Disclaimer : I don't own Harry Potter

Jilian POV

"Lepaskan aku", aku berkata dengan sinis.

Draco menaikan alis matanya, "Kau yakin?"

"Bukankah tadi kau sangat menikmatinya?" kata Draco sambil menyeringai, membuatku mengingat kembali momen yang baru saja terjadi dan pipiku terasa memanas. Fokus Jilian!

Aku berusaha menepis semua perasaanku pada Draco dan berkata, "Seperti kau bilang, kejadian tadi hanya karena mistletoe..."

"Jadi lepaskan aku sekarang!"

Draco hanya tersenyum dan menyeringai, tapi kemudian melepaskan diriku, ingin sekali aku menghapus seringaian dari bibirnya itu.

Lalu tanpa berkata apapun aku pergi meninggalkan Draco untuk kembali ke asrama.

Bodoh!!

Bodoh!!

Bodoh!!

Kau begitu bodoh Jilian!!

Begitu saja terhanyut dalam perangkapnya!

Sesampainya di asrama aku segera ganti pakaian untuk tidur. Pikiranku dipenuhi oleh mata abu-abu yang sangat kurindukan sampai akhirnya aku terlelap.

Aku melihat diriku dan Draco sedang bermain di Malfoy Manor, mengeksplorasi bangunan mewah itu, halamannya dan berenang di danau, lalu berubah menjadi saat diriku dan Cedric masih kecil, kami makan bersama dengan Mom dan Dad, lalu bermain di halaman belakang rumah kami, kemudian mencoba sapu terbang di bukit yang tidak jauh dari rumah, selanjutnya aku melihat Harry gelisah dalam tidurnya, sampai akhirnya ia terbangun dibanjiri keringat. Tampak bayangan orang-orang lainnya di sekitar Harry yang tidak dapat jelas kulihat. Kemudian mimpiku berubah ke saat akhir turnamen triwizard di tahun ke empat, saat aku melihat tubuh kaku Cedric yang tidak bergerak...

Cedric!!

Aku terbangun dengan terengah-engah, aku menutup wajahku dan menyadari mata dan pipiku basah karena air mata. Oh Merlin...

Aku mengambil tongkatku dan merapalkan mufliato di sekitar tempat tidurku dan menangis sejadi-jadinya.

xxx

Aku mengayunkan tongkat dan sekejap saja semua barang-barangku telah tersusun dengan rapi di dalam koper.

Setelah mandi pikiranku menjadi lebih tenang, dan untungnya aku bisa mengingat salah satu mantra kecantikan yang Mom ajarkan untuk menghilangkan mata panda, sehingga diriku tetap tampak segar walaupun kurang tidur dan habis menangis semalaman.

Namun pipiku memanas ketika mengingat kejadian di koridor semalam, dan juga merasa kesal karena rasanya aku begitu lemah di hadapan Draco Malfoy.

Kau harus lebih bisa mengendalikan perasaanmu Jilian! Aku berkata pada diriku sendiri.

Tidak! Justru yang bodoh adalah Draco!Ya! Draco, Ayahnya dan gerombolan pengikut dia yang tidak berhidung! Pikirku mengingat cerita Harry kalau Voldemort berwajah seperti ular yang tidak punya hidung.

Harry, bagaimana keadaannya, di mimpiku semalam sepertinya Harry mengalami malam yang buruk, aku harus segera bicara padanya, aku merasa khawatir.

Batinku terus berkecamuk, pikiranku memikirkan banyak hal, perasaanku rasanya tidak karuan..

Lalu tiba-tiba aku mengingatnya..

Cedric...

Saat galau seperti ini biasanya aku akan menemui Cedric, dan Ced akan akan mengerti walaupun aku tidak cerita apapun, Ced akan menghiburku bahkan memberiku inspirasi untuk solusi setiap masalahku..

Cedric.. Oh, betapa aku merindukanmu Kak..

"Jilian", seseorang berkata sambil menyentuh bahuku.

Aku menoleh dan melihat tatapan khawatir Susan.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya lagi.

"Aku.."

"Ya, aku baik-baik saja," ucapku menghindari tatapan Susan dan Hannah.

"Kau yakin?" kali ini Hannah yang berkata.

"... Iya.. Aku..."

"Aku hanya mengingat Cedric.. Tahun ini akan jadi tahun pertama natal tanpanya," aku berkata pelan.

"Oh, Jils," ucap Susan sambil merangkulku.

"Kau tau Jilian, kau bisa cerita apapun pada kami," kata Hannah.

"Iya aku tau, terimakasih kalian benar-benar sahabat yang baik," aku berkata kepada mereka sambil tersenyum.

"Dan sekarang ini aku sungguh baik-baik saja," ucapku lagi, dan aku melihat kedua sahabatku ini tersenyum, mereka tidak memaksaku bercerita.

"Baiklah, kalau begitu, ayo kita segera sarapan, sebelum semua makanan dihabiskan oleh anak laki-laki, kalian tau kan bagaimana anak laki-laki itu makan, seringkali mereka...," Hannah terus mengoceh sambil berjalan menuju aula besar. Aku dan Susan berjalan disampingnya sambil tertawa mendengar ocehannya.

xxx

Hogwarts express hampir sampai ke stasiun King Cross saat hari menjelang sore, dengan perjalanan yang biasa-biasa saja tanpa kejadian yang menarik. Kecuali mungkin absennya Harry dan para Weasley bisa dibilang suatu hal yang tidak biasa. Bahkan Hermione tidak tahu mereka berada dimana. Teman sekamar Harry dan Ron berkata semalam mereka dibawa oleh Professor Mcgonagal. Semoga tidak terjadi sesuatu hal yang buruk pada mereka. Apalagi mengingat mimpiku semalam, semoga Harry baik-baik saja.

Setibanya di stasiun King Cross, aku mencari-cari Dad diantara keramaian. Tidak lama aku melihat sosoknya dan yang membuatku terkejut adalah ketika melihat seseorang disamping Dad.

"Jilian!"

"Mom!" aku berteriak sambil menghampirinya.

Spontan aku memeluk Mom, dan Mom juga memelukku erat.

"Mom, apa yang kau lakukan disini?" tanyaku saat melepas pelukannya.

"Hmmm.. Itukah hal pertama yang kau tanyakan padaku? Apakah kau tidak merindukan ibumu ini?" kata Mom sambil menyeringai selayaknya para slytherin.

Aku tertawa mendengarnya, "Tentu saja aku merindukanmu... Sangat merindukanmu malah, aku hanya mengira kau masih di amerika," aku berkata sambil memeluk Mom lg.

"Aku juga merindukanmu sayang," kata Mom.

"Apa kalian akan terus mengacuhkanku?" tiba-tiba Dad berkata dengan nada sedih yang dibuat-buat.

"Dad! Aku merindukanmu," kataku sambil memeluk Dad.

"Aku merindukanmu juga sayang," ucap Dad sambil merangkulku.

"Ok, sebaiknya kita segera pergi," kata Dad setelah membuat koperku menjadi kecil lalu menyimpannya di saku jubahnya.

Lalu Dad mengeluarkan sebuah pena bulu. Aku dan Mom menyentuhnya dan segera saja aku merasakan sensasi perjalanan melalui portkey.

Hal pertama yang kulihat setelah sensasinya menghilang adalah bukan bukit ataupun padang rumput di dekat rumah kami, melainkan sebuah gang kecil diantara dua bangunan.

"Kita dimana?" tanyaku spontan.

"Di... Suatu tempat," ucap Dad ragu-ragu sambil melepas jubahnya, aku menyadari Mom dan Dad berpakaian ala muggle di balik jubahnya. Mom menyimpan jubah mereka ke dalam tasnya yang kuyakin telah dimantrai agar dapat menyimpan banyak barang. Aku memakai jeans dan blouse yang kurasa akan bisa diterima di dunia muggle.

Dad lalu segera berjalan ke ujung gang, aku hendak mengikutinya, namun Mom menahan bahuku dan aku melihat Mom menaruh jari di bibirnya supaya aku tidak bicara.

"Nanti kami jelaskan," kata Mom.

Dad memberi suatu isyarat lalu Mom menggenggam tanganku dan menuntunku berjalan. Kami berjalan dengan sedikit tergesa-gesa dan aku bisa melihat Mom dan Dad tampak gelisah, dan melihat ke sekeliling seolah-olah khawatir ada yang mengikuti kami. Aku ingin sekali bertanya ada apa sebenarnya? Kemana Mom dan Dad membawaku? Kenapa kami tidak pulang kerumah?

Mom dan Dad tiba-tiba berhenti, lalu aku melihat kalau kami ada diantara rumah nomor 11 dan nomor 13.

Sambil tetap memperhatikan keadaan sekitar, dan saat tidak ada muggle di sekitar kami, Dad tiba-tiba memperlihatkan secarik perkamen.

"Baca dan hafalkan," ucap Dad.

Aku membaca isi perkamen itu bertuliskan,

Markas Besar Order of the Phoenix bisa dijumpai di nomor dua belas, Grimmauld Place, London.

Oh aku mengerti, ini adalah mantra fidelius.

Aku mengangguk tanda telah membacanya, lalu dengan mantra non verbal Dad menghancurkan perkamen tadi.

Tidak lama kemudian aku bisa melihat dinding rumah diantara nomor 11 dan 13. Dinding rumah nomor 12 ini seolah-olah mendorong rumah lain yang ada di sampingnya. Selanjutnya tampak sebuah pintu yang sepertinya adalah pintu masuk ke rumah ini.

"Ayo Jilian," kata Mom sambil berjalan mendahuiku memasuki rumah ini. Dad berjalan dibelakangku.

Kesan pertamaku saat masuk ke dalam adalah rumah ini sudah sangat tua, siapapun pemiliknya sepertinya berusaha membersihkannya namun rumah ini tetap tampak suram.

Aku berjalan mengikuti Mom sambil melihat-lihat ke sekeliling yang akhirnya membuatku tersandung sesuatu, spontan aku berpegangan pada tirai terdekat.

Belum sempat mengaduh, diriku dikagetkan oleh suara teriakan seorang wanita seram dari balik tirai.

Mom dan Dad segera mencoba menarik tirai untuk menutupi wanita tua itu, yang ternyata adalah sebuah potret. Namun tirai-tirai itu tidak mau menutup dan dia memekik lebih keras lagi, sambil mengacungkan tangannya yang seolah-olah ingin mencoba mencakar muka Mom dan Dad.

"Dasar kau kotoran! Sampah! Hasil sampingan debu dan kejelekan! Keturunan squib cacat! Darah lumpur! Pergi dari tempat ini! Berani-beraninya kalian mengotori rumahku!!"

Aku sangat terkejut mendengar omelannya. Siapa wanita ini, kelihatannya dia sangat membenci Mom.

Mom dan Dad belum berhasil menutup seluruh tirainya saat kudengar seorang lelaki berlari lalu membantu Mom dan Dad menutup tirainya sambil berkata, "Diamlah, kau wanita tua jelek yang mengerikan, DIAM!"

Wanita dalam lukisan itu tampak murka, "Kaaaau!"

"Pengkhianat keluarga, yang paling dibenci, darah dagingku yang membuat malu!"

"Kubilang DIAM!" teriak lelaki itu, dan dengan usaha menakjubkan dia dan Dad berhasil memaksa tirainya menutup. Pekikan wanita tua itu menghilang dan seketika suasana menjadi hening.

Lelaki itu mengusap rambutnya lalu melihatku. Sambil tersenyum dia berkata, "Halo Jilian."

"Uncle Sirius!"

"Kulihat kau sudah bertemu ibuku," ucap. Sirius dengan muram.

Aku mengangkat kedua alis mataku, "Maksudmu wanita dalam potret itu adalah.."

"Yeah... Dia Ibuku.. Kami telah mencoba menurunkannya selama beberapa bulan ini, tapi sepertinya dia menempatkan Mantera Lekat Permanen di bagian belakang kanvas" ucap Sirius sambil menghela nafas.

"Tapi.. Kenapa potret ibumu ada di dinding rumah ini?"

"Well.. Itu karena rumah ini adalah rumah orangtuaku, jadi rumah ini milikku sekarang," uncle Sirius berkata, lalu memberi isyarat kepada kami untuk mengikutinya.

"Dimana yang lain?" tiba-tiba Dad berkata.

"Mereka semua sedang menjenguk Arthur di St. Mungo," jawab Sirius.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Mom.

"Tadi Molly sempat kemari dan bilang Arthur akan sembuh, untungnya Harry mendapatkan penglihatan itu jadi Arthur bisa segera ditolong dan ditangani," kata Sirius.

Arthur? Molly? Apakah maksudnya orangtua Ron? Apa yang terjadi dengan ayah Ron? Dan apa maksudnya Harry mendapatkan penglihatan?

"Memang apa yang terjadi?" tanyaku penasaran saat kami tiba di sebuah ruangan yang ternyata adalah sebuah dapur.

Ketiga orang dewasa di hadapanku saling berpandangan, seolah-olah ragu-ragu untuk menjawab pertanyaanku.

"Amos, Emily.. Jilian berhak tau," kata uncle Sirius.

Mendengar ucapan uncle Sirius membuat moodku menjadi jelek secara tiba-tiba. Entah mungkin karena lelah setelah perjalanan atau karena rasa penasaran, yang pasti rasanya diriku muak dengan rahasia. Selama tiga belas tahun aku mengira Amos dan Emily adalah orangtua kandungku, walaupun rasa sayangku kepada keduanya tidak berubah, tetap saja aku tidak mau lagi ada rahasia.

"Kupikir kita sudah sepakat untuk tidak ada rahasia diantara kita.. Mom.. Dad.." aku berkata.

Kedua orangtuaku menghela nafas.

"Kemari Jilian, duduklah," kata Dad mengajakku duduk di salah satu bangku meja makan. Sirius duduk di hadapan kami sambil membawa 4 botol butterbeer yang sudah dibuka.

Selanjutnya kedua orangtuaku dan uncle Sirius menjelaskan bahwa tempat ini adalah markas besar orde phoenix. Sebuah perkumpulan rahasia untuk melawan dan menjatuhkan rezim voldemort. Lalu mereka menceritakan apa yang terjadi pada Arthur Weasley.

Mr. Weasley diserang ketika sedang menjalani misi untuk orde. Mereka tidak bisa mengatakan bentuk misi nya, karena hanya khusus untuk anggota orde, baiklah aku bisa mengerti walaupun sedikit kesal.

"Lalu apa hubungannya dengan Harry? Kenapa tadi uncle Sirius mengatakan Harry mendapatkan penglihatan?" tanyaku.

"Harry melihat Arthur diserang dalam mimpinya, kemudian melaporkannya pada Minerva.. Minerva membawa Harry, Ron dan semua anak-anak Weasley lainnya menemui Albus, dan mereka langsung pulang kemari malam itu juga," kata uncle Sirius.

"Karena itulah kau pasti tidak bertemu Harry atau Weasley manapun di Hogwarts Express tadi," sambung Mom.

Aku mengangguk tanda mengiyakan. Lalu berkata, "Kapan mereka kembali?" sebenarnya aku hanya ingin tau kapan Harry akan kembali. Aku harus memastikannya sendiri kepada Harry mengenai mimpinya, terutama bila kemungkinannya berhubungan dengan Voldemort.

"Kurasa sebentar lagi mereka akan kembali," kata uncle Sirius.

"Sebaiknya aku menyiapkan makan malam," kata Mom beranjak dari duduknya.

Aku turut bangkit dari dudukku dan membantu Mom menyiapkan makan malam, setidaknya dengan begitu pikiran dan kekhawatiranku pada Harry bisa teralihkan sejenak. Dad dan Sirius lanjut mengobrol entah tentang apa.

Pintu dapur terbuka saat kami sedang menyantap makan malam, dan seketika saja ruangan ini dipenuhi oleh rambut merah khas Weasley.

Kami saling menyapa dan diantara mereka juga ada Mad Eye Moody asli, aku spontan menyapanya dengan panggilan professor dan dia menjawab kalau dia tidak pernah menjadi professor di Hogwarts, benar juga pikirku. Lalu aku dikenalkan kepada seorang penyihir perempuan berambut pink yang bersikeras hanya mau dipanggil 'Tonks'. Rambut Tonks berubah sewarna dengan rambutku ketika kami berjabat tangan, menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang metamorphmagus, cool!

Mereka bergabung makan malam bersama kami dan Mrs. Weasley menjelaskan keadaan suaminya.

"Dimana Harry?" aku bertanya.

"Tadi Harry terlihat lelah dan pucat, jadi aku menyuruhnya untuk beristirahat sambil menunggu makan malam," Mrs Weasley berkata lalu melanjutkan, "Oh, tapi makan malam sudah siap yaa, terimakasih Emily."

Mom tersenyum menanggapinya.

"Jadi kurasa.. Ron bisa tolong kau panggilkan Harry," Mrs. Weasley berkata lagi.

"Biar aku saja," aku berkata sebelum Ron menjawab.

"Aku juga akan membawa makanan ke kamarnya, kalau dia lelah dan pucat, mungkin lebih baik dia makan di kamar," ucapku dengan bergegas menyiapkan makanan dan membawanya dengan nampan.

Sebelum keluar kamar aku berkata lagi, "By the way.. Kamar Harry sebelah mana ya? Hehe.."

"Aku akan mengantarmu," kata Ron bangkit dari duduknya.

Aku mengikuti Ron keluar dapur lalu menaiki tangga. Saat tiba di koridor lantai dua aku berkata, "Aku turut prihatin soal ayahmu, semoga ia bisa lekas sembuh."

"Thanks Jil," ucap Ron sambil tersenyum.

Kami berhenti di depan pintu kamar Harry dan Ron, aku bergumam terimakasih kepada Ron lalu dia kembali ke dapur.

"Harry... Harry!"

Tidak lama pintu kamar terbuka dan aku bisa melihat wajah terkejut kembaranku.

"Kupikir tadi aku berkhayal mendengar suaramu," kata Harry.

"Kau tidak berkhayal, karena aku memang disini, boleh aku masuk? Nampan ini cukup berat," aku berkata sambil tersenyum.

"Tentu saja Jil, ayo masuk," kata Harry sambil membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

Aku menyimpan nampan di salah satu tempat tidur, "Ayo makan dulu, kau pasti belum makan."

"Thanks Jil, aku memang lapar sekali," kata Harry yang langsung menyantap semua makanan yang telah kubawakan.

Setelah Harry menghabiskan makanannya, aku mulai menanyakan apa yang terjadi, dan seperti dugaanku, Harry merasa khawatir mimpinya ini berhubungan dengan voldemort. Yang lebih parah, dia merasa kalau dirinya yang menyerang Mr. Weasley. Entah bagaimana, tapi Harry merasa dirinyalah yang menjadi ular malam itu.

"Mungkinkah Voldemort mengendalikanku? Mengubahku menjadi seekor ular lalu membuatku menyerang Mr. Weasley? Apakah aku seorang animagus dan bergerak tanpa sadar?" Harry berkata cepat-cepat, jelas sekali dirinya merasa panik, khawatir dan ketakutan.

"Harry calm down," kataku.

"Bagaimana aku bisa tenang Jilian?!"

"Karena Voldemort tidak mengendalikanmu."

"Bagaimana kau bisa yakin tentang hal itu? Kau tidak mengerti, kau tidak merasakan apa yang aku alami!"

"Karena aku melihatmu di mimpiku malam itu, kau ada di tempat tidurmu di asrama gryffindor, jadi kau tidak tiba-tiba berada entah dimana, berwujud ular dan menyerang Mr. Weasley."

Harry terdiam mendengar kata-kataku, lalu mengusap rambut hitamnya yang berantakan, membuatnya menjadi lebih berantakan.

"Mungkin ada hubungannya dengan bekas lukamu," aku berkata.

"Maksudmu?"

"Bekas lukamu itu bukan bekas luka biasa, tapi bekas luka akibat kutukan. Mungkin dari bekas luka itulah dirimu jadi seperti terhubung dengan pemberinya, yaitu Voldemort.. Jadi maksudku, mungkin kau jadi bisa melihat apa yang dilakukan Voldemort.. Ya seperti itulah.. Kau pasti mengerti," aku berkata berusaha menenangkan Harry.

"Entahlah Jilian," kata Harry pelan dan tampak lelah.

"Kenapa kau tidak menemui Professor Dumbledore dan memastikannya," aku menyarankan.

Ekspresi wajah Harry berubah menjadi tampak kesal, "Dia mengacuhkanku."

"Siapa?"

"Dumbledore mengacuhkanku Jilian, dia menghindar dan tidak mau bicara padaku," kata Harry.

"Tapi kenapa?"

"Aku juga tidak tahu," kata Harry yang kini juga tampak frustasi.

Aku sedih melihatnya seperti ini, spontan aku merangkulnya lalu mengusap rambut hitamnya yang berantakan. Kami terdiam beberapa saat, sampai kemudian Harry mulai menguap karena kantuk.

"Sebaiknya kau segera istirahat Harry," kataku.

"Kau juga Jilian," kata Harry, aku tersenyum dan beranjak ke pintu untuk keluar ruangan.

"Jilian,"

"Ya?"

"Terimakasih," kata Harry.

"Anytime brother," aku berkata.