Disclaimer : All Character belong to Masashi Kishimoto.
Perfect, Imperfect.
Chapter 09.
Graduation.
Ujian akhir tinggal sebulan lagi, seharusnya Ino fokus untuk belajar tapi tubuhnya tidak setuju. Meski telah dibekali obat anti mual oleh dokter ahli kandungan tapi morning sickness -nya tak kunjung membaik. Malah mualnya kini terasa sepanjang hari. Ino permisi dari kelas fisika untuk lari ke toilet. Syukur ia tiba tepat waktu. Sesungguhnya ia lelah sekali, tubuhnya lemas tapi bagaimanapun ia harus tetap masuk sekolah. Ino berada di salah satu bilik toilet wanita, Sayup-sayup ia mendengar suara siswi-siswi lain berbicara.
"Eh kau dengar beritanya? Katanya Yamanaka Ino sedang hamil."
"Yang benar saja, Dia kan begitu alim."
"Alah, Paling dia pura-pura alim. Aku tak pernah menyukainya. Selalu saja sok cantik dan kecentilan. Lagaknya seperti ratu saja."
"Munafik banget ya, di Sekolah berakting jadi murid teladan tahu-tahunya perek."
Wajah Ino memucat, ternyata dia sedang digosipkan. Tentu saja mereka menduga-duga sesuatu terjadi dengannya karena setiap saat ia permisi untuk ke toilet hanya untuk muntah tapi ia tak menduga mulut para siswi lainnya begitu keji.
"Siapa ya cowok yang menghamilinya?. Dia kan tak pernah punya pacar."
"Gaara-senpai kah?"
"Paling juga dia digilir sama semua cowok itu. Kenapa juga hanya dia dan jongosnya yang diajak makan siang oleh para pangeran kalau tak ada apa-apanya."
Muak mendengar mereka berceloteh tak karuan tentang dirinya dan juga teman-temannya Ino membuka pintu dan keluar. Tiga siswi yang tadi bergosip terkejut dengan penampakan Ino dan terdiam seketika.
"Kalau berani, bicara langsung di depan orangnya." Ino emosi dan melabrak mereka. Memang apa hak orang-orang ini untuk menjelek-jelekkan dirinya. "Kalau kalian punya otak bukankah lebih baik melakukan hal yang berguna daripada bergosip." Ino berlalu meninggalkan tiga siswi yang tidak ia kenal. Ketiganya memasang wajah kesal.
Merasa marah, Ino tak kembali ke kelas. Ia menaiki tangga menuju atap. Ia tak ingin berhadapan dengan siapa-siapa. Mengapa hatinya begitu sensitif? Mendengar dirinya digosipkan seperti itu oleh ia langsung sakit hati.
Ia ingin sendirian tapi ternyata ia telah didahului orang lain. Gaara berbaring di atas lantai semen menonton awan berarak. Satu tangannya menjadi bantalan, terlipat di belakang kepalanya dan tangan lainnya menggenggam batang rokok yang menyala. Beberapa puntung rokok bekas berserakan di dekatnya. Ino pikir hanya Shikamaru yang punya hobi menonton awan.
"Kau bolos lagi ya Gaara?" Ino ikut berbaring di sebelah pemuda itu, dia juga menatap langit biru dan awan yang berarak. Melihat langit yang luas terbentang gadis itu merasa dirinya begitu kecil dan tidak signifikan. Masalah hidupnya jadi berasa tak penting di bandingkan masalah yang dihadapi dunia. Ino mencoba relaks, ia meluruskan punggungnya di lantai. Mungkin seragam putihnya akan jadi kotor tapi ia tak peduli lagi. Ia hanya ingin menenangkan diri.
"Aku sudah biasa bolos, tapi apa yang membawamu kemari di tengah-tengah jam pelajaran?"
"Mereka tahu aku hamil dan memanggilku perek."
"Abaikan saja." Nasihat Gaara.
"Aku sudah mencoba, tapi tetap saja rasanya menyakitkan. Mengapa orang-orang begitu kejam dalam berasumsi. Mereka bahkan tak mengenalku dan men-judge aku murahan."
"Ino di dunia ini banyak orang-orang yang tak puas dengan diri mereka sendiri. Mereka butuh menjelek-jelekkan orang lain untuk merasa lebih baik. Apa kau akan membiarkan pendapat subjektif mereka mempengaruhi kepercayaan dirimu?"
"Tentu saja aku tidak mau."
"Jadi berjalanlah dengan kepala tegak, Jangan biarkan kata-kata mereka mempengaruhimu. Kau gadis yang baik dan hebat Ino."
"Gaara, Aku senang kau berpikir begitu. Kau tak seperti penampilanmu. Terkadang kau bisa terdengar dewasa."
"Terdengar dewasa belum tentu bersikap dewasa. Aku masih tetap suka berbuat bodoh."
"Bukankah kita semua juga begitu."
"Ino, Apa kau menyesali perbuatanmu?"
"Tentu saja Gaara, tapi percuma meratapinya. Aku hanya bisa memandang ke depan dan belajar dari kesalahan ini."
"Apa yang kau pelajari?"
"Untuk tidak bertindak impulsif dan melupakan alat kontrasepsi." Sekarang Ino bisa menertawai kebodohannya. Ia membayar sangat mahal untuk menghabiskan malam bersama pria seperti Itachi. Seharusnya ia bisa melakukannya dengan lebih baik.
Gaara menoleh untuk menatap Ino, "Apa kau akan baik-baik saja bersama Sasuke?"
"Kami punya kesepakatan. Semua akan baik-baik saja."
"Aku harap begitu. Aku tak ingin kau jatuh dalam masalah yang lebih besar."
"Seperti?."
"Jatuh cinta padanya dan berniat membuat pernikahan kalian jadi sungguhan."
"Ayolah Gaara, tak mungkin aku tertarik pada Sasuke." Ino menepis kemungkinan tak masuk akal itu bukan hanya karena Ino sudah terlanjur tergoda oleh kakaknya yang seksi itu, tapi dari awal ia hanya melihat Sasuke sebagai teman yang cuek dan di saat genting bisa diandalkan.
"Aku hanya berharap kau bisa melalui masa sulit ini dengan tegar." Pemuda berambut merah itu kembali menatap langit. Seolah juga sedang mencari jawaban atas permasalahan hidupnya.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Ino kembali memfokuskan diri pada awan-awan berbentuknya berubah-ubah. Mereka diam seperti sibuk dengan lamunan masing-masing hingga jam makan siang tiba. Gadis berambut pirang itu merasa menemukan sosok kakak yang tak pernah ia miliki dalam diri Gaara. Bila bertemu dan bersilat lidah dengan Itachi membuat darahnya berasa bergejolak. Maka bersama Gaara ia merasakan ketenangan padahal pemuda itu bisa dibilang pengacau tapi entah bagaimana setiap kata-katanya mampu mengurangi pikiran negatif Ino.
Ino sangat terkejut menemukan dirinya perlahan menjadi korban pembully-an. Setiap hari ia harus membersihkan lokernya dari kertas-kertas berisikan kata-kata sampah yang menghujat dirinya. Setiap kali ia melangkah melewati koridor ia akan menemukan siswa lainnya berbisik-bisik, menatapnya dengan jijik atau kasihan. Bahkan di papan pengumuman kerap kali ada tulisan yang menghinanya.
Tubuhnya mulai tampak berisi dan Ino mencoba menutupinya dengan mengenakan jaket longgar di atas baju seragamnya yang tentu saja mempertegas kebenaran gosip itu. Terkadang ia merasa tak tahan, datang ke sekolah saja sudah terasa seperti perjuangan yang berat. Bersyukur kelima temannya tak menghakiminya dan kelulusan sudah di depan mata.
Betapa Ironis, Dia yang populer kini menjadi orang buangan hanya karena ia hamil di luar nikah. Gosip itu merebak dengan cepat. Ia bahkan dipanggil ke ruang konseling oleh Kurenai Sensai. Ino terpaksa menceritakan kebenaran pada gurunya. Untungnya mereka tak memaksa Ino berhenti sekolah.
Begitu Ino mengambil tas dan barang di lokernya. Gadis itu melangkah ke belakang gedung sekolah. Ia menangis tersedu-sedu bersembunyi dalam gudang penyimpanan alat olah raga. Ini hari terakhir ujian dan dia sudah berdiri di ujung batas kewarasannya. Meski ia belajar menguatkan diri, mengabaikan semua hal buruk yang dialamatkan untuknya tetap saja Ino merasa tertekan dan merasa kecewa karena orang-orang yang dulu bersusah payah ingin menjadi temannya kini membuangnya. Memang benar, teman sejati baru terlihat ketika kita sedang mengalami kesusahan di tengah semua cobaan ini ia berusaha menemukan hal positif. Paling tidak sekarang orang tuanya mendengarkannya dan ia punya enam orang sahabat yang bisa ia percayai.
Sakura tahu sahabatnya sedang menderita tapi ia tak tahu harus melakukan apa. Gadis berambut pink itu mengikuti temannya ke dalam gudang.
"Pig, Sampai kapan kau mau menangis?. Aku mengerti ini pasti sulit untukmu tapi ujian sudah berakhir. Setelah kelulusan kau tak akan menghadapi cemoohan ini lagi."
"Siapa yang bilang Sakura?, Meski aku mencoba menebalkan wajahku tetap saja rasa malu tergantung di kepalaku. Meski aku menikah dengan Sasuke, Mereka akan menyadari aku menikahinya karena aku hamil."
"Lalu apa? Nasi sudah jadi bubur, Kenapa baru sekarang kau memikirkan rasa malumu bukan pada saat kau making out di club dengan pria itu?, Ino tentukan prioritasmu. Apa yang akan kau lakukan setelah ini bersama bayimu? Mengapa kau masih pusing memikirkan hal remeh yang tak perlu padahal banyak masalah penting yang harus kau putuskan."
Ino masih terisak, Meski keluarga dan sahabatnya memaklumi keadaannya tapi tidak di luar sana. Di sekolahnya sendiri ia menjadi bulan-bulanan. Apa kata para kerabat dan tamu-tamu lain yang akan menghadiri pesta pernikahannya nanti. Membayangkannya saja ia jadi lelah mental. Mungkin besok ia bisa tinggal di kamarnya yang aman jauh dari prasangka-prasangka buruk yang dihadiahkan padanya.
Sakura melangkah untuk duduk di samping Ino yang sesenggukan. Dia menghembuskan nafas berat dan panjang, "Pig, Jangan menangis lagi. Semua ini akan berlalu. Lama-lama mereka akan melupakannya begitu ada gosip yang lebih baik, Be strong please."
"Krek..." Suara pintu gudang yang terbuka mengejutkan mereka berdua.
Mata biru Naruto tampak lega melihat keberadaan kedua gadis itu di sana, "Mengapa kalian bersembunyi di sini? Dari tadi aku berusaha menghubungi ponsel kalian tapi tak ada jawaban. Apa yang terjadi?" Naruto menyadari bekas air mata yang belum mengering di pipi Ino.
"Ino hanya lelah di-bully."
Pemuda berambut pirang itu bersedekap menatap Ino serius, Ia sendiri pernah mengalaminya ketika masih di sekolah dasar. "Apa kau akan terus bersembunyi begitu Ino? Tertunduk dan membiarkan orang-orang tak punya kerajaan itu mempengaruhi perasaanmu. Ayo keluar dari sini. Tegakkan kepalamu dan bila kau mau berikan mereka jari tengah. Lagi pula kita harus merayakan hari akhir ujian."
"Positif sekali kau Naruto." Balas Ino pada pemuda itu.
"Ino, Bila aku tak berpikir positif aku sudah bunuh diri jauh-jauh hari. Aku tahu ini bukan masa-masa terbaikmu tapi berusahalah untuk melihat hal positif. Barangkali bayi itu akan membawa kebahagiaan lain untukmu siapa yang tahu?"
"Naruto benar, Kami tak ingin melihat kau depresi dan mengurung diri di rumah hanya karena kau merasa malu tentang apa yang orang bicarakan tentangmu."
"Iya..ya. Aku terlalu fokus pada apa kata orang hingga aku lupa kalau aku sendiri yang menentukan jalan hidupku."
"Kalau kau sudah tenang bagaimana kalau kita semua pergi jalan-jalan. Sasuke dan yang lainnya sudah menunggu di tempat parkir."
Mereka bertiga berjalan ke areal parkir sekolah di mana ketiga pemuda lainnya sedang menunggu. Senyum Ino akhirnya terkembang. Tangan Sakura di punggungnya dan mata sewarna Emerald-nya berpendar meyakinkan sahabatnya sedalam apa pun Ino jatuh ia akan selalu ada di sana. Begitu pula Sai, Gaara, Sasuke dan Naruto. Mereka tak akan membiarkan Ino menghadapi ini sendiri.
Oktober, Upacara kelulusan akan dilaksanakan seminggu lagi. Ia dan Sasuke didaulat untuk memberikan pidato perpisahan. Mereka lulus sebagai siswa dan siswi terbaik. Meski banyak siswi di sekolah masih bersikap nyinyir padanya. Prestasi Ino tetap berkilau. Kehamilannya, meski menjadi bahan pembicaraan tapi tak menghentikannya untuk memberikan yang terbaik. Untuk pertama kalinya Ino merasa bangga. Tentu akan lebih mudah bila ia berdiam diri saja di rumah menghindar dari hujatan tapi ia merasa sayang karena kelulusan dekat sekali. Meski dua bulan ini dia dinilai dan dicemooh tapi dia berhasil menyelesaikan studinya.
Keenam orang itu duduk santai di taman sekolah. Kantin tak lagi menjadi tempat berkumpul favorit mereka karena mereka sadar Ino tak nyaman dengan banyaknya siswa yang memenuhi tempat itu. Jadi di sinilah mereka duduk di antara pepohonan yang daunnya mulai gugur.
Naruto dan Gaara datang dengan membawa beberapa kotak minuman dan roti.
"Ini pesananmu Teme, Lain kali jangan kau suruh aku beli roti yang susah dicari." Naruto melempar roti yang terbungkus plastik itu pada Sasuke.
"Susah, perasaan roti ini ada di kantin. Kau saja yang hobi mengeluh." Sasuke membuka Roti rasa kare itu dan mulai menggigitnya.
"Sebentar lagi kita lulus ya semakin sedikit waktu yang kita punya untuk berkumpul seperti ini." Sai menatap teman-temannya sedih.
"Kau benar, Begitu kita lulus. Kita akan terpisah dan menjalani kehidupan masing-masing." Sakura mengamini. Tak terbayang kehidupannya jadi mahasiswa tanpa Ino di sampingnya. Mereka telah bersama sejak TK tapi sekarang mereka harus berpisah.
"Aku harap meski kampus kita berbeda, kita masih akan tetap akrab." Naruto mengunyah Rotinya yang kini terasa hambar. Dia bersusah payah mendekati Sasuke, Gaara dan Sai tiga siswa yang terkenal dingin dan tak bersahabat. Memaksa mereka untuk berteman dengannya dan sekarang begitu hari kelulusan tiba tak ada lagi acara pesta-pesta gila bersama mereka, atau sekedar mengopi-ngopi bareng. Ia akan kesepian lagi dan memulai dari nol di universitas nanti.
"Aku ingin kita membuat kenangan sebelum kelulusan."
"Apa Idemu Ino?" Tanya Sasuke pada gadis pirang itu.
"Bagaimana kalau kita besok membolos dan pergi ke suatu tempat. Sekolah kita kan tak punya acara study tour." Lanjut Ino.
"Aku menyukai idemu." Gaara tak keberatan bolos sekolah.
"Ah, Bagaimana kalau kita pergi ke Nara, Musim gugur begini pemandangannya pasti indah." Usul Sai.
"Ah, Iya. Aku setuju. Kita bisa berjalan-jalan melihat kuil-kuil tua dan daun Momiji berguguran." Sambung Sakura.
"Bukan tipe liburan yang aku pilih, tapi bila kalian ke sana aku akan ikut." Gaara adalah tipe orang yang lebih terhibur pergi ke taman bermain daripada jalan- jalan ke museum.
"Aku suka pergi ke mana saja." Komentar Naruto.
"Dan kau Sasuke?" Gadis berambut merah muda itu menanti jawaban dari pemuda yang tampak tak mengikuti percakapan mereka.
"Hn...n, Baiklah aku ikut. Kalau aku tidak ikut aku yakin si dobe akan menyeretku."
"Kalau begitu fix, Kita bertemu besok pagi di cafe depan stasiun."
Perjalanan selama tiga jam dalam kereta cepat tak terasa. Ino tertidur sepanjang perjalanan. Turun dari kereta mereka menaiki bus yang membawa mereka ke taman Nara dan mereka semua takjub melihat kemegahan atap pagoda-pagoda kuil yang telah berdiri ratusan tahun berlatar belakang pepohonan berwarna oranye kemerahan.
Mereka berkeliling dan berfoto di setiap spot menarik. Setelah mereka cukup banyak berjalan. Keenam siswa sekolah menengah atas itu memutuskan beristirahat di bawah pepohonan yang daunnya mulai berjatuhan.
Sai mengeluarkan alat lukisnya dan mulai menggambar sketsa, jiwa seninya terpanggil untuk menuangkan keindahan Ini dalam sebuah lukisan. Ino mendekati pemuda tersebut. Di antara mereka semua. Sai yang paling aneh. Dia selalu ramah dan tersenyum tapi juga paling pendiam dan menjaga jarak. Kepribadiannya kontradiktif.
"Kau melukis pemandangan ini?"
"Iya, terlalu indah untuk di lewatkan." Tangan pemuda itu sibuk mengoreskan pensil di atas kertas putih yang ia bawa, "Maukah kau berpose untukku sebentar beauty? Mungkin ini hari terakhir aku bisa memintamu jadi modelku."
"Kenapa begitu?."
"Kita akan lulus dan berpisah. Kau juga akan menikah tiga minggu lagi kan?. Aku ingin memberikanmu hadiah pernikahan yang indah."
"Ok, sebaiknya kau membuatku tampak cantik dalam lukisanmu."
"Kau memang cantik Ino. Untuk apa aku memberikan julukan beauty. Duduklah di batang pohon yang roboh itu." Pinta sang pelukis.
Ino melakukan yang diminta. Ia duduk di sana. Tanpa sadar ia membuka telapak tangannya menangkap daun momiji yang berguguran dari pohon di atas kepalanya. Ia menjadi melankolis dan sedih. Mereka semua akan berpisah, ia ingin persahabatan ini kekal tapi apa daya. Pilihan hidup membawa mereka pada jalan yang berbeda. Meski ia akan menikahi Sasuke pemuda itu telah memutuskan ia akan tinggal di asrama jadi mereka akan hidup terpisah sepanjang pernikahan pura-pura mereka berlangsung. Sementara teman-temannya mengejar mimpi. Ino tak punya rencana masa depan. Ia telah diterima di universitas tapi Akankah dia baik-baik saja sendirian? membesarkan bayinya dan melanjutkan studi bukan hal yang mudah untuk dilakukan di saat bersamaan.
Sai menangkap ekspresi muram gadis itu dan melukiskannya dengan baik. Dia tahu Ino sedih tapi dirinya tak bisa banyak membantu selain berdiri di sampingnya sebagai teman. Dia baru sadar kalau ia memendam rasa untuk gadis itu tapi ia tak ingin membuat hidup Ino bertambah ruwet dengan membahas masalah hati. Sai tak menginginkan apa pun dari Gadis itu selain senyumnya dan dia berharap Sasuke akan menjaga Ino dengan baik. Bila ia sampai mendengar Ino menjadi lebih menderita. Ia sendiri akan mencari Sasuke dan tak segan membawa Ino kabur.
Sakura dan Naruto sedang bercengkerama tentang kelas khusus yang mereka berdua pernah ikuti. Sementara Sasuke dan Gaara duduk di bangku taman mendiskusikan Ino.
"Sasuke apa kau masih yakin untuk menikah?"
"Tentu saja. Kami sudah mengatur semuanya. Begitu perkuliahan di mulai aku akan tinggal di asrama."
"Jadi kalian tak akan tinggal bersama?"
"Tidak, pernikahan itu sekedar formalitas. Aku harap kami tak akan menemui banyak masalah tapi satu hal masih menganggukku."
"Apa itu?"
"Identitas pria yang menghamili Ino."
"Sebenarnya aku sedikit curiga, Ino menyembunyikan siapa ayah bayi itu dari kita. Ia bahkan tak menyebutkan sebuah nama dan melarang Sakura memberitahu kita. Apa jangan-jangan kita mengenalnya?"
"Sakura dan Temari tahu siapa pria itu. Tapi mereka memilih tutup mulut. Aku tak mengerti mengapa Ino begitu takut untuk menemuinya. Ia bahkan menolak mencari pria itu."
"Apa kau pikir Ino dipaksa untuk melakukannya?."
"Itu yang aku khawatirkan. Ia takut berurusan dengan pria itu lagi karena pria itu memaksanya "
"Kita harus mencoba membuat salah satu dari mereka berbicara. Paling tidak aku ingin mendengar sebuah nama."
"Mengapa begitu penting bagimu untuk mengetahui identitas lelaki itu?."
"Karena aku ingin menghajarnya, pria bodoh itu menghancurkan masa depan Ino."
"Kalau kau menemukannya, Aku ikut denganmu oke, Kita akan memastikan pria itu tak menghamili gadis-gadis lainnya."
Perjalanan hari itu berlangsung menyenangkan. Ino merasa bahagia membuat kenangan Indah di sisa masa SMA nya tapi apa yang akan dia lakukan setelah ini? Apa ia akan kuliah. Lalu bagaimana dengan bayinya? Di mana ia akan tinggal?. Segudang pertanyaan muncul dan ia kebingungan mencari jawaban. Setelah seharian berjalan-jalan ia merasa sangat lelah. Ino membaringkan tubuhnya di kasur malam itu. Meski dengan pikiran penuh ia berhasil tidur dan dalam mimpinya ia melihat sekilas apa yang bisa menjadi masa depannya.
Upacara kelulusan Konoha Royal High School dimulai. Di gedung auditorium yang menampung ratusan orang. Semua siswa kelas XII mengenakan toga berwarna putih dengan garis keemasan seperti warna seragam mereka. Orang tua murid dan keluarga ikut menghadiri acara yang menjadi permulaan petualangan mereka menjadi orang dewasa.
Sekarang Ino merasakannya. Ketika masa bersekolah dulu segalanya terasa mudah karena ia sudah tahu, begitu ia menyelesaikan SD, dia akan melanjutkan ke SMP mengikuti jenjang yang sudah dipersiapkan dan di pengunjung pendidikan SMA-nya, Dia dihadapkan dengan berbagai pilihan hidup yang membuatnya bingung dan ketakutan. Ia tak pernah membuat keputusannya sendiri dan membiarkan orang tuanya memilih untuknya karena ia tahu. Bila ia gagal untuk menjadi sukses ia bisa mempersalahkan orang tuanya tapi apa yang terjadi belakangan ini membuatnya sadar ketika ia membuat kesalahan atas pilihannya sendiri. Ia bisa menerima konsekuensinya dengan lebih baik. Bahkan ia merasa bangga meski membuat kesalahan besar karena ia sekarang tahu dirinya cukup kuat untuk tidak lari dari tanggung jawab dan belajar menghadapi kritik dan cemoohan.
Ino berdiri dipanggung. Wajahnya berseri-seri. Gadis itu membawakan pidato kelulusannya. Di antara para tamu ia melihat Itachi. Mata pria itu tertuju padanya dan Ino tak bisa berpaling. Mengapa pria itu datang?
"Pernahkah kalian takut mengambil keputusan dan memilih mengikuti langkah orang lain? Pernahkah kalian membiarkan opini orang lain membuat kalian berhenti mendengarkan kata hati kalian sendiri? Karena aku pernah dan semua itu berakhir menjadi rasa tidak puas. Teman-teman, kalian tentunya tahu aku membuat kesalahan besar tapi aku tak meratapinya karena aku sadar aku hanya manusia yang tak luput dari kekurangan. Yang terpenting adalah memiliki keberanian untuk melangkah dan mencoba, keluar dari zona aman dan menerima tantangan. Hanya dengan demikian kita bisa berkembang dan maju. Ketika kita membuat kesalahan bertanggung jawablah dengan belajar untuk mengakui dan memperbaikinya. Setelah hari kelulusan ini kita akan dihadapkan pada banyak pilihan. Ikuti kata hatimu, Abaikan suara-suara sumbang yang menghalangi langkahmu. Meski terjatuh berusahalah untuk bangkit lagi karena hidup hanya sekali jangan disia-siakan untuk hidup dalam bayangan orang lain. Jadilah kapten yang mengendalikan kapal nasibmu sendiri. Selamat hari kelulusan teman-teman. Semoga kita selalu menemukan keberanian untuk menjalani hidup yang penuh tantangan." Ino mengakhiri pidato singkatnya diiringi riuh tepuk tangan dari para hadirin. Tanpa sadar air matanya berlinang. Keputusan Impulsifnya mengikuti Itachi memang membawa segudang masalah, tapi hal itu juga membuatnya sadar kalau ia ingin dicintai dan diterima sebagai dirinya sendiri.
Bukan orang lain yang menyabotase kebahagiaannya tapi dirinya sendiri. Semua terjadi karena ia tak percaya diri. Mulai hari ini ia berjanji untuk berhenti mencari validasi dan belajar mencintai dirinya sendiri. Melangkah karena hatinya menginginkan, bukan karena rasa takut dan kepraktisan.
Bibir Sasuke terkatup rapat Ia menyadari siapa yang Ino pandang saat berpidato tadi. Meski ia tak lagi pernah melihat Itachi dan Ino berinteraksi tatapan mereka seolah berbicara tentang suatu rahasia. Mengapa ini terasa sangat mengganggunya?.
Begitu rangkaian upacara usai dan para siswa mendapatkan Ijazahnya. Mereka bergabung dengan keluarga dan teman-teman untuk foto-foto atau bercengkerama. Keluarga Uchiha menghampiri Ino dan orang tuanya.
"Selamat atas kelulusanmu Ino, Kini kau sudah menjadi dewasa." Itachi tersenyum dan menyodorkan rangkaian bunga casablanca lili yang dipadu dengan kesegaran mawar merah padanya.
Ino menerimanya dengan canggung. Rasanya tak sopan mencak-mencak dan menolak bunga seindah itu di tengah-tengah keramaian seperti ini, "Terima kasih, Ita-nii."
"Oi...Kakak, Mana hadiah kelulusan untukku? Tak adil kau memberikan Ino bunga dan tak memberikanku apa-apa." Protes Sasuke.
Pria itu merogoh sakunya dan melemparkan kunci mobil ke tangan Sasuke, "Kau boleh memakai mobilku."
"Benaran?" Sasuke tak percaya. Itachi sangat mencintai mobil-mobilnya sampai tak seorang pun boleh mengendarainya.
"Serius, tapi bila lecet sedikit saja aku akan menghajarmu. Berikan aku kunci mobilmu karena aku harus kembali ke kantor."
"Ini, Mobilku terparkir di lapangan." Sasuke menyerahkan kuncinya."Terima kasih sudah datang."
"Aku tak akan melewatkan hari kelulusan adikku. Selamat juga untukmu."
Setelah itu Sasuke dan Ino bergabung bersama teman-temannya. Rasa haru dan kebahagiaan melanda mereka. "Aku senang kita bisa lulus bersama-sama." Naruto menatap teman-temannya tampak bahagia. "Aku harap meskipun kita terpisah, kita akan tetap berteman." Lanjutnya.
"Tentu saja Dobe, kau diizinkan untuk menggangguku kapan saja."
"Aku berterima kasih pada kalian karena telah membuat masa sekolahku jadi menyenangkan." Sai tersenyum. Benar-benar tersenyum bukan senyum palsu yang ia sering berikan pada penggemarnya.
Naruto merangkul bahu pemuda pucat itu. "Sai, Kita bisa mengganggu si teme di kampusnya nanti sama-sama"
"Bagaimana kalau kita membuat foto kenang-kenangan." Usul Sakura.
Mereka berenam pun berpose di depan gedung sekolah. Di tahun-tahun ke depan, Masa-masa ini akan selalu terkenang. Masa remaja yang indah, penuh persahabatan dan petualangan untuk menemukan jati diri. Setelah ini mereka semua akan melangkah sebagai orang dewasa menghadapi kehidupan yang jauh lebih berat.
Hari Sabtu datang, Ino merasa tak ingin berhadapan dengan orang banyak. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap karena belakangan ini dia jadi begitu sensitif dan kehilangan kontrol emosinya. Ia tak ingin membuat kekacauan di pesta perusahaan Uchiha. Tapi ia tak bisa mengelak. Orang tua mereka memutuskan untuk mengumumkan pernikahan sekaligus kerja sama perusahaan di acara ini. Yang tentunya dihadiri oleh karyawan, share holder dan mitra perusahaan.
Acara diadakan di ballroom Hotel Saint Regis , Sebuah hotel bintang lima di Konoha dan di hosting oleh Mikoto Uchiha sendiri. Ino tak boleh mempermalukan keluarganya. Ibunya bahkan berkeliling berjam-jam untuk menemukan gaun yang tepat untuknya. Ino menatap bayangan tubuh polosnya di cermin. Kandungannya sudah berusia empat bulan lebih, perutnya mulai tampak membuncit meski tak banyak. Ia terlihat seperti seseorang yang kebanyakan makan. Uh.. Ino tak merasa cantik sama sekali.
Ino meraih gaun hitam yang dibelikan Ibunya. Model gaun empire waist itu menyembunyikan perutnya dengan sempurna. Gaun bergaya grecian yang ia kenakan menjuntai hingga menyapu lantai. Detail kristal dan ornamen bordiran dari benang emas yang menghiasi garis leher dan pinggang menambah kesan mewah dan elegan. Demi kenyamanan Ino memilih mengenakan sandal flat ala gladiator yang melilit hingga ke betisnya dari pada sepatu hak tinggi. Ia tak ingin tersandung dan membahayakan bayinya.
Ino memasang bulu mata palsu untuk melengkapi efek dramatis pada make up smokey eyes-nya. Dengan sedikit teknik countur and highlight yang ia pelajari dari vlogger di you tube. Dia berhasil membuat tulang pipinya tampak tinggi dan tirus. Gadis itu memoleskan lipstick Nude di bibirnya dan melihat bayangannya dengan puas.
Dia harus tampak mengesankan karena malam ini orang-orang akan menilai kelayakannya sebagai menantu keluarga Uchiha. Penting baginya untuk memberikan kesan pertama yang baik karena ia juga tak ingin nama keluarganya tercoreng akibat tingkahnya.
Keluarga Yamanaka disambut dengan hangat oleh pemrakarsa pesta. Fugaku dan istrinya menyeret pasangan Yamanaka untuk bertemu dan berkenalan dengan kerabat serta orang-orang penting di perusahaan. Meninggalkan Sasuke dan Ino berduaan.
"Kau terlihat luar biasa, Ino." Sasuke memandangi gadis itu naik turun. Dengan rambut pirang tergerai Ino tampak seperti salah satu dewi Yunani.
"Kau juga sangat tampan, Setelan jas dari Valentino?"
"Yap, Kau benar."
"Aku mengenali potongannya."
"Sebaiknya kau tak membicarakan fashion denganku Ino, Itu bukan keahlianku." Sasuke memberikan lengannya pada Ino untuk di gandeng dan tentu saja Ino mengamitnya. Menurut skenario mereka adalah pasangan. Jadi Ino dan Sasuke tak keberatan pura-pura mesra sepanjang pesta.
"Jadi apa yang akan kita lakukan?"
"Hm...Menyapa beberapa orang dan menikmati pesta."
Sepanjang malam itu Ino bergelayut di lengan Sasuke. Menyapa beberapa orang dan berbasa-basi. Dia merasa lega karena sangat terlatih untuk ini dan sepanjang malam matanya mencari-cari sosok Itachi. Ino senang pria itu tak muncul karena bagaimanapun Ino merasa canggung berhadapan dengannya. Sasuke meninggalkannya sejenak di depan meja buffet untuk pergi ke toilet. Ino sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari orang tuanya.
Sebuah tepukan lembut di bahunya membuat Ino menoleh,
"Mau berdansa denganku?" Pria bermata onyx itu mengulurkan tangannya.
"Itachi, Apa lagi maumu?"
"Oh, Kau tak memanggilku Om atau Ita-Nii lagi?" Pria itu menyeringai meledek Ino.
"Kenapa aku mesti berdansa denganmu?"
"Karena aku calon kakak iparmu? Tidak aneh bila aku mengajakmu berdansa."
Dahi Ino berkerut, "Ok, Baiklah. Tapi jangan menginjak kakiku." Ino meletakkan tangannya di telapak tangan pria itu dan Itachi membimbingnya ke lantai dansa.
"Waltz?"
"Yap." Ino dan Itachi memulai dengan close position. Ino meletakkan tangan kanannya dibahu Itachi, sedangkan tangan pria itu di punggungnya. Mereka mulai melangkah dan berputar-putar di lantai dansa. Mengejutkan lead dari Itachi begitu jelas. Pria itu tahu cara menari dengan baik.
Entah Apa maunya Itachi, Ia menarik Ino merapat. Hampir tak ada jarak di antara mereka. Ino harus memiringkan wajahnya karena bibir mereka jadi terlalu dekat, "Apa kau tak berpikir ini sedikit scandalous?" ujar Ino mendesis tatkala merasakan tangan pria itu melingkari punggungnya dengan lebih erat.
"Aku tak peduli, hanya ingin menikmati menari denganmu. Apa kau lupa malam itu kau juga menari denganku?" Itachi berbisik rendah di telinga Ino.
Jantung Ino langsung berdetak lebih cepat. Seiring langkah waltz mereka. "Apa tak salah kau merayuku, saat mereka mengumumkan pertunanganku dengan adikmu?."
"Hm...kau mengingkari ketertarikanmu padaku."
"Siapa yang tertarik padamu" Bisik Ino kesal. Ia tak ingin penari-penari lainnya mendengar percakapan mereka.
"Bukankah jantungmu berdetak lebih kencang ketika bersamaku Ino? "
Seketika wajah Ino merona, Ia tak suka tubuhnya bereaksi dengan Itachi dan mengkhianati pikirannya berkali-kali. Ino menginginkan cinta, bersama Sasuke ia menemukan persahabatan dan Itachi, It's pure lust. Jadi mana yang lebih baik, menikah dengan sahabat atau mengikuti nafsu."Mengapa kau masih mengejarku?"
"Karena aku ingin memilikimu."
You don't own me.
I am not just one of your many toys.
You don't own me.
Don't say I cant go with another boys.
Lirik lagu yang mereka tarikan begitu mengena di hati Ino, "Aku bukan mainan untuk dimiliki atau kau perebutkan dengan Sasuke."
"Kau harus memberiku kesempatan Ino, Please."
"Maaf, Aku sudah terikat perjanjian. Bila kau ingin merusaknya bicaralah pada ayahku dan ayahmu. Mereka dari awal setuju aku terlalu muda untuk dijodohkan denganmu karena itu mereka memilih Sasuke."
"Dan bila kau harus memilih sendiri antara aku dan Sasuke Siapa yang akan kau nikahi?"
"Sasuke." Ucap Ino dengan jelas. "Kau hanya orang asing bagiku dan aku tak ingin membagi kehidupanku dengan orang yang tak kukenal."
"Sayang sekali Ino, kau tak tahu apa yang bisa kutawarkan padamu."
Sasuke mengamati Kakaknya dan Ino yang tengah berdansa. Alisnya berkerut. Itachi memeluk Ino terlalu erat. Mereka tampak sedang berdebat dan wajah Ino merona. Apa hanya khayalannya saja? Ia melihat ketegangan di antara mereka berdua. Sasuke semakin curiga, sudah jelas kakaknya berkata menyukai Ino tapi dalam derajat seperti apa? Sasuke tak tahu. Ia tak ingin Ino dipermainkan oleh kakaknya. Apa mungkin Itachi berminat dengan Ino hanya karena ayahnya memberikan gadis itu padanya. Sasuke bersandar pada sebuah pilar yang berada tak jauh dari lantai dansa. Dia terus mengamati mereka menari.
Begitu musik berhenti, Ino mencoba melepaskan dirinya dari Itachi tapi pria itu tak membiarkannya. "Aku harus mencari Sasuke."
"Tidak bisakah kita bicara sebentar saja."
"Baiklah sebentar saja." Ino setuju.
Itachi membawa gadis itu keluar dari ballroom. Mereka berdua berdiri di koridor yang sepi. Sayup-sayup musik dari ruang pesta terdengar.
"Apa yang ingin kau katakan lagi padaku."
"Dengar Ino, Sejak malam kau meninggalkan apartemenku. Aku mencoba mencarimu. Aku bahkan datang ke klub itu setiap malam berharap kau akan datang lagi tapi aku tak pernah menemukanmu. Aku tak pernah bisa menyingkirkanmu dari pikiranku meski aku mencoba. Aku menyukaimu Ino dan betapa terkejutnya aku menemukan kalau kau dijodohkan dengan adikku."
"Aku tak tahu masalahnya akan jadi runyam begini. Aku baru tahu kau seorang Uchiha keesokan harinya. Bila malam itu aku tahu kau adalah saudara temanku aku tak akan ikut denganmu."
"Mengapa kau tak menghubungiku Ino? Aku memberikan kartu namaku pada temanmu."
"Mengapa aku harus menghubungimu?, Aku masih SMA kau bisa masuk penjara karena berkencan denganku."
"Tapi sekarang kau sudah dewasa."
"Itachi, Gadis yang kau sukai tidak nyata. Aku bukan gadis yang kau temui malam itu."
Pria itu menyentuh pipi Ino, "Tidak gadis itu nyata Ino, Dia adalah bagian dari kepribadianmu yang kau sembunyikan rapat-rapat."
"Kau tak bisa bilang kau menyukaiku bila kau tak mengenal diriku sepenuhnya."
"Karena itu berikan aku kesempatan untuk mengenalmu Ino."
Itachi menatapnya dengan lembut. Ino tak tahu mengapa nafasnya tercekat dan dia tiba-tiba merasa sedih. Ia tertarik pada Itachi tapi ia tak mencintai pria itu. Tak mungkin Ino jatuh cinta pada pria yang tak dia kenal. Pernikahannya dengan Sasuke sudah di depan mata. Lebih baik ia mengikuti rencananya meski ayah kandung bayi ini tertarik padanya.
"Aku tak punya waktu, Aku tak mencintamu dan kau tak mencintaiku. Apa yang terjadi malam itu hanya nafsu dan kau terobsesi pada gadis yang tak nyata. Berhentilah mengejarku Itachi." Ini demi kebaikan mereka berdua. Ino mendongak untuk menatap mata pria itu dan ia melihat kesedihan.
"Apa kau jujur pada dirimu, apa kau mendengarkan kata hatimu kalau kau sedikit pun tak tertarik padaku?. Aku merasa kau menolakku karena kau takut...takut pada perasaanmu sendiri yang tak bisa dijelaskan dengan logika."
Pria itu benar, Ino lebih memilih kenyamanan, merasa aman dengan hal yang dia kenal dan pahami. Menjalani sesuatu yang dia bisa kontrol dan manipulasi. Ketertarikannya pada Itachi berbahaya, terasa bagai api yang bila ia tak hati-hati akan membakar habis dirinya. Ia tak menginginkan pergolakan. Ia takut memulai sesuatu tanpa tahu apa-apa karena risiko gagal selalu lebih tinggi. Karena itu ia menolaknya. Ia tak mau mengambil risiko.
"Ketertarikanku padamu hanya ketertarikan fisik."
Itachi sedikit membungkuk, bibirnya melayang beberapa senti di atas Ino. "Benarkah? Padahal aku tertarik pada semangatmu dan kecerdasanmu. Aku benar-benar menyukaimu Ino."
Ino merasa tergelitik. Bibir Itachi begitu dekat. Ia jadi tergoda, Tuhan tahu ia menginginkan pria ini tapi ia tak berniat untuk bersamanya. Ia masih terlalu muda untuk menjalani komitmen sungguhan. Sasuke akan menjadi kompatriotnya tapi Itachi? Bila ia bersamanya tak terbayang pernikahan macam apa yang akan mereka miliki. Perbedaannya antara mereka terlalu jauh. Ini terakhir kalinya ia membiarkan dirinya menyentuh Itachi. Menutup cerita yang diawali dengan pertemuan gila. Mungkin kah dia akan menyesal nanti? Melepaskan satu-satunya pria yang membuatnya merasa seolah ratusan kupu-kupu mengepak dalam tubuhnya.
Ciuman itu terasa manis dan pahit. Ia takut untuk menyukai Itachi meski sudah bersumpah untuk selalu mengikuti kata hati tapi pikirannya meminta memilih jalur yang lebih mudah. Dimana hati dan dirinya tak akan dipertaruhkan. Sebuah hubungan dengan risiko minimal.
"Ita-Nii, Apa yang sedang kau lakukan?" Sasuke berdiri di ujung koridor. Ekspresi pemuda itu tak terbaca. Ia mengikuti Ino dan Kakaknya, tapi ia tak menduga akan menyaksikan mereka berdua berciuman.
To Be Continued...
A/N : Next chapter the wedding. Apa yang terjadi di pesta pernikahan nanti?
Terima kasih banyak atas dukungannya.
SasuIno351, Sukie Foxie, Della, Febri, Ino-chan, Meenyaw, Alexwillybuntu,Lmlsn,Gin.
