I'm so sorry, udah lama banget ga update. Saya pindah tempat tinggal dan cukup sibuk selama setahun ini, tapi dengan krisis virus covid-19, saya mungkin akan punya lebih banyak waktu, karena sekarang lebih sering dirumah aja.. terima kasih juga buat semuanya yang masih mengikuti dan menantikan fic ini..

stay safe and stay healthy everyone!

Disclaimer : I don't own Harry Potter!

1 tahun kemudian

Jilian POV

Harry!!

Dia terlihat tegang dan waspada. Tongkat sihirnya dipegang dengan sangat erat.

Harry!!

Aku berusaha memanggilnya tapi dia tidak mendengar. Harry tampak bersembunyi dari sesuatu atau seseorang. Aku melihat ke arah mata Harry memandang, dan tampak bayangan buram seseorang mengacungkan tongkat sihirnya ke seseorang lainnya yang terpojok. Siapa mereka??? Aku tidak bisa mengenalinya karena hanya Harry yang bisa kulihat dengan jelas.

Kemudian lebih banyak orang lagi yang datang, mereka semua tampak seperti bayangan buram yang tidak bisa kukenali. Lalu tiba-tiba salah satu dari mereka tampak menyerang orang yang terpojok dan dia jatuh dari menara

"Nooooo!!!!"

Aku berteriak hingga terbangun dari tidurku, dadaku berdebar dan nafasku tersengal-sengal.

"Jilian!" kata Mom tiba-tiba masuk ke kamarku, diikuti oleh Dad.

"Ada apa? Kami mendengarmu berteriak," Mom bertanya dengan khawatir.

"Seseorang diserang dan jatuh dari menara," aku berkata.

"Apa maksudmu?" tanya Dad.

"Aku melihat Harry.."

"Kau bermimpi Harry diserang dan jatuh dari menara?" Mom memotong kalimatku.

"Bukan Mom itu bukan mimpi, dan itu bukan Harry," aku berkata.

"Apa maksudmu bukan mimpi?" Mom bertanya lagi.

"Mom.. Dad.. Aku tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, tapi aku seperti punya connection with Harry. Mungkin karena kami kembar," aku berhenti sejenak dan kedua orangtuaku sekilas saling berpandangan dengan wajah bingung.

"Jadi awalnya kupikir itu mimpi, tapi aku sering melihat orang itu dalam tidurku. Wajahnya dulu tampak buram, namun ketika aku tahu kalau Harry adalah kembaranku, wajahnya menjadi jelas. Tapi ternyata itu semua bukan mimpi, aku sudah pernah mengkonfirmasinya dengan Harry, dan semua yang kulihat dalam mimpiku adalah momen-momen tertentu yang terjadi di hidup Harry, aku dan Harry tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi, tapi mungkin karena kami kembar."

Mom dan Dad melihatku dengan khawatir, ekspresi mereka antara percaya dan tidak percaya.

"Baiklah, jadi apa yang kau lihat tadi, seseorang diserang dan jatuh dari menara? Apa kau bisa melihat siapa?" tanya Dad.

"Tidak Dad, hanya Harry yang bisa kulihat dengan jelas, orang-orang lainnya hanya tampak sebagai bayangan buram," aku berkata.

"Kau yakin Jilian? Mungkin ini hanya mimpi sayang," kata Mom.

"Mom ini bukan mimpi," aku bersikeras.

"Dad, please, bisakah kau mencari tahu kabar dari Inggris, tentang Harry dan semua orang disana? Perasaanku mengatakan ada hal buruk yang terjadi, aku mengkhawatirkan mereka," aku memohon pada Dad.

"Baiklah sayang, kupikir juga sudah lama sejak kita mendengar kabar dari Inggris. Besok aku akan melakukan kontak dengan orde," kata Dad.

"Sebaiknya sekarang kau tidur lagi sayang, ini masih tengah malam," kata Mom.

Lalu kedua orangtuaku kembali ke kamar mereka, meninggalkan aku sendiri di kamarku, tapi aku terlalu khawatir untuk kembali tidur.


Sudah sekitar setahun lamanya sejak aku pindah - bersembunyi - dari dunia sihir Inggris. Mom dan Dad membawaku ke Amerika, tapi kami tidak bisa tinggal dengan keluarga muggle kami, karena bisa membahayakan mereka. Kami juga tidak bisa tinggal di dunia sihir Amerika karena terlalu beresiko untuk mudah ditemukan. Yang menjadi masalah juga adalah Dad tidak bisa hidup tanpa benar-benar tidak menggunakan sihir. Dia tidak mengakuinya tapi Aku dan Mom mengerti. Jadi kami pindah ke kota tempat salah satu keluarga Mom tinggal, mereka bukan penyihir tapi mereka magical, dan karena ada aura magic di kota ini, bertambahnya tiga penyihir tidak akan menarik perhatian. Karena itulah Mom dan Dad bisa melakukan sihir di kota ini, biarpun tentu saja tidak terang-terangan karena tetap saja muggle adalah penduduk utamanya. Sedangkan aku? Aku masih memiliki jejak, jadi aku tidak bisa melakukan sihir, too bad, yang akhirnya membuatku bersekolah di sma umum muggle di kota ini. Tapi sekolah muggle disini ternyata lebih magical dari yang kukira. You'll be surprised like i was, but that will be another story in another time.

Beberapa kali aku tergoda untuk mengirim surat langsung pada Harry, tapi aku tidak bisa, karena sebelum kami pergi-bersembunyi, kami (termasuk aku dan Harry) telah menyepakati bahwa hanya Dad yang akan melakukan kontak dengan orde, dan kini aku merasa bodoh karena menyepakatinya.

Untuk sekarang aku sedang mondar mandir keliling rumah, mencari kegiatan apapun yang bisa kulakukan untuk mengalihkan pikiranku dari kegelisahan. Aku sudah merapikan dan menata ulang kamarku, secara muggle, sampai 3 kali. Lalu aku juga berinisiatif menyapu dan mengepel seisi rumah, secara muggle, membersihkan dapur, mencuci pakaian dan menyetrikanya, semua tentu secara muggle, bahkan aku yang memasak makan siang dan makan malam, secara muggle, hal ini membuat Jingle-peri rumah keluargaku kesal, tapi dia tidak bisa apa-apa karena aku memerintahkannya untuk tidak membantuku. Aku bisa melihat Mom menatap Jingle dengan iba, tapi juga tidak mencegahku.

Setelah makan malam, aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan menonton televisi, berusaha mengikuti alur film yang yang sedang tayang, namun sampai lewat tengah malam, Dad belum juga pulang. Mom yang menemaniku kini sudah terlelap di sofa di depan televisi. Sampai akhirnya kudengar suara pintu depan rumahku dibuka.

"Dad!" aku berkata saat Dad muncul dari balik pintu.

"Jilian, kenapa kau belum tidur? ini sudah lewat tengah malam," kata Dad.

"Kami menunggumu pulang," kata Mom yang ternyata terbangun.

"Dad bagaimana kabar Harry? Apakah ada sesuatu yang terjadi di Inggris?" aku bertanya tidak sabar.

Dad terdiam dan tidak langsung menjawab, raut wajahnya terlihat lelah, sekilas tampak sedih, namun akhirnya Dad tersenyum dan berkata, "Tidak terjadi apa-apa di Inggris, semua baik-baik saja, Harry juga baik-baik saja."

But I'm not convinced


"Happy Birthday!" ucap Mom dan Dad bersamaan di hari ulang tahun ku yang ke 17.

"Terimakasih Mom, Dad," ucapku tersenyum sambil memeluk mereka.

Lalu aku menuju meja makan dan melihat berbagai menu sarapan yang menggugah selera, pancakes with vanilla ice cream and fresh strawberry, bacon and eggs, waffles, vanilla yogurt, sausages and patties, butter toast, fresh orange juice, "Wow. What's all this?" aku berkata.

"Special breakfast for our special birthday girl," kata Mom sambil mencium pipiku.

"Tapi ini banyak sekali, aku tidak akan bisa makan semuanya," ucapku sambil tertawa kecil.

"Tenang saja, perutku punya banyak tempat," ucap Dad membuat kami tertawa bersama.

"Acara hari ini jadi kan?" kata Dad disela-sela sarapan.

"Ah iya, tentu saja Amos, aku sudah menyiapkan semuanya, uhm... Hampir, tinggal beberapa hal," kata Mom.

"Mom.. Dad.. Apakah acara siang ini memang diperlukan?" aku bertanya.

"Ya, tentu saja Jilian, tidak setiap tahun kau berumur 17, kita harus merayakannya," kata Mom.

"Tapi Mom.." aku berkata dengan enggan, karena sebenarnya aku tidak mau ada perayaan apapun, apalagi dengan tidak adanya Harry disini.

"Dan kami sudah mengontak semua keluarga kita, juga teman-temanmu, mereka setuju akan datang hari ini. Jadi setelah sarapan kau pergilah keluar rumah, belanja sesuatu di kota untuk dirimu sendiri, lalu kembalilah siang nanti, dan berpura-puralah kau terkejut saat nanti kau datang," kata Mom. Ya, seharusnya acara nanti adalah pesta kejutan ulang tahun untukku, tapi sayangnya beberapa hari lalu, tanpa sengaja aku memergoki Dad menelfon salah satu teman muggle-ku dengan suara keras dan tanpa mantra kedap suara yang akhirnya menjadikan aku mengetahui rencana ini.

"Alright, Mom," aku berkata setuju, tidak bisa menolak kedua orangtuaku.

Setelah sarapan, aku mandi dan ganti pakaian, lalu pergi keluar rumah. Awalnya aku mempertimbangkan pergi ke tengah kota, untuk belanja sesuatu seperti yang Mom sarankan, tapi sebenarnya aku sudah punya rencana lain untuk menghabiskan waktu hingga siang nanti. Kuputuskan untuk berjalan-jalan di jalan setapak yang menuju hutan di belakang rumah kami. Berjalan di hutan ini selalu mengingatkanku akan hutan terlarang di Hogwarts, yang berbeda suasana hutan ini tidak tampak mencekam seperti hutan terlarang.

Setelah beberapa saat, aku berhenti sejenak, menghirup udara segar yang selalu dihasilkan oleh pohon-pohon yang tinggi di hutan ini, menikmati hangatnya sinar matahari yang memancar menyentuh kulit wajahku dari sela-sela dedaunan, sambil mendengarkan kicauan burung-burung yang saling bersautan. Lambat laut aku bisa merasakannya, aura magic di hutan ini seperti perlahan merambat ke diriku, menyatu dengan magic yang mengalir di pembuluh darahku dan menuju inti magic dalam diriku. Tangan kananku lalu merogoh saku jaket yang kupakai untuk mengambil tongkat sihir yang selalu menjadi bagian dari diriku. Panjangnya 10 1/4 inci, terbuat dari kayu ebony dengan unicorn hair sebagai intinya. My beautiful wand.

"Hello old friend," aku berkata setelah sudah setahun lamanya aku tidak menggunakan sihir, akhirnya hari ini aku tidak lagi memiliki jejak. Dadaku rasanya penuh karena kegembiraan, dan dengan perasaan bahagia seperti sekarang hanya ada satu mantra yang kupikirkan, segera saja aku memikirkan semua memori bahagia di hidupku lalu berkata, "expecto patronum!"

Cahaya putih menyala dari ujung tongkatku yang kemudian membentuk patronus seekor rusa betina yang cantik. Patronusku kemudian melompat-lompat berkeliling, sepertinya juga merasakan kebahagiaanku karena akhirnya bisa bebas menggunakan sihir, sampai akhirnya dia berhenti di depanku lalu memudar.

Tangan kiriku lalu merogoh saku jaketku di sisi yang lain untuk mengambil bros keperakan berbentuk bunga chrysalis yang sebenarnya adalah portkey yang Blaise berikan padaku. Lalu aku bergumam mengaktifkannya sebelum akhirnya tubuhku seperti tersedot dan berputar-putar sampai akhirnya kakiku kembali menapak.

"Bagian apa dari kata emergency yang tidak kau mengerti?" tiba-tiba seseorang berbicara dari belakangku, dan aku melihat salah seorang sahabatku, Blaise Zabini, sedang duduk di paviliun bergaya victoria, bagian dari taman belakang rumah mewahnya di Italia.

"Aku juga senang bertemu denganmu, Blaise," aku berkata sambil berjalan menghampirinya.

"Aku yakin sudah mengatakan padamu kalau portkey yang kuberikan adalah untuk saat darurat, saat emergency," Blaise berkata.

"Ya.. Ya.. Kau mengatakannya," aku berkata.

"Lalu kenapa kau ada disini malam ini?" tanya Blaise lagi.

Kenapa Blaise bilang malam? Ya karena hari sudah malam disini, waktu di Italia 9 jam lebih dulu dari di Amerika.

Aku tidak langsung menjawab karena memperhatikan paviliun yang tampak semakin cantik dengan hiasan bunga-bunga dan bola-bola cahaya yang berterbangan disekitarnya, seperti kunang-kunang. Lalu aku juga bisa melihat meja di tengah paviliun dipenuhi dengan makanan dan hiasan yang cantik.

"Apakah kau sedang kencan?" aku berkata penasaran, tidak menghiraukan pertanyaan Blaise sebelumnya.

"Menurutmu?" kata Blaise menjawab dengan seringaian seperti layaknya seorang slytherin.

"Oh aku senang sekali bisa mengganggu kencanmu," aku berkata sambil mengambil satu strawberry yang telah dilumuri coklat dan memakannya.

"Jadi dimana Susan?" aku bertanya dan Blaise menjawabku dengan menaikkan alis matanya.

"Kau menyiapkan ini semua untuk berkencan dengan Susan kan?" lagi-lagi Blaise hanya menyeringai.

"Jangan katakan kau selingkuh dari Susan?! Demi Merlin! Blaise dia sahabatku!" aku mulai sewot, tapi hal ini malah hanya membuat Blaise menyeringai lebih lebar.

"Jilian!!" seseorang memanggilku tepat sebelum aku mengutuk Blaise. Aku berbalik dan melihat sahabatku, "Susan!"

Susan berlari menghampiriku dan langsung memelukku, "Jilian, aku kangen banget!"

"Aku juga!" aku berkata saat memeluknya juga.

"Untung saja kau datang, aku hampir mengutuk Blaise, kupikir bukan kau yang berkencan dengannya malam ini," aku berkata.

"Kencan?" tanya Susan sambil tertawa kecil.

"Iya, paviliun yang dihias dengan cantik, meja yang penuh dengan makanan, bola-bola cahaya yang menambah suasana semakin romantis? Maafkan aku datang tiba-tiba, aku tidak bermaksud mengganggu kencanmu," aku berkata pada Susan.

"Hei, tadi kau tidak merasa bersalah mengganggu kencanku," protes Blaise.

"Jilian, kami menyiapkan ini semua bukan karena akan berkencan," kata Susan tidak menghiraukan Blaise .

"Lalu?" tanyaku penasaran.

"Happy Birthday!" kata Susan girang.

"What?!" aku berkata bingung.

"Kami menyiapkan ini semua untukmu, surprise!" kata Susan lagi.

Aku masih belum bisa berkata-kata saat Blaise menghampiriku "Happy Birthday, Red," ucapnya lalu mengacak-ngacak rambutku.

"Hei!" aku menghindari Blaise agar tidak merusak rambutku, membuat mereka tertawa dan akhirnya aku juga ikut tertawa bersama mereka.

"Ayo kita makan," ajak Susan menggiringku ke salah satu kursi.

"Tapi aku baru saja sarapan," aku berkata.

"Tapi disini sudah waktunya makan malam," kata Susan tidak menghiraukan keluhanku.

"Bagaimana kalian tahu aku akan kemari hari ini?" aku bertanya di sela-sela 'makan malam' kami.

"Tentu saja kau akan kemari, ini kan hari ulang tahunmu," kata Susan.

"Dan itu adalah hal emergency yang kau maksud kan," sambung Blaise sambil menyeringai.

Aku tidak langsung berkata lagi, melihat kedua sahabatku ini lalu tersenyum, "Kalian berdua, memang benar-benar tahu diriku," aku berkata lalu tertawa kecil.

"Karena kami sahabatmu," kata Susan tersenyum lalu memegang tanganku.

"Dan juga karena terakhir kau kemari, kau bilang akan datang lagi pada tanggal satu agustus," kata Blaise.

"Blaise jangan merusak suasana," kata Susan tetap tersenyum.

Aku tertawa kecil lalu berkata, "Terimakasih kalian sudah menyiapkan ini semua."

"Sebenarnya kedua orangtuaku juga menyiapkan pesta ulang tahun untukku, mereka mengundang semua keluarga dan teman-teman muggle-ku..."

"Tapi..." kata Blaise.

Aku menghela nafas, "It's different, kadang disana aku merasa bukan seperti diriku, dan bukannya aku tidak bersyukur dengan adanya semua keluarga dan teman-temanku disana, hanya saja.."

"Kau merindukan keluarga dan teman-temanmu di dunia sihir Inggris," Susan membantu menyelesaikan kalimatku.

"Yeah," aku berkata lalu terisak, "Oh Merlin, apa ini kenapa aku jadi menangis?!"

"Ooh Jilian," kata Susan sambil merangkulku.

"Ada kami disini," kata Susan lagi.

"Iya, kalian berdua adalah hal yang membuatku sadar bahwa kehidupanku di dunia sihir Inggris itu benar-benar nyata," aku berkata.

"Yaelah Jil, baru juga setahun..," kata Blaise.

"Blaise Zabini! Tadi aku kan sudah bilang jangan merusak suasana," Susan memotong kalimat Blaise.

"Siap Love," kata Blaise sambil tersenyum polos pada Susan.

"Tidak apa Sue, aku tahu sebenarnya dia menyayangiku," kataku sambil menunjuk Blaise.

"Hmm.. Mmhh," komentar Blaise lalu kembali menyeringai.

"Tapi yang paling penting sekarang adalah aku sudah tidak lagi punya jejak," kataku antusias sambil mengacungkan tongkat sihirku, dan sekelebat kembang api kecil meluncur dari ujungnya.

"Yeay, congratulations," kata Susan yang juga antusias.

"Jadi apakah orangtuamu tahu kau kemari?" tanya Blaise.

"Uhm, nope. Mereka menyuruhku ke kota untuk belanja sesuatu, sementara mereka menyiapkan pesta dan menunggu semua undangan datang. Aku diharapkan kembali siang ini lalu berpura-pura terkejut," aku berkata.

"Kenapa begitu?" tanya Susan.

"Pesta ini harusnya menjadi kejutan, tapi aku mendengar Dad menelfon salah satu temanku, jadi akhirnya aku mengetahui rencana mereka," aku berkata sambil tertawa.

"Setidaknya mereka mencoba," kata Blaise.

"Kau beruntung punya orangtua seperti mereka," sambung Susan.

Susan benar, betapa beruntungnya diriku dibandingkan mereka berdua, Blaise biarpun sangat kaya, Ibunya sangat sibuk dan jarang dirumah, Ibunya juga beberapa kali menikah, menjadikan Blaise punya sederet ayah tiri. Sedangkan Susan, kedua orang tuanya telah meninggal sejak dirinya masih kecil, menjadikan Susan harus tinggal dengan tantenya, tapi kudengar musim panas lalu rumah mereka diserang oleh Voldemort, yang mengakibatkan Amelia Bones tantenya Susan tewas, beruntung saat itu Susan sedang berlibur di Italia, jika tidak, mungkin Susan juga akan.. Aku tidak mau membayangkannya..

"Bagaimana kabar di Hogwarts?" aku mengalihkan pembicaraan. Tapi Susan maupun Blaise tidak menjawabku, aku melihat mereka saling berpandangan lalu melihatku lalu berpandangan lagi seperti salah tingkah.

"Apa yang orangtuamu katakan tentang Hogwarts? Mereka tetap ada update kabar dari Inggris kan?" tanya Blaise.

"Uhm, yeah.. Mereka bilang tidak terjadi apa-apa, Harry dan juga semua orang yang kami kenal disana, Dad bilang semua baik-baik saja," aku berkata.

"Baiklah kalau mereka berkata begitu," kata Blaise.

"Apa maksudmu? Apakah ada sesuatu yang terjadi?" aku bertanya lagi, tapi mereka tidak juga menjawab.

"Udaranya mulai dingin, apakah mungkin sebaiknya kita pindah ke dalam?" kata Susan jelas berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Susan disini tidak dingin, aku yakin kalian sudah memasang mantra penghangat kan," kataku.

"Uhm, iya sih," kata Susan tampak gugup.

"Ada apa ini? Kalian tahu sesuatu kan? Apa yang terjadi?" aku bertanya lagi.

"Jilian, jika orangtuamu tidak mengatakan apapun, berarti memang tidak ada yang perlu dikatakan, ingat kau dan orangtuamu sedang dalam persembunyian," kata Blaise.

"Tapi aku berhak tahu apa yang terjadi, apalagi jika ada sesuatu yang terjadi dengan Harry!" aku berteriak.

"Jilian, kau tidak perlu berteriak," kata Susan.

"Maafkan aku," aku berkata cepat.

"Tapi aku muak dengan semua orang berusaha menyembunyikan sesuatu dariku," aku berkata.

"Kami tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu darimu, tapi kau juga harus menghormati kedua orangtua mu, aku yakin mereka punya alasan," kata Blaise.

"Jadi memang terjadi sesuatu, kan?" aku bertanya, tapi Blaise dan Susan, keduanya diam tidak menjawab.

Tiba-tiba seekor burung hantu meluncur masuk ke paviliun dan menjatuhkan surat di atas meja. Kami bertiga terdiam sesaat karena terkejut, dan ketika Blaise hendak mengambil suratnya, tiba-tiba surat itu terbang seperti howler dan mulai bicara.

The British Ministry of Magic has fallen... The Minister of magic is dead... Stay alert... Stay safe...

Lalu surat itu menghancurkan dirinya sendiri.

"Blaise!" kata Susan panik sambil berlari ke arah Blaise seperti ketakutan.

"Tenang Love, kita aman disini," kata Blaise berusaha menenangkan Susan.

"Apa itu tadi? Apa maksudnya? Apakah itu berita dari Inggris?" aku bertanya dengan panik.

Blaise menatapku lalu berkata, "Iya Jil, tadi itu kabar darurat dari informan-ku di Inggris, sepertinya you know who dan kroninya berhasil mengambil alih kementerian sihir Inggris."

"Tapi, bagaimana bisa?" kataku lagi.

"Jilian, kementerian telah disusupi oleh pengikut you know who sejak lama, dan terutama setelah..." Blaise berhenti sejenak sambil melihat Susan, dan Susan mengangguk.

"Terutama setelah kematian Amelia Bones, tante Susan, mereka semakin bisa bergerak bebas di dalam kementerian," lanjut Blaise.

"Tapi tentu Dumbledore dan orde phoenix tidak akan membiarkannya kan?" aku berkata lagi, sebagian dari diriku masih tidak percaya kalau kementerian sihir Inggris telah dikuasai Voldemort.

"Dumbledore?" kata Susan.

"Iya, Dumbledore kan satu-satunya penyihir yang Voldemort takuti, bersama dengan orde aku yakin kementerian akan bisa direbut kembali," aku berkata dengan berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya di Inggris akan baik-baik saja.

"Jilian... Dumbledore sudah tidak ada, dia sudah meninggal," kata Susan.

"Apa?" kataku tidak yakin dengan apa yang kudengar.

"Kau bercanda, mana mungkin Dumbledore meninggal," aku berkata, dan hanya ditanggapi dengan tatapan khawatir dari kedua sahabatku ini.

"Kalau Dumbledore meninggal, aku dan orangtuaku akan mengetahuinya, kami.. Kami akan kembali ke Inggris dan menjemput Harry, agar bisa melindunginya, tapi saat kontak terakhir dengan orde, Dad bilang semua baik-baik saja, Harry juga baik-baik saja," aku berkata lagi tapi entah kenapa hatiku menjadi ragu.

"Kecuali," kataku pelan.

"Kecuali jika kedua orangtuaku menyembunyikan kebenarannya dariku," aku berkata lagi dengan mata berkaca-kaca dan berusaha menahan tangis, benarkah Dumbledore meninggal? Benarkah Mom dan Dad merahasiakannya dariku? Bagaimana kondisi Harry sekarang? Kalau Dumbledore tidak ada, siapa yang akan melindungi Harry? Apakah Mom dan Dad bohong padaku?

"Aku perlu bukti," aku berkata.

"Jilian, jika yang orangtuamu katakan semuanya baik-baik saja, kurasa kau harus mempercayai mereka," kata Blaise berusaha menenangkanku.

"Bagaimana kau bisa berkata begitu? Setelah apa yang kudengar dari surat tadi, dan juga yang kau bilang tadi Susan!" aku berkata.

"Aku perlu bukti apakah Dumbledore memang benar meninggal, juga bukti bagaimana kondisi di Inggris yang sebenarnya, aku tahu kau pasti punya informasinya Blaise!" aku berkata lagi.

Blaise tampak enggan tapi dia memanggil salah satu peri rumahnya, memerintahkan sesuatu, kemudian peri rumahnya kembali dengan setumpuk koran yang ternyata adalah Daily Phropet.

Aku segera mengambilnya dan membaca judul artikel tentang kematian Dumbledore, lalu tentang teror yang dilakukan para Death Eather pengikut Voldemort, ternyata kondisi dunia sihir Inggris tidak baik-baik saja, bahkan memburuk terutama setelah Dumbledore meninggal, seperti tidak ada lagi yang mereka takuti. Dan kini kementerian sihir telah dikuasai, menteri sihir Inggris pun tewas.

"Bagaimana Dumbledore meninggal?" aku berkata pelan.

"Death Eather menyusup masuk ke Hogwarts menjelang akhir tahun ajaran lalu, dan salah satunya berhasil mengenai mantra pembunuh kepada Dumbledore sebelum tubuhnya terjatuh dari menara astronomi," kata Blaise pelan.

"No," aku bergumam, dan kembali teringat mimpiku tentang Harry malam itu, tapi kenapa Dad bilang semua baik-baik saja.

"Jilian," kata Susan dengan suara khawatir.

"Bagaimana death eather bisa masuk ke Hogwarts?" tanyaku lagi.

Mereka berdua terdiam tidak langsung menjawab, keduanya tampak ragu, tapi akhirnya Blaise berkata, "Draco."

"Tidak!"

"Tidak Blaise, kau bercanda, Draco bukan seorang death eather, dan dia.. dia.." aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

"Tahun lalu adalah tahun yang berat untuk Draco, terutama sejak Lucius Malfoy dipenjara di Azkaban," Blaise berkata.

"Kenapa kau tidak mencegahnya? Kenapa kau tidak menolongnya?! Demi Merlin, Blaise! Kau sahabatnya!" aku berteriak lepas kendali.

"Aku mencoba menolongnya, tapi Draco tidak mau cerita apapun, dia menanggung semuanya sendirian, dia menutup rapat-rapat semuanya, jadi aku tidak tahu apa yang harus kutolong, apa yang harus kuperbuat, sampai akhirnya semuanya terjadi," kata Blaise juga lepas kendali, jelas kesal karena tidak bisa menolong sahabatnya.

Setelah beberapa saat, aku berkata dengan terburu-buru, "Terimakasih atas semua yang sudah kalian siapkan ini, tapi kurasa aku harus pulang sekarang."

"Jilian.." kata Susan.

"Maafkan aku Sue, aku.. Aku harus pulang. Aku.. Aku harus bicara pada kedua orangtuaku, aku harus tahu apa yang terjadi," aku berkata.

"Jilian, apapun yang orangtuamu katakan nanti, tolong jangan gegabah," kata Blaise khawatir.

Aku memandang mereka berdua lalu melangkah ke tengah taman kemudian mengaktifkan portkey untuk kembali ke hutan di belakang rumahku di Amerika.

Sesampainya disana aku berlari menuju rumah, dengan daily prophet di tanganku sebagai bukti, Mom dan Dad tidak bisa merahasiakan apapun lagi dariku, aku harus tahu kebenarannya, dan saat kubuka pintu rumah tiba-tiba,

"Happy Birthday!!"

Aku terkejut, lupa jika Mom, Dad, semua keluarga dan teman-teman muggle-ku menyiapkan pesta ulang tahun untukku. Tapi aku tidak bisa ikut tertawa seperti mereka, aku malah merasa semakin kesal, dan kurasa kekesalan terpancar dari wajahku, karena suasana menjadi canggung.

"Jilian, ada apa?" akhirnya Mom bertanya.

Aku tidak bicara dan hanya menunjukkan gulungan perkamen yang kugenggam di tanganku, dan dari ekspresi wajahnya kurasa Mom dan Dad menyadari kalau itu adalah daily prophet.

"Semuanya, bagaimana kalau kalian langsung makan saja, silahkan, silahkan.. Kurasa Jilian kurang enak badan, aku dan Amos akan menemaninya dulu ke kamarnya," kata Mom sambil memegang pundakku dan menuntunku ke lantai dua tempat kamarku berada.

"Apakah semua baik-baik saja?" aku mendengar seseorang bertanya.

"Iya semuanya baik-baik saja," kata Dad yang berjalan di belakangku.

Sesampainya di kamar, Dad merapalkan mantra kedap suara, jelas tidak ingin ada orang lain yang mendengar tentang apa yang akan kami bicarakan.

"Kenapa kalian selalu bilang semuanya baik-baik saja?" aku berkata tidak menutupi kekesalanku.

"Jilian," kata Mom dengan nada memperingatkan.

"Jilian, apapun yang kau baca, kami bisa jelaskan, tapi darimana kau dapat itu," Dad menunjuk daily prophet di tanganku.

"Bukan masalah aku dapat dari mana, tapi kenapa kalian merahasiakannya dariku? Kalian bilang semua baik-baik saja, tapi apa ini??!!" aku berkata sambil membeberkan gulungan gulungan perkamen daily prophet, menunjukkan artikel kematian Dumbledore juga semua artikel tentang teror yang dilakukan Voldemort dan pengikutnya di Inggris, tidak hanya dunia sihir, dunia muggle pun merasakan teror mereka, banyak keluarga muggle dilaporkan hilang.

"Dan apakah kalian tahu, kementerian sihir Inggris telah jatuh ke tangan Voldemort dan pengikutnya, menteri sihir telah tewas," aku berkata lagi.

"Jilian bagaimana kau bisa tahu semua ini?" tanya Mom.

"Mom, tidak penting aku tahu darimana, yang penting adalah apa yang akan kita lalukan sekarang, kita tidak bisa diam saja disini bersembunyi, kita harus kembali, Harry membutuhkan kita, kita harus membantunya kita harus melindunginya, dan kita harus berjuang bersama-sama melawan mereka," aku berkata.

"Jilian tenanglah," kata Dad.

"Dad, bagaimana mungkin aku bisa tenang, dan bagaimana Mom dan Dad bisa tenang, apa kalian tidak khawatir sesuatu terjadi pada Harry?" aku berkata lagi.

"Tentu saja kami khawatir," kata Dad.

"Kalau begitu tunggu apalagi, kita harus segera kembali ke Inggris," aku berkata.

"Kita tidak akan pergi kemanapun," kata Mom.

"Mom?!" aku berkata tidak percaya.

"Apakah kau tidak peduli pada Harry?" aku bertanya.

"Tentu saja aku peduli pada Harry," kata Mom.

"Lalu?" tanyaku lagi.

"Tapi aku juga peduli pada keluargaku, suamiku dan kau anakku Jilian! Kita semua akan aman disini, jadi kita tidak akan pergi kemanapun," kata Mom lagi.

"Tapi Mom," aku berkata.

"Cukup, Jilian! Sekarang kita sedang banyak tamu dan mereka semua datang kemari untukmu, jadi kau harus kendalikan dirimu sekarang, tenangkan diri, lalu turun untuk menyapa semua orang," kata Mom tegas.

"Aku tidak mau!" aku berkata dengan kesal.

"Jilian!" kata Mom lagi.

"Emily, sebaiknya kau ke bawah duluan dan temani para tamu kita, aku akan bicara dengan Jilian," kata Dad.

"Tapi Amos," kata Mom.

"Percayalah padaku," kata Dad, akhirnya Mom menghela nafas lalu pergi meninggalkan kamarku.

"Aku tidak mau turun, aku tidak perduli dengan pesta bodoh ini, aku hanya ingin tahu bagaimana kondisi Harry, aku ingin ke Inggris, aku ingin bertemu dengannya," aku berkata pada Dad dengan terisak saking kesalnya, marah juga sedih.

"Iya Jilian, aku mengerti, tapi kumohon kau juga mengerti kami, aku dan juga ibumu hanya ingin yang terbaik bagimu," kata Dad.

"Tapi kita tidak bisa diam saja disini, sementara Harry, kita tidak tahu bagaimana kondisinya,"aku berkata.

"Aku bicara dengan Harry saat terakhir aku kontak dengan orde, dia pun ingin agar kau tahu bahwa semuanya baik-baik saja," kata Dad.

"Tapi berbohong padaku, menyembunyikan yang sebenarnya, apa Dad pikir itu yang terbaik, bagaimana aku bisa mempercayai kalian lagi di kemudian hari?" kataku lagi.

"Maafkan kami Jilian, tapi tolong cobalah mengerti, yang kami lakukan adalah karena kami sayang padamu.. Kau juga tahu kematian Cedric menjadi pukulan berat bagiku dan juga ibumu, jadi yang kami lakukan semata-mata hanyalah karena kami tidak ingin kehilangan anak lagi," kata Dad pelan.

"Kami sangat menyayangimu Jilian, maafkan aku dan juga ibumu," kata Dad lagi.

Aku hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa, aku sangat kesal karena Mom dan Dad membohongiku, tapi aku juga tahu mereka sangat menyayangiku, tapi kalau terus menerus begini...

"Bagaimana jika sekarang kita bertemu dengan para tamu yang sudah datang, dan ketika mereka sudah pulang nanti aku akan segera mencari kabar dari Inggris," kata Dad.

"Dan bila keadaan disana ternyata memburuk? Kita akan kesana kan mencari Harry?" tanyaku.

"Kita akan diskusikan bersama, apa yang akan bisa kita lakukan," kata Dad.

Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban Dad, tapi sebelum aku berkata lagi, pintu kamarku terbuka dan Mom berkata, "Apa kalian sudah siap untuk turun? Semua jadi mengkhawatirkan kondisimu Jilian."

Aku menjadi kesal kembali, seolah-olah ini semua kesalahanku, padahal Mom dan Dad yang sejak awal berbohong padaku.

"Sebentar lagi Emily," kata Dad.

"Dad kau turunlah duluan dengan Mom, aku akan merapihkan diriku sebentar," aku berkata.

"Baiklah," kata Dad yang kemudian bersama Mom keluar dari kamarku untuk menemui semua tamu.

Setelah itu segera saja aku meraih salah satu tas ranselku yang kuyakin memiliki efek dari mantra perluasan yang tidak terdeteksi. Aku memasukkan beberapa pakaian, handuk dan berbagai kebutuhan pribadiku, tidak lupa aku meraih sekantung galeon dan sickle, juga dompet yang isinya adalah uang muggle dollar amerika juga poundsterling, dan beberapa lembar mata uang euro. Aku meraih paspor dan berpikir untuk memesan tiket pesawat menuju Inggris, tapi cara itu terlalu lama, Mom dan Dad akan lebih dulu menemukanku sebelum aku masuk pesawat. Bagaimana caranya aku ke Inggris sekarang?

Aku merogoh saku jaketku dan menemukan bros yang juga merupakan portkey ke Italy, tapi Blaise pasti akan menghalangiku, begitu pula Susan, belum lagi aku masih kesal dengan mereka berdua dan kurasa saat ini aku tidak ingin bertemu mereka.

Lalu tiba-tiba aku teringat, aku membuka lemari dan mengeluarkan koper besar yang biasa kugunakan untuk pergi ke Hogwarts. Aku mencari-cari, dimana ya, aku yakin surat itu ada disini. Akhirnya kutemukan surat itu di dalam kotak penyimpanan diantara perkamen-perkamen kosong, aku membaca lagi surat terakhir dari Draco.

Jilian,

Kau tentu masih ingat, di musim panas sebelum tahun ke4 kita dimulai, kau berjanji akan melakukan 3 keinginan untuk 3 surat yang tidak kau balas, dan aku yakin aku masih punya satu keinginan.

Jadi keinginanku yang terakhir adalah aku ingin kau tetap dalam keadaan aman.

Aku tidak bisa meramalkan masa depan, dan aku tidak bisa berjanji bahwa apa yang akan kulakukan adalah hal yang baik, tapi percayalah apapun yang kulakukan adalah untuk melindungi keluargaku juga dirimu, dan aku akan berusaha memenuhi janjiku untuk memberikan yang terbaik bagimu, apapun masa depan yang akan tercipta nantinya.

Jadi kau jangan bertindak bodoh!

Namun jika keadaan memburuk, lambang keluarga Malfoy yang menggantung di bracelet-mu, itu adalah portkey, aktifkan, dan dia akan membawamu ke tempat teraman di Inggris. Kau akan mengenali tempat itu saat kau tiba disana.

DM.

Aku memasukan surat Draco ke tas ranselku, lalu dengan mantra panggil membuat bracelet pemberian Draco melayang ke arahku. Selama setahun ini aku tidak pernah memakainya, karena Mom dan Dad tidak lagi menyetujui hubunganku dengan Draco. Tapi tiba-tiba rasa ragu mulai menghampiri, apakah tempat yang Draco katakan di suratnya benar-benar aman, tapi sekarang Draco adalah death eather, bagaimana bila tempat dimanapun itu sudah dipenuhi oleh death eather juga. Tapi Draco tidak akan mencelakakan diriku, di suratnya dia bilang portkey ini akan membawaku ke tempat teraman di Inggris, dan kurasa ini satu-satunya cara.

"Jilian," aku mendengar Mom memanggilku dan langkah kakinya yang menaikki tangga.

Dengan panik aku mengaktifkan portkey ini dan segera saja tubuhku seperti tersedot dan sensasi berputar kurasakan meninggalkan kamarku dan Mom yang pasti kebingungan ketika memasukinya dan tidak menemukanku disana.


Well.. Gimana menurut kalian? Cukup tegang dan seru? Ikutin terus kelanjutannya yaaaa... Hehe... Buat yang penasaran gimana sebenarnya kehidupan Jilian setahun dalam "persembunyian"? Kisahnya akan diceritakan terpisah di Jilian-side story : Ternyata tidak terlalu "muggle" disini. Kapan? Soon yaaaa hehehe... Thank you.. Have a good one.. Xoxo