A/N : Hai hai! Thanks banget buat semua yang masih follow fic ini :)

Sorry juga nih, kmaren2 setelah chapter 27, sempet lama banget g update. Mudah2an ke depan, update nya lancar jaya yaa hahaha..

@Adelaide Raverin : aku lagi2 salah tulis ya, tampaknya itu autotext hehehe.. Tp thanks loh buat koreksinya..

Disclaimer : I don't own Harry Potter!

Please enjoy the story :)

Seminggu kemudian...

Jilian POV

Tim-ku kalah..

Aku bisa melihat tim quidditch ravenclaw bersorak merayakan kemenangan mereka. Sedangkan tim-ku tampak sedih dan kecewa. Zach yang terlihat paling parah. Bagaimanapun pertandingan kali ini adalah pertandingan pertamanya sebagai Kapten quidditch Hufflepuff, dan dia sangat serius menjalani perannya sebagai seorang kapten.

Tapi setidaknya akhir pertandingan kami tidak menjadi bencana seperti pertandingan antara gryffindor dan slytherin minggu lalu.

Harry, George dan Fred, dilarang seumur hidup untuk bermain quidditch, itu adalah keputusan 'The High Inquisitor', setelah sebelumnya Harry dan George menyerang dan memukul Draco.

Aku ingin menghampiri Draco saat melihatnya terluka, hidungnya patah dan tampak berdarah, tapi aku mengurungkan niatku. Draco pantas mendapatkannya setelah apa yang dia ucapkan tentang Harry dan keluarga Weasley. Belum lagi tentang lagu 'Weasley is our King' yang dia nyanyikan bersama teman-teman slytherinnya, benar-benar kekanakan, pikirku mengingat kejadian itu.

Lalu aku pun berjalan ke ruang loker tim quidditch hufflepuff, menghampiri teman-teman tim quidditchku. Suasana di ruang loker sangat suram. Semua murung, sedih dan kecewa karena kalah dalam pertandingan, juga tidak ada yang berani bicara, karena takut-takut malah membuat Zach semakin depresi atau marah.

Zach sangat semangat dan serius dalam memerankan perannya sebagai kapten quidditch bahkan lebih dari yang pernah kulihat di diri Cedric, bukan berarti Ced tidak serius, hanya saja, Ced sebagai kapten quidditch selalu tampak lebih tenang dalam keadaan apapun, yang akhirnya membuat anggota tim juga lebih tenang.

Zach membuat kami berlatih dengan keras selama dua minggu terakhir ini, harapannya besar untuk memenangkan pertandingan melawan ravenclaw tadi.

Aku menghela nafas dan memberanikan diri berkata, "Kita masih punya dua pertandingan lagi, melawan gryffindor dan slytherin, kita masih punya harapan, jadi kita harus tetap semangat."

Aku melihat semua anggota tim menegang, bahkan Eurig melotot padaku karena berani bicara. Eurig Caldwallader adalah seorang chaser juga seperti aku dan Zach, kami bertiga sebenarnya sangat kompak di lapangan, tapi akhir-akhir ini menjelang pertandingan aku dan Eurig seringkali menerima kemarahan Zach saat latihan, terutama apabila manuver kami tidak sesuai dengan apa yang Zach inginkan, dan kurasa Eurig tidak ingin menghadapi ledakan Zach sekarang.

Zach masih duduk dengan kepala tertunduk, tapi aku bisa melihat bahunya menegang. Kedua tangannya mengepal. Aku memandangnya ngeri, mungkin sebentar lagi Zach akan mengeluarkan emosi frustrasinya dan itu diarahkan padaku.

Setelah beberapa menit semua terdiam dengan canggung. Zach berdiri, "Jilian benar," ucapnya singkat lalu berbalik mengambil baju ganti, kemudian menuju kamar mandi dan ruang ganti untuk laki-laki.

Hal ini membuat anggota tim lebih rileks, biarpun tidak sepenuhnya menghilangkan suasana tegang.

"Nice try, Jils," ucap Summerby sambil menepuk bahuku dan tersenyum, aku hanya mengangguk menanggapinya. Summerby adalah seeker baru tim kami, biarpun belum sepengalaman Cedric, dia memiliki kualifikasi untuk menjadi seeker.

Aku menghela nafas, mengambil baju ganti dan peralatan mandi, lalu menuju kamar mandi dan ruang ganti perempuan.

Setelah mandi, aku merasa lebih rileks dan segar. Aku keluar dari salah satu booth ruang ganti dengan pakaian lengkap dan melihat Leanne, keeper tim kami, sedang menyisir rambut panjangnya.

Setelah beberapa saat, Leanne berkata, "Jils, apa tidak apa-apa kalau aku duluan? Uhm.. aku ada janji," aku bisa melihat pipinya merona saat berkata 'ada janji'.

"Sure, kurasa kau tidak mau siapapun itu menunggu kan?" ucapku sambil menyeringai.

"Hehe.. Ya, begitulah," katanya sambil tersenyum malu-malu, lalu berkata lagi, "Aku duluan ya Jils, bye."

"Bye," kataku, lalu Leanne berjalan keluar dari ruang ganti.

"Aku mengharapkan cerita yang detail yaaa, karena kau meninggalkan aku sendiri disini," aku berkata setengah berteriak, tapi aku tau Leanne masih bisa mendengarnya, karena kudengar Leanne tertawa sambil berkata, "Fine!"

Saat aku keluar dari ruang ganti menuju ruang loker, aku melihat Owen dan Kevin, pasangan beater tim kami berjalan keluar dari ruang loker. Kurasa hanya tinggal aku sendirian disini.

Aku menuju loker quidditch-ku, untuk mengambil tas dan membereskan barang-barangku, sambil bersenandung kecil.

Tiba-tiba seseorang memegang bahuku dan membuatku kaget, lalu aku segera berbalik.

"Merlin! Zach! Kau bikin aku kaget, kupikir sudah tidak ada siapa-siapa disini," aku berkata.

"Sorry, Jils," katanya, "Aku tidak bermaksud membuatmu kaget."

Aku menghela nafas, "Tidak apa-apa," aku berkata dan berbalik lagi ke lokerku.

"Kenapa Zach, koq belum kembali ke kastil?" aku berkata tanpa berbalik dari lokerku.

Saat jawaban dari Zach tidak kunjung terdengar, aku berbalik dan melihat Zach duduk termenung di salah satu bangku.

Aku menghampiri dan duduk di sebelahnya, "Hei, ada apa?" aku berkata.

Zach mengusap rambutnya dengan kedua tangannya, lalu menghela nafas panjang.

"Aku tidak bisa melakukannya Jils," kata Zach.

"Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.

"Aku tidak bisa menjadi kapten! Aku tidak bisa mengatur Tim-ku! Aku tidak bisa membuat mereka melakukan strategi yang sudah kita rencanakan! Aku membuat tim kita kalah!" kata Zach dengan frustrasi.

"Zach, kau tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri, tidak ada anggota tim yang berpikir begitu terhadapmu," aku berkata.

"Apa kau tidak lihat tadi? Semua kecewa!" kata Zach.

"Iya, tapi bukan karena kecewa padamu," kataku.

"Aku tidak bisa Jils, kurasa aku tidak pantas menjadi kapten," kata Zach dengan suara pelan.

"Hei, jangan berkata begitu, Prof. Sprout memilihmu menjadi kapten, karena tentunya ia melihat dirimu mampu," aku berkata lagi.

"Kurasa kau lebih pantas," kata Zach.

Aku mengangkat kedua alis mataku, "Oh, tidak.. Tidak.. Aku justru lebih tidak bisa menjadi kapten."

"Tapi, tadi kau yang berusaha menenangkan tim, sedangkan aku.. aku..," kata-kata Zach terputus.

"Aku.. tidak bisa seperti Cedric..," kata Zach pelan.

"Oh, Zach.. Menjadi kapten quidditch bukan berarti kau harus menjadi Cedric," aku berkata pelan.

"Dan kalau kau pikir, aku bisa seperti Cedric karena aku adalah adiknya, kau salah besar. Aku dan Cedric memiliki karakter yang berbeda, dan kurasa kau juga tau itu," kataku.

"Tapi tadi..,"

"Zach, kau adalah temanku, dan kurasa kau adalah kapten yang hebat. Kau yang berjuang paling keras agar tim kita dibentuk kembali ketika dilarang. Kau juga yang bersikeras mempertahankan jadwal latihan kita supaya tim lain tidak menggeser waktu dengan seenaknya. Kau mengatur strategi dan selalu berusaha membuat tim untuk fokus saat latihan.. Dan apa yang terjadi saat pertandingan tadi, kita sudah melakukannya dengan sangat baik. Biarpun ravenclaw akhirnya mendapatkan snitch, tapi skor kita tidak jauh berbeda," aku berkata.

"Menurutmu begitu?" tanya Zach.

"Ya, tentu saja, dan anggota tim tidak ada yang marah ataupun menyalahkanmu.. Mungkin ada rasa kecewa, tapi bukan kepadamu.. Intinya semua telah berusaha dengan baik, terutama kau, jadi kau harus tetap semangat Zach," aku berkata.

Zach seperti memikirkan kata-kataku. Aku mengerti beban yang Zach rasakan, diantara anggota tim, hanya aku, Eurig dan Zach yang merupakan pemain lama tim quidditch hufflepuff, yang lainnya adalah pemain baru, karena pemain sebelumnya telah lulus Hogwarts. Dan Cedric sebagai kapten sebelumnya adalah kapten quidditch yang hebat, ia juga punya segudang prestasi yang bisa dilihat oleh semua penghuni Hogwarts. Tidak heran bila Ced menjadi role model untuk Zach, tapi Zach bukanlah Cedric, ia cukup menjadi dirinya sendiri untuk membentuk ikatan dengan semua anggota tim.

"Dan berhenti berusaha menjadi orang lain, menjadi Cedric atau siapapun, jadilah dirimu sendiri," aku berkata lagi.

"Baiklah," kata Zach tersenyum dan terlihat lebih tenang.

"Hanya saja... Mungkin kau harus sedikit lebih rileks, anggota tim ketakutan padamu," ucapku sambil terkekeh.

Zach ikut terkekeh, "Well.. Yeah.. Aku merasa tegang dan tertekan belakangan ini, dengan OWL's dan segala hal tentang menjadi kapten quidditch ini..."

"Aku mengerti," kataku sambil tersenyum.

"Thanks Jils," kata Zach tersenyum.

"My pleasure."

"Jilian.."

"Ya?"

"Maafkan aku, tadi membahas Cedric.." kata Zach.

"It's alright, I understand," aku berkata.

Aku lanjut membereskan barang-barangku berusaha tidak terlalu memikirkan Cedric, lalu kembali ke kastil bersama-sama dengan Zach.

Hari berikutnya Zach mengumpulkan semua anggota tim quidditch Hufflepuff. Dia memberikan pengarahan agar lebih semangat untuk pertandingan berikutnya. Tidak lupa mengucapkan selamat dan apresiasi kepada semua anggota tim untuk pertandingan kemarin karena semua telah berusaha dengan sangat baik, dan latihan quidditch akan dimulai lagi setelah libur natal dan tahun baru. Aku tersenyum bangga melihatnya.

Desember datang, dan salju pun mulai turun dengan lebih lebat. Suasana liburan semakin terasa. Hogwarts mulai dihiasi dengan dekorasi natal dan tahun baru. Tapi tetap saja tugas-tugas untuk murid tingkat 5 tampaknya tidak berkurang. Tahun OWL's adalah tahun yang berat, begitulah yang orang-orang katakan, dan kini, mau tidak mau, aku setuju dengan hal itu.

Hari ini adalah hari terakhir sekolah juga malam terakhir pertemuan DA. Ruang kebutuhan juga dihiasi dengan dekorasi natal, yang ternyata adalah hasil usaha Dobby.

Harry memutuskan kalau hari ini kami tidak akan mempelajari hal baru, tapi akan mengulangi apa yang sudah kami pelajari dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Menjelang akhir waktu pertemuan, Harry menghentikan latihan lalu mengatakan di awal tahun nanti mungkin kami akan mulai mempelajari hal yang lebih besar, seperti Patronus, dan itu membuat para anggota DA menjadi bersemangat. Selanjutnya sebelum kembali ke asrama masing-masing, kami saling mengucapkan 'Happy Christmas and Happy New Year'.

Aku sedang berjalan bersama teman-teman hufflepuff-ku menuju asrama kami, lalu teringat kalau aku belum bertanya pada Harry apakah liburan kali ini dia mau pulang bersamaku, merayakan natal dan tahun baru bersama Mom dan Dad.

Aku meminta teman-teman asramaku untuk duluan, lalu kembali menuju ruang kebutuhan, membuka pintunya perlahan, dan terkejut ketika melihat apa yang terjadi di dalam ruangan. Aku segera menutup kembali pintunya, dan merasa malu karena telah memergoki Harry dan Cho yang sedang...

Pipiku memanas memikirkan apa yang baru saja kulihat. Tapi mereka sepertinya tidak menyadari kehadiranku, jadi kuputuskan akan bertanya pada Harry besok saja.

Aku memang mengetahuinya sejak tahun lalu, kalau Harry menyukai Cho, tapi tahun lalu Cho menjadi pacar Cedric, yang sudah menyukainya sejak lama. Tapi tidak kusangka Cho juga tertarik pada Harry. Jadi apakah Cho benar-benar pernah menyukai Cedric? Atau Cho menjadikan Harry sebagai pelariannya sekarang karena Cedric sudah tiada?

Begitu tenggelam dalam pikiranku sendiri, sampai-sampai aku tidak memperhatikan saat berbelok di salah satu ujung lorong.

Brukkk!!

Lagi-lagi aku menabrak seseorang, tapi kali ini aku tidak jatuh, karena orang itu menahan lenganku sehingga aku tetap berdiri.

Mataku bertemu dengan iris abu-abu yang sangat kukenal. Sebelum bibir pemilik iris abu-abu ini menyunggingkan seringaian khas-nya.

"Apakah menabrakku di ujung lorong menjadi hobimu sekarang? Atau ini adalah usahamu untuk bisa berdekatan denganku?" Draco berkata sambil menyeringai.

Aku melotot mendengar kalimatnya, lalu melepaskan lenganku dari genggamannya sambil berkata, "Aku tidak berusaha untuk berdekatan denganmu, dan lorong ini adalah jalan umum, mana kutahu kau akan berjalan melewati lorong ini, lagipula apa yang kau lakukan disini? Jangan-jangan kau yang sengaja mengikutiku."

Draco menaikkan kedua alis matanya dan masih sambil menyeringai, Draco berkata, "Well.. Well.. Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu seperti itu, Love.. Aku ini prefect, jadi sudah tugasku mengecek lorong-lorong di malam hari.. Jadi apa yang kau lakukan menjelang jam malam di lorong yang jauh dari asramamu berada?"

Panik mulai menyerang diriku, dan aku menyadari tadi Draco memanggilku 'Love' seperti dulu, dan hal ini membuat pipiku memanas. Jilian ini bukan saatnya untuk gugup!

Oh Merlin! apa yang harus kukatakan? alasan apa yang harus kuberikan pada Draco? sedang apa aku di lorong ini? aku bukanlah pembohong yang baik, apalagi Draco sudah sangat mengenalku.

"Kurasa itu bukan urusanmu!" akhirnya aku berkata.

Draco menatapku lalu berkata, "Aku perhatikan, beberapa malam sekali, di sekitaran lorong ini banyak murid-murid yang berkeliaran, apakah kau tahu tentang itu?"

Aku terkejut mendengar kalimat Draco, apakah dia curiga, tapi tidak mungkin Draco tahu soal DA.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu," aku berkata.

"Dan seperti kubilang tadi, lorong ini adalah jalan umum, siapapun penghuni Hogwarts kurasa boleh saja melewatinya," aku menambahkan.

Draco mengangkat bahunya, "Oke, baiklah," kata Draco, tapi ia tidak bergerak menjauhiku.

"Lagipula aku hanya berjalan-jalan saja, menghabiskan waktu... karena besok kita kan sudah mulai liburan sekolah," aku berkata apa sih, pikirku dalam hati, jarak dekat diantara kami benar-benar membuatku tidak bisa berpikir jernih.

"Jils.." kata Draco.

Aku menghindari tatapan mata Draco, dan sebelum diriku bisa menghentikannya aku berkata lagi, "Jadi kurasa tidak ada masalah bukan? Kau bisa kembali ke tugasmu sebagai prefect.."

"Jils.." aku mendengar Draco lagi, tapi tidak menghiraukannya.

"Untuk patroli atau apapun itu namanya," aku masih meracau, Merlin kenapa rasanya posisi Draco semakin dekat denganku.

"Jilian.."

"Draco, kurasa kau berdiri terlalu dek.."

Kalimatku terpotong karena sekarang bibir Draco menempel di bibirku. Aku terpaku tidak bergerak, mataku membelalak. Kemudian bisa kurasakan kedua lengan Draco melingkar di pinggangku, menarikku lebih dekat ke pelukannya. Aku membuka bibirku karena terkejut, dan hal ini membuat Draco memperdalam ciumannya, yang membuat jantungku berdebar kencang dan seolah-olah ada sarang kupu-kupu di dalam perutku yang sepertinya meledak. Mataku secara otomatis mulai menutup dan kedua tanganku bergerak ke leher Draco. Aku menyadari diriku meleleh dalam pelukan dan ciuman Draco Malfoy.

Setelah beberapa saat, kami saling melepaskan diri karena perlu bernafas, tapi lengan Draco masih melingkar di pinggangku dan tanganku masih di lehernya. Aku memberanikan diri menatapnya, dan melihatnya balik menatapku dengan pandangan yang tidak biasa.

"Happy Christmas, Jilian," Draco berkata dengan tersenyum dan suara yang lembut. Kurasakan pipiku memanas.

"Ha.. Happy Christmas, Drake," kataku tersenyum dengan gugup.

Semuanya terasa begitu sempurna, kemarahan dan kekecewaanku terhadap Draco seolah-olah menguap, digantikan oleh rasa rindu yang selama ini tertahan. Sejenak aku merasa dapat memaafkan apapun yang Draco lakukan, asalkan kami dapat bersama lagi.

Pandanganku masih terhanyut dalam tatapan dan senyumannya, sampai akhirnya senyuman Draco tiba-tiba berubah menjadi seringaian, lalu ia melepaskan pelukannya di pinggangku, membuatku melepaskan tanganku dari lehernya.

Lalu sambil menunjuk ke atas kepala kami, Draco berkata sambil menyeringai, "Mistletoe."