Disclaimer : All Characters Belong to Masahi Kishimoto

A/N : I am back with another update, terima kasih masukan dan kritikannya. Ini rekor pribadi buat saya menulis 12 halaman dalam waktu kurang dari 24 jam. Tentunya ditambah bergadang, mata ngantuk dan minum kopi. Saya kurang yakin dengan kualitas tulisan ini karena saya biasanya hanya menulis apa yang lewat di kepala tanpa banyak berpikir soal plot, semantic, diksi, ejaan dan macam-macam. Not a real writer though. Hanya menuangkan sebuah cerita yang dikahyalkan dalam sebuah tulisan dan kemampuan minim. Saya hanya berharap kalian menikmati jalan cerita meski banyak kekurangannya.

Perfect, Imperfect

.

Chapter 06

.

Rumors

.

.

Ino mengerjap tatkala secercah hangatnya sinar mentari menembus celah-celah kaca jendelanya. Gadis itu menggeliat malas dan merasa enggan untuk bangkit meninggalkan kenyamanan tempat tidurnya. Ingin rasanya dia kembali memejamkan mata dan bermimpi. Lari dari kenyataan buruk yang mengimpitnya tanpa menyisakan ruang sedikit pun baginya untuk bergerak.

Kedamaian semu di pagi hari yang sekejap ia rasakan lenyap seketika. Gadis itu terlonjak merasakan panas di ulu hatinya. Cairan asam terasa meluap dari lambung dan mengalir menuju esofagus nya. Dengan cepat Ino berlari menuju kamar mandi. Menundukkan kepala pirangnya di atas kloset. Memuntahkan semua isi perutnya yang tak banyak.

Betapa ia membencinya memulai hari dengan kepala tertunduk di toilet. Menghadapi rasa mual dan tak berdaya. Ya Tuhan, Mengapa begini susahnya jadi perempuan keluh gadis itu dalam hati. Bisakah dia bertahan tiga bulan seperti ini? Morning sicknessis real shit. Belum apa-apa dia sudah merasa lelah oleh kehamilannya. Bisakah dia kembali tidur? Dia merasa energinya telah terkuras habis bahkan ketika dia belum sempat memulai harinya.

Gadis itu menerang pelan teringat ia masih harus pergi ke sekolah. Tanpa semangat ia menyeret kakinya ke bawah shower dan melepaskan piama yang menempel di tubuhnya, berharap semburan air hangat akan memberikan booster yang dia butuh kan untuk melanjutkan hari yang tampak sangat lama.

Setelah menata rambut panjangnya dalam sebuah ponytail dan mengenakan seragam. Ino turun menuju dapur untuk sarapan tapi pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk langsung berangkat ke sekolah karena aroma makanan membuatnya mual.

Ino dengan kesal menyalakan musik di mobil mini cooper-nya dengan keras mengharap musik akan menghilangkan rasa tak enak di kerongkongannya. Mobil mungil itu dengan mudah meliuk-liuk melewati kepadatan kota dan ramainya jalanan di pagi hari. Begitu ia sampai di sekolah gadis itu parkir di tempat favoritnya. Sebuah spot di bawah pohon yang rindang.

Ino mengambil tas dan beberapa bukunya dari kursi penumpang dalam perjalanan menuju gedung sekolah ia melihat Gaara baru saja datang. Pemuda itu juga melihat Ino dan memencet klakson mobilnya. Gadis itu tersenyum dan melambai. Ia tetap berdiri di tempatnya menunggu Gaara muncul setelah memarkirkan kendaraannya.

"Pagi, Ino."

"Hm.. Pagi tuan Sabaku, Tumben kau datang kepagian." Sindir gadis itu.

"Well, Kau terlihat sehat untuk ukuran gadis yang sedang hamil." Balas pemuda itu tanpa dosa.

Mata Ino mendelik tajam, "Hush, tutup mulutmu. Kalau orang lain tahu. Aku akan menghajarmu."

"Oh ya, Apa yang bisa kau lakukan dengan lengan kurusmu itu. Lebih mudah membuatku diam dengan menciumku daripada menamparku." Goda pemuda berambut merah itu.

"God, Kau membuatku merinding dan mual. Aku sudah muntah banyak pagi ini. Jangan kau tambah lagi."

"Yikes, I don't want to hear it." Gaara memasang ekspresi jijik yang berlebihan dan membuat Ino tertawa.

Mereka berjalan beriringan ke dalam gedung sekolah tanpa memperhatikan tatapan penuh spekulasi anak-anak lainnya.

"Kau santai sekali, Mana tas dan bukumu?" Tanya Ino heran.

"Semua di loker, Aku tak pernah membawa benda-benda itu pulang."

"Dan seragam macam apa itu Gaara. Bila kau bertemu Asuma - sensai dia akan langsung mendampratmu habis-habisan." Ino hanya bisa geleng-geleng kepala melihat pria itu mengenakan celana sekolah yang sudah di modifikasi menjadi model baggy. Ia juga mengenakan t-shirt hitam bertuliskan 'fuck off bitch' yang ditumpuk dengan kemeja lengan panjang putih yang dengan sengaja tidak dia kancingkan. Dia membuat seragam yang seharusnya tampak elegan menjadi funky. Belum lagi sebuah anting berbentuk salib bertengger di telinga kirinya.

"Apa kau menjadi anggota dewan kedisiplinan hari ini? atau kau sedang memperhatikan penampilanku?"

Wajah Ino bersemburat merah jambu, " Please deh, Jangan melontarkan rayuan tidak bermutumu padaku. Siapa juga yang memperhatikanmu."

"Siapa yang merayumu Ino?" Pemuda itu pura-pura tak tahu.

Tiba di ruang loker, Ino mengganti sepatunya dengan sandal sekolah dan meletakan beberapa bukunya. Dalam loker ia menemukan puluhan surat penggemar.

"Kau populer juga ya."

Ino mengintip isi loker Gaara dan menemukan banyak surat di sana.

"Wuah, Banyak sekali ya penggemarmu"

"Ini belum seberapa, coba kau lihat loker Sasuke isinya lebih banyak lagi. Dia bahkan punya stalker."

"Repot juga ya jadi siswa populer."

"Gaya bicaramu seolah-olah kau tak populer saja. Bagaimana pembicaraan dengan orang tuamu berlangsung?"

"Kami menemukan solusi. Aku akan menikah setelah kelulusan." Gadis itu bersandar pada lemari loker dari besi itu.

"Ku rasa itu jalan yang masuk akal, tapi dengan siapa kau akan menikah?"

"Hm.. aku kurang tahu. Ayahku yang akan menentukannya." Ino menunduk menatap ujung kakinya. Ia tak merasa siap untuk menikah tapi apa daya. Ia tak ingin anaknya dicap anak haram.

"Bila kau tak bahagia Ino, datang saja padaku."

Gaara menatap Ino dengan cara yang gadis itu tak pahami. Apa pemuda itu kasihan padanya.

"Mengapa kau begitu baik?, Apa jangan-jangan kau menyukaiku?"

Pemuda itu tersenyum manis. "Bagaimana kalau memang iya."

Ino langsung melongo, "Yang benar?"

"Tidak aku bercanda." Pemuda itu menutup loker dan menguncinya.

"Lebih baik kita ke kelas sekarang. Sampai jumpa saat makan siang." Ino meninggalkan Sabaku Gaara dan berjalan dengan santai menuju kelasnya.

.

Ino mengikuti pelajaran dengan rasa mengantuk. Penjelasan gurunya terdengar bagaikan lullaby di telinga. Sebuah prestasi tersendiri untuk tetap membuka mata dan duduk dengan tegap tatkala mata sudah terasa seperti lampu berdaya lima watt yang hampir padam. Ino membayangkan kasurnya dan tiba-tiba saja sosok Itachi yang tersenyum dan bertelanjang dada melintas di benaknya. Sontak ia kaget mengapa tiba-tiba ia teringat pria itu di tengah-tengah pelajaran biologi tentang reproduksi yang ia dengar sambil lalu. Ini pasti salah hormonnya yang menggila gara-gara efek kehamilan.

Ino menarik nafas panjang. Memfokuskan pandangannya pada buku teks yang terbuka di atas meja.

"Nona Yamanaka, Coba kau baca paragraf berikutnya" Suara Anko-Sensai memanggil namanya membuat Ino gelagapan. Dari tadi dia sibuk menahan kantuk hingga tak tahu apa yang terjadi.

Ino menoleh ke belakang karena merasa punggungnya dicolek. Hinata menunjukkan buku teksnya dan jari telunjuknya memberitahu Ino bagian mana yang harus di baca. Ino merasa lega Hinata menyelamatkannya dari rasa malu.

Setelah pelajaran usia Ino mengucapkan terima kasih pada gadis berambut Indigo itu.

"Terima kasih sudah menolongku tadi. Andai kau tak memberitahuku aku yakin Anko-sensai akan menghukumku."

"Tak masalah Ino, dari tadi aku melihatmu melamun dan terkantuk-kantuk. Apa yang terjadi?"

"Aku rasa aku tidur terlalu larut semalam. Apa kau mau ikut makan siang bersamaku?"

"Apa kau akan duduk semeja dengan para pangeran?"

"Iya, Aku rasa begitu. Mereka tak akan keberatan bila kau ikut."

Wajah Hinata langsung merona, "Uh tidak, Terima kasih Ino. Aku malu bergabung dengan kalian."

"Mengapa wajahmu memerah begitu Hinata. Apa kau menyukai salah satu dari mereka."

Wajah Hinata memerah seperti tomat. Ino ingin tertawa geli melihat reaksi polos gadis dari klan Hyuuga itu.

"Um..Ano, Sampaikan salamku pada Naruto-kun."

Tiba-tiba saja Hinata berbalik dan berlari. Menghilang entah ke mana. Ino tersenyum dalam hati. Ia bisa berperan jadi mak comblang yang ahli bila ia mau. Menjodohkan gadis pemalu dengan pemuda paling rame di sekolah kelihatannya bakal seru.

.

Ino berjalan sendirian ke kantin tanpa Sakura. Ia menanti-nanti gadis itu datang ke kelasnya seperti biasa tapi dia tak muncul-muncul juga. Karena perutnya telah bergemuruh Ino memutuskan untuk mencari makan. Begitu masuk kantin dia langsung menemukan semburat surai berwarna warna merah muda duduk di meja paling pojok. Ino langsung ke sana menghampiri mereka sambil berkacak pinggang.

"Aku menunggumu dari tadi di kelas ternyata kau sudah di sini nongkrong dengan cowok-cowok."

"Aku malas mencarimu, Ingat seminggu lebih kau bersembunyi dariku. Dari pada aku capek-capek ke kelasmu. Aku langsung saja datang kemari."

Ino langsung duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan Sasuke. Pemuda berambut raven itu tampak tak senang dan ekspresi wajahnya begitu sepat lebih parah dari rupa orang yang sedang sembelit. Ino tak sempat berpikir lebih lama untuk menganalisa ekspresi yang Sasuke hadiahkan padanya karena perutnya berbunyi lagi. Gadis berambut pirang platina itu mengalihkan antensinya pada Naruto dan menatap rekan sesama pirangnya dengan tatapan memelas, "Naruto ambilkan aku makanan dong, Aku malas untuk mengantri."

"Cih, Mengapa menyuruhku. Kan ada pacarmu di sini."

"Kau mau tahu apa yang Hinata katakan padaku tidak?"

"Ok, Makanan apa yang harus aku ambilkan?" Naruto langsung berdiri dari duduknya.

"Pokoknya jangan yang berminyak-minyak. Aku sedang tak enak perut."

Tak lama kemudian Naruto kembali dengan nampan penuh makanan.

"Jadi apa yang Hinata katakan?"

"Dia menyukaimu, Baka"

"Yang benar?"

"Kalau tak percaya tanya saja pada orangnya sendiri. Tapi hati-hati pada Neji."

"Aku takut mendekati Hinata gara-gara dia."

Gaara mengunyah rotinya dengan acuh ikut berkomentar, "Mau punya pacar itu butuh pengorbanan, Bro."

"Memang kau mau menerima pukulan Neji? Dia itu kapten taekwondo tau."

"Demi cinta, why not!. Kau akan menyesal bila tak mendekati Hinata." Sambung Sakura.

"Mengapa?" Naruto jadi bingung.

"Kau masih bertanya mengapa? Tak banyak gadis yang menyukai pria tolol macam dirimu. Jadi bila kau ingin mempunyai kencan saat prom night nanti atau bahkan punya pacar kau harus berusaha mendekati Hinata." Mulut Sai yang tak punya filternya kadang memang menyakitkan untuk didengar tapi semua yang duduk di meja itu mangut-mangut setuju.

Di antara ke enam orang itu. Sasuke tak banyak bicara. Ia hanya menatap Ino dan membuat gadis itu merasa tak enak. "Hei Sasuke, Mengapa kau menatapku dengan sepat seperti itu. Apa kau punya masalah denganku?"

"Aku hanya sedang menatap calon istriku bukan begitu Ino".

Sontak saja penghuni meja itu terkejut, Sakura menjatuhkan garpu yang ia pegang. Gaara dan Sai terdiam bibir mereka terkatup rapat membentuk garis tipis dan keras. Naruto tersedak jus yang sedang diminumnya dan Ino hanya menatap Sasuke dengan mulut ternganga.

Melihat ekspresi Ino. Sasuke menyisir rambutnya dengan jari, "Melihat ekspresimu. Aku menduga kau tidak tahu."

Tersadar dari syoknya Ino hannya menggeleng, "Aku tahu setelah kelulusan aku akan menikah. Tapi aku tak tahu dengan siapa. Jadi ayahku mendekati keluargamu?"

"A...pa ini semua benar?" Suara Sakura bergetar. Tampak seulas rasa sakit hati di mata sewarna jamrudnya."

"Maaf, Aku juga tak tahu." Ino bingung kenapa masalahnya jadi tambah runyam. Sepertinya ia harus jujur pada teman-temannya apalagi Sasuke, "Bisakah kita bertemu di starbuck sepulang sekolah. Ada yang ingin aku ceritakan pada kalian."

Begitu Ino selesai bicara, bel berbunyi. Menandai waktu istirahat siang telah habis. Mereka kembali ke kelas masing-masing. Langkah Ino terasa berat apa lagi di tambah dengan tatapan sakit hati Sakura. Ia jadi merasa dirinya menjadi seorang pelakor di sini. Padahal Sakura dan Sasuke tidak pacaran dan Ino tak menggoda Sasuke. Kebetulan saja keluarga mereka merencanakan perjodohan ini. Wajar mungkin bila Sakura sakit hati mendengar pria yang ditaksir akan menikah dengan sahabat sendiri. Ia akan menjelaskan segalanya pada teman-temannya dan Ia juga perlu berbicara empat mata dengan Sasuke dan Sakura. Mengapa urusannya semakin rumit.

.

.

Begitu jam pulang sekolah. Mobil mewah mereka semua terparkir di depan café paling terkenal di area itu. Enam orang siswa Royal High School langsung mengambil sofa di pojokan yang jauh dari pandangan pengunjung lainnya. Setelah mereka menyesap kopi pesanannya masing-masing , empat pasang mata menatap Ino dan Sasuke silih berganti menanti sebuah penjelasan.

"Sasuke, tolong ceritakan mengapa kau harus menikahiku?" Gadis bermarga Yamanaka itu bertanya pada temannya.

"Aku diperintah ayahku, Ia berkata ayahmu membuat perjanjian bila aku menikah denganmu maka Uchiha Corp akan mengambil alih lima puluh satu persen saham perusahaan Yamanaka."

Sai terkejut mendengarnya, "Lima puluh satu persen, Apa kau tahu berapa nilai saham perusahaan Yamanka di bursa? That's a lot of money. Apakah ayahmu waras Ino? Dengan memberikan saham mayoritas Uchiha bisa mendikte strategi dan keputusan bisnis perusahaan ayahmu. Tentu ini kesempatan yang sangat bagus untuk Uchiha grup untuk memonopoli bisnis property."

"Analisamu tak salah. Untuk alasan itu ayahku menginginkan kesepakatan ini. Lagi pula bila kami menolak, Ayah Ino akan mengajukan proposal pada Hyuuga dan Shimura."

Sai menopang dagunya dan berpikir, "Aku tak keberatan menikah dengan Ino tetapi perusahaan kami tidak begitu diuntungkan dengan memiliki saham Yamanaka karena kami lebih banyak berurusan dengan retails. Aku paham mengapa Ayah Ino menawarkan proposal ini pada Uchiha Group terlebih dahulu. Yang tidak aku mengerti mengapa Ino harus dinikahkan begitu cepat?"

"Jadi Ino, Apa ada alasan khusus yang membuatmu harus menikah denganku begitu kita lulus?"

Ino menarik nafas panjang. Ia bisa melihat perubahan di raut wajah Sakura. Sahabatnya terlihat pucat dan tegang. Kedua telapak tangan gadis itu mengepal di pangkuannya, "Alasan aku harus cepat-cepat menikah adalah karena saat ini aku sedang hamil."

Ketiga pria itu terpana, "Siapa yang menghamilimu?" Desak Naruto.

"Aku tak bisa bilang."

Dua pasang mata gelap dan sepasang manik biru terarah pada Gaara yang terlihat tenang dan menatapnya dengan pandangan penuh spekulasi.

"Jangan bilang kalian menduga aku yang menghamili Ino. Kalian salah aku mungkin playboy tapi aku bukan penjahat kelamin tak bertanggung jawab." Gaara membela dirinya dari tuduhan tak masuk di akal.

"Jadi kau menikah denganku untuk menyamarkan aib?"

"Tentu saja, Aku memerlukan suami agar anak ini bisa diterima dengan baik di kalangan kita dan tentu saja menyelamatkan muka keluarga."

"Apa kau sadar Ino, Kau memintaku untuk mengakui anak yang tak jelas asal-usulnya sebagai seorang Uchiha."

Ino menggigit bagian dalam pipinya, karena Ia dan Sakura tahu kalau anak dalam kandungannya memang berdarah Uchiha.

"Sasuke, Apa kau keberatan untuk membantuku? Aku tak butuh suami sungguhan. Setelah bayi ini lahir kita bisa bercerai dan saham itu milik kalian apa ruginya bagimu?. Bila aku bisa memilih aku lebih baik menikah dengan Gaara karena ia dengan ikhlas mau membantuku tapi masalah ini ayahku yang memutuskan."

"Jangan khawatir Ino, Bila Sasuke menolak dan proposal itu dialihkan padaku. Aku dengan senang hati akan menikahimu dan mengakui anak itu sebagai anakku."

"Sai, Terima kasih banyak."

Naruto dari tadi bingung dan mengaruk-garuk rambutnya. Mengapa ia tak paham masalah ini, " Ino bukankah lebih baik kau menemui pria yang membuatmu hamil dan meminta tanggung jawab. Siapa tahu dia mau melakukannya."

"Aku tidak tahu siapa laki-laki itu Oke, Bayi yang aku kandung adalah produk dari One night stand."

"Bohong!" Sakura yang dari tadi terdiam mulai geram. "Ino tahu siapa lelaki itu, Dia hanya tak ingin memberitahunya."

"Sakura bukankah kau berjanji untuk tidak membahasnya. Guys bisa kalian tinggalkan kami berdua?"

Keempat pemuda itu saling menatap penuh arti. Mereka tak ingin terlibat dengan masalah antar wanita jadi dengan patuh mereka menyingkir merasakan atmosfer energy negatif mulai merayap di sekitar mereka.

Ino menatap Sakura dengan marah, "Apa kau mau melupakan janjimu padaku untuk tutup mulut dan tidak memberitahu siapapun soal ayah bayi ini?"

"Tapi Ino, Bila Sasuke tahu kakaknya lah yang menghamilimu mungkin Sasuke tak perlu menikah denganmu."

"Aku tak ingin terdengar jahat. Aku tahu kau menyukai Sasuke. Tapi Orang tua kami telah memutuskan untuk melakukan kesepakatan bisnis ini. Bila memang Sasuke punya perasaan untukmu atau gadis lain. Dia pastinya akan menolak perjodohan ini. Tapi kenyataannya tidak."

"Aku tak ingin kau memiliki Sasuke."

"Sakura, Sasuke bukan milik siapa-siapa. Simpan kecemburuanmu dan tolong sadar dia tidak menyukaimu. Jangan pikir aku merebut Sasuke darimu karena dari awal dia bukan milikmu dan biar kau lega. Aku tak punya perasaan untuknya. Aku hanya butuh akte pernikahan dan sangat disayangkan ayahku memilih Sasuke untuk peran ini dan orang tuanya pun setuju. Bila kau masih mau menyukainya aku tak melarangmu. Lagipula ini hanya pernikahan pura-pura."

Sakura terisak, yang di katakan Ino ada benarnya. Bila Sasuke memang tak ingin melakukan ini dia akan menolaknya dan memang benar selama ini Sasuke hanya mengaggapnya sebagai seorang teman tapi hatinya tak rela melepas Sasuke meski selama ini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Salahkah ia terus menerus berharap?.

"Apa kau akan membenciku Sakura?, Kau pikir aku mau menikah dengan Sasuke. Aku hanya ingin anak ini bisa diterima di masyarakat dan aku akan melakukan apa pun untuk menutupi aib ini." Ino terdengar letih dan lelah.

"Maafkan aku Ino, Aku hanya berpikir bila Sasuke tidak menikah. Harapan kalau suatu hari dia akan mencintaiku akan tetap hidup. Aku tak ingin kehilangan harapan itu."

"Harapan itu milik kita sendiri Ino, Tak ada larangan untuk berharap. Bila kau ingin tetap mengejar Sasuke silahkan saja. Pernikahanku tak berarti apa-apa selain kertas yang akan mendasari kelahiran bayi ini."

Sakura memeluk Ino, "Sebagai sahabat seharusnya aku mendukungmu di masa sulit seperti ini. Dengan kehamilan, pernikahan dan bayi di depan mata kau pasti akan bingung dengan perubahan drastis ini."

"Aku takut, Sakura. Bagaimana kalau aku gagal beradaptasi dengan peran baruku? Bagaimana kalau kau tak bisa menjadi Ibu yang baik. Aku terlalu muda untuk ini."

"Bila menikahi Sasuke membuatmu merasa lebih aman, Aku pinjamkan dia kepadamu, tapi jangan ikut-ikutan jatuh cinta padanya oke?"

" Sasuke bukan tipeku, Jangan khawatir. Nanti aku kembalikan lagi koq."

Kedua gadis itu sadar persahabatan jauh lebih penting dari seorang pria. Mereka tidak sedang memperebutkan Sasuke. Sakura mengerti Sasuke sendiri memilih untuk menikah dengan Ino mengapa ia harus menyalahkan sahabatnya untuk ini? Dia harus bisa berlapang dada. Cinta yang bertepuk sebelah tangan tak bisa dipelihara selamanya. Sakura tak ingin terus menerus meregang hati karena perasaannya yang tak terbalas.

Di luar cafe tepatnya di parkiran. Empat cowok beken nan kaya dan juga rupawan itu melanjutkan diskusinya sehubungan perjodohan Sasuke dan Ino. Naruto masih tampak speechless mengetahui gadis yang tampak selalu alim dan cerita ternyata jadi korban kecelakaan one nights tand pula.

"Aku masih tak percaya Ino hamil begitu saja. Dia tak terlihat seperti gadis-gadis bandel."

"Makanya jangan lihat orang dari penampilan saja, Orang yang merasa tertekan bisa melakukan apa saja sekedar untuk mencari pelarian." Ujar Gaara sambil menghabiskan frappuccino-nya.

"Bicara dari pengalaman ya?" Sai bersandar di pintu mobil Gaara yang berwarna hitam."Apa kau serius akan menikahi Ino?" Pemuda berkulit pucat itu melirik kawannya yang sedang berjongkok menatap burung gagak melintasi langit senja.

"Ayahku tak memberikan pilihan." Ia menarik nafas panjang. "Ia meminta aku berkontribusi untuk perusahaan sekali ini saja dan kemudian aku akan bebas untuk melalukan apa yang aku mau."

"Memang kau tak mau bekerja untuk Uchiha corp.?" Tanya Naruto.

"Tidak, Aku mau masuk sekolah hukum."

"Sakura tampak tak senang dengan kejadian ini." Lanjut Naruto.

"Wajar, Pria yang disukai menikah dengan sahabat sendiri. Tentu saja ditikung itu menyakitkan." Gaara dan semua orang tahu betapa Sakura berusaha mengejar-ngejar Sasuke tapi pemuda bermata gelap itu selalu bersikap dingin. Anehnya, meski diacuhkan Sakura tak pernah berhenti mencoba.

"Aku bingung mengapa Sakura harus begitu marah. Aku sudah menolaknya berkali-kali." Sasuke tak paham dengan reaksi posesif yang ditunjukkan oleh gadis berambut pink itu. Mereka kan hanya teman.

"Namanya juga wanita, cenderung impulsif dan irasional." Jawab Sai singkat. Berapa banyak pun dia membaca dan mengamati tingkah para gadis ia masih tak bisa menebak jalan pemikiran mereka.

"Aku setuju dengan pendapatmu. Ngomong-omong tutup mulut kalian soal Ino yang sedang hamil. Ia tak perlu mendapatkan pandangan miring dan cibiran di sekolah." Gaara mengingatkan rekan-rekannya.

"Mengapa kau begitu perhatian pada Ino?" tanya Sasuke pada pemuda berambut merah itu.

Gaara diam tak menjawab

"Kau menyukainya" Tebak Naruto.

"Bila kau memperlakukannya dengan buruk. Aku sendiri yang akan menghajarmu." Gaara menebar ancamannya dan menatap Sasuke dengan serius.

Sai menoleh ke arah cafe itu. "Sebaiknya kita kembali ke sana dan melihat gadis-gadis itu."

"Sejauh ini satpam belum melempar mereka keluar sepertinya tak ada yang perlu kita cemaskan, tapi Sai benar kita harus ke sana." Jawab Gaara setuju.

Mereka kembali ke dalam dan menemukan ketegangan antara Sakura dan Ino telah menghilang. Alis para pemuda itu terangkat melihat begitu cepatnya mood para gadis berubah.

"Aku pikir kalian akan cakar-cakaran dan jambak-jambakan memperebutkan Sasuke." Ujar Naruto sambil duduk kembali ke sofa.

"Kami tak menyelesaikan masalah ini dengan cara tak berkelas seperti itu. Lagi pula Sasuke tak layak diperebutkan. Biar anggota fans clubnya saja yang bersikap norak."

Mata hijau Sakura langsung terbelalak mendengar fans club disebut-sebut, "Ya Tuhan Ino, Apa yang akan terjadi bila penggemar Sasuke mendengar kalian akan menikah?"

"Sakura bukankah kau juga salah seorang member-nya, Melihat reaksimu tadi aku menduga reaksi yang lainnya akan lebih parah." Ino mengingatkan Sakura kalau gadis itu adalah pencetus berdirinya fans club itu.

Naruto mengerutkan kening. "Pengemar Sasuke banyak yang nekat. Aku harap kau akan baik-baik saja Ino."

"Makanya kalian semua harus menutup mulut rapat-rapat soal ini hingga hari kelulusan nanti."Ino mendesah pajang. Kepalanya mulai cenat-cenut.

"Aku setuju, Aku tak ingin gosip mengganggu hari-hari terakhirku di SMA" tambah Sasuke.

"Jadi kapan kalian akan mulai berkencan?" Tanya Sai entah dapat Ide dari mana.

"Uh, Kami tak butuh yang seperti itu. Ini hanya pernikahan bisnis. Lagi pula aku tak punya perasaan apa-apa pada Sasuke."

"Kenapa aku jadi merasa tersinggung, kau membuatku terdengar seperti laki-laki yang tak punya daya tarik."

"Maaf saja Sasuke, Kau bukan tipeku. Aku hanya butuh surat nikahnya saja."

"Hm.. menarik, Aku ingin tahu seperti apa pria idealmu Ino?"

Keempat pemuda itu memasang kuping baik-baik guna mendengarkan kriteria pria idaman Sang Nona muda Yamanaka. Yang mereka seratus persen yakin tidak akan pernah ditemukan.

"Aku suka pria yang cerdas, tampan, tinggi, kaya, dewasa, hum..apa lagi ya."

"Bersyukur saja kau dijodohkan denganku Ino. Kalau kau mencari sendiri pria macam itu, Kau tidak akan pernah menikah."

"Perempuan sering tidak realistis." Putus Sai begitu mendengar jawaban Ino.

"Suka menuntut dan memerintah." Sambung Gaara.

"Dan juga cepat marah." Tambah Naruto.

Kening Sakura langsung berkedut, "Kalau memang wanita begitu merepotkan, kalian menjomblo saja."

"Kami memang Jomblo. Salah, Sasuke baru saja bertunangan. Mengapa kita tak merayakannya."

"Tidak ada yang perlu dirayakan, apa kau tidak sadar ini adalah berita buruk."

"Tentu, Hamil di luar nikah lalu dijodohkan dengan paksa dan menikah di usia remaja menjadikan hidupmu kian menarik Ino." Komentar Gaara.

"Aku merasa depresi, Maafkan aku Sasuke. Kau jadi terseret dalam masalah ini dan aku juga minta maaf, Sakura. Aku jadi terkesan menikungmu. Semua ini terjadi gara-gara malam sial itu."

"Pelajaran buat kita untuk tak memikirkan nikmat sesaat saja." Gaara mencoba terdengar bijaksana. Tentu boleh mengejar kenikmatan tapi perhitungkan juga risikonya.

"Memang kau akan berhenti melakukan hubungan seks hanya karena takut membuat cewekmu hamil?" Naruto hanya bisa garuk-garuk kepala. Di antara mereka berempat hanya Gaara yang punya pengalaman dengan wanita. Sasuke tak peduli dengan wanita, Sai malah tak suka dengan wanita. Naruto, dia kurang beruntung dengan wanita.

"Tentu saja tidak, Buat apa ada kondom. Should play safe you know. Pelajaran untukmu Naruto. Kalau kau berhasil mendekati Hinata sebaiknya kau simpan satu di dompetmu. Siapa yang tahu kapan setan datang menggoda."

Ino menyiku rusuk Gaara yang duduk disebelahnya. "Kau lah setannya. Tuan Sabaku."

"Ouch, Kau menyakitiku Nona Yamanaka."

"Makanya jangan mengajarkan Naruto hal yang tidak-tidak. Biarkan mereka berdua menjadi pasangan kekasih yang polos dan lugu."

"Ya..ya, Aku tahu kau bukan gadis polos dan lugu lagi, Nona Yamanaka." Gaara menyindir Ino terang-terangan.

Sasuke menatap mereka berdua, "Kau tahu aku merasa lebih cocok kau yang menikahi Ino daripada aku."

"Aku sudah menawarkan diri tapi ditolak. Padahal Ino, bila aku jadi suamimu aku jamin hidupmu jadi lebih berwarna."

"Katakan saja itu pada ayahku. Dia pasti tak mau seorang berandal menjadi anak menantunya. Apa kau juga mau didaulat menjadi CEO Yamanaka Grup? Itu syarat ayah bagi pria yang akan menjadi suamiku dan Gaara kau akan mati bosan dengan kerja kantoran."

"Lalu apa Sasuke diharuskan untuk mengurus perusahaan Yamanaka karena dia akan jadi suamimu?" tanya Sai ingin tahu.

"Tidak, tidak. Urusan macam itu ditangani Itachi-Nii. Aku akan menyibukkan diri dengan kuliahku. Pernikahan kami tak mengubah apa pun."

Ino langsung merasa tak enak mendengar nama Itachi disebut-sebut, Apa yang terjadi bila Ino bertemu Itachi? Apa pria itu akan mengenali dirinya sebagai wanita yang pernah dia ajak tidur. Entah apa reaksi pria itu bila menemukan calon istri adiknya adalah mantan teman tidurnya. Ini sangat kacau.

Sakura bisa melihat badai bergolak di mata Ino. Dia paham akan peliknya masalah ini. Anak yang di kandung Ino memang seorang Uchiha dan pantas menyandang nama itu. Tapi pria yang akan menikahi Ino adalah pria yang salah. Sakura tak akan mengadu dan membuat masalah ini semakin sulit bagi Ino tapi ia tak rela Sasuke menjadi suami sahabatnya meski hanya bohong-bohongan.

.

.

Itachi Uchiha tampak letih, Ia menuangkan dirinya segelas kopi dan duduk di kursinya yang besar dan nyaman. Ia tak bisa tidur nyenyak. Setiap malam ia terbangun karena ia memimpikan seorang gadis berambut pirang , terkadang mimpi indah, terkadang mimpi buruk dan yang lebih membuatnya tak nyaman ia memimpikan gadis itu merintih, menggeliat dan memekikkan namanya. Suara gadis itu terdengar begitu nyata dan ia akan terbangun bersimbah keringat dan rasa tidak puas yang hanya bisa ditenangkan dengan kucuran air dingin dari shower.

Entah berapa malam yang ia habiskan di kelab malam itu. Menanti dan berharap gadis itu akan datang lagi tapi ia tak pernah muncul hingga akhirnya dia menyerah tetapi sosok gadis itu tak hilang dari derap langkah kaki memasuki kantornya membuat Itachi tersentak dari khayalannya dan Fugaku Uchiha berdiri di depan mejanya. Membawa sebuah file yang tak begitu tebal.

"Ada apa mencariku ayah?"

"Aku telah bicara dengan Sasuke dan Ia setuju untuk menikahi gadis Yamanaka itu. Aku menugaskanmu untuk bernegosiasi dengan Inoichi tentang akuisisi dan integrasi Yamanaka Grup menjadi anak perusahaan kita seperti yang proposal ini jelaskan."

"Baiklah ayah, akan aku lakukan segera."

"Bisa kau bayangkan bila berita ini terdengar harga saham kita akan bergerak naik dan berapa banyak profit yang bisa kita hasilkan dengan memanfaatkan kekuatan Yamanaka untuk ekspansi bisnis."

"Ayah, Simpan dulu Ide-idemu. Kau dan Inoichi harus menentukan tanggal pernikahannya."

"Kau benar, ayah akan memberitahunya berita baik ini dulu."

Setelah ayahnya pergi, Putra sulung keluarga Uchiha itu mulai membaca proposal yang diserahkan ayahnya. Dari apa yang tertulis Inoichi terdengar begitu putus asa untuk menikahkan putrinya. Ia jadi berpikir apa gadis itu cacat, terlalu jelek atau memiliki kelainan mental hingga sang ayah harus menyogok calon mempelai pria dengan saham yang bernilai triliunan. Dia menemukan nama gadis itu disebutkan dalam satu paragraf. Ino Yamanaka berusia tujuh belas tahun. Siswi Royal HighSchool. Sekolah yang sama dengan Sasuke. Ia penasaran dengan wajah gadis yang akan menjadi adik iparnya. Kebetulan sekali nama gadis itu sama dengan gadis yang ia temui di kelab malam.

Memuaskan rasa penasarannya ia mengetikkan nama Ino Yamanaka di mesin pencari. Dia terkejut menemukan akun instagram dengan nama yang sama. Itachi membuka link itu dan dia disuguhkan sebuah foto gadis berambut panjang dengan warna pirang platina berbalut bikini hitam. Mata aquamarinenya terlihat serasi dengan bibir pink yang tersenyum lembut. Ini wajah yang sama dengan wajah yang menghantui mimpi-mimpinya.

Itachi menahan nafas, mencoba mengerti mengapa ada dua gadis dengan nama dan wajah yang sama. Sesuatu terhubung di otaknya.

Gadis itu telah membohonginya. Dia tidak berusia dua puluh dua tahun tapi tujuh belas. Dia tertipu. Fakta sederhana yang ia temukan menghujamnya kesadarannya dengan keras. Ya Tuhan, Ia telah meniduri gadis di bawah umur. Itachi mengusap wajahnya panik. Apa yang akan dia lakukan sekarang. Bagaimana ia harus bersikap mengetahui gadis yang ia inginkan terlalu muda untuknya dan akan menikahi adiknya.

Pria itu berjalan mondar-mandir bagai singa yang terkurung dalam kandang. Tentu saja tak akan pantas bila ia memimpikan istri adiknya. Tapi Itachi menginginkan gadis itu

"Sial!" Pria itu mengumpat. Tak pernah ia sekalut ini. Wanita yang dia inginkan ternyata tak bisa ia miliki. Mengapa malam itu mereka harus bertemu dan Ino berbohong padanya. Apa nasib sedang mempermainkannya?