Disclaimer : I don't own Harry Potter!
Jilian POV
"Jadi gimana Jil? Kau mau kan pergi ke hogsmeade denganku bulan depan?" tanya Zach lagi dengan ekspresi wajahnya yang harap-harap cemas.
"Pergi biasa saja kan? Sebagai teman?" tanyaku.
"Well.. Sebenarnya aku berharap ini bisa menjadi kencan..." kata Zach.
Demi Merlin! Aku tidak pernah menyadari kalau Zach memiliki perasaan selain teman padaku.
"Zach.. Aku tidak tahu..," aku berkata ragu-ragu.
"Uhm.. Baiklah kita pergi sebagai teman saja, gimana?" tanya Zach lagi dengan ekspresi kecewa namun masih berharap, bagaimana ini.. Aduuuhh...
"Well.. aku..,"
"Jilian akan pergi ke hogsmeade denganku," aku mendengar Draco berbicara dibelakangku, sejak kapan dia ada disitu.
"Denganmu?!" kata Zach sambil memandang Draco dan diriku.
"Ya, aku!" kata Draco dengan nada sombong.
"Apa kau tidak bisa melihat bracelet yang melingkar di lengan Jilian? Melihat latar belakang keluargamu Smith, seharusnya kau tahu apa artinya kan," kata Draco lagi.
Aku tidak yakin bagaimana menyebut ekspresi wajah Zach saat ini, ada rasa marah, jengkel, malu, juga kecewa.
"Tentu saja," kata Zach, lalu tanpa melihat padaku, dia pergi meninggalkan kami.
Setelah aku yakin Zach tidak akan mendengar, "Draco, kau ini apa-apaan sih?!"
"Aku baru saja menyelamatkanmu dari kemungkinan kencan yang akan kau sesali," Draco berkata dengan santai.
"Aku tidak butuh bantuanmu, aku bisa mengatasi urusanku sendiri," kataku.
"Oh ya, yang tadi kulihat tidak seperti itu," kata Draco.
"Kau ini, kenapa sih selalu ikut campur urusanku?" ucapku sewot.
"Sudah sewajarnya kan aku ikut campur urusan tunanganku," kata Draco santai.
"Oh, jadi sekarang aku kembali menjadi tunanganmu?"
"Coba lihat ini," kataku sambil mengangkat kedua lenganku, "Aku tidak memakai bracelet darimu."
"Aku tau kau tidak memakainya, tapi kau kan masih menyimpannya, dan tadi pun kau tidak menyangkalnya pada Smith," kata Draco menyeringai.
"Sebenarnya apa maumu?" tanyaku.
"Bukankah tadi sudah jelas, bulan depan kita pergi ke hogsmeade bersama," kata Draco.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
Draco menyeringai dan berkata, "Kau tentu masih ingat janjimu di musim panas sebelum tahun ke empat kita dimulai? 3 hal untuk 3 suratku yang tidak kau balas, aku yakin masih punya 2 keinginan yang harus kau penuhi."
Merlin! Tentu saja kenapa aku bisa lupa.
"Dan aku tahu kau bukanlah orang yang suka melanggar janjimu kan Jilian," kata Draco lagi.
"Tentu saja," ucapku.
"Baiklah," kata Draco sambil tersenyum, senyuman yang sudah lama kurindukan.
"Sampai nanti love," Draco tiba-tiba mencium pipiku lalu pergi entah kemana membuatku terpaku di tempat dengan wajah yang memanas.
Aku tidak sadar berapa lama aku berdiri di lorong itu sambil melamun, memikirkan apa yang terjadi hari ini, sampai seseorang bicara,
"Kau dan Malfoy sudah baikan ya?" aku mendengar suara Hannah.
"Hah? Apa?"
xxxxxxxxx
"Apa pelajaran pertama kita hari ini?" tanyaku suatu pagi saat sarapan pada kedua sahabatku di meja hufflepuff.
"Pertahanan terhadap ilmu hitam," kata Susan santai sambil mengoleskan selai ke roti panggangnya.
"Yaaaaaahhhh," aku dan Hannah mengeluh bersamaan, aku melirik ke meja guru dan bisa melihat Umbridge ada disana, memandang para murid selayaknya predator kepada mangsanya.
"Salah satu harapan natalku tidak terkabul," sambung Hannah.
"Memangnya apa harapanmu?" tanyaku.
"Aku berharap Umbridge tidak mengajar lagi setelah natal," kata Hannah dengan menghela nafas.
"Kurasa hampir semua murid Hogwarts berharap demikian," aku berkata.
"Aku masih tidak mengerti apa yang membuatnya lebih tertarik mengurusi sekumpulan bocah disini daripada urusan kementrian lainnya," kata Susan tiba-tiba, "Demi Merlin! Dia sekretaris utama menteri sihir, seharusnya banyak hal penting yang bisa dia kerjakan."
"Mungkin diam-diam menteri sihir pun tidak menyukainya, jadi dia menyingkirkannya kesini," kata Hannah berspekulasi.
Pembicaraan kami terhenti oleh seekor burung hantu yang hinggap di depan Susan dan menyerahkan gulungan perkamen.
"Kau masih membaca itu?" ucapku spontan ketika melihat daily prophet. Aku berhenti berlangganan sejak mereka terus memberitakan kalau kematian Cedric hanyalah kecelakaan, juga menyebutkan kalau Harry dan Dumbledore berbohong soal kebangkitan you know who.
"Tanteku bilang lebih baik mengetahui apa yang publik pikirkan daripada buta sama sekali.. Dengan itu kita dapat lebih... waspada..." kata Susan memandangku penuh arti.
"Itu karena Tantemu adalah kepala departemen penegakan hukum sihir, wajar saja dia waspada, sedangkan kita...," Hannah menunjuk dirinya, aku dan Susan, "Hanyalah murid tingkat 5, kita harus bertingkah sewajarnya murid tingkat 5, belum perlu-lah kita khawatir akan dunia, paling-paling ujian OWL yang paling perlu kita khawatirkan, atau dengan siapa kau akan mengunjungi hogsmeade bulan depan, Demi Merlin kunjungannya pada hari valentine, seharusnya kita pergi dengan seseorang yang spesial...," Hannah terus mengoceh tentang apa yang murid tingkat 5 Hogwarts perlu khawatirkan.
Aku melihat Susan memutar kedua bola matanya, dan tanpa menghiraukan ucapan Hannah, dia mulai membuka gulungan daily prophet. Lalu tiba-tiba Susan memekik terkejut, membuat Hannah menghentikan ocehannya.
"Kenapa Sue?" tanyaku.
Susan tidak menjawab dan memandang perkamen daily prophet di hadapannya dengan horror.
Spontan aku dan Hannah mendekat pada Susan agar bisa ikut membaca apa yang ditulis daily prophet kali ini. Aku melihat sepuluh foto hitam-putih yang mengisi keseluruhan halaman depan, sembilan foto memperlihatkan wajah-wajah penyihir pria dan satu foto adalah wajah seorang penyihir wanita. Beberapa orang di foto-foto itu sedang tersenyum mencemooh diam-diam, yang lainnya sedang mengetuk-ngetukkan jari-jarinya pada bingkai foto mereka, tampak kurang ajar. Lalu aku membaca judul besar diatas foto-foto itu :
PELARIAN MASSAL DARI AZKABAN KEMENTERIAN KHAWATIR BLACK SEDANG 'MENGUMPULKAN' PARA PELAHAP MAUT LAMA
"Merlin!" aku berkata terkejut lalu saling berpandangan dengan Hannah. Kami mengerti ketakutan Susan sekarang, ia dan tantenya adalah anggota keluarga bones yang terakhir. Seluruh keluarga Susan yang lainnya tewas dibunuh oleh pelahap maut pada empat belas tahun yang lalu. Meskipun Susan tidak pernah cerita siapa pelakunya, kurasa orang yang membunuh seluruh keluarganya ada diantara sepuluh buronan yang melarikan diri ini.
Membaca artikelnya, Menteri sihir dengan seenaknya menyatakan Sirius sebagai dalang yang membantu para pelahap maut meloloskan diri dari Azkaban.
Melihat ke sekeliling aula besar, para murid tampaknya belum menyadari berita ini, kecuali mungkin trio gryffindor, aku bisa melihat kembaranku dan dua sahabatnya sedang mengobrol serius dengan lembaran perkamen yang tampaknya daily prophet dihadapan mereka.
"Kurasa selera makanku jadi hilang, apa kalian mau ke kelas sekarang?" Susan tiba-tiba bicara setelah lama terdiam.
"Aku perlu bicara dulu dengan Ernie soal jadwal prefect yang baru," kata Hannah.
"Aku akan menemanimu Sue," kataku bangkit dari bangku.
Saat aku dan Susan berjalan keluar aula besar, aku berkata, "Susan.. Kurasa Sirius Black tidak ada hubungannya dengan kejadian ini."
Susan tersenyum lalu berkata, "Aku tahu Jil kalau Sirius Black itu innocent."
xxxxxxxx
Hari-hari berikutnya para penghuni Hogwarts mulai menyadari berita lolosnya para pelahap maut itu dari Azkaban. Dan kemanapun kau melangkah pasti ada saja kumpulan murid ataupun guru yang saling bicara dengan berbisik-bisik.
Aku dan Harry sudah tidak mau ambil pusing ketika orang-orang menjadikan kami sebagai bahan pembicaraan mereka. Tapi tidak dengan Susan, kasihan sahabatku ini, karena salah satu pelahap maut yang melarikan diri dari Azkaban adalah pelaku pembunuhan keluarganya, kini kemanapun ia berjalan, orang-orang akan mulai membicarakannya.
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu Jil.. Oh Merlin, bahkan rasanya sekarang aku mengerti bagaimana menjadi dirimu, seorang Harry Potter..." keluh Susan padaku dan Harry yang kebetulan kami menjadi satu kelompok pada pelajaran herbology saat ini.
"Bagaimana kalian bisa tahan dengan.. mereka... Mengerikan!" Susan berkata lagi sambil menjatuhkan terlalu banyak kotoran naga pada nampan benih buncis-pekiknya membuat mereka menggeliat dan mencicit tidak nyaman.
Harry hanya mengangkat bahunya menanggapi keluhan Susan.
"Cuekin aja mereka, lama-lama mereka juga akan bosan dan lelah dengan sendirinya," aku berkata pada Susan yang sebenarnya juga untuk diriku sendiri. Jujur saja sebenarnya diriku juga terganggu dan tidak nyaman ketika melewati koridor sekolah dengan sekumpulan murid yang bergumam dan menunjuk-nunjuk dirimu.
Dalam perjalanan kembali ke kastil seusai herbology, aku dan Harry sengaja berjalan menjauhi murid-murid lainnya.
"Bagaimana pelajaran 'tambahan' mu dengan Sev?" aku bertanya pada Harry.
"Buruk!" kata Harry.
"Separah itu kah?"
"Bekas lukaku jadi lebih sering terasa sakit sejak aku belajar occlumency," kata Harry sambil mengusap bekas luka di dahinya.
"Aku sering tiba-tiba merasa marah... atau.. tiba-tiba senang.. Padahal tidak ada hal yang membuatku senang saat itu.. Aku jadi seperti merasa ada emosi lain di dalam diriku, yang sama sekali tidak berhubungan denganku Jil, tapi itu emosi miliknya, voldemort.." kata Harry tampak ngeri.
"Belum lagi jika mimpi-mimpi itu muncul lagi.. Aku berjalan menyusuri koridor menuju pintu masuk ke Departemen Misteri, dan hampir setiap malam mimpi-mimpi itu sekarang muncul, lalu ketika aku berdiri di depan pintu hitam polos itu, aku merasakan keinginan yang sangat luar biasa untuk membukanya.. Ada sesuatu di balik pintu itu yang sangat voldemort inginkan," kata Harry.
"Kau harus menutup pikiranmu Harry, teruslah mencoba, kau pasti bisa," kataku memberi semangat pada Harry.
"Aku berusaha Jil," kata Harry.
xxxxxxxx
Umbridge terus menerus menerapkan berbagai dekrit yang aneh, membuat ruang gerak para murid jadi semakin terbatas. Padahal murid tingkat 5 sudah sangat sibuk dengan tugas dan pelajaran untuk menghadapi OWL.
Pertemuan DA seperti menjadi pelarian kami, karena kebanyakan para anggota DA tiba-tiba mengalami peningkatan yang sangat pesat, bahkan Neville menjadi orang yang berhasil membuat mantra pelindung 'protego' setelah Hermione pada suatu sesi yang diajarkan Harry.
Tidak terasa january berganti ke bulan berikutnya, dan tiba-tiba saja hari ini adalah tanggal 14 february, hari kunjungan ke hogsmeade dan hari kencanku dengan Draco.
Perutku terasa mual karena gugup memikirkan Draco, padahal ini bukan kali pertamaku mengunjungi Hogsmeade dengannya. Tidak, ini bahkan bukan pertama kali aku pergi dengan Draco, dulu kami sudah sangat sering berpergian bersama. Tapi tetap saja aku berkali-kali berganti pakaian, mengobrak abrik koperku mencari pakaian yang tepat untuk hari ini dan mulai merasa menyesal karena menolak ajakan Susan dan Hannah untuk memesan baju atau jubah dari koleksi terbaru yang ditampilkan majalah witch weekly bulan lalu.
Aku menghela nafas dan mencoba menepis segala perasaan gugup itu. Ini hanyalah pergi dengan Draco, seperti biasanya, semoga situasinya nanti tidak menjadi canggung.
Suasana aula yang lebih ceria karena pengaruh kunjungan ini sama sekali tidak membuat rasa gugupku berkurang. Spontan aku melihat ke arah meja slytherin dan mencari surai pirang platina, namun aku tidak bisa menemukannya. Kemana Draco, apa dia sudah sarapan? Atau terlambat? Atau jangan-jangan dia berubah pikiran dan hanya mempermainkanku saja.
"Sudah jangan terlalu dipikirin, sekarang sarapan dulu," kata Susan tiba-tiba.
"Aku ga mikirin apa-apa kok," kataku berusaha menyangkal.
Susan dan Hannah menjawabku dengan suara cekikian mereka. Huhuhu mereka ini..
Setelah memaksakan diri untuk memasukan beberapa sendok sereal kedalam mulutku, aku segera keluar aula besar dan menuruni tangga menuju gerbang lalu memperlihatkan surat ijinku pada Flich. Kemudian aku mulai mencari Draco lagi diantara kerumunan murid, tapi aku tidak dapat melihatnya. Setelah beberapa menit aku mulai merasa gugup dan kecewa... Mungkin memang dia berubah pikiran...
"Kok ga pake syal?" kata suara dibelakangku, aku berbalik dan menemukan Draco melihatku dengan perhatian di matanya, sesuatu yang sangat familiar tapi sudah sangat lama tidak kulihat.
Aku masih bengong dan tidak menanggapi pertanyaan Draco yang tiba-tiba, reaksiku antara kaget, gugup dan terpesona. Damn Draco Malfoy dan ketampannya yang selalu bisa membuatku seperti orang bodoh.
Draco tersenyum dan geleng-geleng kepala, lalu melepas syal slytherinnya dan mengalungkan di leherku.
"Kau ini tetap ceroboh ya.. Sudah tahu udara february masih dingin seperti ini.." kata Draco dengan suara pelan seperti yang dulu selalu ia lakukan padaku. Lalu Draco mengeluarkan sesuatu dari dalam jubahnya yang ternyata adalah sebuah topi kupluk penutup kepala berwarna hitam.
"Dan seperti dugaanku, kau juga tidak memakai penutup kepala," katanya sambil memasangkan penutup kepala padaku.
"Nah begini lebih baik," kata Draco lagi.
"Thanks," aku berkata seperti baru menemukan suaraku.
"Tapi bagaimana denganmu? Memangnya kamu ga kedinginan?"
Draco menjawabku dengan merapalkan mantra penghangat pada dirinya sambil menyeringai.
"Aku juga bisa memakai mantra itu, kau tidak perlu meminjamkan syal atau topimu," kataku.
"Tapi kau lebih cocok memakai syalku, benar-benar seperti seorang slytherin," kata Draco menyeringai
Aku memutar kedua bola mataku, merapalkan mantra penghangat pada diriku, tapi tidak mengembalikan syal dan penutup kepala Draco.
"Atau.." kata Draco.
"Atau apa?"
"Atau kau bisa menggenggam tanganku," kata Draco mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum, membuatku ikut tersenyum lalu meraih tangannya, dan kami berjalan menuju Hogsmeade sambil berpegangan tangan.
