Disclaimer © Fujimaki Tadatoshi
WARNING: OOC, AU, OC, Typo.
.
.
.
Setelah beberapa jam Taiga duduk di kursi pesawat bersama dengan orang-orang asing yang tak dikenalnya, akhirnya dia sampai di bandara Narita. Dia kemudian menuju gerbang kepulangan di bandara untuk menunggu kakek-neneknya yang akan menjemputnya. Dia merasa sangat besar ketika dia berada di tengah-tengah orang-orang di sini. Ketika dia di Amerika dia memang sudah dianggap tinggi tapi masih ada orang-orang yang tingginya sama dengannya atau malah lebih tinggi darinya seperti Tora atau ayahnya. Tapi di sini, orang-orangnya terlihat sangat lebih pendek darinya dan fakta itu membuatnya semakin canggung. Sialan Tora yang berhasil membujuknya untuk tinggal di tempat asing selama kurang lebih tiga tahun hidupnya selama dia sekolah SMA.
"Tai-chan!"
Taiga menolehkan kepalanya ke sumber suara dengan nada gembira itu dan melihat wanita separuh baya melambaikan tangannya dengan bersemangat ke arahnya. Taiga yang mengenali wanita itu sebagai neneknya kemudian menghampirinya dengan tersenyum.
"Bacchan," sapa Taiga dan menunduk untuk memeluk neneknya.
"Aaaah Tai-chan, kau sudah besar sekali," sapa neneknya yang dipanggilnya Bacchan—Taiga sebenarnya agak malu memanggilnya dengan panggilan itu, karena dia sudah besar dan dia merasa tidak pantas lagi memanggil neneknya dengan panggilan imut seperti itu seperti waktu dia masih kecil—dan membalas pelukan Taiga dengan erat. "Di mana Tora-chan? Katanya dia juga ikut sekolah di sini?"
"Oh i-itu, Tora akan menyusul nanti." jawab Taiga.
"Oh baiklah, ayo kita pulang kalau begitu agar kau bisa langsung beristirahat." Taiga mengangguk dan mengikuti neneknya.
.
"Jicchan di mana?" tanya Taiga setelah mereka sampai di rumah neneknya. Rumah neneknya adalah rumah tradisional Jepang dengan banyak ruang menggunakan pintu geser dan tidur menggunakan futon, sangat berbeda dengan rumahnya di Amerika yang sudah modern dan dia tidur di ranjang queen size dengan spring bed. Tapi Taiga sudah pernah menginap di rumah neneknya dulu waktu liburan dan dia tidak masalah tidur di lantai. Itu bagus juga untuk perubahan suasana.
"Jicchan masih di kebun memetik sayur-sayuran dan buah-buahan," jawab neneknya. "Kita akan merayakan kedatangan Tai-chan dengan banyak makanan!"
Taiga mengangguk dengan wajah agak memerah. Dia memang mempunyai nafsu makan yang besar dan dia takut kalau akan merepotkan neneknya yang sudah tua. "Bacchan tidak usah repot-repot."
"Tidak ada yang repot kok," balas neneknya. "Tai-chan sudah dititipkan di sini jadi kita akan merawat Tai-chan dengan baik."
"Oh Taiga sudah datang,"
Taiga menoleh dan melihat kakeknya. Meskipun umur kakeknya sudah kepala enam atau lebih, dia masih terlihat kuat meskipun rambut cokelatnya sudah terdapat uban di sana-sini. Taiga bahkan bisa melihat otot-otot di lengannya yang berkulit kecokelatan—seperti kulitnya dan ayahnya—karena kakeknya hanya memakai kaus tanpa lengan dan membawa wadah dengan sayur-sayuran dan buah-buahan.
"Jicchan." sapa Taiga dan menghampiri kakeknya.
"Maaf Jicchan tidak bisa menjemputmu di bandara," kata kakeknya dan mengelus rambut Taiga.
"Tidak apa-apa," balas Taiga. "Aku akan membantu Jicchan." Taiga mencoba mengambil wadah dari kakeknya tapi kakenya melarangnya.
"Tidak usah, kau baru sampai sebaiknya kau istirahat saja."
"Tai-chan, aku akan menunjukkan kamarmu jadi kau bisa menyimpan barangmu dulu." ajak neneknya.
"Oh, oke." Taiga kemudian mengikuti neneknya untuk menuju kamarnya.
Kamarnya ini mungkin adalah ruangan paling besar di rumah ini karena Taiga akan membaginya dengan Tora dan mereka akan sekamar. Tapi selama kurang lebih satu bulan Taiga akan tinggal di sini sendirian sampai Tora akan menyusulnya.
"Tai-chan bisa bersih-bersih dan menyimpan barang-barangmu dulu, nanti kalau makan malam sudah selesai Bacchan akan memanggilmu." kata neneknya dan meninggalkannya setelah Taiga mengangguk.
Taiga kemudian meletakkan tas besarnya dan duduk untuk beristirahat. Dia capek sekali setelah duduk di tempat terbatas di pesawat, rasanya dia ingin langsung tidur saja. Untung besok masih hari Minggu jadi dia masih bisa beristirahat dulu sebelum harus masuk sekolah di hari Senin.
Setelah membersihkan tubuhnya dan menata barang-barangnya, Taiga menuju ruang makan karena neneknya sudah memanggilnya untuk ikut makan malam. Makan malam berjalan menyenangkan dan masakan neneknya sangat enak, jadi Taiga bisa tidur nyenyak malam itu.
.
.
.
"P-perkenalkan, namaku Taiga Kagami dan aku berasal dari Amerika. S-senang bertemu dengan kalian." Taiga menundukkan kepalanya rendah untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Padahal dia sudah berlatih semalaman untuk mengenalkan dirinya di depan tapi dia yakin dia salah menggunakan kata-kata dan teman-teman barunya pasti menertawakannya. Bagaimana lagi, dia sebenernya masih belum menguasai bahasa Jepang karena hanya les singkat selama satu bulan. Dan sialnya lagi, Tora salah melihat tanggal semester baru dimulai. Seharusnya dia sudah masuk sekolah seminggu yang lalu tapi gara-gara Tora dia jadi ketinggalan seminggu.
"Bagus sekali Kagami-kun," Taiga menegakkan kembali tubuhnya dan benar saja, teman-teman sekelasnya memandangnya aneh yang membuat Taiga semakin tidak nyaman. "Kalau kau butuh bantuan, kau bisa bertanya pada ketua kelas. Akashi-kun, tolong tunjuk tangan."
Taiga melihat seorang murid cowok berambut merah mengangkat tangannya yang dibalas Taiga dengan mengangguk malu-malu.
"Kau bisa duduk di sana Kagami-kun, kita akan memulai pelajaran."
Kagami mengangguk dan menghampiri bangku nomor dua terakhir paling pinggir dekat dengan jendela yang ditunjukkan gurunya. Dia kemudian duduk di bangkunya untuk memulai pelajaran.
"Halo, Kagami-kun."
"Aaaaaahhhh!" Taiga berteriak dengan keras ketika mendengar sapaan pelan di belakangnya.
"Kagami-kun, ada apa?" Gurunya menatapnya dengan tidak senang. Dan seluruh teman sekelasnya memandangnya. Bahkan ada beberapa yang menahan diri untuk tidak tertawa. Bagus sekali, baru satu hari tapi reputasinya sudah hancur.
"T-tidak, Sensei. Maafkan aku." Taiga membungkuk.
Taiga kemudian melihat di belakangnya dan melihat cowok berambut biru langit menatapnya dengan datar. Dia bersumpah tidak ada satu orang pun yang berada di sana sebelumnya, jadi bagaimana dia sampai berada di belakangnya sekarang? Taiga tiba-tiba merasakan bulu kuduknya berdiri. Apakah ini adalah salah satu sekolah angker yang pernah dibacanya di internet dulu?
"Perkenalkan, namaku Kuroko Tetsuya."
"Bagaimana kau sampai bisa ada di situ?" bisik Taiga pelan, tidak ingin menarik perhatian gurunya lagi.
"Aku sudah berada di sini dari tadi." jawabnya masih dengan wajah datar.
Taiga mengerutkan keningnya dan kembali menghadap ke depan untuk mengikuti pelajaran. Orang yang aneh.
.
Saat istirahat untuk makan siang, Taiga berjalan ke belakang sekolahnya di mana taman sekolahnya berada. Dia mencoba mengunjungi kantin tadi tapi karena mungkin kira-kira 90% populasi sekolahnya berada di sana di saat bersamaan, itu jadi membuatnya mengurungkan niat. Untung tadi neneknya sudah membawakannya bekal jadi dia tidak kelaparan sampai pulang nanti.
Taiga kemudian duduk di kursi di bawah pohon dan membuka bekalnya. Wajahnya agak memerah ketika melihat isi bekalnya yang sangat banyak meskipun dia juga bersyukur neneknya mengerti keadaan perutnya saat makan malam. Taiga kemudian mulai memakan bekalnya sambil menikmati siang yang cerah itu.
"Kagami Taiga,"
Taiga yang sebenarnya sedang memakan makan siangnya dengan lahap langsung tersedak ketika tiba-tiba ada yang memanggil namanya. Taiga langsung batuk-batuk dan merasakan nasi yang belum halus dikunyah tersangkut di tenggorokannya. Untung ada yang memberinya botol minum dan Taiga langsung meminum air di dalamnya banyak-banyak sampai dia merasakan tenggorokannya bersih dari makanan.
"Maaf aku tidak bermaksud untuk mengagetkanmu,"
Taiga dengan mata yang mengeluarkan air mata karena terbatuk-batuk tadi melihat seorang anak laki-laki berdiri di depannya. Itu adalah ketua kelas berambut merah tadi yang disuruh gurunya untuk membantunya mengenal lingkungan sekolah.
"Oh tidak apa-apa, emm…" Oh tidak, Taiga lupa tadi namanya siapa. Sial sekali, padahal tadi gurunya sudah mengenalkannya dan Taiga merasa akan tidak sopan kalau dia menanyakan lagi siapa namanya. Taiga mengutuk dirinya yang mudah mengingat wajah tapi susah mengingat nama untuk di saat seperti ini. Dia ingin memberikan kesan yang baik pada teman-teman barunya tapi sepertinya dia akan gagal.
"Kau cepat menemukan taman ini,"
"Ya, aku pikir kantin terlalu ramai jadi aku mencari tempat yang lebih sepi," jawab Taiga.
"Kau masih hafal jalan kembali ke kelas?"
"Oh…" Taiga bahkan tidak memikirkan itu tadi dia hanya ingin segera memakan makan siangnya. Inilah akibatnya kalau perutnya kosong, dia tidak bisa berpikir dengan baik.
"Aku akan menunggumu." katanya kemudian duduk di samping Taiga.
"Tidak usah, aku bisa kembali sendiri nanti," balas Taiga, tidak enak kalau harus ada yang menunggunya makan.
"Aku tidak keberatan." jawabnya dan memandang Taiga. Taiga baru sadar kalau dia mempunyai warna mata yang berbeda antar kiri dan kanan, itu menurut Taiga itu sangat keren tapi Taiga langsung mengalihkan pandangannya karena dia terlalu mengintimadasi. Mungkin ini salah satu tugas sebagai ketua kelas, harus terlihat mengintimidasi agar semua anak patuh padanya.
"Umm… kau tidak makan siang?" tanya Taiga, mencoba memulai percakapan untuk mengurasi canggung. Atau Taiga saja yang merasa canggung karena ketua kelas terlihat santai mengamati bunga-bunga yang bermekaran di taman itu. "Kau boleh mengambil punyaku kalau kau mau."
Dia mengamati bento Taiga yang masih tersisa setengah sebelum menjawab. "Tidak, terima kasih. Aku sudah makan siang."
Taiga hanya mengangkat pundaknya dan melanjutkan memakan bekalnya cepat-cepat agar dia bisa kembali ke kelas dan tidak berduaan dengan ketua kelasnya.
.
"Bagaimana hari pertamamu sekolah di Jepang Tai-chan? Tidak berbeda dengan sekolah di Amerika, 'kan?" tanya neneknya malam itu saat makan malam dan Taiga sudah kembali dari sekolah.
"Ya, tapi aku masih merasa aneh harus memakai seragam sekolah setiap hari," jawab Taiga. "Dan aku masih belum terbiasa dengan perbedaan bahasa dan pelajaran di sini, tapi aku akan terus belajar untuk mengejar nilai-nilaiku."
"Bagus sekali, Tai-chan," puji neneknya.
"Paling tidak sampai seminggu di sini kau pasti akan segera terbiasa." lanjut kakeknya.
Taiga mengangguk.
"Terima kasih makan malamnya," kata Taiga setelah beberapa menit kemudian dia selesai dengan makan malamnya. "Aku akan mencuci piringnya."
"Tidak usah Tai-chan," neneknya langsung mencegah. "Kau sebaiknya belajar saja oke, biar Bacchan yang membereskan ini."
"Terima kasih, Bacchan, aku akan kembali ke kamar kalau begitu."
Ketika Taiga kembali ke kamarnya untuk mempelajari lagi pelajar yang diberikan padanya di sekolah tadi, dia melihat botol air berwarna merah di samping tas sekolahnya. Oh ya, ini botol minum ketua kelas tadi yang tidak sengaja terbawa olehnya. Taiga mengamati botol minum yang terdapat tulisan H2O di depannya dan kanji dari air.
"Huh?" Taiga mengamati tulisan kecil di samping botol itu yang Taiga tidak sadari sebelumnya. Terdapat tulisan "SEI" dengan goresan yang elegan di permukaan botol.
"Sei? Apakah ini nama ketua kelas tadi?" Taiga menduga. "Atau ini adalah nama perusahaan yang bikin botol ini ya?"
Taiga menyimpulkan kalau "Sei" adalah nama ketua kelas tadi karena tidak ada akhiran Corp atau Inc yang biasanya menjadi penanda nama perusahaan yang memproduksi suatu produk. Well, paling tidak Taiga bisa tahu nama ketua kelas kalau dia mengembalikan botol ini besok.
.
.
.
Paginya, setelah sampai di sekolah, Taiga langsung menuju kelasnya tidak lupa dengan botol minum yang akan dikembalikannya. Dilihat dari jendela dari luar kelasnya, masih sedikit yang baru masuk kelas tapi Taiga sudah bisa melihat rambut merah familiar yang sudah berada di dalam kelas.
"Hei, Sei?"
Taiga tidak menyangkan reaksi yang didapatkannya akan se-ekstrim ini padahal dia hanya memanggil nama seseorang. Semua anak yang sudah berada di kelas itu memandangnya dengan kaget dan ada yang mengerutkan keningnya. Taiga tidak tahu dia salah apa jadi dia hanya berdiri dengan canggung dengan tatapan dari teman-teman barunya sampai ketua kelas berdiri dan menghampirinya.
"Kau ada perlu denganku?"
"Oh, ya, aku ingin mengembalikan botolmu. Aku tidak sengaja membawanya kemarin." Taiga cepat-cepat mengeluarkan botol (Sei?) dan mengembalikannya. "Umm, terima kasih."
"Ya." balasnya dan langsung kembali ke tempat duduknya lagi.
Taiga yang rasanya ingin ditelah oleh perut bumi juga langsung menuju tempat duduknya sendiri dengan perasaan malu yang akan menghantuinya seharian ini.
Untungnya insiden memalukan tadi hanya berjalan sebentar dan kelihatannya teman-temannya sudah melupakannya saat bel istirahat tiba. Taiga memilih untuk memakan makan siangnya di kelas karena dia tidak ingin ketua kelas akan mencarinya lagi karena Taiga terlalu malu untuk menghadapinya. Well, Taiga bahkan tidak tahu apa kesalahannya sampai teman-temannya memandangnya aneh seperti tadi padahal dia hanya memanggil ketua dan itu yang membuatnya semakin bingung.
Pelajaran berjalan dengan lancar, walaupun Taiga masih sedikit bingung tapi dia sudah semakin baik dalam menerima pelajarannya dan ketika bel tanda kelas berakhir berbunyi, Taiga langsung bergegas untuk pulang ketika gurunya sudah meninggalkan kelas. Dia rasanya ingin segera mengunci diri di kamar dan tidak bertemu manusia lain lagi hari ini.
"Hey, you, you,"
Taiga mengerutkan keningnya ketika mendengar suara yang sepertinya memanggilnya ketika dia sedang menukar uwabaki dengan sepatunya di loker. Taiga menoleh dan melihat seorang anak lelaki berambut pirang menghampirinya.
"You from America, yes?"
Taiga semakin mengerutkan keningnya. "Uh ya, kau tidak perlu memakai bahasa Inggris, aku bisa mengerti bahasa Jepang."
"No no no," dia membalas dan menggoyang-goyangkan tangannya. "My name is Kise Ryouta, nice to meet you."
"Taiga," Taiga membalas mengenalkan dirinya, kemudian menambahkan. "Um… Kagami."
"You want go home?"
Taiga tertawa geli. Meskipun dia sudah bilang kalau dia bisa mengerti bahasa Jepang tapi Taiga tetap mengapresiasi Kise yang mencoba berbicara "bahasanya" meskipun masih ada kesalahan grammar.
"Ya."
"I go with you."
.
"Jadi Kagamicchi…" mulai Kise yang sudah mau bertingkah normal ketika mereka berjalan untuk pulang bersama.
"Kagamicchi?" Taiga menatap Kise heran.
"Karena namamu adalah Kagami Taiga jadi kau adalah Kagamicchi, ssu."
Taiga mengerutkan kening bingung tapi Kise sudah bertanya lagi.
"Jadi kau sudah akrab dengan Akashicchi?" Ternyata Kise juga sekelas dengannya meskipun Taiga tidak ingat pernah melihat Kise di kelas. Mungkin dia yang kurang perhatian dengan sekelilingnya.
"Akashicchi?"
"Ya, ketua kelas kita. Orang yang kau panggil "Sei" tadi pagi, ssu."
"Oh jadi namanya adalah Akashi?" seru Taiga.
"Lho memangnya Kagamicchi belum kenalan dengan Akashicchi?"
Taiga memerah karena malu. "Aku sebenarnya lupa namanya siapa dan aku tidak enak kalau mau menanyakan lagi namanya padahal Sensei sudah memberitahu sebelumnya,"
"Oh…" Kise menangguk-angguk. "Terus bagaimana kau bisa membawa botol minum Akashicchi?"
"Itu… kemarin dia mencariku saat istirahat karena tugasnya sebagai ketua kelas untuk menunjukan lingkungan sekolah dan singkat cerita dia memberiku air dan botol minumnya terbawa olehku. Dan aku melihat ada tulisan Sei di botol minumnya jadi aku pikir itu adalah namanya."
"Tapi tadi itu lucu sekali, seumur-umur mengenal Akashicchi aku tidak pernah mendengar orang lain memanggilnya Sei. Kau harus melihat wajahnya tadi." kata Kise dan tertawa terbahak-bahak.
"Itu tidak lucu," gumam Taiga. "Aku tidak tahu kenapa orang-orang bereaksi seperti itu padahal aku cuma memanggil namanya."
"Kagamicchi kau tumbuh di budaya yang berbeda," kata Kise setelah selesai tertawa. "Saat seseorang memanggil orang lain dengan nama aslinya bisa dibilang mereka sudah sangat dekat dan mempunyai hubungan yang sudah erat. Biasanya di sini kita memanggil dengan nama keluarga kalau hanya sebatas teman biasa."
"Oh, aku tidak tahu." balas Taiga merasa bersalah. Sebenarnya dia pernah membaca tentang honorific di budaya Jepang tapi mana dia tahu kalau Sei itu nama keluarga atau nama asli, jadi ini bukan 100% salahnya.
"Tidak apa-apa Kagamicchi, santai aja." kata Kise dan merangkul pundak Taiga. "Aku yakin Akashicchi juga memakluminya."
Taiga mengangguk.
"Rumah nenekku belok di sini," kata Taiga setelah mereka sampai di persimpangan jalan di mana rumah neneknya berada.
"Oh, rumahku masih lurus sih tapi aku bisa mengantarmu sampai rumah," tawar Kise.
"Tidak usah, kau langsung pulang saja. Aku tinggal belok sebentar sudah sampai."
"Oke, sampai bertemu besok Kagamicchi."
Taiga mengangguk dan membalas lambaian tangan Kise. Ketika Kise sudah berbalik untuk melanjutkan perjalanan pulangnya, Taiga juga langsung berbelok untung pulang. Dia tidak sabar ingin segera sampai di rumah dan mengomel pada Tora karena bagaimana pun kejadian hari ini adalah salahnya.
.
.
.
A/N: hei XD
Udah lama sekali sejak cerita ini di-publish lol. Sebenarnya aku sudah lama nulis lanjutannya ini setelah chapter 1 keluar tapi aku ngerasa karakternya Kagami di sini terlalu ooc gitu jadi aku ragu untuk ngelanjutin XD
Tapi sekarang dilanjutin karena aku pengen nulis dan mau ngelanjutin yang lain belum ada ide, jadi ini sebaiknya dilanjut atau nggak sih XDDD
