Bill, Charlie dan Percy akan menyusul kesana kira-kira di tengah hari, mereka akan ber-Apparate langsung ke titik Apparate yang sudah ditentukan oleh kementerian dekat lokasi piala dunia", ucap Mrs. Weasley, "Selamat bersenang-senang ya kalian semua", lanjutnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Kami balik melambaikan tangan kepada Mrs. Weasley dan mulai berjalan menuju halaman gelap yang hanya diterangi cahaya bulan. Aku bersemangat sekali, rasa kantukku kini benar-benar hilang, tidak sabar rasanya untuk segera menonton piala dunia quidditch, dan yang membuatku lebih senang lagi adalah Sirius akan ikut bersama kami, walaupun yeah,, sebagai Padfoot.
Sirius / Padfoot POV
Setelah berhasil meyakinkan Dumbledore, ia akhirnya mengijinkan aku menemui Harry, bahkan kini aku dapat menemaninya menonton piala dunia quidditch, walaupun sebagai Padfoot. Aku juga berhutang budi pada Arthur Weasley, ia mau repot-repot mengurus perijinan agar dapat membawa hewan peliharaan ke event tersebut.
Kami berjalan menaiki bukit dan melihat siluet dua orang di sisi lain bukit, yang ternyata adalah Amos Diggory dan putranya. Aku melihat kesekeliling bukit, tapi tidak menemukan Emily, sepupuku, ia adalah seorang Black sebelum menikah dengan Amos.
Lalu kudengar Amos berbicara kepada Arthur, "Ini putraku Cedric." Pikirku, mungkin seperti Molly Weasley istri Arthur, Emily tidak ikut menonton piala dunia quidditch ini.
Setelah berpusing dengan portkey, kami tiba di lokasi piala dunia quidditch. Aku bisa melihat siluet berwarna jingga dari salah satu sisi langit, menandakan hari menjelang pagi. Di bawah bukit tempat kami tiba, tampak hamparan tenda-tenda muggle, yang kuyakin isinya adalah para keluarga penyihir. Aku mengikuti Harry dan keluarga Weasley menuju tenda mereka. Amos dan putranya menuju arah yang berlawanan.
Pada tengah hari, tiga putra Arthur lainnya bergabung bersama kami saat kami mulai makan siang. Kemudian menjelang sore kemeriahan suasana piala dunia quidditch makin terasa. Dan saat kegelapan mulai meliputi langit, kegairahan ratusan ribu penyihir dari berbagai penjuru dunia yang menantikan event ini, tampak sudah tidak terbendung lagi. Tanda-tanda sihir kini bermunculan dimana-mana, seolah-olah para penyihir ini sudah tak peduli lagi bahwa lokasi piala quidditch ini berlangsung di daerah muggle. Para petugas kementerian tampak lelah dan kewalahan menjaga agar situasi tetap terkendali, sebagian tampak tak peduli dan ikut hanyut dalam suasana kemeriahan. Sekilas aku berpikir apa jadinya bila saat ini aku bertransformasi menjadi manusia lagi, mungkinkah akan ada yang menyadari hadirnya seorang buronan Azkaban diantara ratusan ribu penyihir.
Pikiranku teralihkan saat terdengar bunyi gong yang membahana, tanda bahwa event ini akan segera dimulai. Dari balik pepohonan di belakang hamparan tenda-tenda ini, tampak sorotan lampu-lampu berwarna hijau, merah dan kuning, kurasa lampu sorot itu berasal dari stadion khusus piala dunia quidditch. Segera saja kami serta ratusan ribu penyihir lainnya bergegas menuju stadion.
Kami menaiki sebuah lift untuk menuju box utama. Sebuah akses khusus yang disediakan untuk tamu VIP yang tentunya akan duduk disini. Aku salut pada Arthur, ia bisa memperoleh tiket VIP bahkan untuk semua anaknya ditambah Harry dan Hermione. Dan kami pun menjadi rombongan yang pertama tiba di box utama ini.
Box utama ini tampak luas dan mewah, tentu saja karena untuk kalangan VIP, lantainya dilapisi karpet empuk berwarna marun, kursinya bukan kursi biasa yang berderet melainkan single seater sofas berwarna putih krem yang tampak empuk dan nyaman, sofa-sofa ini berderet 3 baris ke belakang, barisan sofa di belakang tampak terletak lebih tinggi dari barisan di depannya, masing-masing baris terdiri dari sekitar 15 sofa yang berderet ke samping. Di depan setiap 3 sofa tampak meja-meja berbentuk oval dengan hiasan bunga cantik di atasnya. Di atas meja tampak telah disediakan omnicular pribadi, buku acara dan profil lengkap para pemain quidditch di pertandingan ini untuk masing-masing tamu. Atap box utama ini disihir kasat mata sehingga yang tampak adalah langit hitam yang dihiasi bintang-bintang yang berkelap kelip, efek cahaya dari lampu-lampu sorot di beberapa sisi box membantu membuat ruangan tampak menjadi lebih terang dan lebih mewah. Di sisi box yang berlawanan arah dengan letak lift, tampak meja panjang yang di atasnya telah siap berbagai makanan, snack dan minuman-minuman yang mengundang selera, yang khusus disediakan untuk menjamu para tamu VIP
Tidak lama kemudian para tamu VIP mulai berdatangan. Arthur sebagai pegawai kementerian tak henti-hentinya berjabat tangan dengan para penyihir yang tampak penting. Kemudian Cornelius Fudge, Menteri Sihir Inggris tiba, di sampingnya tampak penyihir penting yang ternyata adalah Menteri Sihir Bulgaria, dan di belakang mereka, 'For Merlin Sake!', 'Apakah dia Amelia?!', pikiranku berteriak, lalu aku mendengar Arthur menyapanya "Amelia", sambil menjabat tangannya, "Arthur", Amelia menjawab dengan suara yang masih kukenal kemudian tersenyum. Senyuman yang sama di wajah cantiknya yang selalu membuat hari-hari ku dulu lebih cerah. Tiba-tiba rasa menyesak timbul di dadaku mengingat kenangan bersamanya dulu, yang tidak akan pernah aku miliki lagi. Di samping Amelia aku bisa melihat anak perempuan, dengan ginger hair seperti Amelia, apakah itu putrinya? Hatiku mencelos memikirkan kemungkinan Amelia sudah berkeluarga, tapi ini sudah 12 tahun, tentu saja ia pasti sudah move on.
Aku melihat Fudge menyapa Harry dan memperkenalkannya kepada Menteri Sihir Bulgaria sebagai the boy who live yang bertahan hidup dari serangan you know who, sampai aku mendengar Fudge berbicara, "... ah, ini dia Lucius! Amos!"
Aku melihat seorang pria berambut pirang platina, berwajah pucat dengan hidung runcingnya yang tentunya kukenali, Lucius Malfoy. Di sebelahnya tampak sepupuku yang terlihat masih sangat cantik, dengan rambut pirangnya, Narcissa Malfoy-nee black dan seorang anak laki-laki yang sangat persis Lucius, kurasa itu anak mereka.
Di samping keluarga Malfoy aku melihat Amos dan putranya, dan aku juga mengenali wanita cantik berambut merah gelap dan bermata abu-abu itu, Emily Diggory-nee black, sepupuku, yang sekarang menjadi istri Amos. Di sebelah Emily tampak seorang gadis seusia Harry, dengan rambut merah gelap sepunggungnya, kurasa itu putri Amos dan Emily, namun saat aku melihat ke wajahnya dan melihat matanya, aku mengenali mata itu, sejak bertahun-tahun yang lalu, mata hazel itu sangat kukenal, itu mata James! Keyakinanku dibuktikan saat Amos berkata,"… dan ini putriku Jilian Diggory", Amos memperkenalkannya kepada Fudge.
Tentu saja, Jilian, kenapa aku bisa lupa. Azkaban sepertinya sedikit mengganggu ingatanku. Tidak tidak, ia bukan Jilian Diggory, tapi Jilian Potter, aku yakin sekali. Aku membuat catatan mental, setelah event piala dunia quidditch ini, aku harus menemui Amos dan Emily.
