Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.
Warning : soft lime.
A/N : Terima kasih pada para pembaca baik yang silent dan yang telah berbaik hati meninggalkan komentar. Niat saya mau melanjutkan up-date fic saya yang sebelum-sebelumnya. Tapi apa daya ternyata ide tak bisa di paksakan. Saya tak benar-benar punya waktu untuk duduk berkonsentrasi dan menulis. Jadi saya mengetik semua fic saya memakai hand phone di setiap kesempatan. Kadang baru nulis satu kalimat sudah di interupsi balita nakal. Bila ada Typo tolong dimaklumi. Saya tak pernah mengedit lagi apa yang saya tulis. Terima kasih sekali lagi untuk menikmati tulisan saya. Menulis dan membaca fanfic telah menjadi hiburan murah dan favorit saya di antara pekerjaan IRT yang membosankan. Terima kasih dukungannya.
Perfect, Imperfect
.
Chapter 03
.
The Day After
.
Hanya dengan satu ciuman tubuh Ino terasa meleleh. Meskipun ia tak sepenuhnya buta dengan gairah dan nafsu, tak pernah ia menyangka sentuhan seorang pria mampu membuatnya merasa terlengkapi. Ciuman mereka semakin memanas. Tak mengerti apa yang harus dilakukan atau bagaimana harus merespons. Ino menyerahkan diri pada insting primitif yang mendorongnya untuk melabuhkan jari-jemari di rambut hitam Itachi yang terasa halus saat tersentuh tangannya.
Bibir beradu, saling mencumbu. sekeliling mereka berputar, membaur dalam latar belakang yang tak lagi menjadi fokus utama dalam pikiran mereka. Realitas dan logika telah hanyut dalam pusaran gairah yang membuat mereka mabuk dan terengah.
Gadis perawan itu memalingkan wajah saat bibir lembab dan hangat Itachi menjelajahi lehernya, meninggalkan jejak bara panas di kulitnya. Ino tahu ia telah terbakar dan sudah terlambat untuk berubah pikiran. Erangan rendah tertahan meluncur begitu saja dari bibirnya tatkala pria itu menemukan titik sensitif yang bahkan ia tidak tahu ia miliki.
Tangan kanan pria itu membelai punggungnya yang telanjang. Pakaiannya yang minim terasa bagaikan berkat karena Ia bisa merasakan tangan dan bibir pria itu memetakan setiap jengkal kulitnya yang terekspos.
Ino merasakan desakan yang besar untuk disentuh dan menyentuh. Untuk berbagi kehangatan tubuh dan hal lain yang Ino tidak pahami tapi secara alami ia ketahui. Seolah kebutuhan akan keintiman selalu berada di sana, tersimpan secara naluriah di bawah kesadarannya.
Entah bagaimana mereka berdua berakhir di kamar pria itu, telanjang berbaring di atas tempat tidur berseprai sutra yang memberikan sensasi sejuk dikulit mereka. Tungkai saling membelit bibir saling berpagut. Ino bisa mendengar detak jantungnya sendiri dengan jelas.
Pria itu menindihnya. Betapa senangnya Ino merasakan beban tubuh pria itu mengimpit dirinya. Mata onyx-nya menatap Ino dengan perhatian. Sejuta pertanyaan dan nafsu yang tergambar dengan begitu jelas.
"Ino, apa kau yakin mau melakukan ini? Kita masih bisa berhenti."
Gadis berambut pirang itu telah membuang ideal tentang dirinya jauh-jauh. Ia tak lagi memproses sikap dan pemikirannya sebagai Nona besar Yamanka. Saat ini dia hanya seorang wanita yang begitu basah dan ingin terpuaskan. Setitik kenikmatan yang telah ia kecap membuatnya menginginkan lebih. Dia tahu Itachi mampu memberikannya pengalaman yang tak akan dia lupakan.
"No, Jangan berhenti."
Itachi tersenyum, betapa beruntungnya dia mendapatkan gadis yang begitu molek dan manis berbaring di bawahnya menatap dengan pandangan memohon. God, She drive him crazy, bahkan Izuna pun tak mampu membuatnya lepas kendali. Kekuatan macam apa yang gadis ini miliki hingga mampu menghipnotisnya sejauh ini.
Dia mengagumi apa yang dia lihat, rona pink menjalari kulit putih gadingnya, bibir mungil itu tampak lembab dan bengkak akibat ciumannya dan mata sewarna aquamarine itu menyeretnya jatuh dalam kegilaan. Mengapa ia berpikir segala tentang gadis itu begitu sempurna?. Apakah gadis ini yang ia cari-cari?
"Apa yang kau lakukan Itachi?" Ino merasa heranan mengapa pria itu hanya diam dan menatapnya.
"Mengagumimu." Jawab Itachi singkat.
Semburat merah muda mewarnai pipi Ino. Gadis itu memutuskan untuk meletakkan tangannya di dada pria itu. Merasakan otot-otot keras terlatih dengan telapak tangannya. Jadi ini rasanya menyentuh pria. Keras dan maskulin. "Jangan membuatku merasa lebih malu dari ini." Bisik Ino lirih.
"You are beautiful." Itachi menciumnya sekali lagi. Dia akan memberikan Ino malam terbaik yang pernah wanita itu lewati.
.
.
Ino mengerjapkan matanya terbangun dan menyadari lengan seseorang sedang memeluknya. Akhirnya ia melakukannya. Dia tak menyesal karena itu adalah hal terbaik yang pernah ia rasakan. Sungguh Ironis ia malah merasa lengkap ketika bagian dari dirinya dirusak. Ia bukan lagi seorang gadis perawan, tapi seorang wanita.
Dengan hati-hati Ino beringsut melepaskan diri dari dekapan pria itu tanpa membangunkannya. Ino berdiri dan berjalan berjingkat-jingkat mengumpulkan pakaiannya. Gadis itu melihat jam dinding. Ini masih pukul empat pagi tapi ia harus pergi sekarang menghindari dirinya melakukan walk of shame yang tentunya akan disaksikan lebih banyak orang apabila ia memutuskan untuk pulang saat mentari telah terbit. Ia berpakaian dengan cepat dan memanggil taksi. Dia berjalan dengan sedikit aneh akibat nyeri di antara kedua kakinya. Dia lega ternyata pengalaman pertamanya tak semenyakitkan cerita teman-teman.
Ia menutup pintu apartemen Itachi dan turun dengan lift. Sangat di sayangkan dia harus mengakhirinya sebagai one night stand. Itachi pria yang menyenangkan dan Ino tak akan keberatan untuk berkencan dengannya tapi apa yang akan pria itu lakukan bila tahu Ino hanya seorang murid SMA. Malah salah-salah dia bisa membuat Itachi masuk penjara karena mengencani gadis di bawah umur. Ino harus puas dengan apa yang dia dapat malam ini. Bukankah dia hanya menginginkan pengalaman. Taksi telah menunggunya dan mengantarkannya pulang ke rumah keluarga Yamanaka.
.
Itachi terbangun sendirian. Gadis itu pasti menyelinap pergi saat ia masih tertidur. Pria itu kecewa, Ino bahkan tak memberitahu nama keluarganya atau meninggalkan nomor ponselnya. Jelas sudah gadis itu tak menginginkan hubungan yang lebih dari sekedar one night stand dengan pria asing. Sungguh disayangkan padahal dia ingin mengenal gadis itu lebih jauh.
Apa gadis itu tak tertarik padanya untuk memutuskan lenyap begitu saja. Entah mengapa ia merasa dimanfaatkan untuk urusan seks semata. Bila ia bercerita pada Kisame pasti pria itu akan menertawainya. Tidak ada wanita yang menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi dekat dengan dirinya. Tentu saja Ino tak tahu dia seorang Uchiha, Nama besar keluarganya menjadi magnet tersendiri bagi kaum hawa. mungkin bila dia tahu apa gadis itu akan tetap tinggal dan menghabiskan hari minggu dengannya.
Itachi masih enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Ia mengusap rambutnya yang berantakan dengan malas. Hari minggu, apa yang harus dia lakukan di hari libur? Berdiam diri di rumah dan membaca buku tak lagi menjadi pilihan. Dia menarik selimutnya dan matanya terpaku dengan noda merah yang begitu mencolok mewarnai seprai putihnya.
"Oh, Fuck!" pria itu mengumpat menyadari apa itu. Darah, darah siapa. Ya Tuhan, apa yang telah dia lakukan. Ia baru saja memerawani anak gadis orang tanpa menyadarinya. Mengapa Ino tak memberitahunya? Lagi pula Ino tak terlihat kesakitan semalam. Bagaimana ia bisa menduga Ino seorang perawan bila gadis itu beraksi layaknya seorang pro. Itachi jadi bingung, mengapa gadis itu menyerahkan keperawanannya pada orang asing bukan dengan pria yang dicintai seperti pada umumnya. Uh gadis itu penuh misteri. Sekarang ia tak tahu bagaimana cara menemukan gadis itu. Dia hanya berharap Ino akan menghubunginya karena ia ingat telah memberikan kartu namanya pada teman gadis itu.
Itachi bangkit dari tempat tidurnya. Memulai harinya dengan membasuh tubuh yang lengket karena keringat. Mungkin dia harus melupakan gadis pirang itujika memungkinkan.
Calon pewaris perusahaan Uchiha itu menyalakan shower, membiarkan tetes air hangat jatuh membasuh kulitnya memberikan dirinya kesegaran dan kesadaran untuk memperlakukan apa yang terjadi kemarin sebagai sebuah mimpi tapi ia tak bisa mengenyahkan rasa kecewa dan dimanfaatkan yang kian terasa. Dia begitu bodoh. Investing too much emotion just for a little tryst. Tapi meski ia tak bisa bertemu gadis itu lagi Itachi berharap Ino akan mengingatnya. Bukankah yang pertama akan selalu dikenang.
.
Ino terbangun tengah hari dengan rasa pegal dan lapar. Subuh-subuh dia pulang dengan menyelinap. Syukurnya kepulangannya tadi hanya disaksikan oleh penjaga malam yang sudah Ino suap untuk tutup mulut dari penghuni rumah lainnya. Orang tuanya baru tiba besok sore jadi dia masih bisa berbuat sesuka hati hari ini. Tapi tak ada lagi yang dia inginkan. Semua telah tercentang dalam wish listnya.
Ino memeriksa ponselnya, dua belas panggilan tak terjawab dari Sakura dan begitu banyak pesan. Ia membaca yang terbaru.
Pig telepon aku segera. Bila tidak aku akan membawa polisi mencari pria itu.
Dengan cepat Ino menekan nomor ponsel Sakura menghubungi gadis itu sebelum membuat kekacauan. Begitu tersambung Ino tanpa basa-basi langsung mengomel.
"Billboard brow, Jangan macam-macam pakai bawa-bawa polisi segala. Aku baru bangun dan baik-baik saja di rumah."
"Kau membuatku panik, aku mencoba menghubungimu dari tadi pagi."
"Apa kau tak ke pikiran kalau aku tak tidur semalam suntuk." Dengus gadis itu kesal.
"Mana aku tahu, Apa kau pulang dengan utuh pig, tanpa luka sedikit pun"
"Yep, Aku pulang dengan utuh minus keperawananku."
"Aku tak terkejut mengingat apa yang kalian lakukan di klub. You two making out on the dance floor. Yuck."
Ino bisa membayangkan Sakura memutar bola matanya. "Jangan iri Sakura, bila kau menginginkan some action sebelum kelulusan. Cobalah merayu Sasuke dengan lebih baik."
"I tried already dan Aku heran Ino, Kau tak pernah menjadi fans Sasuke tapi kau malah kepincut dengan Uchiha yang lain."
"Apa maksudmu Sakura?" Ino benar-benar tak tahu apa yang temannya bicarakan.
"Ada apa denganmu Ino? Pria yang mengajakmu pergi kemarin itu adalah Itachi Uchiha, Managing Director Uchiha corp."
"What?" Ino tak percaya dengan apa yang dia dengar. Berarti pria itu punya hubungan dengan Sasuke. "Sakura apa kau punya nomor ponsel Sasuke? Tolong kirim padaku."
"Memangnya kau ada perlu apa dengannya?"
"Tak usah banyak tanya. Kirimkan saja. Dan bila kau ingin makan siang gratis dan detail kejadian semalam jemput aku di rumah satu jam lagi."
"Ok, ok aku akan menjemputmu."
"Terima kasih Sakura."
Ino mendapatkan nomor Sasuke tanpa ragu ia menelepon pemuda itu. Ia ingin memastikan siapa pria itu sebenarnya.
"Hallo siapa ini?" Suara dengan nada sebal menyapa Ino.
"Ini Ino, Yamanaka Ino"
"Ada apa meneleponku?"
"Apa kau tahu seseorang dengan nama Itachi di keluargamu?"
"Pertanyaan macam apa itu, Itachi Uchiha adalah kakakku. Mengapa kau bertanya?"
"Ah, aku hanya ingin tahu. Terima kasih atas Infomu. Selamat berakhir pekan."
"Kau aneh sekali Ino."
Ino menjatuhkan ponselnya di kasur. Oh my god, di antara banyak kemungkinan dia malah meniduri kakak Sasuke. It's fuck up. Pantas saja Itachi terlihat familier. Untungnya dunia pria itu dan dunianya tak sama. Jadi tak ada kemungkinan mereka bisa berpapasan lagi.
.
"Jadi apa saja yang kalian lakukan semalam?" Sakura tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.
Ino menyedot milk shake-nya yang tinggal separuh, matanya tampak mengawang-awang. Entah ke mana pikiran gadis itu pergi.
"Hei, Ino apa kau melamun?" Temari menepuk punggungnya.
"Apa...apa? Aku sedang memikirkan sesuatu?"
"Oh pig, Apa kau menyesal sekarang?"
"Nope, Aku hanya berpikir sayang sekali aku tak bisa bertemu dengannya lagi."
"Memang kau ingin bertemu dengannya lagi?"
"Uh..tidak, Aku berbohong soal umurku padanya. Aku yakin pria dewasa macam itu enggan berurusan dengan anak SMA, Apa yang terjadi semalam tak akan terulang lagi. Aku hanya mencari pengalaman dan sudah mendapatkannya. Aku cukup puas."
"So how was the sex?"
Pertanyaan Temari yang tanpa basa-basi berhasil membuat wajah Ino menjadi merah muda.
"Uh, Aku tak punya pengalaman lain untuk membandingkannya tapi aku bisa bilang sangat menyenangkan. Sekarang aku mengerti mengapa ada orang sampai kecanduan. I can't discribe how amazing it was."
"Kau beruntung Ino, my first time was sucks. Aku dan Shika sama-sama tak punya pengalaman. Sungguh kami berdua canggung sekali. Belum lagi sakitnya minta ampun. Aku tak mau bicara padanya setelah itu."
"Bisa ganti kita ganti topik?" Sakura memprotes.
"Kenapa Sakura? Kau tak nyaman menjadi satu-satunya yang masih virgin di sini?" Olok-olok wanita berkuncir empat itu.
"Tak seperti kalian, Aku memilih memberikannya pada suamiku kelak."
"Tetaplah menjalankan prinsipmu Sakura. Meski orang-orang bilang itu kuno dan tak gaul. Jangan merasa kau harus melakukannya karena sekedar ikut-ikutan teman atau merasa terpaksa."
"Ino benar, tiap orang memiliki prinsip dan nilai moralnya masing-masing. Hanya terkadang aku tak suka melihat pandangan pribadi digunakan untuk menilai orang lain."
"Aku jadi teringat Karin, Anak-anak bilang dia gadis murahan dan memusuhinya hanya karena ia sering berganti pacar. Padahal menurutku dia baik dan tak pernah mengganggu siapa-siapa dan ia tak pernah merebut pacar orang."
"Karena itu aku sangat hati-hati menjaga image-ku. Satu kesalahan dan semua hal baik yang aku punya akan sirna di mata orang lain."
"Jadi selama ini kau sering berpura-pura?"
"Bukan berpura-pura, mungkin menahan diri. Kau ingat insiden Karui menumpahkan makanan padaku di kantin? Aku yakin dia sengaja."
"Aku ingat saat itu kau hanya tersenyum. Padahal seragam dan rambutmu kotor tersiram kare."
"Sebenarnya aku ingin menjambak dan menamparnya. Tapi aku diam. Bayangkan apa kata seisi sekolah bila aku bertindak bar-bar."
"Ha..ha..ha, Bisa-bisa kau kehilangan penggemarmu dan dihujat."
"Yep dan aku tak mau itu terjadi."
"Tidakkah kau lelah dengan semua akting dan kepura-puraan itu Ino? Kalau aku dan Gaara sih tak pernah peduli pada kata orang. Mengapa repot-repot. Kalau mereka tak suka, just let them fuck off. Apalagi kalau kita tak merugikan mereka."
"Aku tak punya kepercayaan diri sepertimu Temari atau kau Sakura. Aku tahu ini gila tapi aku membutuhkan validasi dari orang lain untuk membuat diriku merasa lebih baik."
"In short, Kau butuh banyak pujian dan pengakuan. Tidak Ino jangan mengantungkan kebahagiaanmu pada apa yang orang katakan padamu." Nasihat Temari.
Gadis berambut pirang itu mengaduk-aduk sedotan di gelas milk shake-nya yang hampir habis. Sungguh tidak realistis bila ia merasa rendah diri. Ia tahu dia punya wajah yang cantik, prestasi yang bagus dan lahir di keluarga berada. Tapi ia tak bisa menyingkirkan perasaan dia tak akan pernah menjadi cukup baik bagi orang tuanya atau cukup baik bagi orang lain. Nothing of her worth enough. Ia punya pikiran bahwa orang-orang mencintainya hanya karena ia menampilkan sosok yang mereka harapkan. Akankan ada seseorang yang bisa melihat dirinya di balik lapis demi lapis kepalsuan. Menyingkap topengnya dan mencintai dirinya yang penuh kekurangan?. "Aku tak tahu aku bisa, Aku tak kuat menerima penolakan dan kritik."
"Ino dengar, Kau tak akan pernah bahagia bila begini terus. Apa semalam kau senang? Melakukan hal yang ingin kau lakukan?" Desak Temari.
"Tentu saja."
"Jadi lakukan apa yang ingin kau lakukan lebih sering."
"Tapi Temari, Aku tak bisa melakukan hal yang bertentangan dengan keinginan orang tuaku."
"Ayolah Ino, Biarkan mereka melihat siapa dirimu dan suatu hari mereka akan menerima perbedaan dan menghormati keinginanmu. Bila kau hanya diam dan terus berpura-pura. Kau perlahan-lahan membunuh dirimu sendiri."
"I know."
.
.
Di tempat lain Itachi yang kurang beruntung, terpaksa menghabiskan weekend-nya bersama Kisame. Mengapa Ino harus kabur, Dia jadi tak punya pilihan selain makan siang dengan pria yang hobi mengolok-oloknya itu.
"Kisame, Kau berhutang dua puluh ribu yen padaku."
Tangan Kisame yang sibuk memotong steak pesanannya berhenti bergerak. Pria itu menatap rekannya tak percaya, "Kau Itachi, membawa pulang cewek sembarangan yang kau temui di night club ?. Apa kau berpikir untuk berhenti menjadi pria alim dan jaim?"
Mendengar kata cewek sembarangan Itachi jadi tersinggung, "Ino bukan gadis sembarangan. Dia cantik, pintar berkelas. Dia bahkan mengalahkanku bermain catur."
Kisame merasa takjub Itachi membela gadis yang baru dia kenal semalam, "Sepertinya kau benar-benar tertarik padanya. Jadi apa yang kalian lakukan?"
"Bersenang-senang." Jawabnya singkat.
"Kau tampak masam untuk ukuran pria yang baru saja mendapatkan aksi dari seorang gadis seksi."
"Aku hanya merasa kesal, Dia pergi begitu saja tanpa memberitahuku nama dan nomor teleponnya."
"Sungguh? Aku tak percaya ada gadis yang tak tergiur untuk mengenalmu setelah melihat wajah dan kekayaanmu."
"Aku juga bingung. Aku harap bisa berjumpa dengannya lagi."
"Sudahlah Itachi, Gadis itu tak menginginkan apa pun darimu selain seks, Harusnya kau senang mendapatkan gadis yang tak membuatmu sakit kepala karena memaksamu untuk mengencaninya hanya karena kalian sudah berhubungan badan. Lupakan saja gadis itu. Masih banyak ikan di laut yang bisa kau pancing."
"Yah, tapi untukku itu terasa lebih dari sekedar one night stand."
"Itu karena kau adalah pria sentimental dan berhati lembut. How about i make you thoughen up a little bit. Kita bisa pergi ke gym setelah ini."
"Sparring? Kau berniat menghajarku untuk menghiburku. How nice!"
"Yoi, Kau tak akan sanggup mengatasi pukulan-pukulanku Itachi. Kau duduk di kursi kantormu terlalu lama untuk bisa memanfaatkan otot-ototmu."
"Jangan besar kepala dulu pak tua. Kita lihat saja nanti."
Sesuai dengan kata-katanya, Itachi mendaratkan upper-cut di pipi Kisame. Bulir keringat membasahi wajahnya. Rambutnya lembab di balik pelindung kepala yang ia gunakan. Dengan sigap Itachi menghindari kombinasi jab dan hook kanan yang di lontarkan lawannya. Dia mungkin tak punya stamina dan kekuatan seperti dulu. Tapi ia punya teknik. Sesuatu yang Kisame tak kuasai. Pria itu menyerang dengan kasar, mengerahkan tenaganya yang besar.
Itachi suka bertinju. Kegiatan olahraga yang intens ini menjadi outlet pelampiasan stres, rasa frustrasi dan agresinya. Pria berambut raven itu melemparkan pukulan demi pukulan yang meski tak semua mengenai Kisame. Paling tidak ia merepotkan pria itu. Untuk sesaat Ia bisa melupakan Ino dan senyumnya. Fokus menghindari serangan balasan yang brutal.
Kisame menghadiahkan beberapa luka memar dan membiru di wajah dan tubuhnya. Di akhir pertarungan dia merebahkan diri di Ring terengah dan kehabisan tenaga. Memejamkan matanya merasakan adrenalin bergegas mengisi darah di nadinya. Kisame benar-benar menghabisinya.
"Kau sudah karatan Itachi." Kisame menghinanya.
"Diam, Kau tahu aku tak punya waktu untuk berlatih."
"Makanya luangkan sedikit waktumu untuk melakukan hal personal. Kau mesti belajar menyeimbangkan hidup."
"Ya..ya teruslah mengoceh Kisame." Itachi bangkit berdiri dan mengamati wajah rekannya yang juga tak luput dari goresan dan lebam, " I am doing good number on you too."
"Merasa lebih baik sekarang?" Tanya Kisame pada pria berambut raven itu.
"Ya." Itachi berusaha untuk membuat gadis itu keluar dari sistemnya. Pria itu meyakinkan dirinya apa yang terjadi kemarin hanya sekedar hiburan semata. Tak layak untuk di pikirkan lebih lanjut.
.
.
Sebulan telah berlalu. Ino dan Siswa-siswa lainnya disibukkan oleh persiapan ujian. Gadis itu memilih untuk mengubur affair singkatnya dengan kakak Sasuke di belakang kepala bersama rahasia-rahasianya yang lain.
Dia punya target untuk dipenuhi. Nilai sempurna untuk dipersembahkan kepada orang tuanya. Ino tak yakin mereka akan menerima hasil yang kurang dari hasil-hasil ujian yang sebelumnya. Ino melangkah dari ruang loker ke ruang kelasnya. Tiba-tiba kepalanya terasa berputar. Gaara yang kebetulan melintas di lorong yang sama melihat Ino mulai terhuyung. Dengan sigap pemuda berambut merah itu menangkap Ino sebelum gadis pirang itu jatuh.
"Kau tak apa-apa?"
Sai yang juga di sana memungut tas dan buku-buku Ino yang jatuh di lantai. "Kau tampak kurang sehat, Beauty"
Ino mencoba menyeimbangkan diri dengan berpegangan pada kedua lengan pemuda berambut merah itu. "Terima kasih. Aku rasa aku sedikit pusing karena bergadang."
"Jangan belajar terus Ino, Kau juga harus beristirahat. Bagaimana kalau kami mengantarkanmu ke UKS?" usul Gaara.
"Kau tampak pucat." Ucap Sai dengan khawatir.
"Baiklah." Mungkin Ino akan merasa lebih baik dengan beristirahat dan melewatkan pelajaran pertama.
Mereka sampai di ruang UKS. Shizune perawat sekolah menghampiri mereka.
"Ada apa ini?"
Gaara dan Sai memapah Ino yang tampak lemas. "Dia hampir pingsan tadi."
"Bawa ke tempat tidur, Biar aku periksa."
Kedua pemuda itu mengangguk dan membantu gadis itu berbaring di ranjang. Kemudian meninggalkannya untuk diperiksa oleh Shizune.
"Ino, Kami pergi ke kelas ya." Sai masih menatap Ino dengan khawatir. Meski mereka tak terlalu dekat Sai menganggap Ino sebagai temannya. Ino adalah satu satunya perempuan yang keberadaannya bisa ia toleransi dan tentu saja Sakura. Tapi ia tak pernah menganggap gadis berambut pink itu sebagai wanita. Dengan kekuatan seperti Hulk tak mungkin Sakura adalah seorang wanita.
"Terima kasih kalian sudah membantuku." Ino tersenyum lemah.
Sebelum meninggalkan ruang UKS Gaara diam-diam melirik Ino. Dia tak mengerti mengapa dia peduli pada gadis itu padahal dia dan Ino bagai langit dan bumi. Begitu berbeda.
Shizune melakukan pemeriksaan. Dia mulai mengukur temperatur dan tekanan darah gadis itu.
"Suhu tubuhmu normal, tapi tekanan darahmu cukup rendah. Apa ini sering terjadi. Kau tiba-tiba merasa mau pingsan?"
"Tidak, Ini pertama kalinya."
Shizune mengarahkan senter untuk memeriksa mata gadis berambut pirang itu. "Aku rasa kau kelelahan."
"Sepertinya begitu. Aku sering merasa sangat lelah belakangan ini. Mungkin akibat belajar terlalu keras untuk ujian."
"Jangan memaksakan dirimu Ino, kau juga harus menjaga kesehatan. Sekarang kau istirahat di sini. Bila nanti sudah merasa lebih baik. Kau bisa kembali ke kelas."
"Terima kasih."
Setelah Shizune pergi. Ino mulai menguap. Badannya terasa aneh belakangan ini ia terus menerus merasa lelah. Tak peduli berapa lama ia tertidur. Mungkin ia kurang vitamin atau sesuatu. Ino tertidur dan memimpikan Itachi.
