Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.
A/N : Non-edit, mohon maklum kalau banyak salah.
Maaf, bila saya tak sempat membalas review satu persatu. Tapi saya sangat berterima kasih dengan mengusahakan update secepatnya.
Perfect, Imperfect
.
Chapter 10
.
The Wedding.
.
.
Ino sangat terkejut, Seketika ia melepaskan diri dari impitan tubuh Itachi.
Sasuke berdiri di sana menatap mereka berdua dengan penuh tanda tanya. "Seseorang, Jelaskan apa yang terjadi disini."
Ino serta merta menghambur ke sisi Sasuke tanpa memandang Itachi lagi. Dia berlari seolah tak ingin dekat-dekat dengan pria itu lebih lama, "Tak ada yang perlu di jelaskan. Ayo kita kembali ke pesta." Gadis itu kemudian mengamit lengan sang pemuda untuk mengajaknya kembali ke ballroom.
Sasuke tidak bergeming. Ia tak akan pergi sebelum mendapat penjelasan. Itachi dan Ino bertindak aneh. Ada apa di antara mereka?
"Aku tidak buta, Kalian tadi berciuman kan?, Mau menjelaskan sesuatu kak?"
Itachi menyisir rambut hitam sebahunya dengan jari. Ia tampak sedikit nervous. Sungguh ia tak ingin bersitegang dengan adiknya hanya karena wanita. "Aku merayu Ino dan menciumnya."
"Kakak, Berapa kali aku harus mengingatkanmu. Jauhi temanku. Apa kau sudah lupa Dia juga calon istriku?" Suara Sasuke yang dingin menebar ancaman bagi sang kakak. Pemuda itu tak paham mengapa kakaknya yang selalu bijaksana dan berkepala dingin bertingkah serampangan begini. Apa dia tak peduli lagi pada citra calon pemimpin tanpa cela yang susah payah dibangun?.
"Baiklah, Ini tak akan terulang lagi. Aku akan berhenti mengejar Ino." Itachi merasa tidak yakin ia bisa berhenti karena ia penasaran ingin membuat Ino mengakui perasaannya, tetapi secara logis apa yang dia lakukan hanya akan memicu skandal.
"Lebih baik begitu. Sadarlah dengan posisimu, Kak. " Ia berbalik bersama Ino kembali ke pesta.
Itachi bersandar di dinding dan merasa begitu tolol. Mengapa pula pria dewasa sepertinya mengejar-ngejar gadis kecil. Apa kata orang tentangnya nanti. Ino sudah menolaknya berkali-kali. Mungkin dia memang harus menyerah. Gadis itu tak ingin berurusan dengannya meski jelas dia tertarik padanya.
Pria itu merasa sesak dan melonggarkan dasinya. Ia kesal mengapa ia harus menyukai gadis itu. Shit...Dia pikir Ino seorang wanita yang sudah matang. Paham akan dirinya dan keinginannya sendiri. Kenyataannya ia hanya remaja yang masih penuh kebimbangan dan bahkan tak tahu apa yang harus dilakukan selain menuruti kata-kata orang tuanya.
'Masa bodoh' Pikir pria itu kesal. Bila Ino memilih mengingkari daya tarik di antara mereka dia tak akan membahasnya lagi. Biar saja dia menikah dengan Sasuke. Itachi tak peduli. Dia tak akan memohon-mohon lagi pada gadis yang lebih muda sepuluh tahun darinya. Dia juga punya harga diri dan gengsi. Pria itu pun melangkah keluar gedung. Ia tak ingin mendengarkan pengumuman pernikahan mereka.
Mereka berjalan bergandengan mencari para orang tua yang entah sedang di mana. Sasuke menatap Ino yang memasang muka dingin untuk menutupi emosinya akibat ciuman Itachi tadi. Apa yang membuat Ino begitu tertarik secara fisik dengan Itachi. Setiap kali pria itu berada di dekatnya Ino merasa seperti ngengat yang melihat api. Dia akan terus mendekat meski tahu ia akan terbakar.
"Ino, Apa kau serius melanjutkan pernikahan ini. Acaranya minggu depan. Kau masih punya waktu untuk berpikir."
"Apa lagi yang harus kupikirkan? Semakin lama kehamilanku semakin sulit disembunyikan."
"Hubunganmu dengan Kakakku. Jangan pikir aku tak mengamati. Aku yakin ada sesuatu di antara kalian."
"Tak ada apa pun di antara kami. Aku tak paham mengapa Itachi menggodaku seperti itu."
Sasuke menghembuskan nafas panjang. "Kau pura-pura buta atau memang tak sensitif. Itachi menyukaimu. Terobsesi padamu malah. Dia tak terlihat seperti dirinya sendiri saat bersamamu."
"Aku tak punya perasaan apa pun untuknya."
"Jadi kita melanjutkan rencana ini?"
"Tentu, Kau tahu skandal sekecil apa pun akan memengaruhi perusahaan dan keluarga kita."
"Aku paham, Aku harap Itachi juga sadar akan hal ini dan berhenti membuat masalah."
"Jangan khawatir Sasuke. Aku akan berusaha menghindarinya."
Ino memasang senyum pura-pura hingga pesta berakhir. Ia luar biasa lelah berdiri hampir sepanjang malam. Ia tak melihat Itachi lagi setelah insiden itu. Pengumuman akuisisi dan pernikahan mereka disambut meriah. Setelah acara bersulang selesai. Ino menyingkir dari keramaian dengan melangkahkan kakinya ke balkon. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Ino, Apa kau sudah lelah? Ayah akan meminta Sasuke mengantarmu pulang. Aku dan Fugaku masih harus berbicara dengan mitra bisnis Uchiha."
"Terima kasih, Aku memang sudah mengantuk."
"Ino, Maafkan ayah bila masih memaksamu sampai akhir dengan menjodohkanmu bersama Sasuke."
"Ayah, kau mengorbankan separuh perusahaanmu untuk memberikanku masa depan yang lebih baik bukan?, Aku paham."
"Entahlah Ino, Aku tak tahu mana yang lebih baik bagimu. Menikah muda dengan pria yang tak kau cintai atau membesarkan anak di luar nikah sebagai single parents. Bila saja orang-orang tak begitu fanatik dengan stigma sosial aku akan membiarkanmu memilih solusi sendiri."
"Apa kau tahu ayah, dua bulan terakhir aku di-bully, dihina dan dicemooh oleh siswa disekolah. Meski aku mencoba mengabaikannya tetap saja menyakitkan. Aku rasa ini keputusan yang tepat. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan diriku dan anak ini bila aku tak menikah."
Inoichi merangkul bahu putrinya. "Jadilah kuat anakku, hidup itu selalu penuh masalah dan cobaan. Aku berdoa kau akan menemukan kebahagiaan dalam kekacauan ini."
"Semoga saja ayah." Ino bersender pada ayahnya. Belakangan ini Ino merasa lebih dekat pada sang ayah. Semua rasa kesal yang terpendam untuk orang tuanya telah menguap. Andai saja dulu mereka belajar untuk berkomunikasi. Ino mungkin tak akan berniat untuk berbuat liar. Ia hanya merasa tertekan dengan hidupnya yang penuh tuntutan.
"Ayo kembali ke dalam. Kita cari Sasuke."
"Baiklah ayah."
.
.
Sasuke berbaring malas di tempat tidurnya. Ia meletakan buku yang ia baca dan melirik sebal pada tamu tak diundang yang dengan asyiknya duduk di lantai dan memainkan xbox miliknya. Dia bahkan sudah mengotori kamarnya yang steril dengan bungkusan snack dan kaleng soft drink.
"Dobe, Siapa yang menyuruhmu kemari?" Sasuke menatap kepala berambut pirang yang membelakanginya dengan tajam.
"Sekolah sudah libur, aku pikir kau akan kesepian jadi aku datang untuk bermain denganmu."
"Aku bukan bocah yang butuh teman bermain. Aku lebih suka sendirian kau tahu itu."
"Tapi aku bosan Sasuke. Gaara sedang pergi ke luar kota. Sai sibuk membantu kakeknya. Hanya kau yang sedang menganggur."
"Tch...Jadi kau memutuskan untuk menggangguku. Baik benar kau, Dobe"
"Hei, Bukannya pernikahanmu dan Ino kurang dari seminggu. Mengapa kau tampak begitu santai dan tenang?"
"Cuma pernikahan bukan hal yang penting untuk dicemaskan. Aku merasa ragu sebenarnya untuk menikah tapi aku sudah berjanji untuk membantu Ino."
"Apa yang membuatmu ragu?" Naruto bercakap-cakap sambil melanjutkan permainannya.
"Aku memergoki Ino dan kakakku berciuman."
Naruto langsung menoleh memberikan Sasuke perhatian penuh, "Yang benar saja?, Bukankah kakakmu itu sudah uzur. Kenapa dia mendekati Ino?"
"Itulah yang aku tak tahu, aku yakin ada sesuatu di antara mereka. Kadang tanpa sengaja aku melihat mereka saling menatap dengan misterius."
"Bicaralah dengan Sakura, Mungkin dia tahu sesuatu. Para gadis selalu menceritakan rahasia pada sahabat baiknya."
"Kau pikir Sakura mau buka mulut?"
"Hm.. Gunakan pesonamu, Teme. Sakura kan menyukaimu. Rayu saja dia supaya mau buka mulut."
"Heh...Kau bisa jadi licik juga. Aku telepon Sakura sekarang."
Sakura Haruno sedang bosan, gadis bermata Emerald itu mengurung diri di kamarnya dengan setumpuk buku. Ujian akhir memang sudah berakhir tapi ujian masuk perguruan tinggi sedang menantinya. Bila ia ingin diterima di fakultas kedokteran ia harus belajar lebih tekun lagi.
Dia mengetuk- ketukan bolpoin yang dia pegang tanpa sadar ketika memikirkan masalah sahabatnya. Ia tentunya akan selalu mendukung Ino tapi siapa yang tak sakit hati melihat pujaan hati menikah dengan teman sendiri meski hanya pura-pura dan juga terpaksa. Sakura pun meletakan kepalanya di meja mendesah berat. Sungguh ia tak rela Sasuke menikahi Ino padahal ayah bayi yang dikandungnya adalah Itachi. Mengapa bukan Itachi saja yang menikahi Ino. Sakura tak mengerti mengapa Ino merahasiakan ini. Bila sahabatnya itu mau jujur pasti Itachi akan bertanggung jawab. Apa yang akan Sasuke lakukan bila tahu akan hal ini. Akankah dia melanjutkan rencana mereka?. Sayang sekali dia sudah berjanji pada Ino untuk tutup mulut.
Ponsel gadis itu berbunyi. Melihat nama yang terpampang di layar Sakura langsung mengangkat telepon dengan semangat. Ini pertama kalinya Sasuke menghubunginya duluan.
"Sasuke ada apa?"
"Apa kau punya waktu?, Bila tak sibuk aku ingin mengajakmu bertemu sekarang." Ucap pria itu dengan nada manis.
Sakura serasa terbang ke langit ke tujuh. "Apa kau mengajakku kencan?"
"Bukan kencan Sakura, hanya ada hal yang sangat penting yang ingin aku bicarakan."
"Baiklah, Aku bisa menemuimu sekarang. Mau bertemu di mana?"
"Starbucks yang biasa."
"Ok, Sampai jumpa setengah jam lagi."
Sakura bergegas berganti pakaian. Gadis itu mengganti celana pendeknya dengan denim dan memakai keds putihnya. Sakura bertaruh Sasuke ingin membicarakan soal Ino. Apa pemuda itu berubah pikiran soal pernikahan. Gadis berambut merah muda itu mengambil kunci Mustang-nya dan pergi.
"Bagaimana?" tanya naruto pada pemuda berambut raven itu.
"Dia setuju untuk menemuiku. Ayo kita pergi."
"Wuih, tumben kau mengajak diriku."
"Aku tak mau menemui Sakura sendirian saja. Nanti dia salah paham."
"Kau mau menjadikanku obat nyamuk ya, teme?"
"Banyak bacot kau dobe. Sudah ikut saja nanti aku traktir frappe."
"Ok. Selama ada yang gratisan aku pasti mau menemanimu."
Sasuke memasang sabuk pengaman dan menginjak pedal gas. Mereka meluncur ke cafe tongkrongan favorit anak-anak sekolah
"Gila mobil ini keren" Naruto terkagum-kagum dengan lamborghini yang dikendarai Sasuke.
"Bagus kan, Itachi meminjamkannya padaku entah untuk berapa lama. Apa sekalian saja ya tak usah aku kembalikan. Aku terlanjur cinta dengan mobil ini."
"Baik benar Kakakmu."
"Ya, Dia Kakak terbaik."
.
.
Sakura masuk ke dalam cafe, menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, mencari-cari Sasuke yang bilang sudah sampai di sini. Begitu ia menemukan pemuda itu di salah satu meja di area out door. Hatinya sedikit kecewa karena melihat Sasuke tak sendirian. Naruto duduk di sebelah pemuda berambut raven itu membisikan sesuatu di telinganya.
'Kesal...l' pikir gadis Haruno itu dalam hati. Dia sudah berharap bakal bisa berduaan saja dengan Sasuke. Mengapa juga rubah berisik itu diajak?
Sakura menghampiri mereka dan menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi kosong.
"Sorry terlambat, Kalian sudah menungguku lama?"
"Tidak, baru saja tiba. Maaf bila aku membuatmu meninggalkan kesibukanmu." Ujar Sasuke
"Kalian mah enak, Sudah pasti diterima di universitas, Sementara aku masih harus berjibaku menghadapi ujian masuk."
"Kau mau pesan apa?, Biar si Dobe ini yang mengantre."
"Ice cappucino deh"
Naruto memasang muka manyun, "Enak banget kau menyuruh-nyuruh orang, Aku bukan budakmu woi."
"Mau aku tinggalkan kau di sini tanpa tumpangan?" Ancam Sasuke dengan sadis.
Pemuda berambut pirang itu pun menyerah, Ia berdiri dan menjulurkan tanggangnya di depan wajah Sasuke. "Mana uangnya? Sekalian aku juga mau pesan satu frappe lagi. Katanya kau yang traktir."
Dengan menggerutu Sasuke membuka dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang pada Naruto. "Udah, cepat antre sana."
Sakura tersenyum melihat tingkah dua temannya itu. "Jahat kau Sasuke, Dari dulu selalu saja memperlakukan Naruto seperti budak. Naruto terlalu baik padamu."
"Dia mendapatkan persahabatanku karena ikhlas menjadi pembantuku. Ngomong-ngomong aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."
"Masalah Ino kan?"
"Bagaimana kau bisa menebak?"
"Sasuke kau tak pernah tertarik padaku untuk mengajakku bertemu di luar jam sekolah tanpa yang lainnya kecuali kau punya kepentingan. Jadi apa yang ingin kau tahu?"
"Apa Ino punya hubungan dengan Itachi, Kakakku?"
Wajah Sakura menegang. Apa Sasuke sudah tahu identitas ayah bayi yang dikandung Ino. "Maaf Sasuke, Aku tak tahu. Aku bahkan tak kenal kakakmu."
"Apa kau yakin Ino tak menceritakan sesuatu?"
Sakura menggeleng, "Tidak, Aku buta soal ini. Mengapa kau mendadak mencurigai mereka?"
"Aku melihat mereka berciuman."
Netra hijau Sakura membelalak, "Serius, Kapan?"
"Dua hari yang lalu, Saat pesta perusahaan berlangsung. Aku melihat mereka menari dan menyelinap pergi. Aku mengikuti mereka dan memergoki kakakku mencium Ino di lorong."
Sakura tak habis pikir mengapa Ino melibatkan diri dengan Itachi dan Ia bahkan tak menceritakan ini padanya. Apa sahabatnya tak mempercayainya lagi. Ino tak pernah menyimpan rahasia pada dirinya, "Lalu apa yang mereka katakan?"
"Itachi bilang ia menyukai Ino tapi Ino ingin melanjutkan rencana pernikahan ini. Hal ini membuatku ragu untuk menikahinya tapi aku sudah berjanji untuk membantu."
"Aku tak bisa memberitahumu apa-apa, Maaf."
"Bahkan nama ayah bayi itu?, Aku yakin kau tahu."
"Untuk apa kau ingin tahu? Tidak akan mengubah keputusan Ino."
"Aku hanya ingin membuat pria itu menyesal sudah membuat Ino begitu."
"Dengar, Jangan kau bicara seolah-olah Ino adalah korban. Kau tak bisa menyalahkan si lelaki. Ino sendiri yang mau ikut dengannya. Aku hanya bingung mengapa Ino tak mau memberitahu pria itu hanya karena ia merasa bersalah."
"Bersalah, Mengapa Ino yang harus merasa bersalah?"
"Itu karena Ino membohongi laki-laki itu."
"Jadi siapa dia?"
Sakura diam sesaat. Dengan nada tegas ia menjawab pertanyaan Sasuke. "Aku tak akan bilang karena aku menghormati keputusan Ino."
"Kau tidak paham Sakura, Mudah bagaiku untuk mengakui bayi Ino sebagai anakku meski sekedar nama karena aku sendiri tak akan terlibat untuk membesarkan anak itu. Aku tak ingin melangkahi hak seseorang ayah siapa tahu pria itu menginginkan untuk ambil bagian dalam kehidupan anaknya."
"Tapi Ino tak menginginkan pria itu dalam hidupnya."
"Terserah Sakura, tapi aku rasa pria itu wajib tahu apa yang terjadi. Itu adalah hal yang paling benar untuk dilakukan."
Naruto muncul membawa dua gelas kopi, "Hey apa yang kalian perdebatkan?"
"Identitas ayah bayi yang Ino kandung. Aku hanya ingin bicara dengan pria itu sebelum aku menikahi Ino empat hari lagi"
"Sasuke, Bila kau memintaku datang hanya untuk mengkhianati kepercayaan Ino. Aku pergi sekarang. Ino tak mau berurusan dengan pria itu lagi. Sebaiknya kau hormati keputusannya"
"Baiklah aku akan berhenti bertanya." Sasuke menyerah.
Sakura berdiri dan pergi dengan marah. "Kau membuatku kesal Sasuke"
Naruto kebingungan. "Apa yang terjadi?"
"Hanya wanita dan persahabatan konyol mereka" Sasuke mengurut batang hidungnya. Mungkin sebaiknya dia memang tak ikut campur urusan Ino dan hanya memainkan perannya. Tapi ia ingin melakukan hal yang benar.
"Terus kopi ini bagaimana?" Tanya Naruto sambil mengacungkan capucinno pesanan Sakura.
"Kau minum saja."
.
.
Sakura pergi ke rumah Ino tanpa menghubungi gadis berambut pirang itu terlebih dahulu. Ia hanya bingung, bila Ino memang tak berniat terlibat dengan Itachi mengapa pula dia membiarkan kakak Sasuke itu menciumnya. Ini dilema bagi Sakura. Bila memang Ino menyukai Itachi bukankah sebaiknya ia menikah dengan pria itu bukan Sasuke.
Tiba di kediaman Yamanaka. Sakura memencet bel. Para pelayan yang telah mengenalnya mempersilakan dia masuk dan memberitahu Ino sedang di kamarnya.
Ino sedang menonton drama sambil makan es krim ketika sang sahabat menerobos ke kamarnya.
"Pig, Santai sekali kau?"
Gadis berambut pirang itu mengenakan daster longgar duduk berselonjor di ranjang. Es krim coklat ekstra besar dan sendok memenuhi tangannya.
"Ada apa kau tiba-tiba datang kemari? Bukanya kau sibuk belajar?"
Sakura duduk di sebelah Ino. "Aku baru saja bertemu Sasuke."
"Kalian kencan?" ucap Ino dengan nada cuek seolah Sasuke bukan pria yang akan dia nikahi sebentar lagi.
"Enggak lah, Dia hanya bertanya soal dirimu."
"Tentang apa?"
"Ayah bayimu."
Ino menarik nafas panjang, "Kau tak memberitahunya kan? Aku heran mengapa dia begitu ingin tahu."
"Sasuke merasa hal yang benar adalah memberitahu pria itu dan sebenarnya aku juga setuju. Apa lagi setelah aku mendengar kau berciuman dengan Itachi."
Ino berhenti menyuapkan es krim ke mulutnya. Ternyata Sasuke memberitahukan kejadian itu pada Sakura.
"Bisa kau jelaskan apa yang terjadi pig, kau menyukai Itachi atau tidak?"
"Aku tak tahu, Memang dari awal ada ketertarikan fisik di antara kami dan dia bilang dia menyukaiku tapi aku rasa dia hanya terpesona pada sosok wanita yang aku tampilkan malam itu. Bukan diriku."
"Mengapa kau tak memberitahunya kalau kau hamil? Itachi pasti akan bertanggung jawab dan kau tak perlu merepotkan Sasuke."
"Kau tak paham. Aku tak ingin Itachi menikahiku karena terpaksa dan di samping itu karena dia ayah anak ini dia pasti akan ikut campur dengan segala keputusan yang aku ambil. Lagi pula Sakura ia lebih tua dariku dan aku yakin ia hanya akan memperlakukan aku seperti anak kecil dan akan mengabaikan pendapatku."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin. Kau bahkan belum mengenalnya Itachi. Apa kau tak merasa berasalah membuat Sasuke juga terpaksa menikahimu?"
"Karena aku tak mengenalnya maka aku tak mau menikah dengannya. Aku bersama Sasuke hanya untuk kepentingan bisnis tapi bila aku bersama Itachi, it's going to be real deal."
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu Ino, bukankah lebih baik membesarkan sang anak dengan ayah kandungnya. Memberinya keluarga yang utuh. Sasuke bilang ia hanya akan mengakuinya sebatas nama. Apa kau akan baik-baik saja membesarkan bayi sendirian sementara Sasuke akan kuliah di kota lain?"
"Sakura kau tak perlu memahaminya. Aku lebih suka mengatur semuanya sendirian. Lagi pula seberat apa sih mengurus bayi? Lihat saja banyak orang berhasil membesarkan anak-anaknya hingga dewasa."
"Aku rasa kau menyukai Itachi, tapi kau merasa lebih aman bersama Sasuke karena itu kau memilih melanjutkan pernikahan ini. Aku cukup mengenalmu Ino. Aku tahu kau tak suka spekulasi dan selalu mencari jalan mudah."
"Memang salah aku berpikir begitu?"
"Tidak, aku paham kau tak mau ambil risiko. Tapi itu juga berarti kau tak akan meraih kebahagiaan maksimal."
"Keputusanku sudah bulat. Aku tak menginginkan keterlibatan Itachi untuk mengurus anak ini."
"Sangat disayangkan, kau tak memberikan kesempatan pada dirimu dan dirinya untuk menemukan cinta padahal kalian saling tertarik."
"Aku tak punya cukup waktu untuk menelaah perasaanku atau untuk mengenalnya. Lagi pula Sakura cinta tak akan tumbuh atas dasar kebohongan. Aku lega dijodohkan dengan Sasuke karena kami bisa membangun hubungan atas dasar persahabatan yang bebas prasangka."
"Tapi aku masih merasa kau perlu memberitahu Itachi, bayi itu kalian ciptakan berdua."
"Tidak, pokoknya tidak."
"Ya sudah kalau kau keras kepala begitu."
.
.
Hari besar bagi Ino akhirnya pun tiba. Sore itu langit tampak cerah meski angin musim gugur berembus cukup dingin. Upacara pernikahan diadakan di sebuah kapel bergaya gotik. Bangku-bangku kayu berhiaskan pita dan bunga dan sebuah altar Indah berdiri megah. Ruangan itu di penuhi wangi mawar, lavender dan lili. Semua dekorasi berwarna putih.
Di salah satu ruangan. Sang mempelai wanita duduk dengan tenang menatap cermin sementara dua orang sahabatnya memasangkan rangkaian bunga putih di atas kepala gadis itu.
"Ino apa kau yakin dengan ini?" tanya Sakura lagi.
"Yap, Ini jalan terbaik."
Temari yang sibuk di universitas tak mendengar kabar pernikahan ini hingga Ino memutuskan untuk meneleponnya. Memintanya menjadi pengiring pengantin.
"Aku tak percaya kau menikahi Sasuke padahal pria yang seharusnya bertanggung jawab bukan dia."
"Ayolah Temari, Jangan kau bahas lagi. Aku lelah mengulang-ulang alasan aku memilih pernikahan ini pada kalian."
"Kau gila Ino, sungguh gila." Komentar putri keluarga Sabaku itu.
"Aku hanya memilih hal yang paling logis."
"Dan paling aman." Sambung Sakura.
Hinata datang membawa rangkaian bunga besar yang terdiri dari mawar pink, lavender dan cala lili. "Ini buketmu Ino, Kita diminta siap sebentar lagi. Kau tampak sangat cantik ."
"Terima kasih Hinata." Ino berdiri. Ujung gaunnya menyapu lantai. Kondisi perutnya membuat gadis itu tak punya banyak pilihan selain memilih model empire waist. Gaun itu tampak sederhana tapi manis. Dengan lengan pendek dan garis leher rendah berbentuk hati yang terbuat dari brokat prancis. Make up wajahnya pun simpel dan natural. Ia tak ingin heboh-heboh di pesta pernikahan pura-pura. Lagi pula acara ini bersifat privat. Hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat saja. Jumlahnya tak lebih dari lima puluh orang.
Tak lama terdengar ketukan di pintu. "Kalian sudah siap acaranya akan di mulai."
"Masuk saja ayah, Kami sudah siap."
Inoichi tertegun melihat sosok putrinya dalam gaun pengantin. Dia terlihat seperti wanita dewasa. Pria itu melangkah dan memeluk Ino. "Kau cantik sekali putriku."
"Ayah.."
Rasa haru melanda Inoichi. Ia masih tak rela melepaskan putri kecilnya secepat ini. Sekarang gadisnya akan menjadi tanggung jawab pria lain. Padahal Ino masih sangat muda, "Ino, meski kau akan menikah di hatiku kau masih tetap putri kecilku. Berat bagiku untuk menyerahkanmu pada calon suamimu."
"Ayah, aku tetap putrimu kan? Meski setelah ini margaku akan berubah."
"Tentu saja, Ayo kita temui calon suamimu di altar." Inoichi menggandeng lengan putrinya.
Sasuke telah berdiri menanti sang mempelai wanita di altar bersama sahabat-sahabatnya yang menjadi pendamping. Pria itu tampak luar biasa tampan dengan tuxedo hitamnya sedangkan Naruto, Sai dan Gaara berdiri di belakangnya mengenakan potongan tuxedo yang sama. Mereka semua tampak tampan dengan ciri khasnya masing-masing.
Wajah Sasuke terlihat begitu datar dan bosan padahal ini hari pernikahannya sedangkan Gaara tampak stoic seperti biasa. Naruto tersenyum ceria menikmati atmosfer pernikahan dan Sai dia mempraktikkan senyum palsunya.
Begitu organ memainkan the wedding march. Satu per satu gadis-gadis itu berjalan melewati lorong yang berhias bunga kemudian berdiri di sisi altar. Semua tamu menoleh begitu sang mempelai wanita berjalan melewati lorong itu di gandeng sang ayah menuju altar untuk bertemu dengan mempelai pria dan disatukan dalam ikatan pernikahan.
Para tamu tampak takjub dengan kecantikan yang dipancarkan mempelai wanita yang terbalut gaun putih. Dia begitu muda. Terlalu muda untuk menikah. Yamanaka Ino berjalan dengan anggun. Dagunya terangkat tapi gadis itu tidak tersenyum. Sedikit pun ia tak merasakan kegembiraan. Semua ini dilakukan karena situasi memaksa. Dia merasa tegang dan ingin acara ini cepat-cepat berakhir. Ino sadar semua mata melihat dan menilainya dan dia merasa tak enak. Bagaimana bila mereka tahu bila Ino hamil? Sejauh ini keluarga Uchiha tidak curiga karena ia menutupinya dengan baik.
Inoichi menyerahkan tangan putrinya pada Sasuke. Mereka berdua berdiri bersisian di hadapan sang pendeta.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Sasuke pada Ino berbisik.
"Tentu saja. Aku hanya ingin acara ini cepat selesai"
"Aku juga."
Di kursi depan Fugaku menyaksikan pernikahan putranya bungsunya tapi putranya yang lain tidak ada di dalam kapel.
"Mikoto, Apa kau melihat Itachi?. Di mana akan itu? Masa dia melewatkan pernikahan adiknya."
"Aku tidak tahu, tadi aku melihatnya datang. Mungkin ke toilet."
Pria yang dibicarakan bersender di pintu kapel. Wajahnya tampak muram dan bimbang. Melihat Ino berjalan di lorong dan meraih tangan adiknya memberikan sentilan di hatinya. Matanya mengelap terfokus pada sang mempelai wanita. Apa yang harus ia lakukan sekarang?, Dia telah memutuskan menyerah mengejar Ino tetapi hal yang ia dengar kemarin membuatnya berpikir ulang. Ino tak hanya menipunya. Ia bahkan merahasiakan hal yang sangat penting darinya. Mengapa gadis kecil itu mempermainkannya seperti ini. Itachi tak boleh membiarkannya begitu saja tetapi kekacauan yang akan terjadi membuatnya berpikir dua kali.
Pria itu mengepalkan tangannya di samping. Dia harus membuat keputusan dengan cepat. Sekarang atau semuanya akan terlambat.
Prosesi pernikahan berlangsung dengan hikmat. Setelah pengantar dan sambutan serta pemberkatan. Pemimpin pernikahan menanyakan kesediaan mereka.
"Nona Yamanaka Ino, Apakah anda bersedia menerima Sasuke Uchiha sebagai suami anda, Untuk selalu merawat dan menemaninya dikala suka maupun duka, sehat mau pun sakit. Hingga maut memisahkan kalian?"
"Saya bersedia." Jawab Ino dengan tenang. Ia tahu mereka akan bercerai tiga tahun lagi. Jadi sumpah ini tak berarti apa-apa.
"Tuan Sasuke Uchiha apa anda bersedia menerima Yamanaka Ino sebagai istri dan menjaga serta menemaninya dalam suka dan duka. Sakit maupun sehat. hingga maut memisahkan kalian?"
"Saya bersedia" Jawab Sasuke.
"Sebelum saya menyatukan kedua insan ini dalam ikatan suci, adakah yang keberatan dengan pernikahan ini?" Pemimpin acara bertanya pada para hadirin.
"Saya keberatan" Jawab Itachi dengan lantang dari pintu.
Terdengar bisik-bisik riuh rendah di antara tamu yang menghadiri acara itu.
Wajah Ino memucat melihat Itachi berjalan melewati lorong. Pria itu menatapnya dengan marah. Sedangkan Sasuke tampak bingung karena kakaknya yang selalu tenang dan logis praktis sedang menyabotase pernikahannya.
"Yamakana Ino tak bisa menikahi adikku, karena dia sedang mengandung anakku." Ucap pria itu dengan dingin di hadapan orang banyak.
