Disclaimer : Harry Potter belongs to J.K. Rowling

Jilian POV

Mataku mengerjap perlahan dan berontak pada silaunya cahaya yang menerobos masuk kedua pupilku, sampai pandanganku akhirnya menjadi jelas dan bisa kulihat langit-langit rumah yang tidak kukenali.

Dimana ini

Tanganku merasakan sprei lembut yang membalut matras empuk tempat kini ku berbaring. Sebuah tarikan terasa di tangan kiriku dan aku bisa melihat IV line yang mengantung di tiang infus terhubung dengan tanganku. Dibelakangnya terdapat sebuah jendela besar, dengan tirai berwarna putih dan abu-abu muda, cahaya matahari menembusnya.

Setelah beberapa saat, aku melihat ke sekeliling ruangan dengan sudut mataku, dan menyadari aku berada di sebuah kamar, dengan dinding bercat merah muda yang lembut, lalu mataku menyusuri bagian lain ruangan dan terdapat sebuah lemari berwarna putih di depan tempat ku berbaring, sebuah hiasan dinding di sebelah lemari itu dengan lampu-lampu kecil yang terhubung dengan tali yang menjuntai ke bawah dan beberapa kertas yang menempel pada tali-talinya yang kurasa adalah foto-foto polaroid muggle, tapi karena berbaring aku tidak bisa melihat dengan jelas orang-orang di dalam foto itu. Di sebelah hiasan dinding itu terdapat rak buku yang juga berwarna putih, lalu sebuah single sofa berwarna abu-abu muda tampak terlihat nyaman di sudut ruangan. Di sisi lain dari sofa itu terdapat meja panjang yang sepertinya adalah meja kerja, lengkap dengan kursi kerja yang memiliki roda di bawahnya, juga satu set komputer di atasnya, semuanya berwarna hitam, lalu sebuah pintu kayu berada di sisi lain meja tersebut. Di sisi kanan tempat ku berbaring ada sebuah meja kecil dengan lampu diatasnya, lalu sebuah pintu lagi. Jadi ada dua pintu di kamar ini, yang mana jalan keluarnya? Siapapun pemilik kamar ini, sepertinya dia seorang muggle, anak perempuan, mungkin remaja.

Perlahan ku mencoba bangkit, namun tiba-tiba rasa nyeri muncul dari kedua kakiku, dan aku teringat kembali apa yang terjadi sebelum aku tersadar di tempat ini.

"Aku tidak akan melakukan itu bila jadi kau," kata seseorang dengan tiba-tiba, membuatku terkejut lalu melihat ke arah suara itu muncul.

Aku sangat yakin kalau tadi tidak ada orang lain di kamar ini, namun sekarang seorang perempuan berparas cantik berambut pirang dengan model cepak duduk dengan santai di sofa itu.

"Siapa kau?" aku berkata dengan suara serak sambil berusaha menahan nyeri

"Hmm... ketus pada orang yang menolongmu di saat kau tidak berdaya... bad move," dia berkata dengan nada menyindir dan aku bisa membayangkan seringaian di bibirnya.

"A.. Aku tidak bermaksud ket.. Tunggu, Kau menolongku?" Aku berkata.

"Well.. bagaimana menurutmu saat menemukan orang asing tergeletak bersimpah darah? haruskah Kau menolongnya? atau Kau membiarkan hidupnya berakhir... kehilangan darah..." dia berkata dengan nada suara pelan-pelan yang dibuat-buat dan mirip sekali dengan Pansy.

"Me.. menolongnya tentu.. Tapi..." aku berhenti sejenak merasa ada yang aneh, sebelum berkata lagi, "Aku akan menelfon pusat emergency dan meminta ambulance untung datang menanganinya dan membawanya ke rumah sakit."

"Cerdas," katanya sambil bertepuk tangan sekali, "Dan Aku setuju denganmu," katanya lagi.

"Lalu mengapa Aku ada disini? Apakah rumah sakit di tempat ini kamarnya seperti kamar tidur anak perempuan?" Aku bertanya menyindirnya, jika dia setuju denganku seharusnya aku berada di rumah sakit.

Lalu dia tertawa.

Damn!

Dan masih tertawa.

Apanya yang lucu? membuatku kesal?!

Saat dia berhenti tertawa dia berdiri, dan melangkah perlahan ke arahku, Aku bisa melihat dia memakai tanktop putih dan celana cargo hitam. Dia berhenti dua langkah dari tempat ku berbaring, membuatku bisa melihat wajahnya yang rupawan dan kurasa usianya tidak terlalu jauh dariku, mungkin dia seumur dengan Cedric atau lebih tua sedikit. Lalu tiba-tiba dia menjentikkan jarinya, dan sebuah tongkat muncul dalam genggamannya.

Dia seorang penyihir?!

"Apakah menurutmu itu langkah bijak bila membawa penyihir terluka ke rumah sakit muggle?" katanya.

"Ti..dak," Aku berkata pelan kaget karena ternyata dia seorang penyihir, kebetulan sekali.

"Ya, kebetulan sekali aku menemukanmu," katanya tiba-tiba. Apakah dia membaca pikiranku?!

"Aku tidak membaca pikiranmu.. Ekspresi wajahmu mengatakan dengan jelas apa yang kau pikirkan," katanya santai, sambil memutar-mutar tongkat dengan jari-jarinya, dan berjalan mondar-mandir.

Ketakutan tiba-tiba muncul mengingat sebelumnya Aku dikejar seorang penyihir yang berusaha melempar mantra ledakan ke arahku, otomatis tanganku yang tidak terhubung dengan IV line meraba-raba mencari tongkatku, membuatku sadar kalau seseorang telah mengganti bajuku dan ransel juga tongkat sihirku entah ada dimana, hatiku mencelos.

"Sekarang kurasa waktu yang tepat untuk perkenalan," katanya tiba-tiba, mengalihkan perhatianku kembali padanya.

"Siapa namamu?" katanya lagi.

"Huh?" jawabku, terlalu gugup, takut dan segala rasa kini bercampur aduk, membuat kepalaku terasa pening.

"Ah Iya, dimana sopan santunku.. Namaku Sarina Coulson... Sekarang siapa namamu?" tanyanya sambil menyeringai

"Aa... Aku...," Aku terbata-bata, otakku berpikir apa Aku harus mengatakan namaku yang sebenarnya atau..

"Well? Apakah kucing mengambil lidahmu?" katanya lagi dengan sinis.

"Kau tahu, kondisi dunia sihir Inggris sedang mencekam, dan aku perlu tahu siapa orang yang sudah kutolong? Karena.. uhm.. agar Aku bisa memutuskan apakah akan kubiarkan hidup atau..." katanya dengan seringaian yang bisa mengalahkan Draco atau Slytherin manapun, membuatku semakin gugup dan takut.

"Jadi akan kuulangi lagi..." katanya perlahan, "Hi, Namaku Sarina Coulson, siapa namamu?"

"Hannah!" Aku berkata tiba-tiba, "Hannah Macmillan..." entah kenapa tapi itu nama pertama yang terlintas di pikiranku, aku merasa tidak bisa memberikan nama asliku padanya, walaupun dia telah menolongku dia tampak... berbahaya.

Seringaian di bibirnya makin lebar, "Menarik."

"Sangat menarik."

Menarik? Apanya yang menarik? pikirku dalam hati

"Kau mau tahu kenapa?"

Aku tidak menjawab dan berusaha memasang ekspresi netral.

"Karena sebelum menjadi Coulson, Ibuku juga seorang Macmillan, tapi seingatku kita tidak pernah bertemu di acara reuni keluarga sebelumnya, sepupu?!" katanya pelan-pelan.

Sial! Kenapa Aku tidak menyebutkan nama yang lain.

"Jadi sekarang, kita ulangi lagi, kali ini lakukanlah dengan benar," katanya sambil mengacungkan tongkatnya padaku.

"Siapa namamu?" dengan pandangan yang tajam

"A.. A.. Aku," kataku terbata-bata ketakutan dan berusaha melihat ke arah lain selain matanya, saat itulah Aku menyadari apa yang ada di pinggangnya, sebuah pistol muggle.

"Aah.. Kau melihat ini," katanya sambil menyimpan tongkat pada wand holster di lengan kirinya, lalu mengeluarkan pistol muggle itu dan mengarahkannya padaku.

"Sekarang lihat mataku, dan katakan padaku siapa namamu!" katanya setengah berteriak.

"Atau kuledakkan kepalamu dengan pistol ini," sambungnya.

"Aku.." suaraku semakin parau karena ketakutan dan kini air mata turut mengalir di pipiku.

"Aku.. Ji,"

Krak! suara pintu dibuka memotong kalimatku.

"Sarina, gimana kondisi, bloody hell! Sarina apa yang kau lakukan?!!" Kata seseorang yang baru saja masuk ke ruangan ini.

"Jilian! Kau baik-baik saja?" katanya.

"Er.. Ernie?!" kataku heran, kaget dan tidak percaya.

"Apakah ini benar dirimu Ernie?!"

"Iya Jil, ini Aku Ernie!"

"Tapi dia.." Aku menunjuk perempuan berambut cepak yang sekarang berdiri santai bersender ke lemari dengan tersenyum polos.

"Hi," katanya.

"Sarina!! Jilian bukan salah satu targetmu! Bisa-bisanya Kau perlakukan dia seperti tadi!" kini Ernie bangkit dengan marah pada perempuan itu.

"Ow, tadi Aku hanya bercanda," katanya santai.

"Bercanda katamu?! Apa Kau tidak bisa lihat dia syok dan ketakutan!" Ernie berkata masih tampak kesal.

"Pacarmu baik-baik saja, dan responnya bagus, dia tahu untuk tidak menyebutkan nama aslinya pada orang asing, dan itu langkah bagus pada situasi genting seperti sekarang ini," kata perempuan yang Sarina itu sambil berjalan menuju pintu.

"Jilian bukan pacarku!" Kata Ernie dengan cepat-cepat.

"Benarkah? tapi Kau tidak berhenti khawatir sejak kita menemukannya, dan dia menyebutkan kalau namanya adalah Macmillan, saranku kalian harus saling jujur, kalian pasangan serasi," katanya sambil tertawa dan keluar dari kamar.

What was that???!!!

"Ernie," aku berkata diantara rasa canggung diantara kami.

"Ya, Jill?"

"Sebenarnya siapa dia?"

Aku mendengar Ernie menghela nafas sebelum menjawab, "Dia sepupuku."

"No offence, but she's insane," aku berkata lagi.

"I agreed," kata Ernie.