Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.

A/N : Terima kasih ya reviewnya, kalian membuat saya semangat menulis. Mungkin sebagian pembaca tak suka ke mana arah cerita ini tapi hal seperti ini terjadi. Cerita ini terinspirasi dari teman sekelas saya ketika SMA yang tiba-tiba saja menghilang menjelang ujian. Usut punya usut ternyata dia "kecelakaan" tak ada yang menduga karena ia selalu alim tapi begitulah masa SMA memang penuh kelabilan dan godaan dan terkadang sebagai orang dewasa pun kita kadang sesekali berbuat bodoh.

Perfect, Imperfect.

.

Chapter 04

.

Disaster.

.

.

Dia tak percaya, pelarian kecilnya berubah menjadi bencana. Kecerobohan, Eror, Kesalahan yang dia buat bermanifestasi menjadi mimpi buruk yang menjadi nyata. Shit! Harusnya ia tak pernah melakukannya tanpa kontrasepsi. Betapa bodohnya ia berpikir kemungkinan hamil sangat kecil karena ia yakin anak tidak di dapat dengan mudah hanya dengan satu kali percobaan tapi ia lupa. Kemungkinan kecil bukan berarti tak bisa terjadi.

Ia telah berbohong pada Itachi dengan mengatakan ia minum pil karena pria itu tak menemukan kondom di kamarnya dan Ino tak ingin mereka berhenti. Ia tak bisa menyalahkan pria itu karena Ino memberikan informasi yang salah dan ia tak bisa meminta tanggung jawab pria itu. Ini murni kesalahannya dan ia juga tak berhak merusak kehidupan pria yang dia kenal hanya beberapa jam saja karena kebohongan yang dengan mudah ia ucapkan.

Sekarang apa? Dua garis merah yang muncul di alat tes kehamilan itu kian menjelaskan kalau ia tidak sakit seperti yang ia kira tapi ia hamil. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Tes kehamilan yang dia pegang jatuh ke lantai. Gadis itu berjongkok menyandarkan punggungnya di dinding kamar mandi dan menangis. Bagaimana ia harus menjelaskan ini? Ia telah menghancurkan masa depannya sendiri. Ke mana ia harus meminta bantuan. Bagaimana dia harus membicarakan ini dengan orang tuanya.

Ino menyeret tubuhnya untuk kembali menangis di tempat tidur. Kelulusan empat bulan lagi. Bisakah ia menyembunyikan kehamilannya hingga hari kelulusan tiba?

.

Ino menjalankan hari-harinya seperti biasa. Ia datang ke sekolah dan berusaha untuk terlihat normal. Dia masih tersenyum tiap kali siswa-siswa lain menyapanya tapi ia menjauh dari pergaulan. Ketika jam istirahat ia menyembunyikan dirinya di perpustakaan. Dia bahkan menghindari Sakura.

Siang ini dia naik sendirian ke atas atap gedung. Tak seorang siswa pun menghabiskan waktu istirahat di sini. Ino merenung, mencoba mencari solusi dari permasalahan pelik yang menimpanya. Menyesal pun percuma karena tidak mengubah keadaan. Ia butuh solusi. Seminggu sudah ia mengetahui dirinya hamil dan ia masih belum menceritakannya pada siapa-siapa.

Ino mengerti ini bukanlah masalah yang dia bisa pendam dan selesaikan sendirian. Ia perlu bantuan dan harus memberitahu orang tuanya. Ino tak ingin membayangkan reaksi mereka ketika anak gadis remajanya memberitahu dia hamil di luar nikah dan bahkan tak mengetahui siapa pria yang menghamilinya. Ino yakin keluarganya akan berusaha menutupi skandal ini. Tapi apa yang ia lakukan dengan seorang bayi? Ia tak siap untuk ini. Sepanjang waktu ia berpikir ia akan kuliah dan mengambil posisi ayahnya di perusahaan dan sekarang ada bayi dalam perutnya. Bagaimana dengan semua rencana orang tuanya? Ia telah menghancurkan semua itu.

Seseorang telah mendahuluinya, Berdiri di ujung bangunan Sabaku Gaara. Rambut merahnya yang mencolok langsung membuat Ino mengenalinya. Pemuda itu dengan santainya menghisap rokok sambil menatap ke kejauhan. Gaara terkenal sebagai siswa berandal dan bermasalah. Tapi Ino merasa pemuda itu punya alasan bagus di balik semua pemberontakannya.

"Gaara, Kau merokok di sini? Tak takut dewan kedisiplinan men-skorsmu lagi?"

"Tempat Ini aman Ino, tak seorang pun akan menemukan aku di sini."

"Kau benar, Jarang sekali ada yang naik ke atap. Padahal pemandangan di sini menakjubkan."

"Apa yang membawa gadis populer sepertimu menyepi ke tempat ini?"

"Masalah, Sesuatu yang tak bisa ku selesaikan sendiri."

Mereka menatap pepohonan tinggi yang terletak di hutan belakang sekolah. Ino ingin menceritakan masalahnya pada seseorang yang tak akan menghakiminya. Ia melirik pemuda berambut merah itu yang setiap saat menerima hujatan, hukuman dan caci maki akibat sikapnya yang tak konvensional dan pemberontak. Bagaimana ia tetap berdiri dengan tangguh dan percaya diri meski banyak orang tak menyukainya. Mungkin Gaara bisa mengerti masalahnya dan Ino yakin pria pendiam itu akan menjaga rahasianya.

Pemuda itu menjentikkan abu rokoknya. Sebelum menghisapnya lagi dan menghembuskan asap putih dari bibirnya. "Masalah? Aku tak menyangka gadis lurus dan penurut sepertimu bisa punya masalah."

"Aku tak selalu lurus-lurus saja, kau tak tahu itu."

"Berarti kau pintar menyimpan sisi burukmu dari orang lain. Apa masalahmu?" Dia menanyakannya dengan datar dan tak tertarik.

"Aku hamil"

Rokok yang ia pegang terjatuh. Ia menoleh menatap Ino dengan pandangan tak percaya. "Kau, Apa?"

"Ya, Aku hamil Gaara dan aku belum memberitahu siapa-siapa."

"Lalu mengapa kau memberitahuku?"

"Aku merasa ingin memberitahu seseorang dan aku yakin kau tak akan menghakimiku."

"No, I don't judge. Lagi pula kau bukan remaja pertama yang hamil di luar nikah. Tapi sungguh aku tak menyangka hal seperti ini menimpamu. Aku bahkan tak tahu kau punya pacar."

"Aku memang tak punya pacar, It was a random guy yang aku jumpai di night club."

"Jadi kau tak bisa minta pertanggung jawaban pria itu?"

Ino menggeleng. "Aku bahkan tak tahu namanya. Jadi semua ini salahku karena berbuat ceroboh."

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku tak tahu Gaara, Aku terlalu muda untuk memiliki anak dan aku juga tak tahu bagaimana orang tuaku akan bereaksi. Aku takut bila mereka membuangku."

"Aku punya Ide, Bagaimana kalau kau bilang saja aku yang menghamilimu."

Sekarang Ino yang terkejut, "Apa kau sudah gila?. Semua orang akan menyalahkanmu."

"Aku sudah terbiasa menjadi antagonis dan aku hanya ingin menolongmu Ino, Orang tahu reputasiku. Bukankah masuk akal bila mereka berpikir aku merayumu dan menghamilimu. Ayahku tak akan heran karena aku pernah dengan ceroboh menghamili seorang gadis ketika aku berusia lima belas tahun tapi ayahku menyelesaikan masalah itu dengan caranya. He used to deal with all my shits dan keluargamu akan menyalahkankukarena aku memberimu pengaruh negatif. Mungkin mereka akan menjadi lebih lunak padamu."

"Aku tak tahu Gaara, Rasanya aku tak tega untuk mengorbankanmu di sini."

"Pikirkan Ino, mau tak mau kau harus menyampaikan kehamilan ini pada orang tuamu. Mana yang lebih mending memberitahu mereka ayah anak itu adalah pria yang tak kau kenal atau putra politisi ternama?. Paling buruk mereka meminta kita menikah dan kita bisa bercerai setelahnya dan bila mereka tak ingin membantu dan membuangmu kau bisa tinggal bersamaku."

"Bagaimana remaja sepertiku bisa hidup tanpa bantuan orang tua apalagi aku juga akan memiliki bayi. Aku tak ingin merepotkanmu."

"Dengar Ino, Ketika aku berusia delapan belas tahun bulan depan. Aku akan mewarisi harta peninggalan Ibuku dan kau sudah tahu aku berniat meninggalkan rumah untuk hidup mandiri jauh dari tekanan ayahku. Bila orang tuamu tak mengakuimu dan menendangmu dari rumah. Bergabunglah bersamaku."

"Mengapa kau begitu baik padaku?"

"Aku tak punya motif buruk. Bukankah kita teman. Lagi pula kau akan kesulitan untuk menjalani ini sendiri. Tiga bulan lagi kehamilanmu akan terlihat jelas. Persiapkan diri saja mendapatkan tatapan dan cibiran dari murid dan bahkan guru. Meski tak ada aturan yang bilang siswi hamil tak boleh melanjutkan studinya tapi kau tahu sendiri beratnya menanggung aib."

"Aku tahu. Rasanya aku ingin bersembunyi saja tapi aku harus menyelesaikan sekolah bila ingin lanjut kuliah." Ino menarik nafas panjang. "Bagaimana kau mengatasi dan menjalani hari-hari di anggap begundal dan sampah masyarakat"

"Aku tak memedulikannya. Orang menilai hanya dari penampilan. Mereka bisa bicara apa pun tentang diriku. Aku hanya peduli pada yang aku inginkan."

"Terdengar sangat egois bagiku."

" Mungkin tapi aku merasa kebahagiaanku adalah hal utama. Bagaimana aku bisa membuat orang lain senang bila aku sendiri tak bahagia. Bila orang lain tak suka denganku. Itu masalah mereka bukan masalahku."

"Kedengarannya begitu mudah."

"Memang mudah."

" Aku minta maaf, Sejujurnya aku sempat takut padamu Gaara. Dengan penampilan, reputasi dan gosip yang aku dengar. Aku menarik kesimpulan kalau kau berbahaya. Tapi ternyata kau baik juga."

"Kau tidak salah, Aku memang bisa berbahaya bila orang Memprovokasi dan mencari masalah denganku tapi aku tak pernah menyakiti teman-temanku. Ayo kita turun, sepertinya masih ada waktu tersisa untuk makan siang. Mau ikut ke kantin? Aku rasa yang lain masih di sana."

Ino mengangguk. Mereka turun ke menuruni tangga dan berjalan menuju kantin bersama. Ino sadar anak-anak lain menatapnya penuh spekulasi karena tak biasanya ia berjalan berduaan saja dengan anak laki-laki. Apa lagi Gaara. Ia yakin tak lama gosip akan berembus. Tapi ia tak peduli masalah kecil ini. Ia punya masalah yang sangat besar dan perut yang juga akan membesar.

.

Di kantin yang masih tampak ramai. Naruto, Sasuke, Sai dan Sakura menghabiskan makan siangnya. Mereka punya setengah jam lagi sebelum jam pelajaran berikutnya dimulai.

"Ke mana Ino?, " Pemuda pirang itu bertanya pada Sakura.

"Aku tak tahu, Aku mencarinya ke kelas tapi ia tidak ada. Sudah satu minggu dia tak bergabung makan siang dengan kita. Sungguh aneh. Apa dia menghindariku."

"Memang Dosa macam apa yang kau buat hingga Ino menghindarimu?"

"Nah itu dia yang aku tak tahu."

"Mungkin beauty sibuk belajar dia kan masuk peringkat sepuluh besar siswa terbaik. Dua minggu lagi ada ujian tahap awal." Ujar Sai mencoba logis.

"Mungkin saja Sai. Mengingat target yang ia ingin capai. Aku khawatir dia lelah dan stres."

"Sebenarnya aku dan Gaara sempat mengantarnya ke UKS minggu lalu. Dia nyaris pingsan di lorong."

"Uh, Kita harus menasihatinya."

Asyik berbincang, Mereka tak menyadari dua langkah kaki mendekat.

"Kalian membicarakanku?" Suara tinggi Ino membuat tiga kepala menoleh. Sedangkan Sasuke cuek saja sibuk bermain game online di ponselnya.

"Ke mana kau pig? Aku mencarimu ke kelas."

"Aku ada sedikit urusan tadi."

"Dan kau datang bersamaan dengan Gaara, apa kalian berduaan tadi?" Mata biru Naruto menyipit curiga pada Ino dan Gaara yang berdiri bersebelahan.

Sasuke mengalihkan perhatiannya sejenak dari ponsel hanya untuk berkomentar, " Sai. Sepertinya Gaara mencuri start untuk merebut perhatian Ino. Kau harus lebih agresif."

Sai hanya tersenyum, " Beauty, apa kau baik-baik saja? Tolong abaikan komentar Sasuke."

"Cih, Sok jaim kau Sai. Padahal kami semua tahu kau naksir Ino." Ledek Naruto.

"Sudah, Sudah. Kalian membuat aku dan Sai merasa tak nyaman."

"Aku lapar mau mengambil makanan, Ino apa kau mau sesuatu?" Tanya Gaara pada gadis itu.

"Ambilkan aku jus jeruk dan roti saja. Terima kasih."

"Cie...Gaara, sejak kapan kau mau jadi pesuruh Ino?"

"Aduh, kau berisik sekali Naruto." Sakura melempar kotak jusnya yang telah kosong ke kepala pemuda pirang itu.

.

.

Dalam kamar yang bernuansa lilac dan lavender. Ino berguling dan merebahkan diri di atas ranjang berukuran queen size yang dipenuhi bantal. Ia menatap lama kartu nama yang ia minta dari Sakura. Ino tergoda untuk menghubungi Itachi dan menceritakan masalahnya, tapi ia takut. Bagaimana bila pria itu menolak atau bahkan pura-pura tak mengenalnya? Dia terang-terangan menipu Itachi untuk melakukan hal yang bisa menjeratnya ke penjara dan Ino merasa lebih baik tak menyebut nama ayah ini pada siapa pun. Tapi sekarang ia harus berterus terang dengan orang tuanya. Pelayan telah curiga karena ia terus menerus mual dan muntah. Tapi ayah dan Ibunya terlalu sibuk untuk melihat ada hal yang aneh dengan putrinya.

Ino mendengar orang tuanya telah kembali. Seperti biasa mereka akan berkumpul untuk makan bersama pukul tujuh nanti. Ino mempersiapkan mentalnya. Ia tahu orang tuanya akan kecewa berat tapi apa lagi yang bisa ia lakukan. Mereka harus tahu dan Ino tak bisa menutupi kehamilannya terus menerus. Perutnya terasa melilit karena tegang.

Pelayan mengetuk pintunya untuk memberitahu makan malam telah siap. Ino mengganti turun tanpa mengganti pakaiannya. Ia sudah memutuskan untuk memberitahu orang tuannya dan siap menanggung konsekuensinya.

Ino makan dengan diam, apa yang ia masukan ke mulutnya terasa hambar. Ia sama sekali tak punya nafsu makan. Sesekali ia melirik ayah dan Ibunya.

Inoichi melihat gelagat aneh putrinya dan berinisiatif untuk bertanya, "Ino, Mengapa kau tampak resah? Apa kau punya masalah di sekolah."

"Tidak, Sekolahku baik-baik saja."

"Lalu apa yang mengganggumu."

Ino menatap ayah dan Ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Aku minta maaf, Aku mengecewakan kalian."

"Mengapa kau menangis Sayang, kau selalu membuat kami bangga. Tak pernah mengeluh dan selalu berusaha keras untuk memberikan yang terbaik." Ibunya berdiri dan melangkah untuk memeluknya.

"Aku telah berbuat bodoh mama?"

"Apa yang kau lakukan Ino. Ayah tak pernah melihatmu tegang dan histeris."

"Aku hamil ayah." Isak gadis itu.

Ayah dan Ibunya syok. Mereka terdiam dan mematung. Butuh waktu cukup lama bagi mereka untuk memahami kalimat yang Ino ucapkan.

"Apa? Kau tak bercanda?"

Ino menggeleng lemah.

Murka Inoichi datang bagaikan badai, Begitu tiba-tiba.

"Kau, Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan? Kau memberi aib bagi keluarga ini. Aku tak mengerti mengapa kau pacaran diam-diam di belakang kami. Siapa pria brengsek yang menghamilimu."

"Aku tak tahu namanya ayah."

"Bagaimana bisa?"

"Itu hanya hubungan semalam"

"Plak..." Telapak tangan Inoichi membuat kontak dengan pipi Putrinya. Untuk pertama kalinya ia memukul putri kesayangannya.

"Aku tak pernah mengajarkanmu jadi wanita nakal."

Ino memegangi pipinya yang sakit dan merah, Entah dari mana Ino mendadak jadi Emosi dan meledak, Api kemarahan berpijar di mata aquamarinenya, "Tidak, Kau mengajarkanku untuk menjadi boneka. Kau memintaku menjadi sempurna tapi aku tak akan bisa. Aku lelah setiap saat mencoba mengisi harapan kalian. Kalian ingin anak laki-laki yang akan mewarisi nama Yamanaka. Tapi aku terlahir sebagai wanita. Aku selalu mencoba menuruti kalian, Aku tak pernah membantah, Aku mencoba memberikan apa yang kalian inginkan tapi pernahkah kalian bertanya apa yang aku inginkan?"

Kedua orang tuanya terdiam. Putri mereka selalu santun. Mereka merasa tak mengenal gadis yang berteriak dengan lancang dan penuh kemarahan yang ditujukan pada mereka.

Ino menatap ayahnya. Ia tak pernah melawan tapi kali ini ia telah merasa muak dengan segala yang telah dia alami. Berapa banyak rasa tidak puas yang tak pernah ia suarakan. Berapa banyak rasa kecewa yang dia pendam. Dan Ino selalu merasa pendapatnya terabaikan hingga dia berhenti bersuara karena hanya akan menjadi sia-sia. Ia hanya dipandang sebagai sebuah objek yang mengangkat gengsi orang tuanya bila ia sukses dan berhasil.

"Ayah, Kau mengatur segalanya untukku sesuai keinginanmu dan kau tak peduli dengan pendapatku."

"Kau anak tak tahu diri." Inoichi yang marah hampir memukul Ino lagi tapi sang istri mencegahnya dengan memegang lengannya.

"Jangan termakan emosi, Pak. Kita harus memikirkan hal ini dengan tenang."

Di dorong oleh rasa kesal Ino lari ke kamarnya dan mengemasi beberapa barang di tas ranselnya. Ia tak ingin berada di rumah. Ayah dan Ibunya mengunci diri di ruang kerja pastinya mendiskusikan dirinya. Ia menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap keluar rumah. Ia tak membawa mobilnya. Gadis itu berjalan menyusuri jalanan entah ke mana. Ia punya cukup uang untuk membayar taksi tapi ia masih bingung mau ke mana. Mendatangi rumah Sakura bukan pilihan karena ayahnya pasti akan mencarinya ke sana.

Ino menghubungi Temari, Barangkali gadis itu bisa membantunya.

"Hallo Temari, Boleh aku minta tolong?"

"Apa yang terjadi?"

"Aku bertengkar dengan ayahku dan lari dari rumah. Boleh aku menginap di rumahmu?"

"Ino, Saat ini aku tinggal di asrama kampus. Aku hanya pulang akhir minggu, Bila kau mau datang saja ke rumah. Kau bisa minta bantuan Gaara dia masih tinggal di sana. Bukankah kalian berteman. Aku yakin adikku akan dengan senang hati membantumu."

"Terima kasih Temari, Maaf sudah merepotkanmu."

Gadis itu memanggil taksi dan memberitahu sopir alamat rumah Temari. Sampai di depan gerbang ia merasa segan. Tapi akhirnya ia menelepon Gaara.

"Ino ada apa?" Suara Gaara terdengar sedikit serak.

"Aku di depan gerbang rumahmu."

Segera pemuda itu keluar dan menemukan Ino tertunduk lesu. Ia bisa melihat pipi gadis itu merah dan mulai membiru. Seseorang memukulnya.

"Apa yang terjadi?"

"Aku memberitahu orang tuaku soal kehamilan ini dan mereka marah."

"Apa ayahmu yang menamparmu?"

Gadis itu mengangguk lemah.

"Ayo kita masuk ke dalam."

Ino merasa kalut, Saking kalutnya ia tak memperhatikan rumah yang besar dan menawan itu. Ini bukan pertama kaliannya ia di sini. Dulu ketika Temari masih menjadi ketua klub gadis itu suka mengundang anak-anak pemandu sorak untuk berlatih di rumahnya.

Mereka duduk di ruang tamu. Pemuda itu dengan santai duduk di sofa dan menaikkan kakinya di meja. "Ceritakan padaku apa yang terjadi."

Ino menarik nafas, " Aku memberi tahu mereka keadaanku. Lalu ayahku marah dan menamparku. Aku kesal dan melawan. Karena emosi dan muak aku kabur hanya dengan membawa tas ranselku. Aku tak tahu harus ke mana dan menelepon Temari."

"Begitu, Apa kau mau bersembunyi di sini sementara untuk menenangkan diri. Aku akan minta pelayan menyiapkan kamar untukmu tapi di sini hanya akan ada kita berdua dan beberapa pelayan."

"Memang ke mana ayahmu?"

"Sibuk berkampanye. Jadi tak usah merasa canggung. Temari dan Kankuro memilih tinggal di asrama kampus mereka meninggalkanku seorang diri di sini."

"Kau pasti kesepian."

"Tidak juga, Aku sering keluar bersama Naruto dan yang lainnya."

Tanpa Ino tahu Gaara mengirim pesan pada Sakura.

Gaara : Sakura, Ino berada di rumahku. Bila orang tuanya bertanya padamu bilang saja putrinya aman dan akan kembali beberapa hari. Ino butuh waktu untuk menenangkan diri.

Sakura : Apa yang terjadi.

Gaara : Not my place to tell you. Tanyakan sendiri pada Ino nanti.

.

.

Kembali ke rumah keluarga Yamanaka. Sang Nyonya rumah mencari Puterinya di kamar, Ia hendak berbicara empat mata. Mungkin Inoichi keterlaluan menampar anaknya tapi pria itu terlalu terkejut dan marah untuk bisa berpikir jernih. Mereka semua panik. Apa yang akan orang-orang bilang bila mengetahui Ino hamil. Dia dan Inoichi akan dicap gagal mendidik anak.

Wanita itu mengetuk pintu kamar Ino tapi tak menemukan jawaban. Akhirnya ia mendorong pintu yang tak terkunci dan tak menemukan Ino di dalam. Semua barangnya masih utuh hanya tas backpack gadis itu menghilang. Dengan terburu-buru Ia turun mencari suaminya.

"Pak, Ino lari dari rumah."

Mendengar hal itu. Inoichi yang duduk di ruang kerjanya menjadi geram, "Anak itu tak berhenti membuat masalah. Coba kau hubungi keluarga Haruno. Mungkin ia di sana."

"Baiklah pak." Nyonya Yamanaka meraih ponsel nya. Untuk menghubungi keluarga Haruno.

Setelah berbicara dengan Sakura. Istri Inoichi itu tampak lemas, "Pak, Ino tak ada di sana. Sakura bilang Ino berpesan ia butuh menenangkan diri untuk beberapa hari dan akan kembali. Haruskah kita melapor polisi."

"Jangan, biarkan saja aku tak mau media mendengar berita anak kita kabur dari rumah. Biarkan saja Ino berbuat semaunya sekarang. Tapi aku akan memblokir semua kartu kredit dan rekeningnya. Biar anak itu tahu apa artinya hidup tanpa uang orang tuannya."

"Lalu apa yang harus kita lakukan? Dalam beberapa bulan kehamilannya akan terlihat. Oh Inoichi apa kata teman-temanku nanti. Kita harus menyembunyikan aib ini."

"Tak ada jalan lain, Kita harus menikahkannya."

"Dengan siapa? Memang ada keluarga terhormat yang mau menerima menantu gadis remaja yang sedang hamil." Ucap wanita berambut coklat itu panik.

"Kita harus melakukannya Fuyuki. Menyelamatkan wajah kita. Meski harganya akan sangat mahal."